#25 : 7 Years Later
Song : Breakeven from The Script.
***
Tujuh tahun berlalu. Banyak hal yang sudah terjadi. Banyak perubahan yang Brie rasakan. Tujuh tahun lalu dia memutuskan untuk tetap hidup tanpa mempertanyakan lagi kesalahan yang sudah terjadi, dia sudah punya jawaban. Dia tidak mau mengecewakan orangtuanya. Dia ingin bahagia, dia ingin memetik hak nya sebagai manusia. Tujuh tahun lalu dia mengambil keputusan yang tepat... dia kembali ke Paris, kota kecilnya. Dan menjalani kehidupan baru penuh tawa dengan orangtuanya.
Tujuh tahun lalu adalah kali terakhir dia bertemu dengan si mata hijau. Setelah bangun dari masa kritis, melihat Harry membuat dia benci... dia takut Harry akan mengambil kebahagiaan dia lagi, jadi dia histeris. Tapi kemudian dia menerima kabar setelah bangun kalau Harry titip pesan untuk pergi dari hidup Brie.
Menjalani kehidupan baru di Paris bukan perkara mudah. Karena trauma yang begitu besar, dia harus rutin pergi ke psikiater. Ya, bukan psikolog tapi psikiater. Brie akan mendapat arahan dari psikiater dan obat-obat yang diberikan oleh psikiater memang cukup membantu. Walaupun terkadang Brie masih tetap histeris ketika mimpi. Masa-masa yang sangat sulit. Apalagi Brie harus melepaskan sekolahnya demi kelancaran terapi.
Brie sangat kesepian. Dan sepi tidak pernah berteman baik dengan orang dengan kondisi mental buruk seperti Brie. Brie kesulitan menjalankan segala rutinitas membosankannya. Untung masih ada ayah dan ibunya. Mereka tak pernah lelah untuk memberi suntikan motivasi untuk Brie.
Brie merasa sangat malu. Dia sudah besar dan dia masih harus diasuh oleh orangtuanya. Dan itulah pemecut Brie agar bisa sembuh dengan cepat. Brie ingin hidup normal lagi.
Jadi dua tahun kemudian Brie sudah melepas obat-obatannya tanpa ada komplikasi. Brie pun mengejar paket ujian guna menamatkan sekolahnya. Tapi Brie harus mengurung diri untuk kuliah. Cobaan kembali datang. Ayahnya terkena stroke. Dan Brie sudah wajib untuk mengurus ayahnya. Lalu cobaan makin diperparah karena mau tidak mau Brie harus menjalani bisnis ayahnya sebagai Presdir perusahaan di bidang farmasi. Brie tidak mengerti masalah bisnis dan dia bahkan tidak tahu bagaimana ranah bidang farmasi. Tapi dia harus menjalankan tugas.
Untung saja di perusahaan dia bertemu François, pria bermata biru yang selalu tersenyum penuh kelembutan. Brie menyukainya. Anak itu sangat baik. Dia terus membantu Brie yang nol pengetahuan. François direkomendasikan sendiri oleh ayahnya untuk menjadi asisten Brie. Pilihan ayahnya tidak pernah salah.
"Astaga, lihat! Dia sudah bisa berjalan!!" Brie tersenyum riang melihat bocah laki-laki berusia satu tahun yang tengah mencoba berjalan tapi baru selangkah langsung terjatuh.
"Lihat, dia mau berjalan ke arahku." kata François yang memanggil kembali nama anak itu dengan lembut sambil menepuk-nepuk tangannya seolah menghibur tapi George malah menangis kencang.
"Ah, Georgy, apa ada denganmu?" Brie langsung memeluk George untuk menenangkan tapi semua makin kacau karena François membuat George makin histeris setelah dia memasang wajah galak ke George.
"Astaga, kau ini!!! Bukannya membuat dia berhenti menangis malah menambah tangisan dia!"
"Aku suka melihat anak kecil menangis."
Brie menggeleng dan mengelus punggung George agar bisa tenang, "Kau memang bukan tipe ayah ideal."
"Well, aku memang belum jadi ayah. Miris sekali karena sudah dua kali lamaranku ditolak."
Brie menghela napas panjang sekali. Topik ini lagi. Bukan waktu yang tepat untuk membahas masalah sensitif ini. Well, info saja... François sudah dua kali melamar Brie. Lamaran pertama saat ulang tahun Brie, tapi Brie menolak karena dia merasa menikah di usia 23 tahun itu terlalu berisiko apalagi mereka baru beberapa bulan kenal. Nah, ketika Brie baru ulang tahun ke 25 seminggu lalu, dia kembali melamarnya tapi kembali Brie tolak. Alasannya... dia tidak bisa katakan. Karena hati Brie selalu sakit memikirkan alasannya... pria bermata hijau itu.
"Sebaiknya kau hubungi Emily. Tanya apa dia masih lama. Dan hubungi Liam juga!" Brie mengganti topik.
Ya, George adalah anak dari Liam dan Emily. Mereka menikah bulan lalu bersamaan dengan ulang tahun pertama George. Mereka juga memilih tinggal di Paris dua tahun belakangan ini karena tuntutan profesi Liam sebagai arsitek. Liam bilang ada banyak klien dia di Paris daripada di London. Belum lagi Emily yang terlalu cinta belajar melanjutkan gelar master nya di Sarbonne University setelah George lahir.
Jadi... mereka berdua menitipkan George pada Brie. Karena Brie punya banyak waktu luang setelah ayahnya sudah sembuh dan kembali menjalankan fungsi perusahaan. Brie orang asing di kantor itu, dan tugas dia selesai dan dia menjadi pengangguran.
Walaupun begitu mengurus George sangat menyenangkan. Bahkan karena terlalu lama diasuh oleh Brie, dia yang pertama dipanggil Mama oleh George. Well, tapi juga namanya ikatan ibu dan anak, George itu sangat dekat dengan ibunya. Walaupun ibunya jarang mengurusnya, ketika mereka bertemu... George tidak mau lepas. Kalau George menangis kencang dan tidak mau berhenti, obatnya cuma satu.... pelukan Emily.
"Em bilang dia sedang dalam perjalanan."
"Liam?"
François belum menjawab karena orang yang dipertanyakan sudah datang lebih dulu. Liam dengan sangat hati-hati langsung membawa George dalam pelukannya. Anak itu pun berhenti menangis.
Tak lama Emily pun datang. Brie dan François pun memutuskan untuk kembali pulang karena hari sudah terlalu malam.
"Brie... aku serius tentang lamaran kemarin. Apa kau benar-benar menolakku?" François bertanya ketika mobil mereka sudah berhenti di depan rumah Brie.
"Maafkan aku. Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
Brie menggigit bibirnya menahan tangis. Wajah Harry menerobos masuk ke dalam otaknya, kenangan manis dan pahit yang berbaur menghasilkan sakit. "Karena hatiku sudah dicuri oleh orang lain."
***
Tujuh tahun sudah berlalu. Masa-masa di Harry melewati suatu fase yang dinamakan perubahan. Tujuh tahun ini Harry berusaha keras untuk menjadi pribadi yang benar. Dia tidak keras lagi, dan dia giat belajar. Belajar membuat dia sedikit lupa tentang kesakitan yang penyesalannya pada Brie. Lagipula dia juga ingin membuktikan kalau dia akan menjadi sukses, waktu itu dia berjanji pada Brie tentang hal itu.
Sekarang Harry sudah menamatkan kuliahnya di bidang bisnis di Oxford. Dia sudah mendapatkan gelar master di umur 23 tahun. Kini Harry mulai menjalankan bisnis kecilnya sendiri. Dengan bantuan dana dari ayahnya, Harry mengembangkan bisnis di dunia hiburan. Ternyata mengelola perusahaan tidak semudah yang dia kira. Ada banyak sekali tantangan dan tidak melulu dewi Fortuna berpihak datang kepadanya. Artis pertama yang Harry terbitkan menuai kerugian yang besar... album tidak laris dan terkena masalah hukum pula. Tapi Harry tidak menyerah hingga akhirnya dia berhasil menerbitkan satu penyanyi multi talenta yang lagu perdananya bisa menembus Billboard Amerika di posisi satu. Nama Harry menjadi terkenal lagi setelah artis artis lain yang dia orbitkan sama-sama menuai sukses. Harry tak menyangka usianya baru 25 tahun tapi dia sudah bisa sesukses ini.
"Jadi, ada apa kau memanggilku?" tanya Harry tak bersahabat. Dia tidak bisa untuk ramah dengan nenek sihir.
"Kau sudah dua puluh lima tahun tapi kau tetap tidak berubah, masih seperti anak kecil."
"Aku tidak mau datang hanya untuk mendengar ceramahmu. Aku sedang sibuk. Kalau ada hal penting yang mau kau utarakan bilanglah sekarang, jangan berbelit."
Nenek sihir itu menaruh sebuah foto di atas meja. "Lihatlah gadis itu."
Harry menurut. Gadis yang difoto terlihat sangat cantik dan menarik. Tapi buat apa dia diberikan foto ini? Apa si nenek sihir ingin Harry mengorbitkan anak ini?
"Nikahi dia."
Harry marah. Dia langsung merobek foto itu. Seenaknya saja orangtua ini menyuruh Harry melakukan tindakan suci dengan orang yang dia tidak kenal. Memang dia siapa? Dia bahkan bukan orangtua kandungnya.
"Namanya Isabella. Dia anak rekan bisnis ayahmu. Nikahi dia dan bantulah perusahaan ayahmu."
Harry mendengus dan langsung berdiri, "Aku tidak mau. Silakan kau kutuk aku sebagai anak durhaka, tapi aku tidak mau. Bisnis Dad memang sedang tidak bagus tapi menikahi anak rekan bisnisnya? Aku bukan tokoh di drama picisan. Aku tidak semurahan itu! "
"Isabella akan datang sebentar lagi."
Yang nenek sihir itu maksud baru saja datang ke ruang tamu kediaman Styles yang sangat besar. Sama seperti di foto, anak itu cantik dan kakinya sangat jenjang. Tapi kecantikan dia tidak akan berpengaruh apapun untuk Harry. Karena sudah ada wanita spesial yang menempati ruang khusus di hati Harry.
"Bitch." bisik Harry di telinga gadis itu. Dia tersinggung dan menampar Harry tapi Harry tidak ambil pusing. Dia keluar dari rumah itu dengan perasaan yang luar biasa marah.
Perjodohan ini bukan otak ayahnya. Pasti si nenek sihir yang merancang segalanya. Ayahnya tahu betul kalau Harry belum bisa melupakan Brie, ayahnya tahu Harry tidak akan membuka pintu hatinya kepada siapapun selain Brie. Dan ayahnya seorang pebisnis, dia pasti tahu bagaimana mengelola perusahaan dengan cara sehat.
Demi membuat mood dia segar kembali, Harry menghubungi Niall dan Louis untuk bertemu.
"Jadi apa kabar terbaru Brie?" tanya Harry langsung setelah mereka sudah berkumpul di salah satu kafe langganan mereka.
Louis menyerahkan belasan foto ke Harry yang isinya semua adalah wajah Brie. Harry menyuruh Louis mencarikan dia mata-mata untuk mengawasi Brie. Selama tujuh tahun ini.
"Brie sehat, terlihat bahagia, dan selalu tersenyum."
Harry ikut tersenyum penuh kelegaan. Memang senyum Brie adalah obat pembunuh rasa letih, penat, dan marahnya yang paling ampuh.
"Kenapa tidak kau saja yang datang kesana? Aku yakin Brie akan senang melihatmu."
"Keyakinanmu itu semu, Louis. "
"Tapi kau sudah keterlaluan. Tujuh tahun kau mengawasi dia dari jauh... kalau kau masih sayang dengannya, maka temui dia dan berjuanglah."
Harry menunduk, "Aku takut. Aku takut Brie belum bisa melupakan semua tindakanku. Aku ingin memilikinya tapi aku tidak layak. Aku sudah menyakitinya."
"Hell... kalau seperti ini caranya aku lebih menyukai sikap arogan Harry Styles yang lama. Dulu seorang Harry itu bukan pengecut. Dan asal kau tahu saja, Haz... François tak berhenti mengejar Brie. Bahkan aku dengar dia sudah melamar Brie."
"Lalu Brie terima?" Harry tidak bisa membayangkan Brie berjalan di altar dengan gaun putih cantik tapi bukan dengan dirinya.
Louis mengangkat bahu acuh, "Kau tahu walaupun Brie tolak tapi kalau dia tetap berjuang maka ada kemungkinan hati Brie akan luluh."
"Kau siap menerima fakta kalau Brie bahagia dengan orang lain?" tanya Niall yang langsung menyiutkan semangat Harry.
Harry memang bahagia kalau Brie bahagia. Seharusnya dia juga akan senang kalau Brie sudah menemui tambatan hatinya, apalagi laki-laki prancis itu sangat baik dan pantas untuk Brie. Tapi sebagai seorang pria yang belum bisa melepas Brie dari hatinya, Harry tidak bisa menerima fakta itu. Dia ingin Brie bahagia bersama dengannya. Tapi itu hampir mustahil bisa terjadi. Harry tidak bisa memaksakan kehendaknya lagi. Dia tidak mau menyakiti Brie.
"Aku merindukannya." Harry mengaku. "Aku ingin melihatnya dari dekat. Aku ingin memeluk tubuhnya. Aku ingin memilikinya lagi. Tapi... aku tidak layak."
"Kata siapa? Itu hanya asumsimu saja. Jangan kau kalah dengan pikiran negatifmu. Selama kau terus berjuang, kau bisa mendapatkan yang kau mau."
"Tapi kau tidak mengerti, Louis. Aku sudah menganiaya Brie. Aku sudah menyakitinya. Aku tidak layak ada di dekatnya lagi."
"Kau cengeng sekali sebagai seorang pria. Tuhan saja bisa memaafkan kenapa Brie tidak bisa?"
"Karma, Niall. Aku takut dia akan membenciku seperti aku dulu yang bodohnya membenci dia. Lagipula dia manusia normal, dia bukan Tuhan. Dia pasti punya dendam."
"Tapi kau tidak akan tahu isi hatinya kalau kau hanya diam saja disini. Kalau kau benar-benar mencintainya, kejar dan dapatkan dia."
"Kalau dia menolakmu, maka teruslah berusaha. Sampai dia luluh. Sampai dia tahu bagaimana perjuanganmu." tambah Niall.
Harry menatap dua temannya itu lekat. Apa yang dikatakan mereka memang benar. Cinta itu tidak untuk dipendam tapi harus diperjuangkan. Harry hanya akan dapat sakit kalau dia terus duduk diam tapi kalau dia bergerak, setidaknya dia melakukan tindakan yang tepat sebagai seorang laki-laki.
"Baiklah.... aku akan menemui dia dan mengambil hatinya lagi."
"Itu baru Harry Styles!" kata Louis.
"Itu baru temanku." kata Niall.
Harry tersenyum dan mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, "I am Harry Styles and I must like with a Style, right?"
Mereka tertawa bersama. Tinggal tunggu esok hari. Memang tidak mudah menaklukkan hati Brie, tapi dia ingin Brie tahu kalau dia mencintainya. Sangat mencintainya. Terlalu mencintainya. Sampai rasanya Harry gila sendiri karena dia tidak tertarik dengan wanita manapun selain Brie. Brie sudah menguasai otak, hati, dan tubuhnya. Memang luar biasa wanita itu.
***
A/N :
Satu Chapter lagi end.... Yeay!!!
Btw.... gue pengen Brie manggil nama emak bapaknya pake bahasa prancis tapi nggak enak banget.... Soalnya Mom disana itu Maman.. haha.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro