#22 Devil's Apology
Go on and play the mulmed while you reading this chappie... somehow I thought that the lyrics match with Harry's condition. Damn, I love that song so much. Btw, I put that mulmed for a reasons so please kindly check that out. If you wanna know what I really mean.
***
Pepatah kuno selalu bilang kalau penyesalan akan datang belakangan, datang di saat kita sadar kalau hal yang kita sia-siakan lebih berharga dari kehidupan kita sendiri. Dan itulah yang dirasakan Harry saat ini. Ketika dia memandang tindakan dia dulu yang digelapkan oleh dendam, dia sadar dia sudah kelewatan. Dia sangat jahat pada Brie. Dia membuat Brie dipermalukan banyak orang, dia memukul Brie, dia membuat Brie merasa terhina dan dia bahkan menjatuhkan harga diri anak itu, hal-hal iblis itu menjadi raja dalam beberapa malam tapi kini semua itu musnah. Iblis itu sudah tidak menguasai Harry lagi.
Memang Harry telat untuk sadar, baru setelah Zayn datang dan mengoyak raga rapuh Brie, dia merasa omongan Niall, Louis, Emily, bahkan Ayahnya benar semua. Harry menyesal... dan dia sadar kalau masih ada cinta yang terlalu dalam melekat di dasar hatinya. Tertanam begitu kuat hingga terasa sangat menyesakkan karena di saat bersamaan dia sadar kalau dia sudah tidak layak untuk bersanding dengan Brie.
Melihat Brie dalam kondisi mengenaskan membuat hatinya hancur, dia bahkan melihat ada banyak luka lebam di tubuh anak itu dan wajahnya yang babak belur akibat tingkah egoisnya. God, sungguh dia benar-benar layak masuk neraka. Tuhan saja maha pengampun, tapi dia bahkan membuat orang yang sudah berubah jadi sangat baik menderita karena dia tidak bisa memaafkan.
Harry tetap tidak diijinkan Emily atau Liam untuk menyentuh Brie. Mereka tepat melakukan itu semua, biar bagaimanapun Harry adalah orang yang menyebabkan Brie hancur. Jadi dia lepaskan saja Brie pada Emily dan Liam. Dia menyuruh Niall untuk mengantar mereka kembali ke apartemen Brie memakai mobilnya. Sementara itu dia dan Louis masih punya alasan lain untuk tetap tinggal.
Mata Harry menggelap menatap orang brengsek di depannya. Dia tidak pakai lama untuk menghujam pukulan mematikan, dia bahkan tidak peduli ketika tangannya mulai sakit dan Zayn yang sudah melemah hampir pingsan. Harry mau anak itu mati. Dia sudah menyakiti Brie sangat parah... tapi bagaimana dengan dirinya sendiri? Bukankah dia juga harus dihukum?
Harry pun berhenti memberi hantaman di tubuh Zayn dan mulai memukul wajahnya sendiri. Dia juga membenturkan kepalanya berkali-kali di dinding. Louis menyuruh dia berhenti tapi dia mengancam Louis untuk tidak menganggu dan tetap memukul Zayn sampai mati, yang sialnya tidak dilakukan anak itu.
Pandangan Harry lama-lama berputar. Apakah dulu Brie merasakan sakit yang seperti ini? Atau lebih parah? Tuhan... apa yang sudah dia lakukan kemarin? Kenapa dia membiarkan iblis menguasai mata hatinya. Dia tahu dia daridulu brengsek tapi dia tidak pernah main tangan dengan wanita. Dan kemarin dia malah memukul Brie dengan kekuatan seorang laki-laki, membuat orang pertama yang dia cintai mempunyai lebam di sekujur tubuhnya.
"Harry, hentikan tingkahmu." Louis berusaha menarik tubuh Harry tapi Harry yang masih punya sedikit tenaga berhasil mendorong anak itu menjauh.
"Leave me alone, Louis. Aku sedang menghukum diriku."
"Harry, kalau kau merasa bersalah bukan seperti ini kau perlakukan tubuhmu. Perjuangkan Brie dan buatlah Brie untuk tetap sadar."
Harry berhenti membenturkan kepalanya dan menatap tajam orang yang berdiri di depannya, "Untuk tetap sadar? Apa maksudmu? Kau pikir Brie sudah gila?!"
Harry teringat kejadian kemarin. Saat itu dia menyuruh Brie melakukan tindakan hina padanya tapi kemudian Brie mulai meracau sendiri. Lalu tadi Brie juga menjerit sambil meracau seperti orang depresi.
Dia langsung melemah karena fakta itu,"Bagaimana mungkin aku bisa membuat dia tetap sadar. Aku bagian dari penyebab mental dia seperti itu, Louis!"
"Lalu kau hanya akan diam? Setidaknya kau harus berusaha, Harry. Kalau kau seorang laki-laki kau harus membuat perbaikan."
"I-" Sudut mata Harry sudah mulai basah oleh airmata, ini kali pertama dia menangis disaksikan oleh orang lain tapi persetan dengan itu, "I don't know how to start. Aku bahkan tidak diijinkan untuk ada di dekat Brie."
"Lupakah kau siapa dirimu? Kau itu Harry Styles! Kau sendiri yang bilang kalau tidak ada satu hal pun yang tidak bisa kau lakukan. Kalau kau benar-benar Harry yang aku kenal, buktikan ucapan itu."
Harry menatap Louis lekat-lekat. Anak itu dulu tidak ingin dia anggap teman, anak itu dulu dia permainkan perasaannya lewat taruhan konyol, tapi anak itu masih setia ada di dekat Harry, anak itu juga memberi Harry nasihat. Masihkah dia layak untuk mendapat teman setelah semua tindakan hina yang dia lakukan?
Louis mengulurkan tangannya di depan Harry, "Ayo bangun dan hadapi kenyataan. Aku dan Niall akan seratus persen membantumu."
Harry tersenyum miris dan menerima uluran tangan itu. Dia tahu dia tidak layak mendapatkan segala hal ini tapi karena mereka belum pergi dari sisinya, maka Harry masih punya kesempatan untuk membuat sebuah ikatan pertemanan yang sebenarnya dengan mereka. Satu lagi, dia punya kesempatan lain untuk memperbaiki hubungannya dengan Brie, kesempatan itu memang sangat kecil, bahkan lebih kecil dari bakteri. Tapi Harry ingin mencoba untuk memakai kesempatan itu. Setidaknya dia harus mendapatkan maaf dari Brie, baru dia bisa melanjutkan hidup normalnya lagi.
Harry dan Louis pergi dari pondok itu memakai mobil jeep Zayn. Sementara itu Zayn masih terkapar tak berdaya di lantai. Sebelum mereka keluar dari pondok, mereka melangkahkan kaki mereka di atas perut Zayn lebih dulu. Bajingan cilik itu dibiarkan untuk tinggal di tempat sunyi itu tanpa ada akses untuk keluar lagi. Biarlah dia membusuk di hutan dan jadi makanan binatang buas yang lapar. Well, kalau tidak ada binatang buas, Harry yang akan mengirim harimau lapar ke tempat itu.
***
Selama seminggu tanpa pernah absen sedikit pun Harry berkunjung ke rumah Emily. Brie tidak lagi tinggal di apartemen sempit itu, dia sudah kembali ke keluarganya. Harry tidak disukai di tempat itu, berkali-kali dia diusir tapi dia tetap berusaha untuk datang setiap lima jam sekali dalam satu hari.
Setiap berkunjung suasana rumah Emily pasti selalu heboh karena suara jeritan Brie yang terus menerus bergaung. Tapi hari ini beda, Brie tampak terlalu tenang. Harry mencuri dengar kalau Brie tidak bicara apapun selama satu hari ini. Pandangan mata Brie pun kosong. Harry semakin takut saja.
"Ijinkan aku sekali saja menemuinya, Em."
"Tidak, Harry. Kau sudah membuat dia seperti ini. Aku tidak mau Brie terluka bahkan histeris lagi melihatmu."
"Ayolah, Em."
"Harry... kau tahu. Dia tidak berhenti bertanya tentangmu. Di saat kondisi dia seperti ini, dia terus ingin bertemu denganmu. Dia ingin kau pukul dia lagi, Harry. Dia mau kau balaskan dendammu lagi padanya. Aku tidak mau kalau kau bertemu dengannya, dia akan menghukum dirinya lagi."
"I'm sorry."
"Kata-kata itu seharusnya kau ucapkan sebelum semuanya berubah menjadi sulit seperti ini."
Ya, Harry tahu itu. Dia sudah telat. Dan dia hampir tidak punya harapan lagi.
Tapi keajaiban datang besoknya. Emily tiba-tiba menghubungi nomornya di tengah pagi buta, jam empat pagi. Emily meminta agar Harry datang ke rumahnya. Harry merasa begitu lega karena akhirnya kesempatan yang kecil itu datang padanya.
"Dua hari ini Brie tidak mau makan. Dia mogok bicara dan selalu menyebut namamu. Aku mohon sekali agar kau bisa membujuk dia makan."
Harry tersenyum lebar. Situasi ini dulu hampir mustahil terjadi tapi sekarang menjadi kenyataan. Harry pun mengajukan diri agar dia yang membuat masakannya, Harry ingat betul dulu Brie bilang makanan dia itu enak.
Ekspektasi dia saat membawa Soupe à l'oignon gratinée adalah Brie memakannya dan mereka bisa mengobrol dengan hangat. Mustahil memang dan pada kenyataannya memang itu mustahil. Karena ketika Harry menampakkan diri di depan muka Brie, anak itu ketakutan melihat Harry.
"Harry. Ternyata rasanya seperti ini. Sakit sekali rasanya, Harry. Merasakan apa yang dulu Megs rasakan benar-benar menyakitkan. Dan aku takut..." Brie menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya di atasnya. Suara dia semakin serak dan parau.
Harry menaruh masakan buatannya di meja kecil sebelah tempat tidur Brie. Dia ragu sesaat tapi dia memberanikan diri untuk menyentuh punggung Brie. Tapi efeknya luar biasa... Brie mundur dan menggeleng kencang. Dia menangis penuh iba, "Aku mohon jangan hukum aku dengan cara seperti itu. Aku tidak mau... kalau kau mau... pukul aku saja. Tapi tolong jangan seperti..."
Harry ikut menangis bersama Brie. Kepalanya memutar beberapa hal manis antara dia dan Brie tempo hari, rasanya hal itu sudah ratusan tahun terjadi. Dia rindu itu semua, dia betul-betul ingin memeluk Brie sekarang.
"Ah... Harry!" sahut setelah situasi menjadi kondusif lagi. Brie lalu bangun dari tempat tidurnya dan membuka nakas di dekat Harry. Dia mengeluarkan satu pisau ukuran sedang dari tempat itu, "Dendammu akan terbalas penuh dengan satu langkah ini. Bunuh aku."
Jantung Harry seakan ingin berhenti berdetak karena rasa kaget yang luar biasa ini. Dengan sangat tenang anak ini mau Harry membunuhnya? Jadi dia terus menerus memanggil Harry untuk tugas ini? Membunuhnya? Lebih baik Harry yang mati, dia yang layak mati untuk tinggal di neraka.
"Tolong, Harry. Bunuh aku. A-aku letih sekali. Aku ingin tidur lelap. Selamanya tanpa gangguan. A-ku ingin ber-temu Megs dan min-ta ma-af. A-aku..." suara dia tersendat karena desakan tangis yang makin hebat.
Harry jatuh berlutut di depan kaki Brie. Dia memohon ampun. Dia menangis kencang, "Maafkan aku, Brie. Hentikan semua ini. Aku mohon maafkan aku."
"Harry, kau tidak salah. Aku yang mulai bermain api. Aku sudah membunuh adikmu dan aku mau kau menjalankan tugas akhirmu. Tolong bunuh aku sekarang."
Harry menarik pisau itu dan melemparnya ke sembarang arah. Ini hukuman terberat dia seumur hidup. Dia diminta oleh Brie untuk menjadi malaikat pencabut nyawa anak itu. Ironis sekali.
"Harry, kenapa pisau nya kau buang?! Kenapa kau tidak membunuhku?! Bunuh aku, Harry."
"Brie, hentikan. Aku mohon... hentikan. Aku minta maaf atas segala tindakan bodohku, jadi jangan seperti ini lagi."
"Aku akan memaafkanmu kalau kau membunuhku."
Tangan Harry terkepal. Dia bangkit dan berdiri di depan Brie. Dia membawa anak itu ke dalam pelukannya. Dia sangat merindukan harum tubuh ini. "I'm so sorry... and I love you."
"If you love me, then you must to kill me."
"Jesus, Brie!!! I love you... I really love you. I don't want you to be like Megs, I want you to become my part of my life again. Please be my angel again."
Brie tersedu dan menggeleng. Dia mendorong tubuh Harry menjauh dan mulai mencari pisau yang tadi Harry buang di lantai.
"Aku bukan malaikat. Aku ini iblis. Dan..." Pisau itu ditemukan terselip di bawah kain penutup jendela. Brie tersenyum lebar melihat pisau itu, dia mencium pisau itu dalam-dalam, "Kalau kau tak mau. I can do it by myself. At least I die in front of you, right?"
Harry berlari cepat dan langsung menepis pisau yang ingin Brie arahkan ke perutnya sendiri. Brie merintih dalam pelukan Harry dan histeris untuk mengambil kembali pisau yang sudah terjatuh. Harry membiarkan Brie mengamuk, memukul dadanya, dan mencakar wajahnya. Semua itu berhak Harry dapatkan. Harry akan melakukan dan rela diperlakukan seperti apapun asalkan Brie tidak mati. Dia tidak bisa hidup tanpa Brie.
Pintu tiba-tiba terbuka dan Emily langsung berlari mendekat. Emily tampak marah awalnya tapi melihat ada pisau ada tepat di samping kaki Brie dan Harry, dia dan kedua orangtuanya menjadi sangat panik.
"Apa yang terjadi? Kenapa ada pisau?" Emily bertanya dan langsung mengamankan pisau itu.
"Brie mengambilnya dari nakas."
"Pasti dia mengambilnya diam-diam."
Harry dan Emily diminta keluar, Ayah Emily berusaha menenangkan Brie lewat obat penenang. Dan tak lama suara Brie mulai berhenti dan situasi di kamar kembali sepi. Harry ingin masuk lagi ke dalam, dia mau menemani Brie. Tapi Emily kembali melarangnya.
"Dia butuh ketenangan."
"Em, apakah itu bukan tindakan pertama Brie mencoba bunuh diri? Apakah dari kemarin dia juga berniat bunuh diri?"
Emily mengangguk, "Selama dia disini memang ini baru pertama kali tapi sewaktu di apartemennya. Liam yang menjadi saksi sudah berkali-kali Brie mau bunuh diri."
Harry menarik rambutnya kesal. Jadi ini bukan pertama kali. Harry masih beruntung ternyata karena Brie digagalkan untuk bunuh diri. Tapi kalau situasi terus menerus seperti ini, Harry takut pada kemungkinan terburuk.
"Kau sebaiknya pergi, Harry."
"Em, tolong jaga Brie baik-baik."
"Brie akan baik-baik saja selama kau tidak datang untuk terus menganggu. Aku salah kali ini, aku kira Brie akan menurut padamu tapi nyatanya... Sudahlah, Harry... Jangan pernah kau masuk ke rumah ini lagi." kata Emily sangat dingin.
Dan seperti itulah, pintu rumah tertutup untuknya. Tapi untung Harry sudah memasang kamera pengawas di kamar Brie. Secara raga memang Harry tidak ada di dekat Brie, tapi dia masih bisa memantau kegiatan anak itu. Ini semua usul Niall. Anak itu memang punya berjuta-juta usul menarik. Untung saja Harry berteman dengannya.
Di layar ponselnya terlihat Brie sedang tidur pulas. Ayah Emily memakaikan selang infus sebagai pengganti cairan minuman dan makanan yang tidak masuk ke tubuh Brie selama beberapa hari.
Kondisi Brie semakin mengenaskan. Dan Harry butuh tempat untuk menyampaikan perasaannya, dia butuh motivasi dorongan kekuatan. Oleh karena itu, sekarang dia kembali ke kediaman utama Styles.
Seperti biasa, dia disambut tak begitu ramah oleh nenek sihir. Tapi ayahnya lain. Ayahnya juga meminta agar nenek sihir itu tidak masuk ke ruang kerjanya. Harry bersyukur untuk itu, dia tidak mau ada orang lain yang membuat emosi dia makin tidak stabil.
"Jadi, kenapa kau datang?"
Harry menunduk dan memainkan kuku-kuku jarinya, "Brie." Suara yang biasanya lantang terdengar kini malah lemah dan menyiut.
"Kau menyesal atas tindakan gilamu dulu?"
"Aku telat, Dad. Brie sudah menutup hatinya padaku. Tadi dia bahkan..." Harry berhenti sebentar untuk menghapus air matanya, "dia bahkan memintaku untuk membunuhnya. Dia mau balas dendamku terbayar sepenuhnya."
"Harry, sebagai seorang Styles, tidak pernah ada yang namanya kesempatan yang terlambat. Kesempatan itu akan selalu ada selama bumi terus berputar."
"Tapi, Dad. Kondisi Brie makin mengenaskan ketika melihat aku."
"Kalau begitu beri dia waktu. Dia mungkin butuh terapi pemulihan. Ketika dia sudah perlahan sadar, baru kau bisa masuk."
"Tapi, Dad. Terapi itu pasti akan memakan waktu lama! Apalagi kondisi Brie sangat merosot."
"Menunggu bertahun-tahun atau tidak melakukan apapun. Pilihan ada di tanganmu."
Ayahnya benar. Dia harus membiarkan emosi Brie reda dulu. Dia mau Brie kembali pulih seperti dulu. Dia akan terus menunggu sampai Brie menerimanya, tidak, sampai Brie memaafkannya. Memiliki Brie lagi, itu rasanya terlalu fatamorgana. Tapi Harry akan terus menunggu...
Well, tapi sebelum dia menjauh dari Brie untuk jangka waktu yang lama. Dia ingin fokus dulu pada situasi Brie. Dia kan pergi ketika Brie sudah agak tenang.
***
A/N :
Sorry for the massive typos. I'm only human not a robot. Wkwk
Well... well... well...
So gue update lagi.
Tanggung kalau cerita ini nggak dilanjutin jadi sebisa mungkin gue tulis aja yah walaupun gue tahu nggak sempurna.
Karena kalau gue anggurin seminggu atau dua minggu ini cerita, pasti gue bakalan anggurin sampai setahun atau dua tahun, bisa tamat itu syukur. Jadi mending ngebut nulisnya. Wkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro