Devil's Act #5
Harry sebenarnya ingin menjemput Emily, yah, sekalian agar dia juga bertemu dengan Brie. Tapi dia benar-benar tidak bisa sekarang, dia sedang dalam pengawasan Dad. Kontrol mingguan, Dad akan datang ke rumahnya dan meninjau Harry selama satu jam penuh. Harry tahu ini sangat kekanakan tapi percaya atau tidak, Harry senang dengan kegiatan ayahnya. Ini adalah satu-satunya cara agar Harry bisa berkomunikasi dengan ayahnya.
"Aku dengar kau sudah punya kekasih?"
Harry sudah yakin pertanyaan ini akan keluar. Ayahnya punya banyak mata dimana-mana.
"Belum, hanya teman dekat."
"Kau mau kencan dengan teman dekatmu malam ini?"
"Bisa dikatakan seperti itu."
"Apa aku menganggu acaramu?"
"Tidak, Dad. Aku justru senang kau datang kesini."
Ayahnya menyeringai, Harry bergidik ngeri, "Kau senang, huh? Kau senang aku membuang waktuku mengurus tingkahmu yang selalu menyusahkan?"
"Bukan seperti itu, Dad."
"Sweetheart." Suara lembut seorang wanita itu datang dari wanita tua di sebelah ayahnya. "Bukankah kita lebih baik pergi dan membiarkan Harry kencan dengan teman dekatnya? Biarlah Harry menikmati masa mudanya."
Tatapan kebencian Harry torehkan sepenuh hati ke wanita tua itu. Jika ada satu orang yang layak disebut iblis selain dirinya, maka wanita itu adalah kandidat yang paling tepat. Wanita itu menguasai ayahnya... hampir di segala hal. Wanita itu adalah perusak rumah tangga ayahnya dan ibunya... wanita itu iblis licik yang menghancurkan keluarganya dan kasih sayang ayah Harry padanya. Setiap detik, keinginan Harry membunuh wanita itu begitu kuat.
Sesuai dugaan, Dad menurut. Mereka bergandengan tangan keluar dari rumah yang diberikan untuk Harry sebagai kado ulang tahun ke 17 - nya. Saat bayangan mereka menghilang, hal pertama yang Harry lakukan adalah membanting botol wine di meja.
Harry marah. Dia sedang dalam kondisi mood buruk tapi Harry pemain profesional, dia harus menepati janjinya dengan Emily.
Dia telah memesan restoran paling mahal seantero London. Dia ingin mengambil hati Emily dengan kemewahan, ketika hati itu bisa direbut... dia mungkin saja bisa mengambil hal lain, yang seratus kali lebih nikmat.
Harry tahu dia sudah berjanji pada Brie untuk tidak menyentuh Emily selama Brie siap jadi malaikat Emily tapi kalau Emily yang meminta atau mungkin saja pasrah... laki-laki normal mana yang akan menolak?
Tidak butuh waktu lama Emily datang ke bangku yang sudah dipesan Harry. Gadis itu terlihat sangat menawan dengan gaun putih tanpa tali.
"Harry, kau sudah lama?"
"Tidak, my angel. Aku juga baru datang. Apa kau mau pesan makanan sekarang?"
"Boleh. Samakan saja pesananku dengan punyamu."
Harry menurut. Mereka memesan Beef Wellington, menu andalan restoran itu. Sambil menunggu makanan siap, Harry mencari cara mengambil lagi hati lunak Emily.
"Apa tiga hal yang paling kau suka di dunia ini?"
"Aku suka suka salju, piano, dan buku."
Harry tersenyum senang. Setidaknya ada satu hal yang bisa membuat Emily luluh di antara tiga hal itu.
"Kau punya lagu favorit?"
"Banyak sekali."
Harry tidak bertanya lagi. Dia bangkit dan meninggalkan Emily sendirian yang masih dicekam oleh kebingungan.
Well, Harry biasanya tak perlu sampai sebegininya ketika sedang mendekati seorang wanita. Secara alamiah tanpa paksaan, para wanita justru yang akan mengorbankan diri untuk Harry. Tapi ini beda, ini kelas berat dan ini yang akan membuat gadis yang lain bakal tunduk padanya. Harry akan memainkan emosi Emily, dia harus terikat dengan Emily agar bisa menarik Brie makin dekat.
"My Angel, bertemu denganmu adalah suatu keajaiban luar biasa yang sulit dipercaya."
Sekali lagi Harry jadi pusat perhatian. Dia duduk di depan piano. Semua mata memandang dirinya tapi pandangan Emily saat ini lebih penting. Dia senang ternyata Emily terpaku melihatnya.
"Dan lagu ini menggambarkan perasaanku padamu. It's so unbelievable."
Unbelievable dari Craig David adalah cara jitu untuk meluluhkan hati wanita. Lagu ini tercetus begitu saja olehnya, biasanya wanita suka dengan hal-hal manis. Menurutnya ini lagu cukup manis.
Semua orang bertepuk tangan, pujian yang pantas disematkan Harry bahkan ada beberapa yang memfoto dirinya, Harry tebak foto itu pasti akan dijual pada paparazzi. Seperti biasanya.
Begitu mata Harry terhenti di Emily, dia terkejut melihat reaksi Emily.
Gadis itu duduk dan berusaha menghentikan laju airmatanya. Hell, anak itu benar-benar punya tingkat sensifitas tinggi. Bakal mudah mendapatkannya. Bahkan terlalu mudah.
***
Urusan dengan Emily berjalan sangat lancar, terlalu lancar malah. Emily bahkan bisa bersikap agresif dengan mencium pipi Harry sebelum turun mobil. Lihat kan, wanita yang biasanya menyerahkan diri padanya.
Sekarang tinggal masalah Brie. Harry menyiapkan hal yang lebih besar lagi dengan target utamanya. Rencananya dia akan menghabiskan satu hari penuh bersama Brie. Dia akan mendekatkan hati Brie... gadis itu sangat sulit ditebak, Harry butuh dekat lebih banyak dengan Brie.
Pagi-pagi hari sekali Harry mengirim salah satu supirnya untuk menjemput Brie. Di dekat tikungan blok rumah Brie, Brie pindah mobil ke mobil sport Harry.
Brie menekuk wajahnya, matanya sembab. Apa dia habis menangis?
"Ada apa denganmu?"
Brie melotot, "Really Harry? Kau bertanya ada apa denganku setelah kau merusak tidurku? Aku baru tidur jam empat pagi dan kau datang jam setengah lima pagi!"
"Kau sudah dapat ijin dari Paman dan Bibi mu untuk pergi?"
"Mereka bahkan belum bangun sekarang! Lagipula, aku sudah besar, tidak perlu ijin khusus lagi. Aku sudah 17 tahun!"
"Baiklah. Tapi apa kau sudah mandi?"
"Setidaknya aku sudah mencuci muka, gosok gigi, dan menyemprotkan parfum. Kau tidak akan kebauan, percayalah."
Harry mengangguk. Dia terus meneror Brie dengan sebanyak mungkin pertanyaan agar dia bisa mendengar celotehan panjang Brie dengan nada tingginya. Damn, Brie sangat seksi ketika marah.
"Kemana sebenarnya kau akan membawaku?"
"Ke tempat favoritku."
"Tunggu... tempat favoritmu semacam hotel?"
"Tentang saja, aku tidak berniat menggarapmu... setidaknya dalam waktu dekat."
"Kau tidak akan menyentuhku! Kau sudah berjanji!"
Perjanjian bodoh. Brie setuju jadi kekasih gelapnya asalkan Harry tidak menyentuhnya dengan intim. Lucu sekali bukan, bahkan Harry tidak lupa kejadian kemarin saat Brie membalas agresif ciuman Harry.
"Tapi kalau kau yang menawarkan, aku bisa apa?"
"Tidak akan pernah, dasar bajingan!"
"Benarkah aku bajingan? Well, setidaknya gen kebrengsekan dari ayahku tersalur baik di tubuhku."
Brie melunak. Dia salah tingkah. Dia tidak bertanya lebih jauh lagi tentang hal pribadi Harry. Harry suka dengan sikap menghargai privasi orang lain yang Brie lakukan, tapi dalam hatinya Harry ingin bicara tentang masalah ini. Harry ingin terbuka pada satu orang saja tentang perasaan yang selalu dia pendam dan dia tutupi, dia ingin ada seseorang yang melihat kerapuhannya. Dan Brie memenuhi kualifikasi itu.
Brie memasang earphone di telinganya dan mencari-cari lagu disana. Suasana hening selama beberapa menit sebelum akhirnya umpatan Brie keluar lagi. Brie mengantungi ponselnya sebal.
"Kenapa?"
"Baterai habis!"
Harry menyerahkan ponselnya ke Brie. "Dengarlah lagu-laguku."
Tidak ada pilihan lain, Brie menerima pemberian itu. Brie melotot saat melihat Playlist khusus Harry yang bertuliskan namanya.
"Kau suka ZAZ, Keane, dan Radiohead?"
"Itu lagu kesukaanmu, apa kau tidak lihat Playlist itu memakai namamu."
"Darimana kau tahu?"
"Ingat saat aku meminjam ponselmu di dapur? Aku tidak hanya mencuri nomormu tapi lagu-lagu yang kau sukai. Setidaknya lagu kesukaanmu tidak buruk... aku cukup menyukainya."
"Tentu saja, aku punya selera musik yang bagus."
"Ya, tentu saja."
"Apa perjalanan ini memakan waktu lama?"
"Lumayan."
Brie mendesah pelan. Tidak ada argumen lagi dari mulut Brie. Anak itu mendengar lagu dengan volume sangat kencang dan mencoba untuk memejamkan mata. Brie sudah memberikan kode agar tidak diganggu. Harry menurut saja toh sebentar lagi dia akan menguasai Brie dalam waktu lama, well, dia akan berusaha untuk menahan Brie dalam waktu lama. Waktu terbaik, tidak pantas untuk dibuang percuma.
Mereka sampai satu jam kemudian. Brie tampak polos dan lugu dengan mata tertutupnya. Lima belas menit Harry melihat tanpa bosan wajah tidur Brie. Earphone yang terpasang di telinga Brie dia lepaskan, ponsel yang terjatuh di paha Brie dia ambil kembali. Momen terbaik ini pantas untuk direkam. Harry mengambil sebanyak mungkin foto Brie. Damn, dia benar-benar menyukai anak ini.
Tak lama kemudian Brie bangun, matanya jauh lebih segar. Dia memandang sekeliling sambil menyipitkan mata, "Kita sudah sampai?"
"Yaps... mau turun?"
"Dimana ini?"
"Well, aku ingin kita sedikit berolahraga. Kita akan berjalan selama sepuluh menit untuk sampai ke tempat yang aku maksud."
"Aku baru bangun dan kau minta aku berolahraga? Kau memang brengsek."
"I'm proud to be jerks."
"Whatever."
"Lalu ransel itu untuk apa kau bawa?"
"Persiapan. Aku pria penuh perencanaan."
"Whatever."
Harry senang dengan fakta bahwa Brie tidak banyak mengeluh selama perjalanan. Brie cenderung menikmatinya. Beberapa kali Brie berhenti berjalan tapi bukan untuk mengambil napas atau istirahat, dia malah sibuk menghirup aroma daun atau batang pohon yang menurutnya harum. Brie unik, Harry suka.
"Aku suka udara disini. Sejuk." Brie berjalan di depannya.
"Aku bisa tahu tiga hal yang kau suka."
"Tebaklah."
"Pertama kau sangat suka tomat buah, kedua kau sangat suka wewangian alam, dan..."
Brie menantikan penuh takjub. Tebakan Harry berhasil. Observasi dia selama ini tidak sia-sia, "Dan aku tentu saja, hal krusial yang paling tidak boleh dilewatkan."
Brie memutar bola matanya dan memukul dada Harry. "Sialan kau!"
Mereka kembali berjalan, kali ini sejajar. Harry semakin senang saat Brie membiarkan tangan mereka bertaut. See, tidak akan pernah ada satu wanita pun yang bisa menolak pesonanya!
Akhirnya perjalanan jauh yang terasa hanya satu detik itu berakhir. Buah dari keringat mereka adalah pemandangan indah di depan mereka. Air terjun dengan sungai yang sangat jernih. Harry melihat reaksi Brie, "Welcome to my favorite place in the world! Kau suka?"
Brie masih terpaku, sekali lagi Harry bertanya tapi bukan jawaban yang Harry dapat. Brie menjatuhkan diri dalam pelukan Harry, "Terima kasih sudah membawaku ke tempat ini. Aku suka. Suka. Sangat suka sekali."
"Kau mau tahu cara yang tepat untuk menjernihkan pikiran secara alami?"
"Tell me."
Harry menunjuk air terjun setinggi tiga meter itu. "Rasakan saja aliran yang jatuh dari air terjun itu. Kau pasti akan merasa jauh lebih baik."
"Sayang sekali, coba kau beritahu aku kalau kita akan bermain dengan air, aku pasti akan membawa pakaian ganti."
"No need to worries. Everything's well prepared." Harry menurunkan ransel hitamnya dan mengeluarkan baju-baju bahkan pakaian dalam pria dan wanita dari dalam sana.
"I'm loss of words."
"Kau memang tidak perlu bicara apa-apa lagi, kesanalah dan rasakan keajaiban!"
Brie mengangguk setuju. Senyum lebar Brie sekali lagi Harry abadikan secara diam-diam. Dia berpura-pura mengecek keadaan ponselnya sebelum menaruh ponsel itu di atas rumput.
Harry lalu berjongkok di depan Brie. "Naiklah ke punggungku." Harry tidak dapat penolakan kali ini, Brie langsung naik ke punggungnya.
Selama melewati sungai itu, Brie bahkan mengajak Harry bercanda dengan menjewer telinga Harry seakan-akan itu tali pacuan yang bisa menggerakkan Harry. Mereka berdua tertawa lepas, penuh bahagia.
Brie seperti anak kecil bermain di bawah guyuran air. Berkali-kali dia mencipratkan air ke wajah Harry yang tidak Harry balas sama sekali. Harry hanya diam dan merasakan detakan jantungnya membunyikan hal tak wajar untuk pertama kalinya.
Fokus Harry pada detak jantungnya kembali pecah saat lagi-lagi Brie membuat tingkah dengan mendorong Harry tapi malah kakinya yang terpeleset oleh batu licin, untung saja Harry sigap. Seperti dalam roman picisan, mereka berdua ada dalam posisi itu... posisi dengan tangan Harry tersampir di pinggang Brie dan wajah Harry yang terlalu dekat dengan wajah Brie.
Tapi Harry kalah cepat dengan Brie. Brie yang memulai ciuman mereka. Tangan Brie meremas rambut belakang Harry selaras dengan intensitas tarikan lidah mereka yang makin agresif. Kalau bukan untuk kebutuhan napas, mereka tidak akan berhenti. Tapi jeda itu pun hanya sesaat sebelum nafsu kembali menguasai dua anak remaja di bawah guyuran air terjun yang menjadi saksi.
Detakan jantung tak wajar Harry bergemuruh kembali. Harry tidak bisa menebak apa yang sedang terjadi, membuat definisi ini justru akan membuat perasaan lain mendominasi. Yang Harry butuh hanya satu hal : kesejukan dan Brie telah membuat dia menikmatinya. Cukup itu saja yang harus Harry tahu.
***
A/N :
What do you think about this chappie?
Btw, kalau misalnya ada hal yang nggak nyambung kasih tahu aja ya. Dan sorry buat typos.
Jadi gini, aku tuh sebenernya pengen buat Harry jadi bener-bener brengsek tanpa liatin sisi lemahnya dia, tapi berhubung pengen ada intrik lagi jadi ditambah deh dngan masalah keluarga Harry.
Oh ya, aku mau buat pengakuan aku ini Fans "After " nya Anna Todd karena After itu cerita pertama yang aku baca di wattpad, aku mau jujur kalau aku nyolong scene Hessa di sungai, sama Hessa di mobil yang si Harry ngasih hape dia ke Tessa buat dia dengerin. Tapi tenang, sbagai Fans yang baik aku nggak ngambil 100 persen adegan yang sama persis. Aku punya daya khayal sendiri kok. Wkwk.
And the last, sorry if you don't get the feel like I do. Honestly, I really enjoy write their scenes.
Maaf kalau A/N nya panjang keterlaluan. ✌✌✌
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro