9. Mianhe, Sa Na
Sepuluh menit sebelum bel masuk, Taehyung tampak mengernyit—menyatukan kedua alisnya, membuat lelaki itu tampak serius—di depan loker. Aku menyukai ekspresi tersebut dan di waktu bersamaan juga merasa khawatir.
Well, aku khawatir karena tidak bisa membaca pikirannya.
Sembari bersandar membelakangi loker, tangan kanan Taehyung memegang sepucuk surat dengan amplop berwarna pink. Sesekali ia menoleh ke kiri dan kanan kemudian mengusap tengkuk, hingga beberapa kali. Kurang lebih, dia melakukan hal tersebut sebanyak empat kali.
Aku menghitungnya, meski tidak yakin benar karena harus menyembunyikan diri.
Yep, menyembunyikan diri di antara Jimin, Ha Na, dan Jungkook—mendiskusikan tugas dari Ibu Park, sembari mengamati Taehyung—tanpa diketahui oleh siapa pun dan dengan jantung hampir meledak.
Meski berada di antara mereka, tetapi percayalah, aku tidak begitu memerhatikan perbincangan ini—lebih banyak diam—menjawab seperlunya. Kalau boleh jujur, fokusku memang selalu teralihkan pada reaksi Taehyung, saat ia mendapatkan surat dan sekotak makan siang di dalam lokernya.
Kukatakan sekali lagi, aku tidak bisa menerka apa yang dipikirkan Taehyung. Jadi mengajukan dugaan dari ekspresi Taehyung adalah satu-satunya pilihanku. Sebenarnya aku penasaran tentang, apakah Taehyung terganggu dengan benda-benda tersebut atau malah sebaliknya? Apakah dia tipikal lelaki yang besar mulut ataukah tipikal lelaki dingin? Apa pun jawabannya, itu akan berpengaruh pada kehidupan asmaraku di masa depan.
Dan tidak perlu dipungkiri pula, bahwa Jungkook telah berulang kali memberikan kode agar aku jangan terlalu mencolok. Namun, jantung dan mataku menolak untuk pura-pura tidak tahu. Kepo seperlunya saja? Itu adalah suatu kesulitan paling besar bagiku.
Mustahil. Pikirku sambil menghela napas panjang dan bersandar pada papan tulis. Mengamati Taehyung sekaligus berdoa, agar tidak ada siapa pun yang melihat aktivitas Taehyung.
"Kau baik-baik saja, Sa Na?" tanya Ha Na.
Aku mengerjap beberapa kali saat ia menjentikkan jemarinya. Jika gadis itu tidak melakukan hal tersebut, mungkin ia akan kuabaikan.
"Ha? Ne, I'm fine. Why?"
Ha Na menggeleng melirik ke arah Jimin yang menatapku lurus-lurus.
Kupikir Jimin bisa saja mengkhayal bahwa tatapannya tersebut mampu membuat kepalaku bolong. Yeah, Jimin tipikal remaja yang menyukai tokoh pahlawan super a.k.a manusia berkemampuan lebih. Kami semua tahu itu dan dia memiliki banyak miniatur super hero di lemari kamarnya.
Sedangkan Jungkook, dia hanya memberikan ekspresi yang mungkin mengatakan, jangan terlalu mencolok, Sa Na!
Ha Na mengusap dagu menggunakan ibu jari dan telunjuknya kemudian maju selangkah, demi berdiri di sisiku.
"Lebih tepatnya kau terlihat tidak sedang berada di sini," kata Ha Na, "ada yang menarik perhatianmu?" Ha Na mengikuti arah pandangku kemudian kembali menatapku. Dia menangkapku sekarangku dan—
"Ah, aku tidak tahu apa pun." Ha Na tersenyum jahil seolah tahu apa yang sedang kuperhatikan dan kupikirkan. Gadis itu, Ha Na, punya kepekaan tingkat tinggi!
Ya, tentu saja dia tahu! Di kelas ini, yang mengetahui peran Taehyung di mataku hanyalah Ha Na dan Jungkook. Jadi kuharap Ha Na akan tutup mulut saat melihat aktivitas Taehyung—mencoba mencari tahu siapa pengirim surat kaleng plus makan siang gratis di lokernya.
Itu aku, Taehyung! Asal kau tahu saja. Berhentilah mengamati murid di kelas dan kembalilah ke kursimu! Jeritku dalam hati, seolah Taehyung bisa mendengarnya.
Akan tetapi, harapan hanya sekadar harapan jika hal itu berhubungan dengan Ha Na, karena bagai kecepatan cahaya gadis tomboy itu berlari ke arah Taehyung.
Aku mengejarnya. Namun, ditahan Jungkook dan belum sempat memberikan protes ia melirik ke arah Jimin.
Oh, aku mengerti—akan kubunuh kau Kim Ha Na.
"Taehyung! Kau kebingungan, ada apa?" tanya Ha Na yang suaranya luar biasa keras, hingga membuat semua mata tertuju padanya.
Taehyung menoleh, memperlihatkan amplop pink di tangannya dan menunjuk kotak makan siang di lokernya.
Ha Na tersenyum penuh arti melirik ke arahku untuk sesaat kemudian kembali menatap Taehyung. Ia melangkah mendekat dan saat itu jantungku akan meledak dalam hitungan detik.
"Jangan lakukan hal bodoh, jangan lakukan hal bodoh atau aku akan membunuhmu."
"Aku bisa mendengar doamu, Sa Na. Cukup ucapkan dalam hati jika tidak ingin orang lain mendengarnya," bisik Jungkook yang membuat perhatianku teralihkan dan—
"Apa di antara kalian ada yang tahu siapa pelakunya?!" seru Ha Na sambil ingin menarik surat tersebut. Namun, terlebih dahulu dijauhkan oleh Taehyung.
Aku bernapas lega. Setidaknya Taehyung bukan tipe manusia bermulut besar jadi tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera melangkah mendekati Taehyung.
Bagaimana pun, aku harus menyelamatkan diriku sendiri setelah hampir ketahuan ketika aku dan Jungkook sedang membuat perjanjian di tea shop.
"Lupakan saja dan jangan beritahu aku apa pun. Dan jika aku tahu kalian menyebarkan rumor tentang pengirimnya maka ...." Taehyung menggantungkan kalimatnya, membuat langkahku terhenti untuk mengamati teman-teman sekelas dan Taehyung. "Kalian akan berhadapan denganku," ucapnya lalu suara desahan lemas dari anak-anak kelas pun terdengar.
"Kau sangat tidak seru, Taehyung!"
"Terlalu membosankan untuk tipikal lelaki yang memiliki secret admirer."
"Andai saja gadis itu memberikannya untukku." Yang mengatakan ini adalah Jimin. Aku tersenyum miris—dia memang sangat ingin berkencan, tetapi selalu gagal karena kurang percaya diri.
"Yang mengirimkannya pun akan merasa aman sekaligus resah."
Dan lebih banyak lagi komentar-komentar yang kudengar, saat Taehyung memperlihatkan ketidaktertarikannya pada secret admirer. Sekali lagi, aku bernapas lega akan hal itu—setidaknya aku tidak resah karena pengirimnya adalah diriku sendiri dan statusku mungkin masih baik-baik saja hingga istirahat jam makan siang tiba.
Aku tidak bisa menebak apa yang akan terjadi nanti. Namun, aku berharap semua akan baik-baik saja.
Karena sempat berhenti di tengah jalan, maka aku pun segera menuju kursiku. Mencoba menguping saat kulihat Jungkook memberikan kode, bahwa sebaiknya aku mencuri dengar tentang apa yang akan dikatakan Taehyung selanjutnya.
"Dan kau, berhenti mencampuri urusan orang lain, Kim Ha Na."
"Whoa ... so cool man," kata Ha Na lalu buru-buru duduk di sampingku dan tanpa sepengetahuan gadis itu pula, aku tersenyum puas.
Tidak ada salahnya jatuh cinta pada Kim Taehyung. Ia tahu bagaimana caranya bersikap pada seorang gadis yang sedang bersiap-siap untuk menunjukkan diri.
Jantungku lagi-lagi berdebar dan aku mengalihkan pandangan pada Taehyung. Hanya sebentar karena ia duduk di belakangku dan jika terlalu lama, maka hal tersebut akan membuatnya terlihat mencolok.
"Kau jatuh cinta pada lelaki yang tepat, Sa Na." Ha Na mencolek lenganku, mengucapkan kalimat tersebut dengan nada berbisik beberapa detik sebelum Ibu Park memasuki kelas kami.
Dan aku hanya tersenyum, mengangguk samar lalu menoleh ke arah Jungkook, sembari mengacungkan ibu jari.
***
"What?!" Ha Na memukul meja kantin, setelah mendengar beberapa hal tentang project menjadi gadis idaman Taehyung dan setelah mengetahui alasan di balik nilaiku yang SEDIKIT meningkat. Ia membelalakan mata, seolah masih tidak percaya lalu menoleh ke arah Jungkook yang baru saja memasuki kantin—menuju mesin minuman. "Are you serious? Apa saja yang kau ... oh, jangan katakan! Kejadian tadi pagi—"
"Aku harus pergi sekarang," kataku sebelum mengedipkan sebelah mata dan menoleh ke arah Jungkook yang baru saja mengambil jatah makan siangnya. "Jungkook, kau jaga Ha Na agar tidak mengacau. Dan akan kukerahkan seluruh kemampuanku, karena menjadi murid Jeon Jungkook bukanlah—"
"Just go, Sa Na. Kau terlalu banyak bicara," ucap Jungkook memotong perkataan panjang lebarku yang sebenarnya sengaja kukatakan akibat gugup tak terbendung.
Jungkook selalu jadi yang terbaik. Selalu paham isi hatiku dan terus-menerus menyemangati selama masa pelatihan.
Aku memberikan anggukan kecil, melakukan sedikit pemanasan—sebelum berhadapan dengan Taehyung.
Kami akan makan siang bersama dengan kotak makan berbeda. Namun, memiliki menu serupa. Aku yakin, hal itu akan membuat Taehyung bertanya-tanya dan setelah kujelaskan dia akan memuji masakan pertamaku. Sama seperti yang dilakukan Jungkook setelah puluhan kali menghadapi kegagalan.
"Baiklah, aku pergi sekarang. Doakan aku, Teman-teman," kataku penuh tekad, sambil membawa bekal makan siang dan pergi menuju taman.
Sebelum kepergianku, Jungkook dan Ha Na juga telah memberikan ucapan semangat untukku. Hal kecil yang memberikan dampak luar biasa di saat hatiku mulai meragu.
Oh, jal—ini sungguh membuatku hampir mati. Bahkan hanya dengan melihat punggung Taehyung yang sedang duduk di bangku taman saja, telah membuat kakiku lemas.
Aku mengembuskan napas. Jarak antara kantin dan taman tidak terlalu jauh. Namun, karena sekarang adalah jam makan siang maka butuh waktu cukup lama untuk sampai di tempat ini. Aku tidak bermaksud untuk hiperbolis saat itu, sebab faktanya langkah kakiku melambat—terlalu gugup—anggota gerak pun akan melumpuh tiba-tiba.
Entah sudah berapa lama aku berdiri di belakang bangku yang diduduki Taehyung. Namun, lelaki itu belum menyadari keberadaanku jadi kuembuskan napas berulang kali—bersiap untuk berdeham dan—
"Kau terus melihat ke arah sini." Suara Taehyung mengejutkanku dan ia memutar pinggangnya agar berhadapan denganku. Tanpa sadar aku melangkah mundur. "Sudah lama, ya? Kupikir kau marah padaku karena mengejutkan kalian di tea shop. Aku sungguh tidak berpikir jika kalian sedang berken—"
"Kami tidak berkencan, Taehyung," celahku—kembali mengklarifikasi dugaan Taehyung yang sebenarnya suatu kesalahan. "Aku sudah memberitahumu dan ... oh, aku juga tidak marah padamu. Hanya saja aku ...."
Taehyung tertawa pelan, cukup renyah seperti menikmati popcorn dengan tambahan mentega. "Kau sudah makan siang? Atau ingin menikmatinya bersamaku? Kebetulan seseorang memberikanku ini, tapi aku tidak akan membaginya.
"Karena yang membuat ini, pasti telah bekerja keras."
Demi Dewa Cintaku yang bernama Jeon Jungkook! Misi pertama kita hampir mencapai kesuksesan.
Seuntai senyum tidak bisa kusembunyikan. Jadi tanpa sungkan aku duduk di bangku yang sama dengan Taehyung, mengeluarkan kotak bekal makan siangku dan berharap Taehyung akan penasaran.
Namun, kenyataan tidak semanis imajinasi. Taehyung hanya diam dan mengamati beberapa ikan koi di kolam depan bangku. Ia masih memangku kotak makan siang—yang pagi-pagi buta, telah kuletakkan di lokernya.
Asal kalian tahu, aku melakukan misi tersebut setelah selesai melakukan marathon bersama Jungkook. Lalu membersihkan diri di kamar mandi sekolah.
Beruntung Hyun Ah dan Seok Jin bersedia membantu kami, mengantarkan semua kebutuhan kami termasuk dua kotak makan siang yang kubuat jam empat subuh.
Hari ini adalah puncak mendapatkan level up, jadi aku berharap Taehyung bisa memberikan reaksi positifnya. Sebab selama masa pelatihan—sehari setelah kami bertemu di tea shop, aku selalu menghindari Taehyung.
Mianhe, Taehyung. Ini demi kebaikan kita bersama. Batinku sembari mengamati Taehyung dan berhenti ketika lelaki itu menyadari bahwa ia sedang diperhatikan.
"Ka-kau tidak perlu membaginya." Buru-buru kubuka kotak makan siangku lalu dengan perasaan bangga, aku memamerkannya pada Taehyung. "Apa dia membuatkanmu kimbab yang seperti ini?"
"Aku tidak yakin, tapi kita bisa melihatnya." Taehyung membuka kotak makan siangnya dan ....
... sungguh! Ini sudah sama seperti gerakan slow motion paling mendebarkan di seluruh dunia.
Mataku tidak berkedip, fokusku bercabang antara bagaimana keadaan kimbab buatanku dan bagaimana reaksi Taehyung sekarang.
Kulihat ada sorot keterkejutan di wajah Taehyung. Tidak heran, karena tata letaknya pun serupa denganku. Ia menatapku lalu menatap kimbab di kotak makanku, dan berakhir di kotak makannya—berulang kali, hingga tawa kecil lolos dari bibirku.
Yang secepat kilat juga berubah menjadi tawa paling menegangkan, kemudian menghilang karena paru-paru kehilangan fungsinya.
Aku lupa bagaimana caranya bernapas. Terutama saat menyadari bahwa jarak Taehyung terlalu dekat dan jelas-jelas, ia sedang mengamatiku. Seperti ada sesuatu yang salah pada wajahku, hingga menimbulkan kesan aneh.
"Kau ...." Taehyung menaikkan sebelah alisnya, menatapku lekat-lekat—menuntut penjelasan. Namun, aku memilih diam—tidak tahu harus berkata apa—Taehyung pun akhirnya mengembuskan napas.
Ia menutup kembali kotak makan siangnya.
"Mianhe, Sa Na."
Bukan! Bukan ini yang kuharapkan, Taehyung!!!!!
*****
Belum diedit.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro