Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#20 Devil's Side

Harry benci situasi ini. Dia sangat membenci Brie tapi di satu sisi ada rasa iba yang menguasainya. Sudah ada tiga orang yang menasihatinya agar berhenti, tiga orang yang bilang sesuatu tentang cinta. Niall yang paling berisik, dia terus meminta Harry berhenti agar Harry tidak menyesal. Damn, buat apa Harry menyesal... eye for eye and tooth for tooth, kan? Harry bertindak karena tuntutan balas dendam. Kalau Megs masih hidup, dia pasti senang dengan apa yang sudah Harry lakukan pada Brie.

Louis tidak banyak bicara tapi sesekali dia juga bilang kalau tindakan Harry keterlaluan. Hell! Apanya yang keterlaluan? Tindakan Brie bahkan jauh lebih iblis.

Lalu tadi Emily, si penyebar gosip pun menasihati Harry agar berhenti karena apa tadi katanya... Harry masih mencintai Brie? Fuck, cinta? Tidak akan pernah. Dia dulu terlalu naif dan bodoh sampai percaya kata cinta itu eksis di dunia. Harry seharusnya tidak bodoh dulu. Cinta? What the fuck is that?

Persetan dengan semua orang. Harry tetap akan melanjutkan aksi balas dendamnya. Hukum karma harus tetap berjalan. Dan Harry tidak mau Brie hidup tenang.

***
Harry menunggu kedatangan Brie di lobi lagi. Tapi anak itu datang terlambat, atau malah tidak datang? Shit... apa anak itu tidak merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Megs?

Bel sudah berdering sejak dua puluh menit lalu, anak-anak di lobi pun hampir tidak ada lagi. Hanya ada Harry yang tetap berdiri dengan bodohnya menunggu kedatangan si jalang. Kalau dalam sepuluh menit anak itu tetap tidak datang, maka Harry baru akan pergi.

Ternyata tidak sampai sepuluh menit, si jalang dengan jaket hitamnya datang bersisian dengan Liam. Dari jauh Harry bisa melihat beberapa luka lebam di pipi Brie, itu dari perbuatan tangannya.

"Kau terlambat."

"Ma-maaf, Harry."

"Kau tinggalkan aku berdua dengan anak ini."

Teman pria Brie bergeming di tempat. Dan dia bahkan lancang menatap Harry penuh kebencian. Sial, anak ini mau melawannya?

"Aku peringati kau untuk pergi kalau tidak--"

"Just go, Liam." Suara Brie pelan dan terputus-putus. Tapi perintah Brie akhirnya dituruti pria itu.

Pria itu bahkan lancang memeluk tubuh Brie, mencium puncak kepala Brie, dan berbisik sesuatu di telinga Brie sebelum pergi dari hadapan mereka. Sialan... Apa itu semua? Mereka sudah menjalin hubungan? Dasar jalang!!!

"Ikuti aku!"

Harry berjalan di depan. Tapi dia harus berhenti beberapa kali untuk menunggu Brie yang jalan bagaikan siput. Kenapa lagi dia jalan begitu lamban? Apa semalaman si jalang ini dan temannya berhubungan intim sepanjang malam!!!
Damn, dasar tidak tahu malu.

"Ikuti aku cepat! Atau kau mau aku seret dengan rambutmu lagi?"

Harry tidak pernah bermain-main dengan ucapannya. Karena Brie tidak menurut, dia menarik rambut Brie lagi seperti hewan saja. Dia tidak mau membuang waktunya untuk menunggu jalang ini berjalan.

Brie beberapa kali merintih ketika beberapa rambutnya terlepas dari akarnya. Dan Harry senang karena hal itu. Dia ingin Brie merasa sakit, makanya dia menaikkan kekuatan tangannya dalam menarik rambut Brie.

Tanpa perasaan Harry mendorong tubuh Brie ketika sudah sampai kelas kosong. Kepala Brie membentur pinggiran meja, well,  baguslah.

"Kau berpacaran dengan temanmu itu?"

Sangat pelan Brie menggeleng, "Just Friend."

Brie yang masih duduk di lantai, Harry tendang perutnya. "Jangan bohongi aku, brengsek!"

"Aku tidak bohong."

"Cuih..." Harry meludah ke arah Brie. Dia kembali menendang perut Brie seolah itu adalah bola kaki. "Dasar jalang, brengsek!"

Harry belum puas. Dia lalu membuat Brie berdiri dengan tangannya dan kembali menampar pipi Brie berkali-kali. "Jawab jujur!!!"

"Aku sudah jujur."

"Brengsek." Dengan sangat kasar, Harry mendorong Brie hingga tubuh anak itu terpojok di dinding. Terus-menerus dia tendang badan anak itu. "Fuck you!"

Entah apa yang dirasakan Brie, yang jelas Harry puas. Kaki dia bahkan sudah sakit apalagi tubuh anak itu. Biar dia merasakan kesakitan. Harry tidak ingin anak ini bahagia... dia tidak layak.

"Take off your clothes."

Tanpa menunggu lama Brie menurut. Tangan dia gemetar saat membuka kancing bajunya satu persatu. "Cepatlah!"

Ketika pakaian atas Brie sudah tanggal, Harry meludahinya. "Pelacur! Brengsek!" Harry meletakkan kakinya di atas dada polos Brie dan menekannya sangat kencang. Mata Brie sudah berair, apa itu menyakitkan? Well... sekali lagi Harry naikkan tekanan kakinya. Jeritan Brie semakin kencang.

"Lepaskan  celanamu. Sekarang. Be naked in front of me."

Brie berdiri dan kembali menurut. Dasar gadis jalang! Semua hal dia turuti begitu saja... apa anak ini tidak punya sedikit pun harga diri?

Sekarang Brie sudah telanjang di depannya. Badan ini yang dulu membuat Harry ketagihan dan terbang melayang tapi sekarang lihatlah... badan anak ini jadi sangat mengenaskan. Ada banyak luka lebam menyebar di sekujur tubuh polosnya. Harry tersenyum penuh kemenangan karena dia tahu itu hasil kerja dia selama ini.

"Fuck me."

"Quoi?"

"Fuck me. Now."

Harry duduk di atas meja. Menunggu gadis itu melaksanakan tugas jalangnya. Tapi Brie tidak beranjak, dia tetap berdiri dengan tampang sangat bodoh. "I said fuck me, slut!!!" Bentak Harry kencang sekali. Anak itu pun mendekat.

Dengan tubuh polosnya, Brie merapatkan tubuhnya ke Harry. Dia menempelkan bibirnya ke bibir Harry tanpa ada pergerakan, Harry seperti berciuman dengan patung. Harry mencekik leher Brie, "Cium aku dengan benar, jalang!"

Muka Brie merah karena cekikan itu. Karena belum ingin membuat Brie mati, Harry pun melepaskan tangannya. "Cepat... cium aku!"

Dengan tangisan, Brie mencium Harry. Ciuman yang tidak tergesa-gesa tapi penuh dengan nafsu. Dasar jalang! Tangan Harry pun terulur untuk menggapai salah satu dada Brie. Dia meremasnya kencang dan Brie merintih sangat kencang, dia bahkan menghentikan aksinya di bibir Harry. Harry memang sengaja meremas dada yang tadi sudah dia injak-injak.

"Sakit, slut?"

Brie menunduk dan menangis tersedu-sedu. Harry yang tidak tahan langsung meludahi muka Brie. "Kenapa kau menangis? Kau layak mendapatkan itu semua, brengsek." Harry menampar pipi kanan Brie lagi.

Tiba-tiba Brie jatuh terduduk. Dia histeris dan berteriak kencang. Kedua tangannya menutupi kupingnya, "Jangan berisik!!! Hentikan!!! Aku mohon jangan berisik!!!"

Apa-apaan anak ini. Apa dia sudah gila?

"Jangan berisik. Aku mohon... tolong..." Brie mencoba berteriak tapi gagal karena pita suara yang tidak memungkinkan.

"Dasar jalang gila!!!" desis Harry kembali menendang kaki Brie hingga kini Brie jatuh tertidur dengan kaki tertekuk. "Kau tidak layak jadi penghuni bumi, bitch. Tempatmu itu di neraka."

Harry tidak tahan mendengar racauan tak jelas Brie. Dia memutuskan untuk pergi dari kelas itu. Rasanya sudah cukup untuk hari ini. Biarlah Brie ditemani kegilaan dia sekarang.

***

Harry sedang menikmati Red Wine miliknya, dia butuh sesuatu untuk menenangkan hatinya yang entah kenapa tidak tenang. Dia sudah bilang agar Niall dan Louis pulang ke rumahnya, damn buat apa mereka terus menganggu ketenangan hidupnya.

Sekarang rumah dia sudah sepi. Tapi dia merasa sangat kosong. Bukannya semakin tenang, dia malah tidak tenang. Dan kemudian tiba-tiba saja ada suara yang sangat dia kenal menggelegar di seantero rumah kosongnya.

"Kemari kau anak brengsek!!!"

Itu ayahnya!!! Itu suara ayahnya!!!
Buat apa beliau ke rumahnya?

"Aku bilang kesini kau anak brengsek!"

Harry belum pernah melihat ayahnya semarah ini. Ayahnya bahkan sedang sakit, darimana kekuatan ayahnya ini berasal sekarang?

Harry berjalan penuh ketakutan. Di dunia ini hanya ayahnya yang paling dia takutkan. Begitu dia berdiri persis di depan ayahnya, satu tamparan kencang mendarat di pipi Harry.

"Kau brengsek... Dad tidak pernah mengajarimu kasar pada seorang wanita! Dan..." Tamparan lagi di pipi yang sama, "Demi Tuhan, Harry... What's wrong with you?"

"Dad... gadis yang kau bela itu sudah membunuh Megs!"

Ucapan itu berbuah satu tamparan lagi. "Dan Megs tidak akan pernah mau kau menyakiti orang itu! Kau mau anak itu mati juga gara-gara tingkahmu?"

"Megs mati gara-gara dia, Dad!"

"Dan Dad tidak mau kau menyakiti anak itu!"

Harry tertawa, "I see... Dad tidak pernah peduli pada Megs. Kenapa Dad seperti itu? Walaupun dia anak Dad dari salah satu perempuan jalangmu. Dia anak kandungmu juga!"

Tamparan tidak berhenti ayahnya arahkan ke pipi Harry. Harry belum pernah mendapat amukan seperti ini dari ayahnya. Dia memang tidak akur dengan ayahnya tapi berada dalam situasi ini adalah hal yang sangat baru.

"Harry... kematian Megs adalah  kegagalan Dad. Dad tidak berhasil menjaga dia."

"Ya... kau menelantarkan dia, Dad."

"Ya..." Ayahnya kini menunduk. "Dad tahu dan Dad sangat menyesal. Tapi bukan seperti ini, Harry. Dad tidak mau dendammu akan menjadi bumerang buat dirimu sendiri." Tangan kanan ayahnya menepuk pundak Harry, "Kau ingat saat kau membawa anak itu bertemu dengan Dad? Dad belum pernah melihat kau sebahagia itu, Harry. Itu pertama kalinya Dad melihatmu sebagai seorang laki-laki dewasa. Hentikan semua ini, Harry. Dad tidak mau kau menyesal."

"Tidak, Dad. Megs butuh seorang pembela. Dan aku siap membela dia."

"Coba teliti hatimu, Harry. Dad yakin disana masih ada kenangan kau dengan gadis itu. Dad yakin kau masih mencintai dia."

Cinta. Cinta. Persetan dengan cinta. Ada apa dengan semua orang ini? Mereka sok tahu sekali... siapa yang mencintai seorang pembunuh? Harry tidak pernah mencintai Brie. Tidak pernah.

"Dad mau tanya satu hal saja."

Sudah lama sekali Harry dan ayahnya tidak berdekatan seperti ini. Selalu ada si nenek sihir yang menghalangi kedekatan hubungan ayah dan anak ini. Dan sekarang ayahnya datang kesini, menampar dia, dan memberi dia nasihat. What a fucking situation.

"Seandainya atas tindakanmu ini Brie memutuskan untuk bunuh diri seperti yang Megs lakukan dulu. Apa yang akan kau lakukan."

Jika Brie mati apa yang Harry lakukan?

Harry tidak bisa menjawab itu. Dia seharusnya akan senang kalau Brie mati tapi sesuatu di hatinya menolak hal itu. Dia tidak bisa membayangkan kematian Brie. Apa ini? Ini bukan perasaan bersalah... damn, ada apa dengan hatinya sendiri? Kenapa dia jadi ragu-ragu sekarang?

"Pikirkan itu baik-baik. Dad sangat menyayangimu. Dad tidak mau kau menyesal. Hentikan ini sebelum terlambat, Harry."

Hentikan.
Tapi bagaimana nasib Megs?
Dia mati gara-gara kelakuan iblis Brie.
Tapi bukankah anak itu sudah berubah, dia bahkan sudah melihat kedermawanan anak itu.
Tapi tetap saja Brie seorang pembunuh.
Tapi kau juga seorang pembunuh!
Tapi Brie membunuh Megs.
Tapi Megs tidak mau kau menjadi iblis.
Tapi Megs butuh pembela.
Tapi kau masih memiliki perasaan pada Brie.

"Fuck!!!!" jerit Harry kencang. Dia mengacak rambutnya kasar dan mulai melempar barang apapun yang ada di jangkauannya.

Dia bahkan tidak sadar kalau ayahnya sudah pergi. Harry kalut dengan pikirannya sendiri. Sekarang apa yang harus dia pilih?

***

A/N :

Kemarin gue bilang gara gara gue uts update nya bakal lama ya? Tapi gara gara uts juga ide gue numpuk... dan tangan  gue gatal pengen nulis. Aduh duh... kalau sehari gue post satu kali dalam seminggu cerita ini bakal abis loh... fiuh akhirnya. Gue nulis bulan agustus tapi aktif lanjutin ceritanya bulan september (kalo nggak salah) dan bulan november abis (kalo nggak ada halangan)
Cepet juga ya.. wkwk

Sebenarnya seharusnya ada lagi hal brengsek yang harry lakuin ke Brie tapi nggak jadi gue tulis, karna menurut gue itu agak keterlaluan.
Well... tapi... ya... tunggu aja di Chapter selanjutnya ya. Wkwk.
Hari ini nggak ada adegan penyiksaan kan, Well ada sih tapi masih dalam batas wajar lah ya... wkwk. Apa udah di luar batas wajar? Haha.
Btw, Harry bentar lagi tobat... akhirnya... haha.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro