#23 Angel's Cry
Play the mulmed while you reading this chappie, please.
Biar lebih greget.
Tapi buat barisan sayang kuota... itu lagu di mulmed judulnya my immortal. Cocok tuh lagu kayaknya buat Chapter ini...
***
Brie meringkuk di posisi tidurnya. Dia sembunyikan wajahnya untuk menangis lagi dan lagi. Dia malu sekali menjadi seorang gadis lemah dan merepotkan. Semua orang bersatu padu untuk memulihkan Brie, padahal Brie tidak mau pulih. Dia mau mati.
"Brie." Suara terasa sangat familiar. Sentuhan hangat dari pemilik tangan itu sudah sangat dia rindukan. "Maafkan Mom baru datang sekarang. Mom dan Dad ada disini untukmu. Kita tidak akan marah denganmu lagi. Kita akan selalu ada untukmu. Maafkan Mom dan Dad..." suara itu terhenti dan terdengar suara isakan disana.
Tangis Brie semakin menjadi. Dia sungguh merindukan orangtuanya. Dia ingin menghamburkan diri dalam pelukan hangat mereka, dia ingin bangkit dan menyerap kekuatan mereka. Tapi Brie malu dengan kondisinya. Dia malu karena sudah menjadi anak yang gagal. Sudah berapa kali dia mempermalukan orangtuanya?
Dia benar-benar anak durhaka.
Harusnya dia yang meminta maaf, bukan sebaliknya. Brie yang membuat kekacauan ini.
"Brie..." Tangan lain mulai mengelus lengan Brie. Dan air mata Brie semakin deras turun, "Kau anak Dad yang paling Dad sayangi. Kau anak satu-satunya yang Dad punya. Jangan seperti ini, sayang. Tolong..."
Ayahnya belum pernah terdengar serapuh ini. Ayahnya yang selalu membentak dia karena tingkah nakalnya dulu kini bersimbah air mata di depan Brie. Apa yang sudah dia lakukan pada orangtuanya? Dapatkah waktu terulang, dia ingin mengembalikan masa muda dia yang hancur. Dia ingin membuat orangtuanya bangga bukan kesusahan seperti ini.
"Brie, please... bicaralah. Tolong. Dad dan Mom sudah datang."
Brie tetap pada posisinya. Dia belum siap untuk bertemu mereka. Brie takut, dia akan kembali mengecewakan.
"Brie. Dad janji akan mengabulkan semua permohonanmu. Tapi kau bicaralah. Kau bahkan tidak makan."
Reaksi Brie tetap sama. Tapi tangis dia semakin deras turun. Tidak terdengar apapun setelahnya, mungkin mereka letih karena usaha mereka selalu gagal. Orangtua, Emily, Liam, paman dan bibinya, bahkan Niall dan Louis, semuanya diajak untuk ke ruangan Brie agar Brie pulih dari apa yang mereka sebut itu... mayat hidup. Miris sekali, Brie belum mati tapi sudah disebut mayat.
Perlahan Brie membuka matanya dan melihat ke sekeliling. Dia melirik jam kecil di atas nakas yang memperlihatkan kalau sekarang sudah pukul tiga pagi. Mom sedang tidur di samping tempat tidurnya, sedang Dad tidur dengan posisi duduk di sofa kamar.
Brie mengangkat tangan dan membelai rambut ibunya. "I'm so sorry." katanya masih dengan suara sangat parau.
Dia meringis ketika melepas selang infus yang beberapa hari ini terpasang di pergelangan tangannya. Brie perlahan mulai turun dari tempat tidur. Dia menahan perih merasakan lantai kamar yang sangat dingin.
Karena sudah beberapa lama tidak menggunakan fungsi kakinya dengan baik, Brie terjatuh saat baru mulai melangkah. Tapi dia tetap berusaha untuk bangkit dan kembali berjalan walaupun sangat pelan. Kepalanya pun agak pusing karena selama beberapa hari ini dia terus terlentang di tempat tidur belum lagi tidak ada asupan makanan apapun yang dia telan, itu semakin melemahkan otot-otot pada tubuhnya.
Brie membuka lemari pakaiannya dan menemukan apa yang dia cari. Tabung obat penenang yang dia bawa ke London tapi tak pernah sekalipun dia minum, bahkan obat itu dia tinggalkan di rumah Emily saat dia pindah ke apartemen. Sekarang waktunya dia menghabiskan obat itu... dia butuh ketenangan yang benar-benar sunyi.
Brie masuk ke kamar mandi dan duduk di lantai yang lebih dingin lagi. Dia membuka tabung obatnya dan mengeluarkan obat itu tanpa dosis. Air mata menggenang sebelum dia menelan obat-obat di telapak tangannya. Semakin banyak obat yang dia telan, dia akan semakin tenang.
Tak berapa lama efek yang dia cari hadir juga. Brie limbung dan tergeletak lemas di lantai. Dia tersenyum lebar karena penantian dia akhirnya terpenuhi. Dan setelah ini hanya kegelapan yang menjadi temannya.
***
Ponsel Emily terus berdering tanpa henti. Emily yang baru saja tidur terpaksa harus menjawab., tanpa melihat siapa yang ada di layar.
"EM, LIHAT BRIE!!! DIA TIDAK ADA DI KAMARNYA!"
Kesadaran Emily pulih sepenuhnya. Dia bahkan tidak bertanya kenapa Harry bisa tahu hal itu. Emily sudah terlalu panik dan berlari secepat yang dia bisa ke kamar Brie. Benar kata Harry, tidak ada Brie disana. Hanya ada paman dan bibinya yang masih terlelap.
Emily histeris setelah membuka pintu kamar mandi. Disana terbaring Brie dengan mulut berbusa dan obat-obat yang berhamburan di sekelilingnya.
"Jesus, Brie!!!" jerit Emily langsung mengangkat kepala Brie terpangku di pahanya. Dia menepuk pipi Brie untuk menyadarkan anak itu. Tapi tidak ada reaksi. Emily menangis sejadi-jadinya. Tangan dia mencari nadi Brie di leher anak itu, masih ada denyutan yang begitu lemah. Tangis itu pun berubah menjadi teriakan.
"HELP!!! HELP!!! HELP!!!"
Tak lama orangtua Brie dan orangtuanya pun datang. Mereka kaget. Mereka semua panik.
"Dad, tolong Brie, Dad. Save her." Pinta Emily bersungguh pada ayahnya.
Ayahnya membawa Brie dan memberikan pertolongan pertama. Situasi makin memburuk karena bibinya jatuh pingsan setelah melihat kondisi menyedihkan anak semata wayangnya.
Tak lama kemudian Dad membopong Brie masuk ke dalam mobil untuk menuju rumah sakit. Emily dan pamannya mengikuti ayahnya. Sementara ibunya menjaga bibinya di rumah.
Bukan hanya Emily yang terisak di dalam mobil selama dalam perjalanan, pamannya menangis lebih kencang. Pamannya terus meracau kata maaf berkali-kali. Situasi macam apa ini. Keluarga yang selalu membuat Emily iri ketika kecil malah menjadi miris seperti ini.
Emily memejamkan mata dan mulai melantunkan doa dalam tangisan tanpa hentinya, "Tuhan, tolong kuatkan paman dan bibiku dalam situasi kacau ini. Tolong, selamatkan Brie. Tolong jangan kau tarik Brie dari dunia ini. Tolong jangan kau biarkan keluarga kami jatuh, Tuhan. Tolong berilah satu kesempatan pada Brie."
***
Brie merasa kehampaan yang luar biasa di tempat ini. Tempat yang begitu sunyi, tanpa ada suara, tanpa ada manusia, tanpa ada udara, hanya ada kekosongan.
Brie tidak nyaman dengan situasi ini. Dia berjalan kemanapun tapi jalan ini terlalu luas, hanya ada putih yang tak berujung dimana-mana. Brie mencoba mengeluarkan suara tapi masih tetap sunyi.
Dia tidak ingat apa yang terjadi. Dia bahkan tidak ingat tentang siapa dirinya. Dia hanya ingat dia punya nama tapi dia tidak tahu asal-usulnya.
Dia kebingungan. Dimanakah ini? Apa yang sudah terjadi? Kenapa dia bisa sampai ke tempat menyedihkan ini. Dia tidak mau ada disini. Dia tidak bisa bersahabat dengan sunyi kelam ini.
Brie berlari dan mulai mencari pertolongan. Tapi hasilnya nihil. Selalu kosong yang dia temukan. Karena letih dia jatuh terduduk, dia menangis. Dia tidak suka tempat ini. Dia ingin pergi.
Lalu Brie mendengar ada suara pelan yang memanggilnya. Brie kembali semangat. Dia bangkit dan mencari sumber suara itu, dia yakin suara itu akan menuntun dia keluar dari tempat ini.
Dan semakin lama dia berjalan, semakin kencang suara yang memanggil namanya. Tapi semangat dia makin meredup, kakinya semakin pelan dia langkahkan. Kesakitan timbul di pikirannya saat mengenang beberapa hal yang masuk ke dalam otaknya. Dan ketika dia berada di depan sebuah lorong, dia ingat semua hal yang sudah terjadi. Dia ingat kehidupan malangnya. Dia ingat semua kesalahannya. Dia ingat kalau dia bisa ke tempat ini adalah karena keinginannya.
Suara yang memanggil dia dalam lorong itu semakin kencang. Ada suara ayahnya, suara ibunya, suara Emily, suara paman dan bibinya, suara Liam... bahkan ada satu suara yang membuat hati Brie terkoyak. Harry memanggil dia kencang sekali.
Brie berlutut kebingungan setengah mati. Di hadapannya ada dua pilihan dan dua-duanya terasa sangat tidak nyaman. Dia kira kalau mati dia akan tenang dan berdiam lalu menerima siksaan di neraka tapi kematian macam apa ini... dia tidak suka situasi ini. Dia tidak bisa memilih karena tidak ada yang layak untuk dipilih.
Suara itu makin kencang membuat telinga Brie kesakitan. Tapi dia tidak ingin menjauh, dia tidak mau ditelan kesunyian. Tapi di sisi lain, dia tidak mau ada disini merasa kesakitan di jiwanya. Benar-benar tidak ada pilihan yang layak, bukan?
Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Kembali atau menetap?
Dua-duanya memang tidak ada yang menyenangkan tapi dia harus memilih.
Yakin dengan pilihannya. Brie pun mulai melangkah ke tempat yang dia mau.
***
A/N:
Sumpah gue pengen banget ini selesai. Letih saya jadi tokoh antagonis di cerita ini karena selalu bikin Brie menderita. Wkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro