#21 Angel's Cry
Gadis itu berdiri ragu di depan pintu coklat. Berkali-kali dia menghembuskan napas beratnya ketika tangan yang sudah terulur untuk mengetuk pintu itu tidak menjalankan tugasnya dengan baik, tangan itu hanya diam di posisi yang sama. Padahal mudah saja dia mengetuk lalu si empunya rumah akan membuka pintunya. Well, seandainya akan semudah itu.
Emily takut dia tidak diterima di kediaman Brie. Akibat tingkah dia yang kekanakan hidup Brie hancur. Cinta sudah membuat dia lupa tentang hubungan dengan keluarganya sendiri. Brie sudah sangat baik dengannya tapi dia tidak peduli karena faktor iri dan kini sepupunya kembali ke masa kelam seperti dulu. Bahkan ini jauh lebih buruk. Kalau dulu Brie hanya sendiri berkalut dengan pikirannya, dia diam selama dua bulan penuh tanpa bicara apapun, tapi kini situasi lebih parah. Brie disiksa dan dia terus menerus menghadapi siksaan itu.
Emily menghirup napasnya dalam-dalam kembali menguatkan diri untuk berani mengetuk pintu. Berhasil. Tapi di saat bersamaan terdengar suara ribut dari dalam kamar apartemen itu. Suara serak Brie menggelegar dan beberapa barang yang terbuat dari kaca berjatuhan. Emily kali ini meningkatkan intensitas ketukannya. Ada apa di dalam sana? Apa yang terjadi?
Tak lama kemudian pintu terbuka. Ada Liam dengan mata lelahnya kini berhadapan dengan Emily. Ribuan pertanyaan menghujam pikiran Brie tentang kenapa Liam bisa ada disana tapi suara bantingan dan teriakan semakin parah terdengar.
"Ada apa? Ada apa dengan Brie?" tanya Emily panik.
"Brie mengamuk."
"Lalu kau diam saja?! Kenapa kau tidak bantu dia?"
Kali ini Liam malah tersenyum miring, "Tidakkah menurutmu ini lucu. Kau dulu yang berharap Brie akan gila dan kini kemauanmu terkabul tapi kau malah datang kesini memarahiku agar bisa menenangkan Brie."
Emily merasa sangat tersinggung. Tapi dia sadar apa yang dikatakan Liam benar. Ini semua kemauan dia, dia ingin Brie gila. Tapi itu dulu...
"Liam, I was so wrong back then, I know it perfectly. But I've changed. Aku tidak mau melihat Brie seperti ini terus menerus."
"Telat, Em. Brie sudah gila. Kau puas!!!" Bentak Liam, Emily pun langsung ciut. Dia tidak sangka pria yang banyak senyum dan selalu dia anggap tidak punya wibawa seorang laki-laki bisa mengeluarkan aura seperti ini. "Aku kecewa padamu. Kau dan sikap egoismu itu."
"Tapi aku bahkan tidak tahu kalau korban Brie adalah adik Harry. Aku bersungguh aku tidak tahu."
"See... Kau tidak berubah, Em. Kau masih sangat egois."
Suara teriakan tiba-tiba berhenti dan kini baru Liam panik. Dia berlari tergesa-gesa menuju satu-satunya kamar yang ada di apartemen kecil ini. Ketika pintu kamar terbuka, mata Emily seakan ingin copot karena pemandangan ini sudah di luar ekspektasi dia.
Brie duduk di lantai dan bersandar di dinding, tangan dia terulur ke depan dengan pecahan kaca yang di goresan oleh tangan kanannya. Liam segera membuang kaca itu, "Jesus, Brie!!! Apa yang kau lakukan?"
Mata Brie sudah sayu, dia tersenyum lemah, "Aku mau mati, Liam."
Emily membekap mulutnya menahan tangis. Melihat Brie dengan kondisi dia yang semakin lama semakin mengenaskan, membuat dia benci pada dirinya sendiri.
"Daripada kau diam saja... cepat ambilkan kotak P3K di dapur."
Emily menurut. Tangan Brie sudah mengeluarkan darah, untungnya tidak begitu banyak. Kalau kondisi Brie terus seperti ini, dia akan meminta orangtuanya untuk membuat Brie menjalankan terapi. Brie sudah darurat pertolongan.
Begitu Emily kembali, Brie sudah terbaring di tempat tidur. Mata dia sudah terpejam. Brie yang dulu sangat dia benci karena mempunyai wajah terlampau cantik, sekarang sangat mengenaskan. Tubuhnya kurus, matanya nanar dan bengkak karena tangis yang tanpa henti... aura kecantikan dia sudah lenyap.
"Kau bisa mengobatinya, kan?"
"Ya."
"Baguslah... tolong sekalian kau ganti baju Brie dan bersihkan tubuh Brie, kau bisa?"
"Ya."
"Thank God." Liam lalu membuka ponselnya dan menelpon seseorang. Itu ternyata ayahnya. Entah apa yang mereka bicarakan, Emily tidak memperhatikan karena dia sibuk membersihkan luka di tubuh Brie. Dia meringis ketika melihat banyak sekali luka biru di tubuh pucat Brie.
"Em, kau bisa jaga Brie sebentar? Aku ada urusan."
"Pergilah, Liam."
"Jaga dia baik-baik!"
"Tanpa kau minta, aku pasti akan menjaga dia."
Sebelum Liam meninggalkan ruangan dan apartemen itu, Emily memanggil Liam. "Terima kasih sudah menjaga Brie." katanya tulus. Liam benar-benar pria yang sangat baik. Bodoh sekali dia dulu menyia-nyiakan Liam hanya untuk bersama orang sebrengsek Harry.
"Itu sudah kewajibanku sebagai sahabatnya."
Emily miris mendengarnya. Seharusnya ini kewajiban dia sebagai keluarga Brie. Tapi yang benar-benar peduli malah orang lain. Emily berjanji mulai sekarang dia yang akan menjaga Brie. Dia akan berusaha membuat Brie kembali seperti dulu. Dia bersungguh kali ini.
Emily semalaman suntuk menjaga Brie. Dia tidur di lantai dengan alas selimut tebal milik Brie. Dia tidak mau Brie akan histeris kembali seperti kemarin, dia harus siaga ada di dekat Brie. Ini tanggung jawab dia sebagai bagian dari keluarga Brie. Dia juga sudah memberi tahu pada Mom dan Dad kalau dia akan menginap di apartemen Brie, tapi dia belum memberitahu tentang kondisi mental Brie pada mereka. Emily ingin menemui mereka secara langsung bukan lewat jalur telpon.
Dia ingat dia baru tidur pukul lima pagi. Dia tidak bisa memejamkan matanya semalaman. Segala pikiran buruk bergelayut di benaknya. Dan untuk membuat pikiran itu tidak menganggunya, Emily menyibukkan diri dengan membersihkan apartemen Brie yang benar-benar hancur.
"Em..." suara serak itu sayup-sayup terdengar. Emily merasa bahunya ditepuk oleh seseorang, jadi dia berusahamembuka mata sebisa yang dia mampu.
Kantuk Emily hilang seketika saat melihat ada Brie yang sudah rapi berdiri di depannya. Anak itu tidak lagi histeris, dia bahkan bisa tersenyum ke Emily.
"Kau tidak masuk sekolah hari ini?"
"Sekolah?"
"Ya... kau mau bolos?"
"Kau mau masuk sekolah?" Emily melayangkan kembali pertanyaan Brie. Dia tak percaya setelah semua hal buruk yang terjadi di sekolah, anak ini masih tetap mau ke sekolah.
"Tentu saja. Aku sudah berjanji pada Harry."
Emily bangun dari posisinya, "Brie, tidak usah kau paksakan. Harry itu bajingan gila. Kau tidak pantas diperlakukan seperti itu. Kau sebaiknya keluar dari sekolah itu. Nanti kau dan aku akan pindah ke sekolah yang lebih baik."
"Tidak, Em. Sudah cukup aku lari dari tanggung jawab kemarin. Aku memang harus mendapat hukuman."
"Brie, please... tetaplah tinggal di rumah."
"I can't. Oh ya, dimana Liam?"
"Dia pulang ke rumahnya."
"Pasti ayahnya khawatir dengannya. Sudah beberapa hari ini dia menginap disini."
Brie mengangguk dan berjalan ke meja rias di ruangan itu. Dia hanya menyisir rambut dan memoles lip balm di bibir pucat dan keringnya. Emily bersyukur Brie sudah sadar kembali.
"Brie, maafkan aku."
Brie menoleh ke belakang, "Maaf untuk apa? Kau tidak salah apa-apa, Em. Aku bahkan berterima kasih karena berkatmu aku bisa layak mendapat hukuman."
"Brie... maaf." Emily menunduk. Dia malu sekali. Dia yang menjadi dalang semua kekacauan ini. Harusnya dia juga layak mendapat hukuman, "I'm so sorry."
Brie bangkit dan memberi Emily pelukan. Situasi ini terbalik, seharusnya Emily yang memeluk Brie untuk memberi pelukan kekuatan. Tapi yang terjadi malah Brie yang datang untuk menenangkannya. Emily sadar kalau Brie memang punya masa lalu yang buruk tapi dia sudah berubah... Brie sekarang sudah berubah menjadi malaikat bukan lagi sebagai iblis.
***
Brie tahu kondisi dia sangat mengenaskan sekarang. Jiwa dan tubuh dia kesakitan di semua sisi. Dia mencoba untuk tersenyum di depan Emily padahal jiwanya sudah rapuh. Pagi hari dia bangun dengan semangat tapi ketika menjelang malam atau mungkin di siang harinya, dia akan kembali menjadi gila. Belum lagi luka-luka lebam di perut dan dadanya yang belum sembuh. Tapi dia harus datang lagi ke sekolah... setidaknya sekali ini saja dia datang ke Harry lagi untuk menerima hukuman karena dia sudah punya rencana matang.
Bunuh diri.
Kemarin dia sama sekali tidak takut saat pecahan beling menyentuh tangannya. Dia sudah mulai berani. Tak lama lagi dia akan merealisasikan impiannya untuk mati. Jadi sebelum mati, dia rela untuk disiksa penuh oleh Harry.
Tapi sangat disayangkan Harry tidak menunggu dia lagi di lobi. Kemana perginya Harry?
Brie yang tidak mau kedatangan dia ke sekolah sia-sia, dia bertanya pada salah seorang wanita yang tengah berlalu-lalang, "Kau melihat Harry?"
Anak itu menatap Brie tajam, "Tidak."
Jawaban yang sama juga diterima Brie dari lima orang lainnya. Tapi Brie tidak menyerah. Dia tetap setia untuk menunggu di lobi. Emily dia suruh untuk masuk kelas saja, Emily suka belajar jadi Brie tidak akan menghalangi Emily untuk masuk ke kelas.
Hampir satu jam Brie berdiri tapi kondisi sekelilingnya masih sepi dan tak ada satupun tanda-tanda Harry datang. Kenapa anak itu? Apa dia sudah bosan menghukum Brie?
"Kau menunggu Harry?"
Suara berat itu sangat familiar. Ternyata itu Zayn.
"Ya."
"Kalau begitu ikuti aku."
Mata Brie memincing, bukankah Harry dan Zayn tidak dalam kondisi hubungan pertemanan lagi?
"Aku dan Harry sudah berbaikan. Dan dia minta agar aku membawamu ke rumahnya."
Oh... Baiklah. Brie percaya. Bagaimanapun mereka sudah berteman sangat lama, jadi kalau mereka berbaikan itu adalah hal yang wajar.
Sebelum dia pergi dari sekolah, dia menulis pesan ke Emily kalau dia pergi bersama Zayn. Brie tidak mau Emily ketar-ketir mencarinya nanti.
***
Suasana sangat tidak nyaman di mobil Zayn. Zayn membawa mobil agak tergesa, dan situasi sangat canggung karena tidak ada satu pun suara dari masing-masing individu di dalam sana.
"Zayn... ini bukan ke arah rumah Harry." Brie punya firasat tidak enak sekarang.
"Harry bilang ke rumah dia yang satu lagi. Kau tidak lupa kalau Harry orang kaya, bukan? Harry punya rumah sangat banyak di London."
Alasan logis. Tapi hati kecil Brie tidak bisa menerima hal itu. Dia tidak nyaman ada di dekat Zayn. Dan dia semakin khawatir setelah mereka sampai ke sebuah rumah pondok di daerah yang dekat dengan hutan.
Firasat Brie memang terbukti benar. Sampai di rumah pondok itu, Zayn menarik paksa tangan Brie, membawa Brie masuk terkunci di dalam bersama laki-laki itu.
"Zayn. Kau mau apa?"
Zayn tidak menjawab. Dia malah membuka bajunya satu persatu hingga dia bertelanjang dada. Dia mengurung Brie dengan tubuhnya. Zayn memaksa untuk mencium bibir Brie tapi tentu saja Brie menolak. Kepala Brie mengelak ke kanan dan kiri, tangan dia berusaha untuk mendorong tubuh Zayn menjauh. Tuhan, cobaan apa lagi ini.
Tindakan dia ini membuat Zayn marah. Zayn menampar kencang pipi Brie, "Diamlah kau jalang!!!"
"Lepaskan aku..."
Tangan Zayn malah bergerak untuk merobek pakaian Brie. Brie merasa terkoyak. "Dasar jalang brengsek. Harusnya kau bersyukur aku masih mau mencicipi tubuhmu setelah semua yang terjadi. Harry saja muak melihatmu."
Brie tidak punya tenaga lagi untuk mengelak. Dia bukan pasrah tapi dia benar-benar tidak bisa melawan. Tubuh dia masih sakit dan Zayn berkali-kali membuat luka lebam itu semakin sakit. Brie menangisi kehidupan malangnya. Dia sekarang mengerti seperti apa rasanya diperkosa. Dia sudah merasakan semua hal yang Megs alami dulu, tinggal kematian saja. Dan kali ini Brie bersumpah benar-benar akan mati.
***
Emily merasa sangat bersalah sekarang. Hari sudah hampir gelap dan dia kehilangan Brie. Karena punya firasat yang sangat buruk, Emily dan Liam bergerak menuju rumah Harry. Karena mereka yakin Harry ada kaitannya dengan semua ini.
Sampai di rumah Harry, Liam tak kuasa untuk meninju wajah brengsek Harry. Dia tidak punya ketakutan lagi dengan Harry. Ayahnya bilang kalau harta bisa dicari tapi kalau membiarkan seorang wanita menderita, artinya dia gagal menjadi seorang pria.
"What the fuck?"
"Dimana kau sembunyikan Brie?" tuntut Liam langsung.
"Apa maksudmu?"
"Jawab saja, Harry. Dimana kau sembunyikan Brie?" tanya Emily yang benar-benar emosi.
"Brie hilang?"
Satu tinju melayang lagi, anehnya Harry tidak melawan. Dia menerima perlakuan Liam. Dengan kasar Liam menarik kerah baju Harry, "Cepat katakan dimana Brie!"
"Aku tidak tahu!!!"
"Brie bilang dia pergi bersama Zayn untuk menemuimu!"
Harry mendorong Liam kencang, dia berubah panik. "Zayn katamu? Aku bahkan tidak pernah bersama Zayn lagi!"
Liam dan Emily tidak percaya. Tapi setelah melihat Harry yang kalap dan mulai menghubungi Niall dan Louis, baru mereka percaya. Belum lagi ponsel Brie daritadi sudah tidak aktif, mereka yakin ada yang tidak beres dengan Emily.
"Kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Brie, kau akan puas, Harry?"
Mereka sekarang ada di mobil Harry. Harry menyetir agak kalap. Pertanyaan Emily tidak mendapat jawaban apapun dari Harry. Rahang anak itu mengeras dan beberapa kali dia mengumpat.
Mereka sudah ke apartemen Zayn dan ke tempat-tempat favorit Zayn tapi tidak ada hasil. Anak itu seperti hilang dari peradaban. Lalu Niall memecah kebuntuan otak mereka di tengah malam itu. "Kau ingat rumah pondok tempat berkumpul kita waktu kecil? Mungkinkah Zayn membawa dia kesana?"
"Kita tidak akan tahu kalau kita tidak kesana." kata Harry yang mulai mengemudikan mobilnya lagi ke tempat yang dimaksud Niall. Kali ini dia menjalankan mobil lebih kencang lagi, berkali-kali dia melanggar rambu lalu lintas. Dan tak jarang dia meracau kata maaf. Dia mengumpat terus. Sudah jelas Harry sedang murka.
Rumah pondok itu ternyata menyala dengan terang di tengah kegelapan. Harry kalap dan menggedor pintu itu. Karena tidak ada tanggapan dia dan Liam berusaha bergantian mendobrak pintu kayu itu. Usaha mereka berhasil dan kemarahan Harry semakin menjadi setelah melihat kondisi Zayn yang hanya memakai celana pendek dan Brie menangis di bawah selimut.
"Brengsek, apa yang kau lakukan, bajingan!" Harry menjatuhkan Zayn dan memukul pria itu bertubi-tubi.
"Aku hanya bersenang-senang dengan dia. Kau sudah membuangnya, kan?"
Harry memukul wajah itu hingga membuat hidung mancung Zayn mengeluarkan darah. Harry kalap, Niall dan Louis bahkan turut membantu memukul bajingan kecil itu. Tapi pukulan mereka terhenti karena teriakan Brie yang menyayat.
"Lepaskan aku... pergi... tolong..." Brie menangis tersedu dan menolak disentuh oleh Liam ataupun Emily. Emily menangis juga... Brie terlalu baik untuk mendapat cobaan seperti ini.
"Biarkan aku saja." Emily tak mau Harry kembali menyakiti Brie. Dia pasang badan untuk melindungi Brie. Cukup sampai disini penyiksaan Brie. Demi Tuhan... dia tidak layak mendapat semua perlakuan itu.
"Aku janji tidak akan menyakiti dia lagi. Aku janji."
Liam dan Emily tetap tidak membiarkan. Janji seorang Harry pasti hanya bualan. Harry Styles yang membuat kehidupan Brie menderita, mustahil sekali anak itu bilang dia akan main tangan lagi ke Brie.
"Kau sudah puas, Harry? Kau sudah puas?" bentak Emily yang sudah berani untuk menampar pipi anak itu. Emily sangat kecewa sekarang. "Kau brengsek, Harry! Kau dan temanmu itu sama-sama bajingan!"
Brie terus menjerit dan ketakutan. Pemandangan yang membuat miris siapa saja yang melihatnya. Brie yang dulu begitu kuat, sudah hancur dan terjatuh lemah. Akan sangat sulit bagi Brie untuk bangkit lagi. Brie sudah terlalu menderita. Jiwa anak itu sudah hancur.
Tapi Emily tidak akan pernah pergi dari Brie. Dia akan terus menjaga Brie. Dia dan Liam berjanji sepenuh hati mereka untuk melindungi Brie, terutama dari bajingan macam Harry dan teman-temannya.
***
Sebelumnya gue mau minta maaf karena gue sadar Chapter ini banyak kekurangannya. Yang penting gue Update kan ya? Wkwk
Harry taubat tapi penderitaan Brie belum berakhir. Haha... gue emang jahat. Wkwk.
Justru gue mau buat Harry nyesel dulu. Enak aja dia udah kayak begitu sama Brie juga... kalau dia mau dapat Brie lagi ya harus berjuang lah ya?
Dan cara penyesalan yang paling ampuh adalah ngeliat Brie disiksa sama orang lain. Kalau Zayn datang sebagai orang ketiga dan ngasih perhatian yang lebih ke Brie, itu terlalu mainstream....dariawal emang udah gue buat kalau Zayn bakalan jahat. Jadi ya beginilah jadinya.
Lima Chapter lagi abis kok... tenang.... wkwk.
Endingnya gue janji bakalan bahagia. Haha.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro