Devil & Angel's act
Cuaca di luar lumayan menggigit. Musim gugur tidak pernah jadi favoritnya tapi pengecualian untuk saat ini. Sesosok wanita cantik tidur di kasurnya dan memeluk tubuhnya, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat musim ini lebih baik.
Harry membawa Brie ke penthouse dia di arrondissement(blok/distrik) yang tak begitu jauh dari Ile St. Louis. Pilihannya jatuh ke Marais yang sama-sama terletak di right bank, hanya saja Harry tetap konsisten dengan suasana sunyi. Dia tidak suka dengan hype yang Marais berikan... dia memang bukan orang Paris asli tapi dia tahu kalau beberapa area disana dikhususkan untuk kaum gay. Damn, he's still normal.
Harry menaruh kembali ponsel Brie ke tas kecil hitam yang selalu dibawa Brie. Iseng saja, dia mengganti nama dia di ponsel Brie dari Connard menjadi Mon Mec (my man/my bf). Lalu tak ketinggalan dia mentransfer sebagian foto selfie Brie ke ponselnya... hal lucu adalah Brie jarang selfie. Di ponselnya hanya ada tak lebih dari dua puluh foto selfie. Benar-benar langka untuk ukuran manusia secantik ini.
Sebagai imbalan memberikan Harry banyak foto, Harry balas melakukan banyak selfie di ponsel Brie. Dari wajah sangarnya hingga sisi lelucon nya... dia juga memanfaatkan situasi saat Brie tertidur untuk wefie bersama Brie. Ah, khusus yang satu itu, Harry juga menyimpan di ponselnya.
Mungkin tatapan intens Harry punya pengaruh besar agar Brie terbangun. Brie tidak sadar kalau dia sedang berdua saja dengan Harry, dengan sempoyongan dia berjalan keluar kamar, sayangnya saat membuka pintu, dahi dia terbentur daun pintu.
"Are you alright?"
"Fine. Just a little fucking headache taking control all over my body."
"Do you need tisane?"
Brie masih belum sadar sepenuhnya dan dia mengangguk, "That's all i need."
"Kalau begitu, marilah kita keluar." Tangan kanan Harry membuka kusen pintu sedang tangan sebelahnya mendapat tempat yang sangat baik di pinggang Brie. Iseng saja Harry memukul bokong itu ketika keluar dari kamar.
"Ouch... what the hell are you doing?"
"Just check out my property."
"What?"
Mata sayu Brie melebar. "What are you doing here?" Segera ia mengambil sikap defensif dan menjauh beberapa langkah dari hadapan Harry.
"Ini tempatku. Seharusnya kau bertanya untuk apa aku disini? Atau apa yang sudah kita lakukan disini?"
Brie segera melirik pakaiannya, "Do we?"
"Unfortunately we don't do anything. I don't like shares the intimate with sleeping beauty."
"Aku ingin pulang!"
"You can't, mon ange. Aku sudah bilang ke Emily kalau kau akan tinggal dengan keluargamu di Paris."
"It's alright. Kalau begitu bawa aku ke rumahku." Harry sadar kalau ada yang tidak beres ketika Harry menyebut kata rumah. Mata Brie tidak bisa bohong, Harry yakin ada masalah berat antara Brie dan keluarganya. Lagipula, itu alasan yang masuk akal kenapa Brie bisa sampai pindah ke Paris.
Well, tapi sayangnya Harry tidak ingin mengecek apapun tentang kehidupan Brie lagi. Dia tidak suka mengorek terlalu banyak informasi dari objeknya.
"Nah. Kau akan terkunci disini... bersamaku."
"You're nuts. Aku tidak mau disini, apalagi bersamamu!"
"Kau akan suka. Aku akan menghabiskan malam bersamamu."
"Kau tidak akan bisa menyentuhku lagi!"
"Really? That's too bad. Tapi sebenarnya tujuanku memang bukan untuk menyentuhmu, aku ingin menghabiskan malam denganmu."
"Aku tetap tidak mau!"
"Sayangnya kau tidak punya pilihan lain, mon ange." Harry mengeluarkan kunci dari kantungnya. "Aku yang memegang kunci. Aku yang memegang kendali."
"Fuck you, Styles."
"I really love your dirty mouth. It's so sexy."
"Damn!"
Kegiatan mereka diintrupsi oleh suara dering ponsel Harry. "Emily." Harry menunjukkan layar ponselnya ke Brie.
"Angkatlah!"
Harry menurut. "Âllo, my angel." Harry melirik ekspresi Brie yang agak tertekuk saat Harry memanggil Emily dengan panggilan kecilnya.
"Aku akan kesana sebentar lagi. Kau bersiaplah. Aku akan membawamu keliling Paris."
"Tidak lama. Tunggulah aku."
"Oke. Bye, my angel."
"Kalian mau kemana?"
"Hm... hotel mungkin?"
Brie mengacak tangannya, "Quoi?"
"Easy... I'm kidding. Kemana aku membawa Emily, itu tak akan jadi masalah. Aku yakin aku akan membuat dia senang. Bukankah itu yang kau inginkan, membuat sepupumu senang?"
"Tapi jangan sentuh dia!"
"Oke." Harry menambahkan dalam hati kalau dia tentu tidak akan menolak jika Emily yang mulai lebih dulu. Itu keinginan Emily, bukan?
"Ya sudah kau pergilah!"
"Aku sudah membuatkan sarapan untukmu. Dan ada baju ganti wanita di lemari pakaian. Dan..."
"Oke. Aku mengerti. Pergilah!"
Sebelum keluar dari penthouse-nya, Harry memberitahu satu kejadian beberapa waktu lalu, "Omong-omong tadi Lindley menelponmu."
"Qui?"
"Temanmu... Levi."
"Maksudmu Liam?"
"Ya... he was called you. Dan aku menjawabnya."
"Quoi?"
Harry tak mendengar kemarahan Brie lagi karena pintu sudah dia tutup dan dia kunci. Kalau mengingat kejadian tadi lumayan lucu juga. Teman Brie... Lindford, Levi, or whatever itu kaget setengah mati karena Harry menjawab panggilan Brie di subuh hari. Harry pun memanasi anak itu dengan mengatakan kalau ia dan Brie telah mabuk dalam malam yang panas. Lagipula, aneh sekali anak itu menelpon di pagi buta? Buat apa? Damn... kalau untuk urusan ini baru Harry ingin ikut campur.
***
Tidak ada yang lebih baik daripada pagi hari kau dibuat sarapan oleh Harry. Ya, Harry bisa masak dan masakan itu sangat lezat! Setelah Harry datang kembali ke penthouse miliknya, Harry membuatkan sarapan untuk Emily. Emily awalnya tidak percaya, orang seperti itu Harry menekuni dunia dapur? Tapi setelah dia lihat dengan mata kepalanya sendiri, dia percaya... Harry bisa!
Emily jadi malu karena dia bahkan tidak bisa masak. Dekat dengan kompor saja sudah menimbulkan ketakutan dalam dirinya. Tapi demi Harry, mungkin dia akan mencoba untuk belajar masak. Dia akan atasi phobia kompor dan apinya dan mengambil kursus memasak. Lalu kalau sudah sedikit lebih mahir, dia akan masak bersama Harry. Dia akan mengaduk makanannya dan Harry mengajari dia langkah demi langkahnya sambil memeluk Emily. Jeez, membayangkannya saja sudah membuat Emily senang.
"Kenapa kau tersenyum? Apa makanannya tidak enak?"
"Ini enak sekali! Aku tadi hanya membayangkan sesuatu."
"Let me guess..." Harry mengesap secangkir café au lait sebentar memberi jeda, "Kau pasti membayangkan aku, kan?"
Entah sudah semerah apa wajah Brie, dia malu sekali! Apa pikirannya bisa semudah itu ditebak? Lagipula salahkan Harry kenapa orang itu masuk terus ke dalam otak Emily!
"Apa kau memikirkan tentang kita memasak bersama?"
Croque Monsieur yang sedang dia kunyah hampir saja keluar dari mulutnya karena tersedak. Emily buru-buru meminum air putih untuk meredakan batuknya.
"Apa aku semudah itu ditebak?"
Harry tidak menjawab. Dia menikmati Café au lait -nya dengan mata terpejam menikmati. Indah sekali pemandangan di depan Emily, Harry duduk di dekat kaca yang berlatarkan pohon dengan daun sedikit demi sedikit berjatuhan. Emily tidak tahu harus mengatakan apa selain mengucap syukur karena sudah diberi keberuntungan sebesar ini.
Emily ingin menikmati suasana magis bersama Harry sampai dia tua. Sampai dia menikah dengan Harry. Sampai dia mempunyai anak-anak dengan Harry. Sepertinya tiga anak akan lucu. Ia mau anak pertamanya laki-laki bermata hijau dan berambut ikal seperti Harry. Lalu sepasang anak kembar perempuan yang manis.
"Kali ini apa kau memikirkan kita jalan-jalan mengelilingi Paris?"
"Kali ini kau salah. Aku memikirkan hal yang paling bahagia di dunia."
"Bersedia membaginya denganku?"
"Maaf. Aku ingin menyimpan impian ini secara pribadi."
Harry mendadak bangun dari kursinya. Dia berdiri membelakangi Emily. Harry berhadapan dengan pohon yang mengalami fase gugur sekarang.
"Omong-omong kau ingin jalan-jalan denganku? Keliling Paris?"
"Tentu saja!"
"Bagus. Setelah kau sarapan..." dia mengecek Rolex-nya, "Atau kau bisa sebut makan siang karena sebentar lagi waktu makan siang."
"Kemana kita akan pergi pertama?"
Harry mengangkat bahunya. Dasar, dia yang ingin membawa Emily pergi tapi dia bahkan tidak tahu kemana mereka akan pergi. "Ada tempat yang ingin kau kunjungi?"
Emily memutar keras otaknya. Sewaktu kecil dia pernah berkunjung ke Paris karena mengunjungi tempat Brie, sepupunya. Karena waktu dia dulu disana sangat sempit, dia jadi tidak bisa pergi ke salah satu ikon terbaik Paris.
"Louvre?"
"Aku kira kau akan menyebut Eiffel."
"Save the best for the last."
"Sure, my angel."
"Harry, aku tidak melihat Louis dan Niall. Kemana mereka?"
"Jangan kau pedulikan. Mereka itu pria dan mereka berada di Paris. Banyak tempat yang membawa kesenangan bagi para pria disini. Mungkin saja semalam mereka hook up dengan para gadis blonde lalu masih terlelap di hotel sampai sekarang."
Emily tidak bertanya lagi. Dia larut dalam makanannya, secepat mungkin dia lahap agar dia bisa jalan berdua dengan Harry. Rasanya seperti mimpi saja, berada di Paris dan kencan berdua dengan Harry. Ini yang namanya surga.
***
Brie mengakui kalau Croque Monsieur buatan Harry sangat layak masuk ke lidahnya dan dicerna oleh ususnya tapi Brie sulit fokus sekarang. Oh, tidak... ini bukan soal Harry. Oke baiklah, Harry memang brengsek. Brie benci dengan Harry, bahasannya untuk Harry masih sangat banyak tapi ada sesuatu yang lain mengganjal di hati Brie.
Ada dua alasan kuat kemarin dia mabuk berat. Pertama, ya... Harry... it's too obvious, indeed. Sedang yang kedua adalah kemunculan Jenner bersaudara.
Jenner bersaudara dan keluarganya adalah hal yang paling Brie takuti. Rahasia kelam Brie ada di tangan mereka. Sebisa mungkin Brie menjauh dari mereka dan memulai hidup yang jauh lebih baru di kota London.
Brie tidak bisa menceritakan masalahnya. Itu sangat memalukan dan terlalu hina untuk diingat. Brie jadi takut apa yang dikatakan Kendall benar, Brie tak mau tetap hidup di akar yang sama. Akar itu sudah tidak layak dipakai, Brie yang dulu sudah mati. Brie sudah menjadi tunas baru dengan akar yang baru dan perawatan yang baru pula. Brie benar-benar sudah berubah.
Kepala Brie tersembunyi di dalam lekukan kakinya. Dia masih menangis. Tangisan rasa bersalah atas masa lalunya yang begitu buruk.
"Maafkan aku." kalimat yang tak sempat dia ucapkan ke orang itu sudah ribuan kali Brie ucapkan.
Memang benar kata pepatah, kau akan mulai merubah diri jika kau sudah sadar kalau dirimu telah rusak. Tapi sungguh Brie sadar kalau dia salah, Brie tidak mau menjadi dirinya yang dulu lagi. Past is the past, right? No need to remember your fault, all you need just think to solve your problem. Past maybe hurt but present it's more important thing in your life.
Brie mengingatkan dirinya sekali lagi.
Masa lalunya tidak berhak untuk menjatuhkan masa depannya.
Tapi tetap saja fakta kalau dia memang punya kesalahan fatal akan terus menghantuinya, sampai dia menarik diri dari dunia fana ini.
***
A/N :
Konflik utamanya udah mulai dibuka pelan-pelan. Ya... bakal ada konflik utama yang ternyata ngebuat harbara saling berkaitan, Well, secara nggak langsung sih Yah rencananya sih mau dibuat kayak gitu tapi kadang ide suka belok di tengah jalan. Wkwk
Berharap banget bisa selesain ff ini karena nggak mau ff nya jadi jamuran kayak cerita aku yang Lonely Lullaby. Cerita itu waktu itu dibuat tahun 2014 tapi sampe tahun 2016 belum kelar juga. Diusahain diterusin malah hasilnya gak jelas. Yah, semoga aja nasib di ff nggak sama kayak yang itu. Amin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro