Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 05




"Di balik cendera mata, akan selalu ada yang istimewa ditinggalkan oleh tuannya. Bukan wujudnya atau pun nilai harga, melainkan kenangan berkesan yang melebihi emas dan permata."

[][][][]

Tak terasa waktu telah berlalu begitu cepat, aku masih saja merasakan kepedihan dan kerinduan yang kutujukan pada Ayah. Entah mengapa perasaan sakit itu sangat sulit hilang meski sudah memasuki tahun ketiga dia pergi dari hidup kami. Memang pahit rasanya, tapi kepahitan itu terkadang muncul rindu akan kebersamaan dengannya di masa lalu.

Hari ini sekolah libur karena ada hari besar. Seperti biasa jika sekolah diliburkan, teman-teman kelas pasti mengadakan acara hangout. Aku menolak untuk bergabung dengan mereka. Aku lebih memilih mengurung diri di dalam kamar sambil mendengarkan lagu-lagu milik Bruno Mars. Sementara itu, Ibu masih harus pergi ke rumah Bibi Salma-adiknya Ibu-untuk mengantar Bayu dan Rahayu bertemu dengan Nenek, setelah itu lanjut ke kantornya.

Di rumah aku benar-benar sendirian dan tak ada sedikit pun niat untuk keluar rumah atau pun melakukan sesuatu. Hari ini memang cerah, namun hatiku tetap saja mendung.

Semakin lama aku mengurung diri di kamar, semakin aku merasa tidak nyaman. Kucoba ke lantai bawah, barangkali ada sesuatu yang bisa aku kerjakan untuk mengusir kemalasanku ini.

Di bawah sangat hening dan sepi, seisi rumah tampak kosong. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Bagaimana tidak, aku hanya seorang diri di rumah sementara yang lain sedang menikmati hari libur di luar.

Perlahan aku berjalan menuju ruang keluarga, memandang sekitar dan melihat-lihat pajangan di atas lemari kaca. Di lemari itu terpajang beberapa foto wisuda sarjana Ibu dan Ayah, ada juga beberapa foto zaman dulu milik ibuku.

Dari beberapa foto yang terpajang di atas lemari, aku tidak melihat satu pun foto yang lengkap dengan kami semua, anggota keluarga. Sebelum ayahku pergi, kami tidak sempat berfoto. Setiap merencanakannya, selalu saja ada halangan. Jika Ibu sudah siap, maka Ayah pasti ada kesibukan lain di luar kota dan begitu pun sebaliknya. Padahal jika mereka sudah siap, kami tinggal menjemput Rahayu saja di asrama pesantrennya. Ah, sudahlah. Untuk apa juga aku mengenang masa-masa itu. Semuanya sudah berlalu menjadi abu dan biarkan itu tetap menjadi angan-angan yang kelabu.

Kulanjutkan derap langkahku menuju ruang makan. Tempat di mana semua itu terjadi. Di sinilah pertengkaran terakhir antara mereka berdua sebelum Ayah benar-benar pergi meninggalkan rumah dan kota ini.

Saat itu aku tidak begitu mengerti apa yang mereka perbincangkan hingga berakhir dengan pertengkaran yang memecah kedua belah pihak. Namun setelah perkara itu, sayup-sayup kudengar bahwa Ayah memiliki wanita simpanan di Jakarta. Hanya itu yang aku tahu. Hal itu pun aku dengar dari mulut ke mulut keluargaku yang serba tahu.

Aku pernah sekali menanyakan kepergian Ayah pada Ibu. Aku bilang, kenapa Ayah tiba-tiba saja pergi pada malam itu juga tanpa menyelesaikannya dengan kepala dingin? Kenapa juga harus pergi dengan amarah yang bergejolak? Ibu hanya menjawab, "Tidak usah kamu tahu, mulai sekarang anggap saja ayahmu sudah tidak ada."

Pernyataan itu sangat menyayat bagiku. Semenjak itu, aku sudah tidak lagi menanyakan hal tersebut pada Ibu. Aku memang berhak tahu kronologis yang sebenarnya, tapi aku paham situasi Ibu saat ini. Ibuku pasti sangat terpukul atas apa yang telah terjadi pada malam itu, hingga berbagai jawaban buruk dia lontarkan dari bibirnya.

Jika kau bertanya kenapa aku tidak meminta penjelasan dari ayahku, kau mungkin bisa menjawabnya sendiri.

Kembali aku melihat-lihat rak lemari milik Ayah yang ada di ruang makan. Aku hanya tidak ada kerjaan, jadi aku membuka beberapa bagian laci rak miliknya. Ini pertama kalinya aku menyentuh barang-barangnya. Mumpung Ibu tidak ada di rumah. Ibu selalu melarangku menyentuh barang-barang Ayah.

Di laci pertama aku menemukan beberapa lembar kertas dan sebuah pena hitam. Lalu di laci selanjutnya ada papan nama milik ayahku dan juga dasi kantornya. Benda-benda tersebut sudah sangat berdebu. Sepertinya Ibu tidak pernah menyentuh barang-barang milik Ayah juga, apalagi membersihkannya.

Di laci selanjutnya, aku menemukan arloji milik Ayah. Aku menerawang arloji tersebut seperti tidak asing. Sebelumnya aku sering melihat Ayah memakai arloji ini.

Arloji ini begitu antik dan boleh dikata jarang ditemukan di mana pun. Maka dari itu, pernah sekali saat Ayah ingin bertemu dengan klien-klien penting dari luar kota, pasti beliau selalu memakai Arloji ini.

Melihat arloji ini, aku sontak terbayang akan Ayah, saat sedang memakai arloji tersebut. Aku kembali terbawa suasana. Tidak ada yang bisa mengalahkan rindu ini saat aku dalam keadaan sendiri di rumah, saat aku hanya berkawan dengan sepi. Aku benar-benar rindu padanya.

Dulu ketika masih SMP, saat pertama kali aku melihat Ayah memakai arloji ini kutanya dia, "Ayah, jam tangannya bagus." Sambil kupegang arloji tersebut di pergelangan tangan kiri Ayah.

"Oh, Ini jam tangan antik, Nak. Dikasih dari teman Ayah, oleh-oleh Jerman."

"Ini buat Roy, yah, Ayah," ucapku lagi sembari menarik tangan Ayah seperti ingin melepas arloji itu dari tangannya.

"Ha ha ha, untuk apa? Kamu masih kecil. Belum pantas pakai jam seperti ini."

"Ahhh! Pokoknya Roy mau jam ini, Ayah...," rengekku ke Ayah.

"Iya, iya. Nanti kalau sudah besar, jam ini buat Roy," jawabnya. "Tapi dijaga baik-baik. Ini jam bukan sembarang jam." Ayah terkekeh.

Aku tertawa mengingat hal itu. Namun aku merasa, air mata menitik di pipi. Segera kuusap dengan tanganku.

Sudah, cukup Roy! Kamu seperti anak perempuan saja.

Bukan, ini bukan kesedihan anak perempuan seperti Rahayu. Akan tetapi ini benar air mataku, Roy anak lanang Ayah. Aku sangat merindukannya, dan aku tidak bisa lagi membohongi perasanku sendiri. Benar aku membencinya, tapi ini tentang rindu berat dari seorang anak pada ayahnya. Hingga sebuah barang miliknya yang aku temukan pun, seperti membawaku dalam kenangan di masa itu. Saat ayahku masih berada dalam pelukan hangat keluarga ini.

Lalu kubawa arloji itu ke kamarku dan menyimpannya di dalam lemari. Aku pastikan akan memakainya ketika ada acara besar nanti. Aku menerka dalam pemikiranku sendiri, mungkin saja Ayah sengaja meninggalkan arloji tersebut untukku. Sebab Ayah pernah berjanji bahwa kelak dia akan memberikan arloji tersebut padaku. Kini umurku telah beranjak dewasa, dan sudah seharusnya aku memiliki arloji itu.

Terima kasih Ayah jika memang seperti itu. Setidaknya kau bijaksana. Menepati janji itu untuk aku, anak lanangmu.

Oh, yah. Itu hanya sekadar ucapan terima kasih saja, sudah mau menepati janji. Namun, tidak untuk luka yang sudah kau goreskan pada Ibu yang turut membekas di hatiku hingga detik ini.

Aku adalah saksi mata pertengkaran kalian berdua pada malam itu, aku lihat kau bagaimana menyikapi Ibu. Begitu banyak air mata yang Ibu curahkan. Bahkan sesekali kau ingin menamparnya dengan tanganmu, tetapi selalu saja kau tahan karena perkataannya.

"Tampar, Mas! Tampar saja aku jika berani. Kau tidak lihat, Roy menyaksikan kekejamanmu di sini sekarang?" rutuk ibuku pada malam itu, tepatnya beberapa tahun silam.

Kau hanya diam membisu dan melihat ke arahku yang berdiri seperti orang ketakutan di samping Ibu yang memelukku erat. Kenapa kau tidak lampiaskan saja padaku malam itu? Kenapa, Ayah? Kau tahu air mata Ibu lebih berharga dari keringatmu.

Malam itu hanya ada aku, Ibu, Ayah, tangis dan juga amarah. Jika kalian bertanya ke mana Rahayu dan Bayu, mereka lagi ada di rumah Bibi Yani-kakak ibuku. Sebelum kejadian berlangsung, Bibi Yani sudah tahu kalau ayahku akan pulang larut malam dan sedang bertengkar dengan ibuku. Sebab pertengkaran pertama terjadi via telepon antara Ibu dan Ayah. Di situ sudah ada Bibi Yani yang turut mendengarkannya di samping Ibu.

Kemudian Bibi membawa Rahayu dan Bayu ke rumahnya. Saat itu Rahayu baru saja tiba dari asrama pesantrennya, dijemput oleh Pak Irwan, supir Bi Yani. Sedangkan aku tetap tinggal untuk menemani Ibu di rumah. Sebelumnya, Rahayu sudah mengerti apa yang sedang dan akan terjadi. Bayu, yang saat itu masih duduk di bangku empat SD hanya bisa diam oleh karena belum tahu apa-apa dan aku sangat bersyukur untuk itu. Setidaknya ia tidak merasakan pahitnya kenyataan.

Teruntuk Bi Yani, terima kasih atas segala kepedulianmu pada keluarga kecil kami. Terima kasih malam itu sudah datang membantu Ibu, membuat Bayu dan Rahayu tetap aman. Meski pada akhirnya berakhir dengan luka.

Ayahku benar-benar pergi dari rumah.

[][][]

Malam kembali bertegur sapa denganku, baru saja mentari sore kulihat di balik jendela, kini berganti menjadi rembulan.

Ibu, Rahayu dan Bayu sudah ada di rumah sejak pukul empat sore tadi. Aku ingin turun, sekadar berbincang-bincang dengan mereka, tapi kuurungkan niatku itu. Aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa malam ini. Aku hanya ingin menikmati malamku bersama indahnya rembulan di balik jendela kamar.

Lampu kumatikan dan berbaring di atas kasur. Sungguh, sinarnya begitu terang terpancar masuk ke kamarku dan jatuh tepat di wajah.

Bayang-bayang diriku terasa terpancar pada rembulan, seperti langit adalah layarnya. Seketika bintang-bintang menjadi orbit yang saling menyatu merangkai sebuah kisah hidup. Terekam seorang anak sedang berdiri sendiri, seperti sedang menunggu. Aku sedang bermain dengan imajinasiku sendiri dan mengklaim bahwa di atas sana adalah Roy, anak remaja yang sedang menunggu ayahnya pulang.

Aku berhenti untuk terlalu berimajinasi sendiri agar tidak terlarut begitu dalam oleh ketidakwarasan. Kuambil arloji Ayah yang tersimpan di dalam lemari. Kucoba meraba dan melihat apa yang begitu istimewa dari arloji ini.

Tidak salah Ayah menyukai benda antik ini. Saat aku kembali merebahkan diri di atas kasur, dan kuarahkan arloji itu pada cahaya rembulan yang memantul. Seketika keindahan malam ini bertambah oleh karena arloji milik Ayah.

Ternyata cindera mata itu bisa terlihat berubah warna menjadi keemasan ketika dibentangkan di bawah cahaya rembulan. Kau harus menyaksikan ini bersamaku, aku tidak berkata bohong. Aku bicara sesuai dengan apa yang arloji itu perbuat pada dirinya.

Baiklah, biarkan malam ini menjadi malamku dengan rembulan dan juga arloji ayahku. Kau tidak akan percaya ini, tapi aku melihatnya langsung. Bagiku, ini sungguh indah daripada harus keluar di malam hari untuk melihat Taj Mahal di India, atau melihat Menara Eiffel di Paris. Lebih lagi melihat Tugu Monas di Jakarta.

Biarkan malam ini, sang arloji menemani tidurku hingga rembulan menyembunyikan sinarnya. Kemudian mentari kembali memunculkan cahayanya.

Selamat malam, Ayah.

[][][]

Thursday, January 10th, 2019

Wahyudi Pratama

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro