Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#12 Devil's Side

Tak pernah terbayang dalam benak terliar Harry dia akan berada di situasi ini. Situasi dimana dia bisa merasakan hatinya lagi, situasi dimana hati dia terisi oleh seorang gadis, situasi dimana dia percaya kalau cinta akhirnya datang ke hatinya. Hal aneh seperti itu tidak pernah Harry bayangkan dapat terjadi. Dia kira seumur hidupnya dia tidak akan mengenal apa itu cinta tapi Brie adalah pengecualian.

Segala hal tentang gadis itu memabukkan Harry. Bahkan cara gadis itu tersenyum sangat bisa membuat kaki Harry melemah. Dia rela tunduk pada Brie, dia rela menyerahkan apa saja yang dia punya asalkan dia bisa terus berdua merajut kasih dengan Brie. Terdengar konyol? Terdengar bodoh? Memang tidak masuk akal cara kerja cinta, seorang Harry Styles yang dingin dan tak bermartabat jadi lemah dan tunduk di depan cinta? Hell, Harry tidak peduli. Lagipula apa gunanya pendapat orang? Dia hidup bukan demi orang lain, dia bisa bernapas bukan karena pendapat orang lain. Harry adalah Harry, Harry yang sangat mencintai Brie.

"Aku merasa sangat bersalah pada Em." suara Brie nyaris terdengar, dia setengah berbisik. Entah karena apa padahal mereka sedang ada di rumah Harry. Rumah luas itu sekarang hanya diisi oleh Harry dan Brie. Kalau Brie takut omongan mereka bakal bocor, itu sangat bodoh.

"Brie, you deserve me. Buat apa kau bersalah? Dia harusnya berterima kasih padamu."

"Bahkan untuk melihat matanya saja aku takut. Aku merasa sangat tak pantas ada di rumahnya." desahnya risau. Dia menunduk lalu terdengarlah suara tangisan tertahan.

Harry yang duduk di sebelahnya pun membawa Brie ke dalam pelukan. Diusapnya rambut halus Brie, dia berharap sentuhannya dapat membuat tangisan Brie menguap. "Kalau begitu pindahlah dari rumah itu."

"Sudah aku pikirkan, aku masih mencari apartemen yang dekat dengan sekolah."

"Mau aku bantu cari?"

"Nope. I can do it by myself."

"Bagaimana kalau tawarannya aku ganti, apa kau tertarik tinggal bersamaku?"

Harry serius mengatakan ini. Sayang orang yang sedang dia peluk malah tertawa. Brie mencubit pipi Harry gemas dan memberi kecupan super singkatnya, "It's not funny, mon mec."

"I'm serious. Aku benar-benar mau kau tinggal bersamaku."

Membayangkan Brie bangun di sebelahnya setiap hari, sarapan dan tertawa di ruang makan bersama, minum kopi di tengah malam, bermesraan tanpa lelah, hell, Harry tidak mau hanya membayangkannya saja... dia ingin semua itu terwujud. Situasinya pun pas, Brie sedang mencari tempat tinggal, takdir sedang membantunya sekarang.

"Harry, kita masih remaja. Kita masih delapan belas tahun! Tinggal satu rumah bersama di usia seperti itu sangat tidak masuk akal."

"Apanya yang tidak masuk akal? Usia kita sudah dewasa. Sebentar lagi kita akan lulus sekolah. Kita bahkan sudah delapan belas tahun!"

"Harry, terima kasih atas tawaranmu tapi ini belum benar."

Harry jelas kecewa. Dia tidak pernah dibantah seumur hidupnya, setiap keinginannya akan selalu dipenuhi oleh orang-orang, dia bahkan akan melegalkan segala cara agar orang-orang itu tunduk padanya, termasuk dengan jalan paling busuk sekalipun. Tapi kali ini dia akan mengalah, apapun yang Brie inginkan akan Harry turuti.

Setelah itu mereka diam dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Harry bermain dengan laptopnya sibuk mengetik beberapa urusan bisnis sedang Brie larut dalam pelukan Jazzy, anjing Husky peliharaan Harry. Tapi beberapa menit kemudian akhirnya Brie bersuara. "Harry, aku mau bertanya."

"Hm?"

"Apa cita-citamu?"

Harry menatap Brie serius,"Dalam jangka panjang atau jangka pendek?"

"Well, aku tidak sangka kau membagi cita-citamu dalam dua bentuk. Kalau begitu katakan keduanya padaku."

Belum pernah Harry membicarakan cita-citanya pada siapa pun, dulu dia kira tidak akan ada yang mau mendengarkan. Bahkan memiliki cita-cita pun rasanya mustahil karena sejak kecil dia tahu dia sapi perah ayahnya.

"Dalam jangka pendek aku ingin lulus sekolah, masuk ke Oxford, lulus dengan nilai sempurna, lalu menjalankan bisnis Styles. Hm... mungkin memberikan sedikit inovasi di bisnis itu, mungkin saja aku akan merambah dunia Entertainment dan membangun studio musik besar, atau bisa saja membangun studio film. Aku ingin menerbitkan bakat-bakat orang. Aku yakin usaha ini akan sukses."

Kembali Brie tertawa. Damn, Harry senang sekali melihat tawa itu. Rasanya begitu melegakan sudah membuat tangis Brie menjadi ledakan tawa, well, walaupun  dia tak tahu dimana letak lucunya omongan dia. Dia sedang bicara serius padahal.

"What's wrong?"

"Kau bilang itu cita-citamu dalam jangka pendek? Kau merinci semua cita-citamu dan kau bilang itu untuk jangka pendek?"

"Ya, apa ada yang salah?"

Brie menahan tawanya, "Kalau begitu sekarang katakan apa cita-citamu dalam jangka panjang?" Brie kembali ke sofa tapi dia tidak duduk, dia memilih untuk dalam posisi tidur dengan paha Harry yang menjadi bantal empuknya.

"Hm... Aku ingin membahagiakanmu, membangun hubungan yang kuat denganmu, menikah denganmu, memiliki anak denganmu, memiliki cucu, cicit, lalu kita akan menua bersama dan tinggal berdua di sebuah desa yang masih sejuk dan alami."

Harry melirik Brie tengah tersenyum dengan mata masih terpejam, "Tinggal berdua di desa di saat usia tua, apakah itu masuk akal? Bagaimana kalau anak kita nanti malah membiarkan kita di panti jompo?"

"Solusi terbaiknya, aku akan membawa mereka ke panti asuhan. Aku tidak akan menganggap mereka anak lagi."

"Harry, dia anak kita!"

Harry meringis ketika satu cubitan mendarat di pahanya. "Hell, kita bahkan belum punya anak!"

"Tadi kau bilang anak kita itu mereka, apa kau ingin punya lebih dari satu anak?"

"Ya, tentu saja. Aku ingin memiliki tujuh anak."

Satu cubitan lagi. "Aku tidak mau melahirkan sebanyak itu!"

"Baiklah aku akan kurangi. Aku mau lima anak saja. Anak pertama adalah laki-laki, anak kedua dan ketiga adalah kembar laki-laki, lalu anak keempat dan kelima kembar campuran. Anak perempuan jadi yang terakhir karena dia akan punya empat kakak laki-laki yang siap memasang badan buatnya."

"Kau tidak bisa merencanakan jenis kelamin anak kita, mon mec. Itu urusan takdir."

"Ya, aku tahu... dan aku tahu apa yang jadi urusan kita."

Harry membangunkan Brie dari posisinya, tanpa buang waktu dia melampiaskan segala hasratnya yang tertahan beberapa hari karena zona terlarang kedatangan tamu spesial Brie. Harry menggebu tapi dia juga bersikap sangat lembut. Mereka bermain api hanya satu kali, karena mereka sadar akan ada acara menanti.

"Jam berapa janji temu dengan ayahmu?"

"Tujuh malam."

Brie bangun langsung memungut pakaiannya yang berserakan di lantai ruang keluarga itu. "Harry, lihat jam! Sekarang sudah pukul 5!"

"Lalu?"

"Merde, kita belum bersiap. Belum lagi perjalanannya nanti! Oh, Dieu, kita bisa telat!"

"Lalu?"

"Damn, berhentilah bersikap santai seperti itu! Kita sedang diburu waktu."

"Lalu?"

"Fuck you, Styles."

Harry tersenyum miring, "We already did that several minutes ago."

"Merde! Ayolah, kau tak takut ayahmu akan marah karena kita datang terlambat!"

"Ayahku tidak akan mempermasalahkan hal sepele itu."

Malam ini mereka akan datang ke kediaman Styles. Undangan ini sangat mengejutkan Harry karena ayahnya meminta agar kekasih Harry diajak. Harry tak tahu apa mau pria tua itu, entah kenapa perasaan Harry tidak enak. Dia takut Brie akan dibuat tertekan hadir di tengah keluarga bencana itu, apalagi ada nenek sihir, Harry takut Brie akan ditindas di rumah utama Styles. Harry benar-benar tidak ingin datang, toh bukan sekali dua kali dia menolak hadir ajakan makan malam ayahnya. Tapi sialnya, ada satu sisi dimana Harry ingin agar Brie kenal dengan keluarganya. Dia ingin terbuka sepenuhnya pada Brie. Dia tidak mau ada sesuatu yang ditutupi, dia ingin membagi ke Brie tentang bagaimana keluarganya itu membentuk dia menjadi seorang iblis. Dan karena itulah Harry memilih untuk ikut.

***
Dinner dingin keluarga Styles adalah salah satu hal yang paling Harry benci di dunia ini. Hidangan lezat yang tersaji di depan selalu membuatnya mual. Tingkah nenek sihir yang memang sudah menyebalkan bertambah dua kali lipat lebih memuakkan dari biasanya. Nenek sihir itu selalu menyudutkan Brie, secara tersirat dia menilai kalau Brie suka dengan Harry karena hartanya saja.

Untung saja saat ini ada ayahnya. Ayahnya yang paling dia benci tapi juga dia hormati. Dari kecil Harry selalu diajarkan tata krama oleh ayahnya. Tata krama itu hanya berlaku untuk ayahnya.

"Ceritakan sekilas tentang keluargamu."

"Pardon?"

"Keluargamu. Bisnis Padget di Paris lumayan sukses, aku mau kau ceritakan tentang keluargamu atau mungkin sekilas tentang bisnis keluargamu itu." tanya ayahnya sambil menghirup aroma Red wine keluaran tahun 1970an.

"Dad, itu bukan kapasitas dia untuk menjawab."

"Kenapa memangnya? Ah, aku tahu... mungkin saja dia tidak peduli dengan cara kerja keluarganya yang dia mau hanya hasilnya untuk dia buang begitu saja. Betul, kan?"

Tangan Harry mengepal kencang sekali tak tahan untuk mencabik wajah nenek sihir ini. Ayahnya benar-benar sudah buta, bagaimana mungkin dia bertahan dengan wanita tua ini belasan tahun, bahkan ayahnya lebih memilih si mulut busuk daripada ibu kandungnya! Harry yakin wanita ini memakai ilmu hitam atau guna-guna.

"Margaret, diamlah sejenak. Aku ingin mendengar anak itu yang berbicara."

Nenek sihir menurut. Hanya ayahnya yang bisa menghentikan laju bicara nenek sihir ini.

Harry memperhatikan Brie, dia sadar jemari Brie gemetaran karena gugup. Karena itulah dia inisiatif untuk membawa tangan sedingin es itu ke tangan genggamannya, "Kau tak perlu menjawabnya."

Mata biru Brie mencari keyakinan dari manik hijau Harry. Setelah menghela napas panjang sekali, Brie pun menjawab, "Sebenarnya apa yang dikatakan nyonya ini hampir benar. Aku tidak terlalu peduli pada cara kerja perusahaan karena aku sama sekali tidak tertarik. Perusahaan bukan duniaku."

"Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengan Harry?"

Alis Harry mengerut. Aneh sekali lompatan pertanyaan ini.

"Baru beberapa hari."

Dengan sigap Harry meralat, "Beberapa minggu lebih tepatnya."

"Apa yang kau suka dari Harry?"

Ini dia yang Harry tunggu. Dia belum pernah menanyakan hal ini pada Brie. Dia menjalin hubungan dengan Brie awalnya karena sebuah perjanjian konyol. Dia bahkan memanfaatkan Brie. Kalau dipikir-pikir kalau Brie sehat secara nalar, dia tidak akan menemukan sesuatu yang baik dari Harry. Sejak bertemu hanya sisi iblis yang Harry perlihatkan pada gadis itu.

"Saya suka Harry karena dia orang yang sangat baik."

"Baik?"

"Ya... dimata saya Harry adalah sosok yang sangat baik."

"Kau cinta dengannya?"

"Toujours."

"Ah, apa Harry menceritakan padamu tentang keluarganya."

"Dad... aku tidak suka Dad menanyakan masalah itu."

Ayah Harry tidak menggubris selaan anaknya, "Tell me."

"Tidak. Kita menjalin hubungan bukan untuk mengurus masalah keluarga."

"Oke, well..." Ayahnya berpaling ke Harry, tapi tidak memandang lurus ke mata Harry, seperti biasa, "Ajak dia setiap minggu untuk jamuan makan malam di rumah ini. Aku mau mengenal dia lebih dekat lagi."

"Dad, aku tidak mau kau menganggap hubungan yang aku jalani ini terlalu serius."

"Jadi kau hanya main-main dengan anak ini?"

"Bukan begitu. Tapi kau tak usah bertingkah seperti ini."

"Tentu saja aku akan bersikap seperti ini ketika anak laki-lakiku membawa seorang wanita ke rumah ini. Aku tahu kau serius dengan wanita ini makanya aku mau kenal lebih dekat dengan dia."

"Tapi Dad---"

"Atau, kekasihmu yang tidak nyaman ada di tempat ini?"

Brie dengan tanggap langsung menggelengkan kepala, "Tidak. Aku bahkan merasa terhormat makan malam dengan anda."

"Baiklah kalau begitu. Perbincangan kita selesai."

Edward Walter Styles dan pasangannya bangkit lalu pergi begitu saja dari ruang makan luas ini. Tidak ada satu patah kata lagi yang diucapkan, bahkan kata pamit pun tidak. Selalu seperti ini terus. Ingin rasanya satu kali saja ayahnya menepuk pundaknya dan menyebutkan kata-kata semangat atau mungkin kata-kata penuh kebanggaan pada Harry. Bukankah memang itu seharusnya tugas seorang ayah?

"Haz..." genggaman tangan mereka belum terlepas. Brie malah makin menguatkan kekuatan tangan mereka karena sadar raut Harry sudah mengeras. "I'm here for you."

Dan begitulah kekerasan hati Harry mencair. Segala kemarahan dan kekecewaan Harry meluap. Ini pertama kalinya Harry tidak membanting satu pun barang. "Thanks. I love you."

Brie tersenyum dan memeluk Harry, meringankan lagi beban Harry. Damn, dia benar-benar mencintai Brie sepenuh hatinya, "I know."

***
Sudah tengah malam tapi rumah Harry malah ramai karena kehadiran ketiga sahabatnya. Zayn, Niall, dan Louis memang tidak mengenal waktu. Alasan mereka ke rumah Harry pun tak pernah jelas, karena biasanya mereka datang hanya untuk tidur atau mungkin menghabiskan persediaan minuman Harry.

Untung saja hari ini Brie tidak memilih untuk menginap. Sehabis makan malam, Brie bersitegas untuk kembali pulang ke rumah Emily. Harry ingin sekali agar Brie tinggal berdua dengannya, dia rela menghabiskan ribuan harinya untuk Brie. Kalau Brie tinggal berdua dengannya, maka pintu rumah yang selalu Harry biarkan terbuka untuk ketiga temannya sudah pasti akan tertutup.

Kebetulan sekali di tempat itu ada Niall. Harry bukan orang yang mengingkari janji, jadi tanpa basa-basi Harry menanyakan langsung pada Niall apa yang dia inginkan.

"Apa maksudmu, Haz?"

"Aku kalah taruhan denganmu. Aku tidak bisa membawa Emily tidur denganku, jadi apa yang kau mau?"

Niall memamerkan deretan gigi putihnya penuh kemenangan. Harry tahu pasti anak ini akan meminta banyak hal. Damn, seharusnya Harry kemarin membatasi hadiah taruhan itu.

"Maybach dan..." Niall memberi jeda sebentar untuk berpikir, "Hm... Apa masuk akal kalau aku meminta penthousemu di Paris?"

"Hanya itu saja?"

Well... dia kira Niall akan menguras separuh harta Harry. Tapi hanya itu saja yang dia minta?

"Dan... aku mau kau menjaga hubunganmu dengan Brie. Aku lihat kau bahagia bersama dia."

"Kenapa hubunganku jadi urusanmu?"

"Simple. Karena kau adalah temanku."

Harry tertawa dalam hatinya. Mereka masih tetap menganggap Harry teman setelah semua hal buruk sudah Harry lakukan? Harry sangat tidak butuh seorang teman... kalau cinta saja bisa berkhianat apalagi seorang teman yang sudah Harry permainkan hidupnya. Harry mau ketiga 'temannya' ini tunduk padanya. 

"Louis, kau kalah taruhan. Aku sudah mendapatkan Brie, baik hati dan tubuhnya. Jadi kapan kau akan menyerahkan gadismu ke ranjangku?"

Hening lama. Niall yang tadi bersikap santai pun kembali hormat pada Harry. Nah, ini yang Harry mau... mereka tidak boleh menganggap Harry sebagai teman karena Harry adalah sebuah ancaman.

"A-aku kira..."

Harry memotong ucapan terbata itu dengan tawa yang sangat kencang. Suasana yang sudah hening jadi sangat mencekam. Situasi ini bahkan lebih seram daripada sebuah film horor.

"Aku tidak akan mungkin membatalkan taruhan itu. Tidak jika hadiah taruhan itu adalah tubuh Carla."

"Haz, bukankah kau mencintai Brie?" Zayn akhirnya buka suara.

"So what?"

"Kau mencintainya tapi kau masih mempertahankan taruhan bodoh itu?" Zayn berdecih meremehkan. Harry tahu daridulu kalau Zayn tidak pernah suka dengannya, tapi kali ini ada hal lain yang sepertinya disembunyikan oleh Zayn. Sesuatu itu menyangkut Brie. Harry yakin anak itu punya perasaan ke Brie, terlihat jelas dari cara pandang anak itu ke kekasihnya.

Harry tertawa dalam hati, anak ini mau cari mati dengannya, dan Harry akan memberikan jalan untuk itu. Harry ingin lihat sejauh apa yang bisa dilakukan oleh anak itu. Dia ingin melihat bagaimana tindakan Zayn menusuknya dari belakang. Zayn ingin merebut Brie? Haha... dalam mimpi pun tidak akan terjadi. Brie sudah jatuh ke pelukannya, tidak akan ada yang bisa menganggu gugat hal itu.

***
A/N :
Ini agak boring ya? Ya maaf karena aku mau bikin keluarga Harry nggak cuma tempelan doang. Update lagi kapan ya? Hm, mungkin dua atau tiga hari lagi atau nggak nunggu ilham datang.

Makasih udah baca walaupun jadi Sider dan buat yang udah voment... just let me kiss you 😙😙😙

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro