Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#16 Devil's Side

"It's over, Harry! Hubungan kita berakhir, cukup sampai disini saja!!!"

Brie datang tiba-tiba sekali, matanya penuh oleh aliran air, emosinya meluap luap seperti letusan Gunung berapi. Harry tidak tahu kenapa Brie bertingkah seperti ini, beberapa menit yang lalu mereka masih saling bercengkerama tapi sekarang Brie memandang dia dengan kebencian yang terlalu intens.

"Brie, aku mohon... bicara lah baik-baik."

Brie menggeleng dan berusaha melepas eratan tangan Harry. Harry ingin terus menahan Brie dengan kekuatan tangannya tapi dia tidak mau Brie kesakitan karena ulahnya, dia pun membiarkan tangan Brie lepas dari genggamannya. Satu kalimat terakhir dari Brie sebelum dia keluar dari kelas yang mendadak heboh itu adalah, "Aku benci sekali padamu, Harry!"

Harry sering dibenci oleh seseorang, ralat, ribuan orang malah. Tapi ketika ucapan itu terlontar dari orang yang sangat dia cintai, rasanya begitu menyakitkan. Tapi bagaimana Brie bisa tahu tentang taruhan dan dia yang tidur dengan wanita lain?

Hanya ada satu jawaban, ada pengkhianat dalam hubungan pertemanan dia dengan anak-anak manja itu. Dan kemungkinan dipersempit karena ada Zayn!
Licik sekali anak itu...

Rahang Harry tertekan dengan tangan yang mengepal erat. Harry keluar dari kelas, bukan untuk mencari Brie, karna dia tahu hal itu akan sia-sia. Emosi Brie tengah ada di puncak, harus ada jeda sesaat untuk Brie bisa menenangkan diri, barulah Harry masuk. Sekarang yang jadi urusan Harry adalah orang itu, si brengsek itu!

Ternyata anak-anak di kelas mengikuti jejaknya untuk keluar kelas. Mereka pasti pikir melihat drama dalam balutan nyata lebih berfaedah daripada mendengar penuturan sejarah Britania Raya oleh Ms. Enderson. Harry tidak mempermasalahkan keramaian yang membludak, dia memang butuh khalayak ramai agar orang-orang menyaksikan apa yang bisa dia lakukan pada orang sebrengsek Zayn.

Tidak sulit untuk menemui Zayn. Anak itu ada tepat di depan kelas dengan senyuman menantang. Yang membuat emosi Harry kembali terbakar adalah sosok yang ada dalam pelukan Zayn, Brie sedang memeluk Zayn. Harry tidak bisa menahan diri lagi, dengan kasar dia melepas tubuh Brie dari pelukan Zayn. Dia pun melemparkan beberapa pukulan kencang ke pipi dan perut Zayn. Harry kalap. Dia bahkan ingin membunuh Zayn di detik itu, sekarang, dengan kedua tangannya sendiri.

"Harry, lepaskan!!! Hentikan semua ini!" Tangan Harry di udara pun terhenti mendengar titah itu. "Buat apa kau marah padanya! Setidaknya dia bisa bicara jujur tentang kebenaran daripada kau yang terus membohongi hubungan ini!"

"Aku tidak pernah bohong tentang hubungan ini, mon ange. Aku benar-benar mencintaimu." Harry mengeluarkan perasaannya benar-benar berasal dari hati. Air mata bahkan hampir saja jatuh dari matanya ketika dia berbicara. Harry bukan pria cengeng, tapi perpisahan dengan Brie adalah kekalahan terbesar dalam hidupnya.

Brie tertawa kencang, lalu menampar Harry sekali lagi, "Ta Guelle! Aku tidak mau mendengar satupun racauan palsumu lagi. Cukup sekali aku masuk ke jebakanmu, Harry. Aku bukan wanita bodoh!"

"Dengarlah dulu penjelasanku, mon ange."

"Don't you ever call me with that stupid names again. I'm not your angel."

"Please, just listen to me. I'll explain everything. I don't wanna break up with you... I love you. I really love you. Damn, I'm fucking love you!"

Brie bertepuk tangan sangat kencang, "Aktingmu sangat bagus, Mr. Styles. Kau bisa mendapat Oscar, percayalah."

"Aku tidak sedang akting, mon ange. Aku benar-benar mencintaimu, sangat mencintaimu, tidakkah kau melihat ketulusan itu dari mataku?"

"Ketulusan?" Brie tertawa, "Apa kau pikir aku bodoh? Tentu saja aku tidak melihatnya, yang aku lihat hanya kebusukan!"

Harry menarik napasnya perlahan. Dia lalu merendahkan dirinya sehingga berlutut tepat di depan Brie. Ini hal yang paling gila dia lakukan sepanjang umurnya tapi tidak ada cara lain. Harry harus meminta belas kasih Brie, dia mau menunjukkan ketulusannya.

"I'm down on my knee right know. I'm begging you a sorry. Please... forgive me."

Ternyata yang dilakukan Harry saat ini tidak punya pengaruh apapun. Brie malah pergi, dengan Zayn di belakangnya. Harry menunduk mengeluarkan tangisnya untuk pertama kali. Dia menyesal tentang segala hal yang sudah dia lakukan, wajar memang kalau Brie marah besar. Dia sudah melakukan kesalahan yang terlampau parah. Brie bukan malaikat, dia manusia normal... tidak semudah itu memberi maaf pada iblis sepertinya.

***

Dulu sekali Harry sangat tidak menyukai musik cengeng, dia benci mendengar teriakan memohon laki-laki yang mengemis cinta. Itu dulu, dulu sebelum Harry mengenal cinta, dulu sebelum Harry merasakan sakitnya kehilangan cinta, dulu sebelum Harry mengenal cintanya yang bernama Bridgette Padget.

Memang benar sekali pepatah yang bilang kalau kau akan merasakan arti sebuah lagu ketika kau tersakiti oleh cinta. Harry sudah memutar lagu On Bended Knee entah untuk sekian kalinya. Lagu itu cocok dengan situasinya saat ini. Lagu itu adalah segala hal yang tengah berkecamuk dalam dirinya.

Sudah dua hari ini Harry memilih untuk berdiam diri di kamar, mendengar lagu orang-orang patah hati, dan membaca novel Wuthering Heights karya Emily Brontë. Novel yang dipilih Harry karena sama-sama mengandung unsur kesedihan... tidak ada hal yang bahagia dari Novel itu. Sengaja Harry pilih agar dia tahu bukan hanya dia yang tidak bahagia di dunia ini.

Harry sadar sikapnya ini sangat pengecut. Hubungannya dengan Brie kandas, bukannya mengejar Brie, Harry malah diam dan bertingkah seperti mayat hidup di rumahnya.

So many nights I dreamt
Holding my pillow tight
I know that I don't need to be alone
When I open up my eyes
To face reality
Every moment without you
It seems like eternity
I'm begging you, begging you come back to me

Lagu ini benar-benar menertawakan Harry. Harry sudah berusaha untuk meminta maaf, dia ingin menjelaskan semuanya ke Brie tapi gadis itu terus tutup telinga.
Kebenarannya Bersama Brie, dia sama sekali tidak main-main. Damn, kalau saja ada alat pemutar waktu dimana dia tidak terpancing emosi untuk menagih hadiah taruhan tololnya itu.

Can we go back to the days our love was strong
Can you tell me how a perfect love goes wrong
Can somebody tell me how to get things back
The way they used to be
Oh God give me a reason
I'm down on bended knee

Harry sudah melakukan itu. Dia sudah berlutut meminta ampun ke Brie. Dia ingin hubungan yang membuat dia untuk pertama kalinya merasa bahagia tidak berakhir..  setidaknya tidak secepat ini, setidaknya tidak dengan cara seperti itu.

"Haz..." gangguan yang kembali muncul. Niall dan Louis sepakat untuk ikut terjun dalam kegalauan suasana hati Harry. Mereka juga tetap berada di rumah itu selama dua hari ini, mereka seperti alarm yang mengingatkan Harry jadwal untuk makan, mandi, dan tertidur, karena Harry tidak bisa ingat waktu. Otak dia kosong... yang dia tahu hanyalah bayangan masa lalu dia dan Brie.

"Haz..." panggil Niall lagi, bocah itu sekarang duduk di sofa panjang yang sama dengan Harry, "Sampai kapan kau seperti ini?"

Harry memilih tidak bersuara.

"Kau seperti bukan Harry yang aku kenal. Buat apa kau tangisi satu gadis yang pergi jika kau bisa mendapat ratusan gadis yang berdiri mengantri buatmu."

Harry menggeleng dan tersenyum miring, "Aku tidak butuh penganggum atau pengejar harta, aku mau ketulusan dan Brie memberikan itu untukku."

"Kalau begitu kejarlah Brie! Bertingkahlah seperti laki-laki pejuang, bukan laki-laki yang selalu merenung seperti ini."

"Horan, aku tidak sedang merenung, aku mencari ketenangan." Alasan ini selalu menjadi penyelamat muka Harry.

"Fuck off, Haz. Kau mungkin tidak pernah menganggapku sebagai teman tapi aku selalu menganggapmu teman. Dan aku muak melihat temanku kehilangan passion seperti ini!"

Harry melihat wajah Niall, di dalam mata anak itu memang terlihat jelas cetak ketulusan. Tapi Harry memilih untuk tidak percaya tatapan itu, dia tidak mau terjebak karena dia tahu tidak ada ketulusan yang benar-benar tulus di dunia ini. Niall pasti ada maksud tertentu bertingkah seperti ini, dia ingin mengambil kepercayaan Harry lalu memakai rasa percaya itu untuk kepentingan pribadinya. Hell, Harry tidak bodoh.

"Kalau kau tahu aku tidak pernah menganggapmu teman seharusnya kau sadar kalau kau itu menganggu ketenanganku."

"Haz, aku tidak akan pernah pergi darimu." Harry menahan rasa jijiknya, apa jangan-jangan Niall itu gay? "Kau butuh seseorang untuk menjadi sandaranmu dan hal itulah yang akan dilakukan teman sejati."

"Niall, percayalah aku tidak butuh dirimu. Mendengar kau berkata seperti itu saja aku sudah ingin muntah. Jadi sebaiknya kau pergi saja."

"Tidak sebelum kau kembali menjadi Harry yang aku kenal."

Harry menutup bukunya dan mematikan musik yang sedari tadi menjadi soundtrack kesedihannya. Dia berdiri dari posisinya, lalu menarik keras kerah baju Niall sehingga anak itu ikut berdiri. Sebelum Niall sempat berkedip, satu pukulan mendarat di pipi itu, "Now, I'm back to my true self, right? Happy now? " pukulan lagi di perut Niall, anak itu menggeram menahan rasa sakit. "And now, I repeat again... just get the hell out from here! I don't need any fucking advice from you or everyone else. I just wanna fucking alone right now!"

Kembali Harry meninju wajah Niall. Niall tetap tidak membalas, dia terus menerima pukulan itu secara lapang dada. Harry terus memukul wajah dan perut Niall sampai anak itu terjatuh kembali di sofa. Wajah Niall sudah babak belur, Harry tidak berniat untuk berhenti. Dia butuh pelampiasan dengan menjadikan Niall sebagai bahan luapan marahnya.

"Haz..." Suara lain, Louis datang ke kamar Harry. Anak itu memang disini juga tapi dia cukup tapi diri untuk tidak berisik dan lagi Louis adalah koki yang sangat handal. "Ada yang mencarimu di luar."

Harry berhenti, dia melepaskan tubuh Niall dan berjalan masih dengan tatapan marah ke Louis. Dua orang ini sudah cukup menganggu ketenangannya dan kini hadir orang lain? Siapa? Yang tahu rumah ini hanyalah dua teman manjanya, satu teman brengseknya, Ayah dan nenek sihirnya, Brie, dan Emily. Apa mungkin Brie yang datang?

"Siapa?" Semoga saja Brie yang datang dan ingin memperbaiki hubungan mereka.

"Emily."

Harry kecewa tapi di sisi lain ada rasa penasaran. Buat apa anak itu ke rumahnya lagi? Apa dia ingin memarahi Harry karena telah membuat sepupunya kalap. Brie selalu membela sepupunya, mungkin saja Emily yang sekarang gantian membela Brie. Well, kalau seperti itu... Harry siap mendapat tamparan dari anak itu.

"Suruh dia masuk ke kamarku dan pergilah kalian berdua dari rumahku."

Tak lama kemudian Emily datang. Dia memakai pakaian yang tak wajar di tengah cuaca dingin ini. Dan semakin tak wajar lagi karena dia tersenyum begitu semeringah. Apa mau anak ini?

"Harry, maafkan atas tingkah lancang sepupuku. Seharusnya dia tidak mempermalukanmu di depan umum. Anak itu benar-benar bodoh."

Mata Harry menyipit, Emily tidak datang ke rumahnya untuk membela sepupunya tapi menjelekkan sepupunya.

"Mau apa kau kesini?" nada Harry berubah jadi sangat ketus.

"I miss you. Aku mau kita kembali seperti dulu lagi."

Harry mendengus, "Kembali? Dalam mimpimu saja!"

"Harry, aku mencintaimu... aku sangat mencintaimu." Emily memegang erat lengan Harry. "Tolong, kembalilah padaku. Kau pernah bilang mencintaiku! Kau bilang kau tidak akan pernah pergi dariku. Kau itu milikku, Harry."

Harry melepaskan tangan Emily dari lengannya, "Kau bodoh sekali kalau percaya kata-kata bualan itu. Apa aku harus sampaikan faktanya padamu?"

"Apa maksudmu?"

"Kau itu cuma bahan taruhanku... aku mendekatimu karena taruhan. Seharusnya kau berterima kasih pada Brie karena terus melindungimu."

Harry kira Emily akan marah padanya seperti amarah Brie yang meletup saat tahu fakta itu, tapi Emily tidak bersikap wajar. Anak itu malah mengutuk Brie dengan segala umpatan kasar. Entah darimana gadis polos itu tahu kosakata kasar, Harry tidak mau peduli.

"So..."

"Aku tidak peduli aku hanya bahan taruhan, Harry! Aku terlanjur mencintaimu hingga aku gila rasanya. Buat apa pula Brie melindungiku. Shit, seharusnya anak itu tidak menjadi penghalang hubungan kita."

Harry rasa Emily positif tidak waras. Bukankah seharusnya seorang wanita akan memarahinya karena telah menjadikan badan dia objek taruhannya? Well, tapi Harry lupa satu hal. Dia Harry Styles. Carla saja yang selalu menempel seperti lem dengan Louis bisa menjadi jalang, maka harusnya dia tidak kaget kalau Emily pun akan menjadi salah satu jalang itu.

Sebelum Harry berkedip Emily menjatuhkan wajahnya di wajah Harry. Bibir gadis itu melumat bibir Harry tak sabaran, dia menuntun Harry untuk menjamah tubuhnya. Sebagai laki-laki apa Harry bisa menolak tawaran nenggiurkan ini? Jawabannya tidak... Harry rindu dengan segala sentuhan wanita. Harry ingin disentuh seperti Brie yang selalu tahu dimana titik lemahnya. Anggap saja Emily adalah pelacurnya untuk saat ini. Toh Harry tidak sedang selingkuh, bukan? Hubungan dia dan Brie sudah berakhir, dia bebas untuk memulai keintiman dengan gadis lain tanpa rasa bersalah.

Tapi, faktanya tidak sesuai harapan. Lagi-lagi Harry diliputi perasaan bersalah. Hanya Brie yang ada di pandangannya saat dia menyatukan tubuh dengan Emily. Dia bahkan tidak merasa puas sama sekali... dan seperti yang dia lakukan pada mantan tunangan Louis, Harry pun melemparkan segepak uang di muka Emily usai persetubuhan mereka. Because whore must be treated like a whore, right?

"What the hell, Harry!"

"Itu bayaranmu karena telah menjadi pelacurku hari ini. Asal kau tahu saja, kau sangat membosankan dan aku pusing mendengar jeritanmu. Aku tidak puas sama sekali tapi karena kau telah mencoba memuaskanku maka aku tetap harus membayarmu. Kalau kurang, kau bisa menagihnya lagi padaku."

"I'm not your slut!" isakan Emily memenuhi ruang kamar Harry. Apa sekarang dia menyesal telah melepas hal berharganya pada orang sebrengsek Harry? Salahnya sendiri!

Harry memakai pakaiannya agak tergesa, "Aku sudah memuaskanmu, kan? Sekarang aku mau kau mengembalikan Brie padaku entah bagaimana caranya. Aku mau Brie kembali padaku."

Emily masih terus saja menangis. Suaranya membuat kepala Harry makin penat. "Dan, itu perintah karena asal kau tahu saja, tanpa kau sadari tadi aku sudah merekam kegiatan barusan, well, hanya badanmu saja yang aku rekam. Aku bisa menyebarkan video itu. Aku penasaran bagaimana reaksi orangtuamu saat gadis polos yang selalu dibanggakan mereka malah menjadi gadis jalang."

Emily melempar kembali uang yang Harry berikan ke badan Harry, "You're really sicks!"

"That's what I am. Kau punya waktu lima belas menit untuk keluar dari rumah ini." kata Harry sebelum menutup pintu kamar.

Harry keluar dari kandangnya setelah tiga hari menjadi bodoh karna terus ada di kamarnya. Benar kata Niall, Harry harus memperjuangkan Brie bukan membiarkan Brie pergi. Apalagi ada satu orang yang mengincar Brie... dan Harry tidak mau orang itu yang menang. Harry harus mendapatkan kembali apa yang sudah menjadi miliknya dengan cara apapun.

***

A/N :
Semoga kalian nggak bosen karena gue update mulu 😂😂😂.
Maafkeun ya kalau ceritanya makin nggak jelas.

Btw, gue udah bikin plot cerita ini. yang satu sad ending, yang satu lagi happy end. Awalnya mau bikin sad end tapi untuk pertama kalinya gue kagak tega bikin kayak gitu. Mungkin gue bakal bikin open Ending aja ya 😄 jadi jangan protes kalo misalnya ceritanya gantung. Tapi ini mungkin loh. Mood gue soalnya suka berubah-ubah. 😂😂😂 kalo gue msih ada di jalur yang lurus (soalnya kadang gue suka melenceng dari alur), sembilan atau sepuluh chapter lagi bakal end... nggak terasa ya.. 😁😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro