#26 : Happiness Belong To Us
Song for this chapter : Right Now - One Direction
***
Tidak ada hal yang lebih mengejutkan saat Brie melihat ada sosok itu di rumahnya. Hari masih pagi, ibunya heboh sendiri dan ketika dia melihat keadaan, dia sudah melihat Harry sedang berbincang hangat dengan ayahnya.
Ibunya masih tidak menyukai Harry. Wajar saja, ibu mana yang bisa memaafkan seseorang yang sudah membuat hidup anaknya bagai di neraka, tapi ayahnya masih tetap bijaksana. Brie diminta untuk berbicara berdua saja dengan Harry.
Dan disinilah mereka berada. Di salah satu kafe yang tak jauh dari rumahnya. Brie mengusulkan tempat terbuka karena Brie masih takut. Sifat seseorang itu sulit untuk diganti, Brie takut Harry masih menyimpan dendam.
"Kau sehat?" tanya Harry agak sedikit gugup.
Di luar segala ketakutan Brie. Dia senang bisa melihat Harry lagi. Harry sudah banyak berubah, dia juga sudah sukses sekarang. Dengan tampilan dan segala hal yang dia punya pasti banyak wanita yang mendekati Harry. Atau bisa saja Harry sudah menjadi milik wanita lain. Memikirkannya membuat Brie sedih.
"Brie. Ada apa?"
Brie sadar dari lamunannya, dengan canggung dia menggeleng, "Tidak ada apa-apa, Harry. Aku hanya memikirkan beberapa hal."
"Brie..."
Ucapan Harry terhenti karena dering ponsel Brie. Cepat-cepat dia mengangkatnya, itu dari François, "Âllo?"
"Kau ada dimana? Kata ayah dan ibumu kau sedang menemui teman lama. Jadi, disneyland untuk weekend ini batal?"
"Jangan! Aku tetap akan pergi. Tunggu aku di rumah, urusanku tidak akan lama lagi selesai."
Brie agak sedikit tidak nyaman dengan pandangan tajam mata Harry. Brie tahu Harry sedang dalam kondisi mood yang tidak baik. Itu pertanda buruk, 'kan?
"Kau akan pergi?" tanya Harry sesaat setelah sambungan telepon dia dan François selesai.
"Kau ada urusan apa, Harry?" Brie tidak sempat berbasa-basi lagi. Dia sudah ada jadwal kencan dengan François.
Setelah dia pikir masak-masak, ada baiknya Brie membuka sedikit hatinya untuk pria lain. Dan Brie ingin memulai semuanya dari awal dengan François. Dan weekend ini adalah kencan perdana dia dengan François.
"Kau akan pergi kemana?"
Brie memejamkan mata menahan kesal. Harry masih tidak berubah. Dia terlalu banyak bertanya dan menuntut. "Aku akan pergi kencan. Jadi, ada urusan apa kau disini, Harry?"
"Kau akan kencan?"
"Iya. Jadi tolong persingkat pertemuan ini. Kekasihku sudah menunggu."
"Kekasih? Kalian sudah berpacaran?"
Teknisnya belum tapi karena yang bertanya adalah Harry maka Brie mengangguk mantap. Dia ingin membuktikan ke Harry kalau dia sudah bisa menjalankan harinya tanpa terbayang sosok Harry lagi.
Well, tapi entah bagaimana caranya, ketakutan yang awalnya Brie takutkan malah tidak bereaksi. Brie justru berani bicara ketus dengan Harry, seperti yang dia lakukan dulu saat awal-awal mengenal Harry.
Mungkin ini efek terapi atau mungkin saja efek perubahan dalam diri Harry. Tapi untuk sekarang Brie sungguh tidak mau peduli.
"Kemana kalian akan pergi kencan?"
"Disneyland."
"Klasik. Rupanya pria pirang itu bukan pria yang romantis."
Ada yang tidak beres, Brie tahu hal itu, "Pria pirang? Darimana kau tahu hal itu?"
"Tidak ada yang tidak aku tahu, mon ange."
Panggilan itu. Sudah berapa lama dia tidak mendengarnya? Dia sungguh rindu cara Harry memanggil namanya seperti itu. Tapi sekali lagi, dia tidak layak mendapat nama panggilan itu.
"Jangan panggil aku seperti itu lagi, Harry. Dan lagi, apa kau memataiku?"
Harry meneguk café au lait nya perlahan sekali. Brie tidak percaya, buat apa anak ini mengawasi dia? Untuk menjatuhkan Brie lagi?
"Kau belum puas, Harry?"
"Apa maksudmu?"
"Aku mohon maaf kalau aku tidak jadi mati tapi aku mohon sekali, biarkan aku hidup. Aku tidak mau mati."
"Brie, apa yang kau bicarakan? Aku kesini bukan untuk membunuhmu, aku ingin kembali padamu."
"Kembali? Untuk apa? Untuk memukulku? Untuk menyakitiku? Untuk membunuhku perlahan-lahan?"
"Tidak, Brie. Demi Tuhan, aku tidak akan seperti itu lagi. Ijinkan aku membuktikannya."
Brie menggeleng dan melepaskan kehangatan genggaman tangan Harry. Dia bukan gadis bodoh yang dengan mudahnya tertipu pesona Harry. Brie tidak mau kembali tersakiti. Dia sudah cukup bahagia sekarang.
"Brie, please...."
"Aku sudah bahagia, Harry. Aku sudah punya kekasih, jadi aku mohon lepaskan aku."
Tangis Brie pecah setelah keluar dari kafe itu. Suasana hati Brie langsung memburuk. Sekarang Brie ingin mengunci diri di rumah dan menangis sejadi-jadinya. Dia ingin menumpahkan segala kesakitan dia yang terpendam selama tujuh tahun ini dengan air mata tapi Brie sudah berjanji pada François. Dia memang tersakiti tapi dia tidak mau orang lain kecewa dengannya. Semoga saja pergi berdua dengan François bisa memperbaiki suasana hati Brie yang kacau ini.
"Get a grip, Bridgette." katanya mencoba menyemangati diri sendiri. Ada masa lalu yang harus dilupakan dan ada masa depan yang harus dijalani. Kebahagiaan Brie ada di masa depan, dia harus bisa menghadapi semua ini.
***
Harry benar-benar tidak menyukai keramaian. Memuakkan melihat segerombolan orang tertawa seakan menjadi manusia terbahagia di planet itu sementara Harry malah merasa kesepian dan kesakitan. Melihat Brie dan pria pirang itu berpegangan tangan sepanjang jalan membuat emosi Harry naik. Dia ingin datang pada mereka, melepaskan tautan mereka, dan membawa Brie meninggalkan tempat wisata anak-anak ini. Tapi Harry tidak mau melakukan itu, dia tidak mau membuat keributan. Dia ingin melihat kebahagiaan Brie secara langsung, dari jauh.
Pasangan itu bersenang-senang, Brie tidak berhenti tertawa. Walaupun dia mual-mual dan pucat setelah naik roller-coaster. Mereka juga menaiki wahana lain yang tidak begitu berbahaya. Mereka berfoto bersama ikon Mickey Mouse. Mereka membeli cotton candy besar dan saling menyuapi satu sama lain. Mereka berlari-larian sambil membuat video kenangan dengan kamera mereka.
Hingga puncaknya di saat matahari mulai sedikit terbenam. Pria pirang itu sukses mencuri perhatian orang-orang yang untuk berkumpul. Pria itu meminjam sebuah gitar dari musisi jalanan di tempat itu, dan menyanyikan lagu bertempo cepat milik ZAZ yang berjudul Le Long De La Route. Salah satu lagu favorit Brie dan membuat banyak orang disana ikut tersenyum. Mereka bertepuk tangan dan beberapa di antaranya menari dengan pasangannya diiringi musik itu.
Brie pun tampak bahagia. Sementara hanya Harry yang bersedih di tempat itu. Dulu dia pernah bilang kalau dia akan bahagia ketika melihat Brie bahagia tapi praktiknya dia tidak merasa bahagia melihat Brie bersama orang lain. Harry merasa begitu bodoh dan sangat menyesal dengan segala sikap kekanakannya dulu. Dia ingin dia yang membuat Brie bahagia. Dia ingin ada di samping Brie membagi tawa bersama bukan berbagi kesakitan dan kesedihan.
Lagu berhenti, si pria pirang berlutut di depan Brie. Dia memegang tangan Brie, menatap gadis yang sempat dimiliki Harry itu dengan mantap dan mengeluarkan sebuah kotak merah kecil.
Harry menahan napas. Dia benar-benar sudah terlambat, bukan?
"Brie, tidak ada habisnya aku katakan padamu betapa aku sangat mencintaimu. Kau sudah menolakku dua kali tapi aku bukan pecundang yang menyerah begitu saja."
Harry merasa tersindir. Pria ini tetap berjuang walaupun sudah ditolak sementara Harry memulai berjuang saja belum. Tapi tunggu dulu... pria itu bilang apa? Dia ditolak oleh Brie dua kali? Apa jangan-jangan mereka belum menjalin sebuah ikatan? Brie bohong padanya?
"Kalau kemarin aku memberikan cincin padamu sebagai cincin lamaran kali ini aku sadar, aku sudah berbuat kesalahan yang fatal. Kita memang sudah lama kenal sebagai teman tapi sebagai kekasih kita belum pernah. So, would you be my girlfriend today? Maukah kau secara bertahap menjadi bagian dari diriku?"
Brie menangis di tempat. Dia tampak kebingungan. Harry lalu keluar dari tempat persembunyiannya, dia membuat banyak orang heboh karena kemunculannya. Harry mulai detik ini harus berjuang.
Harry ikut berlutut di depan Brie. Dia tidak memberikan Brie apapun. Dia hanya berlutut dan menunduk dan menjual kata-katanya, berharap Brie akan luluh dan mau membelinya.
"Harry! Apa yang kau lakukan disini?!"
"Brie, ijinkanlah aku berlutut disini, dihadapan banyak orang, aku ingin menyampaikan penyesalanku. Aku tahu akan sangat sulit memaafkanku atas semua tindakan tercela yang aku lakukan padamu."
Harry menarik napas dalam-dalam, "Biarkan aku menceritakan apa yang sudah aku lakukan padamu. Biarkan aku mendapat hukuman dari orang-orang ini karena sudah menyakitimu. Biarkan aku menebus kesalahanku lewat hal kecil ini."
Harry lalu berdiri. Dia membuka topi yang selalu dia kenakan sejak masuk ke area disneyland. Orang-orang mulai membawa mengeluarkan ponsel atau kamera mereka untuk merekam Harry. Memang Harry butuh banyak saksi untuk hal ini.
"Aku ingin kalian disini tahu kalau aku sudah brengsek sekali dengan gadis itu." Harry menunjuk ke arah Brie, "Kalian tahu apa yang sudah aku lakukan? Aku menyakiti dia secara mental dan fisik!"
"Harry... Hentikan!!! Tolong, jangan mulai lagi..." Brie sudah berlutut di tempatnya dan mulai menangis. Tapi Harry harus melakukan ini, dia ingin mendapat hukuman yang layak.
"Silakan kalian benci aku, silakan kalian hina aku, silakan kalian lempar aku dengan sampah saat aku bercerita. Aku layak mendapatkannya. Kalian boleh menyebar video pengakuanku ini, aku mempertaruhkan karirku sekarang.
"Tujuh tahun lalu aku bertemu dengan gadis itu, nama dia Bridgette Padget. Aku dulu sangat brengsek. Dulu aku menjadikan gadis itu dan sepupunya sebagai bahan taruhan. Aku memanfaatkan taruhanku pada sepupunya agar gadis ini bisa tunduk padaku. Dia sangat menyayangi sepupunya jadi dia mau menjadi kekasih rahasiaku agar aku tidak tidur dengan sepupunya dan memenangkan taruhanku padahal di saat bersamaan dia juga jadi bahan taruhanku.
"Dan waktu berlalu. Aku sadar aku sangat mencintai dia. Sangat sangat mencintai dia tapi cinta itu harus terkikis sementara karena dendam."
Suara parau Brie terdengar lagi, "Aku mohon, Harry. Hentikan semua ini."
Harry tidak mendengarkan Brie, dia tetap melanjutkan monolog dia, "Aku dulu punya adik... adik satu-satunya dan adikku dulu menjadi korban bully gadis yang aku cintai ini. Adikku meninggal. Saat aku tahu fakta itu, aku marah besar. Aku mulai memperlakukan gadis ini seperti sampah. Teman-teman di sekolahku dulu menjadi saksi apa hal bodoh yang sudah aku lakukan padanya.
"Aku memukulnya. Aku meninjunya. Aku menampar dia berkali-kali. Aku menginjak-injak badan dan harga dirinya. Bahkan aku juga membuat dia telanjang di depan umum..."
Para wanita di tempat itu membekap mulut mereka terkejut sementara isakan tangis Brie makin menjadi. Si pria pirang tak terima dengan tindakan dan ucapan Harry, dia meninju Harry kencang sekali. "Jadi kau orang yang membuat Brie menderita?"
Pria pirang itu menarik kencang kerah kemeja Harry. Harry mencoba menyingkirkan tangan itu, "Lepaskan. Aku belum selesai bercerita."
Satu pukulan lagi. Bahkan Harry sampai jatuh terlentang dengan pria pirang di atasnya yang terus-menerus memukul Harry sangat kencang. Harry tidak mengelak atau membalas, dia hanya diam mencoba meresapi kesakitan yang dulu juga pernah dialami Brie karena tangannya.
"Hentikan!!! Hentikan!!!" jerit Brie. Pukulan pria pirang itu berhenti. Dia memeluk tubuh ringkih Brie mencoba menenangkan.
Harry agak sedikit meringis setelah mencoba untuk bangkit berdiri. Dia membersihkan darah yang mengumpul di sudut bibirnya dan tersenyum kecut. Harry melihat lagi khalayak yang jumlahnya makin banyak. Harry memakai bahasa inggris saat berbicara, sengaja, karena dia pikir pengakuan dia ini bakal ditonton khalayak dunia.
"Aku dulu dibutakan oleh dendam... aku tidak peduli tangisan Brie. Aku menutup telinga saat Brie memohon ampun. Aku tetap melakukan tindak kekerasan. Bahkan gara-gara ulahku Brie diperkosa dan bunuh diri..."
Harry terisak. Di hadapan banyak orang dia tidak malu untuk menangis. Tangisan yang sudah dia tahan selama tujuh tahun akhirnya pecah. Biarpun dia laki-laki, biarpun dia iblis tapi dia masih punya hati. Hati yang menangis karena penyesalan. "Untung Brie selamat. Aku tidak tahu bagaimana jadinya hidupku kalau Brie mengambil langkah seperti adikku. Sudah cukup ibuku dan adikku yang direnggut karena bunuh diri... aku tidak mau tersiksa lagi."
Harry berbalik dan menghadap ke Brie yang masih belum bangkit berdiri. Air mata Brie terlihat begitu memilukan. Dulu Harry mengacuhkannya tapi tidak untuk kali ini.
Harry ikut duduk di jalanan itu. Dia mengambil tangan Brie. Dalam tangis bersama, Harry mencurahkan kata-kata yang seharusnya dia bilang lima tahun lalu, "I'm so sorry, Brie. Maafkan aku yang sangat tolol ini. Maafkan aku yang begitu bodoh. Maafkan aku telah menyakitimu."
Brie tidak menjawab apapun. Dia dibantu dengan si pria pirang bangkit berdiri, meninggalkan Harry sendiri yang masih terus menangis di depan banyak orang.
***
Efek pengakuan Harry di depan umum kemarin sungguh luar biasa. Harry dicari oleh semua media di Paris. Apartemen dia terkepung. Semua berita gosip serempak memberitakan apa yang Harry lakukan kemarin.
Ponsel Harry terus berdering sejak dua hari lalu tapi Harry terlalu lelah dengan semua ini. Dia butuh waktu tenang untuk mencerna segala hal. Dia waktu untuk sendiri.
Tapi setelah dua hari berlalu, Harry mengambil ponselnya. Dia mengabaikan ratusan pesan yang masuk. Dengan tangis yang masih belum berhenti, Harry mencoba peruntungannya untuk menghubungi Brie. Dia ingin mendengar suara Brie. Dia butuh napasnya kembali.
Ternyata Brie mengangkat. Suaranya Brie sama seraknya dengan milik Harry. Harry yakin selama dua hari ini mereka mempunyai teman setia : tangis.
"Harry?"
"Aku merindukanmu, Brie. Aku minta maaf."
"Harry..."
"Ijinkan aku satu hari saja bersamamu. Tolong, pergilah denganku selama satu hari... bisakah, Brie?"
Brie menjawab agak lama tapi Harry senang karena Brie mengiyakan ajakannya. Satu hari nanti akan Harry pakai untuk memperbaiki segalanya. Harry akan berjuang penuh di hari itu. Dia ingin Brie nyaman lagi dengannya. Harry merasa dia kembali hidup setelah dua hari tenggelam dalam kematian.
***
Harry punya satu tempat rahasia di Paris. Tempat yang menurutnya jauh lebih romantis dibandingkan Eiffel. Di Paris ada begitu banyak tempat yang layak dihuni oleh manusia yang mencari ketenangan dan mencari sisi romantis yang lebih magis. Eiffel memang bagus tapi disana terlalu ramai, Harry tidak menyukai keramaian. Dia butuh tempat yang privat dengan Brie.
Agak sulit untuk keluar dari apartmen karena paparazzi tidak ada hentinya untuk mengepung tempat tinggalnya. Tapi Harry menerobos kerumunan itu. Dia mohon dengan sangat untuk dihargai privasinya selama satu hari ini, setelah itu mereka boleh melakukan apapun yang mereka inginkan.
Jadi, Harry membawa Brie ke sebuah pulau di atas danau yang letaknya di taman Bois de Vincennes, taman publik terbesar kota itu.
Harry dan Brie tidak banyak bicara selama perjalanan. Mereka memilih diam dan menikmati segalanya dalam hati mereka. Harry dan dia menyewa rowboat yang tersedia disana. Hari masih pagi, belum ada banyak orang disana. Lagipula tempat ini memang tidak sepopuler Eiffel.
Di atas perahu kecil itu, Harry yang lebih dulu memulai pembicaraan. "Terima kasih sudah menerima ajakanku."
Brie membalasnya dengan senyuman sangat manis. Kalau ada di situasi yang lain, Harry bersumpah akan mencium Brie sekarang. Gadis itu sangat cantik hari ini, dengan gaun biru cerah selutut dan rambut panjang yang dicepol. Gadis ini memang luar biasa cantik. Tidak hanya dari luar tapi juga dari dalam.
"Terima kasih juga sudah membawaku ke tempat ini. Aku bahkan tidak tahu ada tempat seperti ini di Paris."
"Kau menyukainya?"
"Apa kau gila? Tentu saja aku menyukai ini... ini tempat kedua favoritku."
"Yang pertama?"
Brie tersenyum malu-malu, "Air terjun yang kau ajak waktu itu."
Memori Harry berputar ke masa-masa itu. Sama seperti Brie, air terjun itu juga tempat favoritnya sejauh ini. Disanalah untuk pertama kalinya Harry sadar kalau dia punya perasaan khusus pada Brie.
"Aku juga merindukan tempat itu." dan kenangannya, tambah Harry dalam hati.
Perjalanan tak cukup lama, perahu mereka sudah mendarat di kuil putih yang mereka tuju. Ada gerimis kecil ketika mereka baru saja turun. Biasanya orang akan menjauhi hujan dan mencari tempat perlindungan tapi mereka berdua malah menikmati gerimis yang semakin lama intensitasnya lumayan kencang. Sambil berpegangan tangan mereka menari di bawah hujan.
Mereka tertawa bersama meresapi keindahan ini. Sudah terlalu lama mereka membohongi perasaan masing-masing. Mereka butuh ini. Harry merasa semua hal buruk di hidupnya terkikis oleh air hujan di tempat ini. Harry merasa sangat bahagia. Terlalu bahagia sampai ini semua terasa seperti mimpi. Ini pengalaman terbaik di hidup Harry selama dia bernapas 25 tahun ini. Harry berjanji akan mengunci memori ini dalam ruang paling spesial di hatinya.
Merasa sudah terlalu lama mereka terguyur hujan. Mereka masuk ke dalam kuil putih yang banyak orang sebut sebagai kuil cinta.
Banyak burung-burung merpati di kuil itu sedang mencari tempat perlindungan dari hujan, sama seperti dia dan Brie.
Kalau kemarin pengakuan dia disaksikan oleh banyak manusia sekarang Harry ingin bicara tulus di depan banyak burung ini.
Dengan lembut Harry mengambil tangan Brie. "Brie... terima kasih, bukan hanya untuk hari ini. Tapi terima kasih kau sudah mengarahkanku keluar dari sisi iblis. Kau memberikanku pengalaman yang luar biasa. Terima kasih dan maafkan aku."
Brie memeluk Harry. "Maafkan aku juga, Harry. Kau tidak salah sepenuhnya. Kau dan aku memang ditakdirkan bertemu dalam kesakitan masa lalu tapi jujur, setelah semua kejadian yang terjadi. Aku juga beruntung telah bertemu denganmu."
Harry berlutut di depan Brie. Dia mencium dalam-dalam punggung tangan Brie, "Brie... maukah kau memulainya dari awal denganku? Maukah kau kembali menjadi malaikatku?"
Brie berpikir cukup lama. "Maaf, Harry. Beri aku waktu untuk berpikir. Biarlah waktu yang akan menjawab bagaimana perasaanku padamu nantinya."
Harry cukup puas dengan jawaban Brie. Setidaknya Brie sudah memaafkan Harry, itu yang Harry butuhkan.
Setelah semua kejadian ini, Harry belajar satu hal.
There's no good or evil in this fucking world. Because they're the same human being who covered by the sins but they had chances to fix everything. And thankfully, both of them already did that.
***
A/N :
Nah.... Ini belum tamat karena kalo gue bikin tamat itu artinya dua duanya mati. Wkwk. Karena menurut gue tamat yang esensial itu ketika dua orang di dalam tokoh meninggal dan hidup bersama di alam lain... oke, baiklah... lupakan.
Ini PART TERAKHIR. Iyes udah selesai. Gaje ya? Wkwk... maafkeun gue emang nggak jelas kok.
Eh tapi karena ini make prolog.... Nggak afdol kalo nggak make epilog. Adeuuhhh... sorry karena nggak konsisten. Wkwk. Janji epilog nya cuma sediikiiittttt aja. Haha
Well... thank you ya yang udah mau baca cerita ini dari awal. Walaupun jumlah Viewsnya makin merosot dan yang vote pun tambah dikit (mungkin udah pada bosen kali ya... wkwk).
Buat yang udah berbaik hati voments... no words can describe how grateful I am to have you all.
Jadi sekali lagi... makasih banget ya buat yang udah baca, buat yang jadi sider, buat yang udah vote, buat yang udah voment. Kalian jadi pemicu semangat gue buat nulis. At least, di cerita ini gue nggak dapet flame jadi gue nggak ngedown buat lanjutin. Oke, fellas, thanks for everything you've done to me and my -not so perfect- stories. *hug**hug**hug*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro