Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. May I Help You?

Tali sepatuku terlepas, hampir saja membuatku terjatuh jika tidak diberitahu Taehyung saat kami berpapasan di lorong kelas. Dia sedang membawa tumpukan buku, dari arah ruang guru dan kupikir itu adalah hasil dari tugas Bahasa Inggris yang diberikan Ibu Park tiga hari lalu.

"Aku baik-baik saja," kataku, sambil menatap ke sekeliling—memerhatikan beberapa murid sedang menghabiskan waktu di lorong kelas. Merasa sedikit salah tingkah, aku melampiaskannya dengan menggigit bibir sekaligus berpikir, tentang apa yang harus kulakukan sekarang. "Mau kubantu? Berikan padaku."

Sambil menadahkan kedua tangan, kuharap Taehyung memberikan sebagian bukunya. Atau alternatif lainnya yaitu mengucapkan kalimat keren, seperti "Tidak perlu. Kau hanya cukup berjalan di sisiku, hingga kita benar-benar tiba di kelas." Percayalah kalimat tersebut adalah perkataan yang paling cocok saat diungkapkan oleh karakter Taehyung, jika kami—maksudku dia menjadi main characther di drama School 2017.

Taehyung mengembuskan napas, seolah buku-buku tersebut begitu berat kemudian meletakkan SELURUHNYA di atas kedua tanganku. Seketika mataku terbelalak, bagaimana bisa Taehyung berperilaku kejam seperti demikian? Baiklah, Taehyung memang mengambil opsi pertama dari apa yang kubayangkan. Namun, bukankah seharusnya kami membaginya menjadi sama rata lalu berjalan beriringan menuju kelas, sambil mengobrol dan pada saat itu pula benih-benih cinta akan tumbuh semakin kuat.

Please, jangan katakan bahwa adegan tersebut hanya ada di dunia fiktif!

"O-oke," bisikku, dengan ekspresi separuh meringis karena harus menghadapi kenyataan. Sebaiknya, kami memang harus segera pergi ke kelas sebab jarak antara ruang guru dan kelas 2-2 lumayan jauh. Perlu menaiki tangga dan berjalan melewati empat ruang kelas.

Akan tetapi ketika baru saja ingin memutar tubuh, Taehyung menahanku—menarik lenganku pelan, sehingga adegan terjatuh ke dalam pelukan pun tidak perlu dilakukan.

"Mwo?" tanyaku penuh rasa heran atas sikap Taehyung barusan.

Lelaki itu tidak menjawab dan langsung berjongkok seolah-olah ingin ... oh, tidak! Belum saatnya Taehyung, jika kau melakukannya sekarang maka konsentrasiku akan pecah untuk menjalankan misi meningkatkan kualitas diri.

Jadi sebelum adegan romantis itu terjadi, buru-buru aku menolaknya—secara halus—tanpa berbicara dan langsung ikut berjongkok, meletakkan tumpukan buku di sisi sebelah kanan, serta mengikat tali sepatu dengan tanganku sendiri.

"Aku bisa melakukannya sen—" Ucapanku terputus, saat kusadari jarak antara wajah kami berdua ternyata terlampau dekat. Napasku pun tercekat, hingga akhirnya aku berdeham seolah ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan lalu buru-buru mengambil tumpukan buku. Namun, aku kalah cepat, Taehyung lebih dahulu mengambilnya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Taehyung yang tanpa kusadari sudah berdiri di hadapanku.

Melihat Taehyung dari sudut seperti ini, membuatnya tampak begitu tinggi, tampan, serta semakin memesona. Seperti seorang fallen angle yang mengulurkan tangannya untuk sesosok manusia yang ia cintai. Kupikir jika itu sungguh terjadi, maka kisahnya akan benar-benar romantis. Terutama jika tokoh utamanya adalah aku dan Taehyung.

Aku mengerjap berulang kali. Taehyung memanggil namaku dan aku merasa lagi-lagi kepergok sedang berkhayal. "Ah, ya. Tidak perlu khawatir."

"Aku tidak mengkhawatirkanmu."

"Oh, maksudku ... ya, aku baik-baik saja. Hanya sedang memikirkan sesuatu."

"Jawabanmu terdengar seolah kau adalah orang dewasa yang memiliki banyak hutang."

Aku mengedikkan bahu. "Dan aku adalah orang dewasa yang kau maksud itu."

"Lelucon yang lumayan."

"Well, sebenarnya humorku payah," kataku, sambil ikut berjalan di samping Taehyung, mengurungkan niatku untuk pergi ke perpustakaan.

Taehyung tertawa kecil.  Melanjutkan perjalanan sambil sesekali melihat ke arah lapangan yang dijadikan arena olahraga baseball.

Sebenarnya ada dua jenis lapangan di SMA Jaryong; lapangan khusus baseball terlihat lumayan gersang—kurang menarik perhatianku—dan lapangan sepak bola—berumput rapi, hingga tidak jarang menjadi tempat para gadis berkumpul saat musim semi dan awal musim gugur untuk menyemangati jika anak-anak dari klub sepak bola sedang latihan.

Bahkan tidak jarang pula, kedua klub tersebut saling melemparkan perasaan iri, sebab para gadis lebih suka menyaksikan sepak bola, daripada baseball. Alasannya pun sederhana karena di tepi lapangan sepak bola, mereka memiliki dua pohon ek. Selain itu, klub sepak bola sudah terkenal dengan ketampanan mereka, seperti memiliki peraturan tak tertulis bahwa hanya lelaki tampan yang diizinkan untuk mendaftar.

Akan tetapi jika berbicara mengenai catatan prestasi, maka klub baseball-lah yang paling unggul. Mereka memiliki dua bintang di lapangan, yaitu; Kim Seok Jin—pacar Hyun Ah kelas 3-1 dan Kim Namjoon kelas 1-2—kudengar dia masih sendiri, jadi kau bisa mendaftar jika tertarik untuk menjadi teman kencannya.

Aku melirik ke arah buku-buku yang dibawa Taehyung. Setelah kami terdiam beberapa saat dan fokus memandangi lapangan sambil terus berjalan.

"Apa itu tugas kita beberapa hari yang lalu?"

"Seperti yang kau lihat. Ibu Park sepertinya bergadang semalam demi mengoreksi tugas-tugas kita."

Aku mengangguk samar lalu diam-diam menatap ke arah Taehyung—mengamati garis sempurna ciptaan Tuhan. "Berkali-kali dipikirkan pun, aku memang jatuh cinta padamu ... ah, maksudku aku sangat mencintai pelajaran Bahasa Inggris dan keberuntungan bagiku karena berada di kelas Ibu Park."

Lagi-lagi Taehyung tertawa kecil, setelah sebelumnya sempat mengernyit menatapku—kuharap dia tidak mendengar kalimatku yang pertama. Itu memalukan. Namun, dari cara Taehyung tertawa meski terdengar cenderung pelan, aku bisa menyimpulkan bahwa dia memiliki mood baik hari ini. Jadi Taehyung tidak akan menganggapku aneh seperti pertemuan kedua kami.

Berbeda denganku yang sejak pagi sudah dibuat bad mood oleh Jungkook. Percayalah sampai sekarang pun aku masih mengabaikan Jungkook, hanya berbicara sesekali hingga membuat Ha Na mengajukan protes.

Ha Na mengatakan, bahwa sikapku tidak berbeda dengan anak-anak usia lima sampai sepuluh tahun. Saat itu aku diam saja, menyalin kebiasaannya yaitu (pura-pura) tidur di kelas, hingga pulpen milik Pak Hwan Min Hyun sukses mendarat di kepalaku saat kelas Biologi.

Masih di lorong kelas, kami berpapasan dengan Ibu Bae Su Jin—guru Bahasa Inggris—rival Ibu Park. Kami menunduk sopan saat wanita itu melewati kami dan beberapa detik kemudian, Taehyung tersenyum kecil—disertai embusan napas. "Kau merasa beruntung karena tidak berada di kelas Ibu Bae Su Jin, bukan?" tebak Taehyung yang ternyata membuatku terperangah.

Apa yang dikatakan Taehyung barusan, sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Namun, karena Taehyung adalah murid baru maka, wajar jika aku cukup terkejut. O, jal—dia sangat cepat dalam hal beradaptasi.

Jadi tanpa sadar aku bertepuk tangan. "Kau mengetahuinya, padahal baru dua hari menjadi murid baru. Kau pasti satu-satunya orang yang memerhatikan keluh kesahku," kataku, sambil memberikan dua like dengan menggunakan ibu jari.

"Lebih tepatnya, Seok Jin yang selalu berkeluh kesah," kata Taehyung datar, sekaligus membuatku membeku seketika.

Kata Ha Na percaya diri itu baik dan menurutnya, aku kurang dalam hal itu. Namun, kupikir saat ini kepercayaan diriku terlalu berlebih.

Oh, Tuhan! Memangnya aku siapa bisa berpikir bahwa Taehyung memerhatikanku? Aku bahkan jauh dari daftar gadis ideal Taehyung dan masih dalam tahap berjuang. Meski sebenarnya aku belum memulai apa pun, selain berencana meminjam buku di perpustakaan sekaligus belajar di sana.

Aku tidak memberikan tanggapan lebih setelahnya, merasa cukup malu atas perkiraanku sendiri dan memutuskan untuk menatap lurus ke depan. Kami terus berjalan menuju kelas 2-2, dalam keadaan senyap, hingga Park Jimin—sang ketua kelas—menghampiri kami dari langkah pertama memasuki kelas dengan ekspresi luar biasa heboh.

"Kudengar, kepala sekolah akan memajang nilai ujian akhir semester kita!" seru Park Jimin, membuat suasana menjadi panik dan menjadi ricuh oleh keluh kesah para murid bernilai rendah.

Salah satunya aku. Namun, sebisa mungkin kusembunyikan kepanikan tersebut. Pasalnya, di sebelahku ada Taehyung dan dia dilarang untuk mengetahui tingkat kecerdasanku.

Aku menghela napas panjang. Ingin menghampiri Jungkook dan meminta pertolongan. Namun, kutahan keinginan tersebut karena Jungkook sedang berbicara dengan Ha Na kemudian menatapku cukup lama.

Tatapan yang dalam bayanganku seolah-olah mengatakan, "Lihatlah, apa kau bisa melakukannya sendiri? Belajar saja dengan Taehyung kau ingin menarik perhatiannya karena suka sesaat itu, 'kan?" Atau bisa saja Jungkook mengatakan hal yang bersifat meremehkanku seperti, "Kau tidak akan bisa berbuat apa-apa. Sejauh ini bukankah kau hanya bergantung padaku?" Atau lebih buruknya dia hanya mengatakan tiga kata kejam yaitu, "Aku tidak akan menolongmu."

Mendecak pelan, kukibaskan tanganku di atas kepala sekadar menjauhkan pikiran berbau negatif mengenai tatapan Jungkook. Percayalah kenyataan itu membuatku semakin kesal. Jadi karena tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Jungkook, aku memutuskan untuk kembali ke perpustakaan—meminjam buku—belajar seorang diri.

Bagaimana pun, kemungkinan besar gosip yang dikatakan Park Jimin akan menjadi kenyataan dan jika hal itu terjadi, maka Taehyung tidak boleh mengetahui seberapa bodohnya diriku. Ini memang cukup mendadak. Namun, Taehyung tetap harus melihatku sebagai gadis pintar dan lain-lain, agar aku memiliki amunisi saat menyatakan perasaanku nanti.

Setidaknya jika Taehyung ingin menolakku, dia masih memiliki alasan untuk berpikir terlebih dahulu.

Berpikir bahwa aku telah masuk ke dalam kriteria gadis idamannya dan harus diperhitungkan.

"Sa Na, apa kau ingin pergi menemui kepala sekolah?" tanya Jimin dengan nada cemas, saat menyadari keinginanku untuk pergi.

Aku menahan langkah, menoleh ke arahnya dan segera berujar, "Daripada bertemu, aku lebih suka menyiapkan amunisiku." Lalu aku pergi begitu saja—menuju perpustakaan—mengabaikan fakta bahwa aku sendiri tidak tahu harus mulai belajar dari mana.

Satu-satunya yang kutahu hanyalah, jika kau membaca buku pelajaran maka itu berarti kau sedang belajar.

***

Mengambil langkah pertama di perpustakaan, suasana senyap langsung menyambutku, memberikan perasaan seolah hanya aku yang menjadi satu-satunya manusia di ruangan ini, jika mengabaikan suara stepler dari petugas perpustakaan.

Sang petugas perpustakaan—Nona Minji—memberikan senyum ramahnya—memamerkan dua lubang di kedua pipinya saat pandangan kami tidak sengaja bertemu. Aku melangkah canggung, menghampiri meja Nona Minji sekadar bertanya tentang buku apa yang paling sering dipinjam oleh murid-murid SMA Jaryong.

Yang mana pertanyaan itu, merupakan pertanyaan terbodoh sekaligus menandakan, bahwa selama ini aku hanya bermain-main di sekolah.

Nona Minji tersenyum simpul kemudian mengecek komputer dengan cekatan. "Mata pelajaran apa yang kau sukai, Sa Na?" tanya Nona Minji dengan pandangan masih tertuju pada layar komputer.

"Bahasa Inggris."

"Dan pelajaran yang selalu membuatmu mengantuk?"

"Matematika, fisika. Aku tidak bisa fokus lebih dari sepuluh menit," kataku dengan nada frustrasi.

Nona Minji mengalihkan pandangannya ke arahku. Ia tersenyum lagi seolah ingin memamerkan dua lubang di pipi yang membuatnya tampak manis. "Kalau begitu kau bisa meminjam buku Many Worlds Interpretation Theory. Aku yakin kau akan menyukainya."

Aku mengernyit sesaat. Menyadari bahwa pembahasan tersebut tidak termasuk dalam kurikulum sekolah. "Aku ingin sesuatu yang bisa membantuku untuk mempersiapkan ujian."

"Ne ... tapi kau harus mencintai pelajarannya terlebih dahulu jadi—"

"Baiklah. Aku mengerti," ucapku memotong ucapan Nona Minji kemudian menunduk sedikit. "Kamsahamnida."

Nona Minji mengangguk kemudian sebelum kepergianku, buru-buru ia memberikan secarik kertas berisi call number yang cukup membuatku bingung.

"Kau bisa mendapatkannya dengan mudah jika mengikuti panggilan nomornya," kata Nona Minji dan aku hanya mengangguk malas lalu pergi begitu saja.

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Nona Minji, hingga harus memberikan saran agar aku membaca buku tentang Teori Banyak Dunia. Mendengar dari judulnya saja, aku sudah mengetahui bahwa itu berhubungan dengan Fisika. Namun, semua orang pun tahu bahwa di kurikulum SMA kami tidak membahas itu.

Jadi ketika sampai di depan salah satu rak buku, lagi-lagi aku dilanda kebingungan.

"Terlalu banyak buku dan kau tidak tahu harus memulai dari mana," ungkapku dengan nada berbisik, sambil memandangi deretan buku-buku tebal di rak kemudian mengembuskan napas. "Baiklah, pilih saja buku  bersampul paling menarik sesuai dengan kelas yang kau ambil, Sa Na."

Sebisa mungkin, aku menyunggingkan senyum lalu segera memilah buku di dalam rak, hingga berhasil mengumpulkan lima buku; dua buku kumpulan soal, satu buku Matematika, satu buku Biologi, dan satu buku yang disarankan oleh Nona Minji. Aku membawanya ke salah satu meja dekat jendela—berhadapan langsung dengan pohon pinus di kebun sekolah. Lalu, lagi-lagi aku megembuskan napas berat.

Sebenarnya aku tidak terlalu suka belajar, tetapi demi mendapatkan cinta Kim Taehyung aku harus melakukannya. Memang sedikit membuatku frustrasi hari ini. Bahkan saking frustrasinya, aku tidak tahu bahwa ada orang lain yang sedang mengamatiku.

Setidaknya sampai mereka menegurku di waktu bersamaan dengan dua bahasa yang berbeda. Namun, bermakna sama, yaitu; Boleh aku membantumu? Dan may I help you?

Aku cukup terkejut karena hapal siapa pemilik suara tersebut, hingga membuatku mengangkat wajah, memutar kepala ke depan dan belakang demi memastikan siapa yang sedang bersamaku, serta mencari tahu sejak kapan mereka di sini.

Dan tanpa sepengetahuan siapa pun, tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang.

*****

What do you think about this part? Im sorry to give you long chapter but I hope you enjoy.

Thx you so much for reading, I hope you can give me a vote and comment.

Fyi: Next chapter will be 2000 words so once again i'll say sorry.

I love you 💜

Btw kepo gak sama teori banyak dunia? Kalau kepo mau kubahas buat next chapter sih. Pendapatnya dund please.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro