8. Letter Of Agreement
"Jadi, apa kau pikir Taehyung sudah menangkap sinyal yang kuberikan?" tanyaku pada Jungkook, saat kami sedang berjalan kaki untuk membeli buku kumpulan soal.
"Apa aku sudah terlihat seperti gadis cerdas kesukaan Taehyung?" Tanpa memberi kesempatan Jungkook untuk menjawab, aku kembali bertanya, sambil berjalan miring—seperti kepiting—agar bisa melihat Jungkook yang melangkah cepat di sisiku. "Lalu apa kau melakukannya karena kasihan padaku? Kuharap tidak karena aku telah bertekad melakukannya sendiri."
Aku tersenyum lebar, sambil memandangi Jungkook yang dari tadi hanya menatap lurus ke depan. Seolah tidak perlu khawatir jika sesuatu, bisa saja menabraknya dari arah samping atau mungkin Jungkook sudah bosan melihat-lihat bangunan di kawasan Jongno-gu.
Well, tidak ada yang tahu isi kepala Jungkook, tetapi dari sudut mana pun aku tahu apa yang telah ia lakukan.
Dia mengabaikanku, sejak kami selesai belajar bersama di perpustakaan. Namun, percayalah aku tidak terlalu memusingkan hal tersebut karena faktanya Jungkook tampak tidak benar-benar mengabaikanku. Ia hanya berpura-pura.
Ne, aku jelas mengetahuinya. Dilihat sekilas Jungkook memang terlihat diam saja, tetapi jika diperhatikan lebih lanjut maka kau akan menemukan mata lelaki itu sempat melirik ke arahku—beberapa kali.
Jadi saat ia memasang earphone, alih-alih mendengarkan musik melalui ponselnya—mengajukan isyarat, bahwa keberadaanku hanyalah partikel debu tak terlihat—semua itu hanyalah sandiwara.
Kau benar-benar tidak bisa perang dingin terlalu lama denganku, Jungkook. Pikirku sambil mengusap hidung bagian bawah dengan ibu jari, sekaligus mengerucutkan bibir. Gaya yang cukup imut bagiku, tapi cukup menggelikan kata Jungkook. Well, aku tidak peduli jadi dengan gerakan setengah berlari, kusambar lengan Jungkook—menggandeng—dan merebut sebelah earphone-nya.
Aku tidak tahan lagi. Berbicara seorang diri telah menjadikanku terlihat seperti idiot.
"Tidak ada lagu apa pun," ungkapku dengan nada yang dibuat heran. Namun, ekspresi mengejek terlihat jelas seolah ingin mengatakan, 'Ketahuan, 'kan!?'
Jungkook mendecak kesal lalu menjauhkan lengannya, sekaligus merampas earphone-nya. "Pergantian lagu. Kau tahu?" Dan setelah mengatakan kalimat dingin tersebut, Jungkook semakin melebarkan langkahnya hingga membuatku harus berjalan dengan setengah berlari.
Ini melelahkan, aku telah berjalan setengah berlari sepanjang lima ratus meter dan Jungkook masih mengabaikanku. Aku tidak tahu apa yang membuat sikap Jungkook kembali berubah. Namun, sebelum pulang sekolah tadi Ha Na sempat memberitahuku, bahwa bisa jadi Jungkook dalam masa stress menyambut ujian. Itu tidak masuk akal bagiku, sebab Jungkook adalah lelaki cerdas yang kukenal jadi ....
... entahlah, aku harus membuat drama, demi menarik perhatian Jungkook dan menghentikan sikap anehnya hari ini.
"Ya! Kau itu kenapa?!" tuntutku, berusaha menyeimbangkan kecepatan berjalan Jungkook lalu menarik lengannya. Kami berhenti di depan coffie shop dan sebenarnya itu adalah pilihan terburuk—pengunjung di dalam sana, di balik jendela kaca berukuran besar akan penasaran dengan apa yang kami perbincangkan. Pasalnya Jungkook jelas sekali ingin membuatku seperti gadis pencinta drama queen.
"Beritahu aku apa yang terjadi? Apa aku membuat kesalahan? Apa kau sedang melanjutkan perang dingin kita tadi pagi?" Aku tertawa sinis, sambil melipat kedua tangan di bawah dada. "Ya, jika kau menyinggung persoalan tadi pagi, kupikir yang seharusnya marah adalah aku. Lagipula, di perpustakaan kau telah mengalah. Meminta maaf secara tersirat, membantuku dengan bertanya ini-itu tentang Bahasa Inggris supaya aku terlihat—"
"Apa kau akan bicara sampai matahari terbit dari arah barat?"
"Pertanda bahwa kiamat akan datang."
"Kau memercayainya?"
"Tidak. Jadi jangan mengalihkan topik."
Jungkook kembali berdecak kemudian menebarkan pandangannya. Aku mengikuti dan jelas saja, beberapa pejalan kaki—dua kelompok pelajar—sedang mengamati kami berdua.
Sayup-sayup kudengar mereka menjelek-jelekanku, mengatakan bahwa aku adalah gadis yang ketahuan berselingkuh, aku adalah gadis tidak tahu bersyukur karena mencampakan lelaki tampan di hadapanku ini, dan lebih parahnya, ada yang bilang Jungkook telah menyadari kebodohannya.
Sial!
Aku tahu sekali maksud ucapan mereka yang terakhir. Kebodohan itu adalah keputusan Jungkook mengencaniku yang tingkat visual-nya memang jauh berbeda. Namun, kami 'kan tidak berkencan?!
Aku memutar mata. Sebelum terlambat, mari kita buat klarifikasi secara tidak langsung.
"Selamanya kau hanya akan jadi sahabatku!" seruku sengaja mengeraskan suara dan percayalah, kalimat itu bukan untuk Jungkook. Mataku berkeliaran, memerhatikan reaksi mereka—dua kelompok pelajar—yang akhirnya memberikan tatapan iri.
Payah! Pikirku sambil tersenyum miring, lalu kembali menatap ke arah Jungkook dan kulihat ada ekspresi aneh di sana.
Ekspresi aneh yang aku tidak tahu apa artinya karena aku memang bukan ahlinya. Aku hanya melihat pupil mata Jungkook melebar dan bibirnya terkatup rapat.
"Aku akan mentraktirmu roti gulung ... d-dan minuman, setelah urusanmu selesai," kataku cukup terdengar gagap lalu melangkah begitu saja. Namun, kali ini Jungkook menahan lenganku.
"Kau serius?" Suara Jungkook terdengar berat.
Aku mengernyit.
"Yang kau katakan tadi ... sungguh?" tanya Jungkook lagi, kali ini suaranya semakin berat seolah besi seberat satu juta ton sedang membebani pita suaranya.
"Y-yes ...," ucapku dengan nada menggantung.
Wajah Jungkook terlihat murung.
Sekarang apa lagi?!! Jeritku dalam hati atas perubahan mood Jungkook yang sudah sama seperti gadis PMS.
Aku tersenyum lebar, berusaha mengusir awan mendung di atas kepala Jungkook dan menepuk pundaknya. "Tentu saja aku akan mentraktirmu, tapi hanya jika kau bersedia membantuku sampai akhir," kataku dengan nada ceria lalu memukul-mukul pelan kedua pipi Jungkook. "Gaja! Pilihkan aku buku soal yang bagus."
"Kau tidak konsisten." Jungkook menjauhkan kedua tanganku yang menyentuh pipinya lalu melanjutkan perjalanan, tetapi tidak secepat sebelumnya.
"Ya! Kau bilang apa tadi? Tidak konsisten?" Aku berjalan mendahului Jungkook, sengaja melakukan langkah mundur—memercayakan Jungkook sebagai petunjuk arah.
Jungkook mengedikkan bahu. "Ne, beberapa menit yang lalu kau mengatakan ingin melakukannya sendiri."
Aku berpikir sejenak. "Oh, itu karena—"
"Karena kau terlalu bersemangat, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Jadi menciptakan drama adalah pilihan terakhir untuk memancingku bicara."
Sebelah alisku terangkat. Jungkook akhirnya berbicara panjang lebar, sesuai keinginanku. Jungkook-ku telah kembali.
"Kau hanya pura-pura mengabaikanku," kataku, sambil memilin rambut yang kukucir ekor kuda.
"Aku tidak sedang berpura-pura."
"Kau aktor yang payah."
Jungkook mengembuskan napas panjang. "Kalau begitu, berhentilah berjalan mundur, Sa Na."
"Apa kau suka roti gulung dengan banyak tambahan daging, Tuan Jeon?"
"Kau mengetahuinya."
"Perbincangan kita jadi tak punya arah."
"Kau yang memu—" Ucapan Jungkook tiba-tiba saja terputus. Ia menarik tanganku, matanya sempat terlihat panik—beberapa detik kemudian bunyi klakson mobil pun terdengar nyaring di telingaku.
Mobil itu ... melaju terlalu cepat, hampir membunuhku karena mobil kepolisian sedang mengejarnya.
Aku bernapas cepat, di dalam pelukan Jungkook dengan kaki gemetar, menyadari apa yang akan terjadi jika lelaki itu tidak menarikku.
Ne, jika Jungkook tidak sempat menarik tanganku maka, IGD akan menjadi tujuan kami dan pergi ke toko buku pun tidak pernah terjadi hari ini.
"Kau baik-baik saja?" tanya Jungkook dengan nada penuh khawatir, sambil melepas pelukannya.
Aku hanya mengangguk dan bisa kudengar Jungkook bernapas lega.
"Kita akan menenangkan dirimu dulu."
"Tidak. Apa kau punya air? Aku hanya perlu minum untuk menetralisir keadaan," kataku pelan dengan nada yang dibuat setenang mungkin.
Jungkook mengangguk kemudian membongkar isi tasnya dan mengeluarkan sebotol air mineral. Ia menggiringku ke salah satu meja outdoor teashop di dekat kami, lalu menyerahkan botol minuman yang telah terbuka.
"Melanggar, tapi menolak untuk ditilang," tukas Jungkook. "Hei, Sa Na. Kau harus mengingatnya. Jika kau sudah punya SIM jangan jadi pengendara seperti dia, arraseo?"
Aku mengembuskan napas panjang, setelah menutup botol air mineral yang telah remuk lalu menatap Jungkook. Perasaan ingin melanjutkan drama queen pasca hampir tertabrak, hilang seketika.
"Kau tahu, Jungkook?" Aku menatap lelaki itu dengan senyuman miring. "Kau berbakat dalam hal merusak suasana."
Menatapku penuh kebingungan, Jungkook mengambil botol minuman di tanganku kemudian melemparnya ke tempat sampah. "Merusak suasana?"
"Ne. Di drama romansa, biasanya si pria akan menggendong si wanita, mendudukkannya di atas kursi atau di mana pun itu, lalu memeriksa lengan serta kaki si wanita—memastikan bahwa semuanya baik-baik saja," kataku panjang lebar, menjelaskan apa yang biasa kulihat di serial drama.
"Ck, kupikir aku sudah melakukan sesuai dengan yang kau pikirkan. Hanya berbeda caranya saja."
"Aniyo!" sergahku terlampau keras. Bahkan sampai memukul meja—semua mata tertuju padaku—aku mengembuskan napas frustrasi lalu mengeluarkan buku dan pulpen.
"Kau mau apa?"
"Membuat kontrak perjanjian. Kau masih ingat tentang persetujuanmu untuk menolongku, 'kan?" tanyaku sambil menatap Jungkook penuh ancaman, jika ia kembali terserang amnesi (pura-pura) lalu kembali menolak memberikan bantuan.
Jungkook mengangguk pelan, menyandarkan dagu di atas kedua tangan yang terlipat di atas meja, lalu ia berujar, "Meski kau dikatakan tidak konsisten?"
"Aku bukan siapa-siapa, tanpamu." Aku menjawab asal, sambil menulis beberapa poin di kontrak perjanjian lalu menatap Jungkook. "Di perpustakaan. Sebenarnya aku tidak tahu harus belajar apa. Aku juga sangat terkejut saat mengetahui Taehyung sudah berada di meja yang sama denganku.
"Sampai kupikir, jika aku tidak mendengar suaramu ...." Aku mengembuskan napas panjang. "Entahlah, mungkin kebodohanku akan terpampang jelas. Terutama, kalau Taehyung mengajakku diskusi selain tentang Bahasa Inggris."
Jungkook tersenyum sambil menatapku, seperti ada hal lucu dari ucapanku barusan.
"Tapi aku datang di waktu yang tepat, 'kan?"
"Untungnya iya. Kau menolongku dengan gaya yang keren—menggunakan dialog Bahasa Inggris—berpura-pura bodoh di semua materi Ibu Park." Tiba-tiba saja tawaku pecah.
Ingatan tentang bagaimana akting Jungkook menjadi murid paling idiot, adalah hal menggelikan bagiku. Dia bahkan membukanya dengan bertanya apa arti dari kalimat 'May I help you?' Padahal jelas-jelas ia baru saja mengatakan dengan aksen Britsh sempurna.
"Kau memang aktor yang payah," kataku akhirnya lalu kembali menulis poin-poin perjanjian kami.
Sedangkan Jungkook, terakhir kulihat ia hanya memandangiku sambil tersenyum—memamerkan lesung pipi yang menarik perhatian para gadis. Well, aku sudah terbiasa.
"Aku akan membeli camilan. Kau tunggu di sini dan kita akan pergi ke toko buku setelah mendiskusikan kontrak perjanjian yang kau buat."
***
Matahari sudah tenggelam di ufuk barat satu jam lalu, dan kami masih mendiskusikan isi kontrak perjanjian yang kubuat. Entah apa yang salah, tetapi Jungkook selalu mengajukan protes.
Aku memijat keningku pelan, merasa terlalu angkuh menggunakan kontrak perjanjian. Kupikir hal tersebut akan menjadikan misi kami terkesan keren. Namun, kenyataan berkata lain, aku kelelahan mendebat, mencoret, menulis, mencoret lagi—berulang kali.
"Sebenarnya perjanjiannya terkesan sangat mudah, Jungkook. Aku membuat ini hanya karena ingin misi menjadi kekasih idaman Taehyung, terlihat lebih resmi—seperti perjanjian antar negara," kataku, sambil meletakkan pulpen kemudian mengambil segelas lemon tea yang tadi dipesan Jungkook.
Jungkook mengambil alih buku yang berisi perjanjian kami, membacanya sekilas, dan mengoreksi beberapa poin tanpa bertanya. Mataku membulat saat melihatnya—beberapa coretan untuk latihan memasak, serta olahraga. Apa-apaan ini?! Mengapa banyak sekali!?
"Kau tidak pernah memasak dan setelah latihan memasak, ingin langsung memberikannya pada Taehyung?" Jungkook tertawa sinis. "I can't accept this. Kau hanya akan membunuh seseorang. Aku yang makan memakan masakanmu duluan kemudian memutuskan apakah layak atau tidak."
"Aku menolak kau menjadi orang pertama yang mencicipi masakanku."
"Dan itu artinya kau ingin membunuh Taehyung."
Sepasang alisku bertautan. "Kau berlebihan, Jungkook."
"Ne, kau menyetujui aturanku. Mencicipi setiap masakan pertamamu, sebelum diberikan pada Taehyung." Sambil tersenyum lebar, Jungkook memberikan tanda checklist.
"Taekwondo?! Jinjja?!! Aku tidak suka latihan fisik seperti ini dan,"—Aku tertawa sinis—"kau bercanda. Ya! Di kelas tidak ada materi itu."
"Jika kau bisa taekwondo, maka fisikmu akan terbiasa dengan olahraga lainnya. Lalu ...."—Jungkook menatapku lurus-lurus—"hanya untuk berjaga-jaga karena saat kalian berkencan, tandanya aku meletakkan kepercayaan pada Taehyung. Sedangkan aku, belum begitu mengenalnya."
"Whoa!! You are my hero, Jungkook!" Setelah mendengar apa yang ia ucapkan, segera kuusap kepala Jungkook dengan gemas dan itu membuatnya bergerak cepat, menepis tanganku.
Bagiku, Jungkook begitu manis kalau dia sudah mulai perhatian seperti demikian.
"Jangan bersikap seolah kau lebih tua dariku, Sa Na." Jungkook mendecak pelan lalu menulis poin tambahan. Aku memanjangkan leher, penasaran dengan apa yang dia tulis.
"Wae?" tanyaku dengan nada protes ketika membaca poin tambahan dari Jungkook.
"Hanya mengingatkan, jika ada hal yang tidak sesuai keinginanmu. Kau dilarang menangis atau berkeluh kesah di depan orang lain, selain denganku."
Kumajukan bibirku hingga beberapa senti, sembari mengangguk. "Ne, tidak akan ada hal buruk. Aku yakin, Taehyung memperhitungkan usahaku."
Jungkook hanya mengedikkan bahu lalu membubuhkan tanda tangannya, dan mengembalikan buku tersebut di hadapanku. "Tanda tangan," pintanya, "kita harus ke toko buku. Jika sempat, kita juga akan belajar sebentar sebagai permulaan."
"Ne, kamsahamnida, orabeoni!" seruku lalu membubuhkan tanda tangan di tempat yang ditunjuk Jungkook.
"Ck! Orabeoni dengkulmu," desisi Jungkook.
Setelah membubuhkan tanda tangan, di sudut kertas, mataku seketika menemukan tanda bintang kecil di antara lima bintang besar.
Aku tersenyum melihatnya, mengetahui arti dari gambar sederhana yang dibuat Jungkook. Kau memang sahabat terbaikku, Jungkook, pikirku dan dengan gerakan cepat, kupeluk Jungkook karena gemas.
"Aku yakin kau bisa, Jungkook. Gomawo!!" Aku berseru girang, sambil menggoyang-goyangkan tubuh Jungkook kemudian kembali membaca Letter of Agreement kami berdua.
"Perjanjiannya adalah, Jungkook diharuskan untuk membantuku agar bisa lebih dekat dengan Taehyung. Membuatnya agar jadi lebih peka dan memperhitungkanku. Katakan bahwa kau bisa melakukan itu my lovelly best friend?"
Aku kembali memeluknya erat-erat, terlalu girang—mengabaikan reaksi Jungkook yang tidak nyaman. Ia bahkan sampai kesulitan bicara, hingga—
"Aku tidak sengaja melihat kalian di seberang jalan dan ketika sampai di sini, kudengar namaku disebut."
Suara itu membuat kami refleks terkejut.
Aku hampir menabrak meja demi menyelamatkan buku tersebut, sedangkan Jungkook hampir berkencan dengan aspal karena kudorong lalu suara tawa terdengar di antara kericuhan kami.
"Annyeong, kedatanganku begitu mengejutkan, ya?"
****
Orabeoni: Kakak laki2 dalam bentuk formal.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro