Episode 04
"Seorang gadis yang terpisah jauh dari ayahnya, akan selalu menyisakan regah tangis. Dan sekuat apa pun ia menyembunyikan, itu akan tetap tampak pada wajahnya yang manis."
[][][][]
Pip pip pip.
Terdengar suara klakson mobil dari arah depan rumah, dan itu pasti Ibu. Aku segera ke bawah dan langsung menemuinya. Setelah itu aku akan ke kamar Rahayu, menanyakan apa yang terjadi dengannya hari ini.
"Sudah dari tadi, Bu?" tanyaku pada Ibu setelah menuruni anak tangga.
"Baru saja. Oh, yah, mana adikmu? Apa mereka sudah pada tidur?" tanyanya sambil berjalan menuju sofa ruang tengah.
"Bayu, paling ada di kamarnya sedang main PS. Kalau Rahayu, mungkin sudah tidur, Bu," jawabku. "Oh, yah, bagaimana kerjaan Ibu di kantor?" lanjutku bertanya pada Ibu untuk memastikan apakah ia sudah melupakan kejadian pagi tadi.
"Semuanya baik-baik saja. Hanya ada beberapa masalah kecil dengan bos Ibu. Kenapa kamu menanyakan hal itu? Tidak seperti biasanya," heran Ibu.
"He he, tidak. Cuman ingin tahu saja. Barangkali bosnya baper sama Ibu, " candaku ngawur seraya tertawa kecil.
Ibu berbalik ke arahku, sambil tersenyum. "Ada-ada saja kamu, Roy."
Ah! Kamu harus lihat senyum ibuku tadi, itu sangat manis. Satu hal kecil yang selalu aku rindukan.
"Ke kamar Rahayu dulu yah, Bu. Ada sesuatu yang ingin aku ambil."
"Iya."
Aku meninggalkan Ibu sendiri di ruang keluarga menuju kamar Rahayu. Aku tidak akan berlama-lama mengobrol dengannya sebelum ia teringat akan masalah pagi tadi, lalu kemudian menceramahiku kembali. Aku tidak ingin membuatnya merasa terbebani akan masalah yang menurutku sudah tidak perlu lagi untuk diungkit-ungkit.
Sekarang aku sudah jarang mengobrol begitu banyak hal dengan Ibu, tidak seperti dulu lagi. Entah kenapa, tapi begitulah adanya. Mungkin bisa jadi, bila satu saja teguran yang aku dapat darinya, itu akan membuatku tidak merasa baik dan didera emosi sesaat. Batinku membara, pikiranku menjadi tidak terkendali dan berbagai perkataan buruk akan terlontar kasar dari mulutku.
Atau mungkin saja karena aku yang belum bisa menerima keadaan sebenarnya. Jika kalian ada di posisiku, kalian akan melakukan hal yang sama, mungkin. Semuanya penuh kemungkinan.
Tok tok tok.
"Rahayu!" sapaku. "Buka pintunya, Kakak ada perlu," tambahku seraya menggoyang-goyangkan gagang pintu.
"Sebentar, Kak Roy." Rahayu membuka pintu. Kulihat kedua matanya sembap dan tampak sedikit memerah, seakan baru saja menitikkan air mata.
Aku masuk ke kamarnya sembari menutup pintu dengan rapat. Kutatap Rahayu yang terdiam tanpa menyambutku dengan kata-kata. Aku semakin khawatir terjadi sesuatu dengannya.
Aku sudah di dalam kamarnya, dan dia tidak ingin angkat bicara ataupun memperlihatkan wajahnya padaku. Aku tahu Rahayu, dia tidak akan menceritakan masalahnya padaku dengan begitu saja tanpa aku pancing terlebih dulu.
"Hei, ada apa denganmu? Sepertinya habis nangis, yah, Yu?" Tanpa berpikir panjang aku langsung saja melontarkan pertanyaan padanya.
"Ah, tidak kenapa-kenapa, Kak," jawabnya sambil mengusap kedua pipinya.
"Rahayu! Jangan bohong sama aku. Kak Roy tahu, kamu pasti ada masalah kan? Di jalan pulang tadi, aku tidak sengaja melihat raut wajahmu, dan itu agak berbeda dari sebelumnya. Seperti ada yang kamu sembunyikan dari Kakak!"
"Sebenarnya, Kak ...." Lalu dia berdiri mengambil tasnya. Rahayu memberikan selembar kertas padaku yang dia ambil dari dalam tas hitam polos miliknya.
"Apa ini, Yu?" tanyaku kembali sambil membuka surat tersebut.
"Tadi sewaktu jam istirahat, wali kelasku memberikan kami surat itu satu per satu," jelas Rahayu sembari menatap kilas surat yang ada di tanganku. "Katanya akan ada rapat orang tua murid pada jam istirahat selasa depan, Kak."
"Terus?"
"Iya. Terus, Ayu ke ruang guru dan memberitahukan pada Bu Amel kalau Ibu tidak bisa hadir karena kesibukannya di kantor. Tapi dia tidak mengerti hal itu, Kak! Dia minta salah satu orang tua kita harus datang. Paling tidak ada yang mewakiliku. Rapat ini sangat penting katanya." Rahayu menjelaskan hingga air matanya menetes kembali dan akhirnya aku pun terbawa suasana.
Aku tahu perasaan Rahayu saat ini. Aku mencoba untuk menenangkan dan berpikir mencari solusi terbaik.
"Hey, hey, Rahayu. Dengarkan Kakak," pintaku sambil memegang kedua pundaknya. "Nanti aku coba bicara dengan Ibu. Akan kuperlihatkan surat ini padanya. Pasti Ibu mengerti. Aku juga akan membujuk Ibu untuk menghadiri rapat di sekolahmu."
"Jangan, Kak, jangan!" seru Rahayu seraya menatapku dan memohon untuk tidak mengatakan hal ini pada Ibu.
"Loh, kenapa?" kutanya heran.
"Jangan, Kak Roy."
"Kenapa jangan?" Aku mengernyit.
"Sudah cukup, Kak. Aku tidak ingin kembali menyusahkan Ibu. Apalagi hanya masalah rapat di sekolahku. Aku tidak mau mengganggu pekerjaan Ibu di kantornya." Disekanya air mata yang menitik. "Aku akan coba bicara pada wali kelasku lagi besok, akan kubuat dia untuk mengerti."
Sebenarnya, aku juga tidak ingin ibuku yang pergi untuk menghadiri rapat ini, karena aku tahu kesibukan Ibu di kantornya pasti sangatlah padat. Percuma juga aku memberi tahunya, dia pasti akan balik menyuruhku atau menyuruh pamanku.
Tanpa berpikir panjang aku mengatakan pada Rahayu bahwa aku yang akan menghadiri rapat tersebut. Hal itu menjadi solusi pertama sekaligus terakhir yang sempat aku pikirkan, tidak ada jalan lain menurutku.
Sebenarnya sih, aku bisa saja menyuruh Paman atau Bibi, adiknya Ibu. Rumahnya tidak begitu jauh dari kompleks perumahanku.
Namun, ketika aku mengatakan hal ini pada mereka, tidak akan berguna. Karena ujung-ujungnya akan kembali bertanya padaku, 'Kenapa bukan ibumu saja yang menghadiri rapat orang tua di sekolah Rahayu? Sudahlah, itu hanya membuang waktu saja. Ya, kan?'
Setelah aku mengatakan pada Rahayu bahwa aku yang akan menghadiri rapat di sekolahnya, pertama dia menimbang, tapi kemudian dia setuju dengan itu.
Entah itu dibolehkan atau tidak, tapi ini solusi akhir.
Aku beranjak meninggalkan kamar Rahayu dan menyuruhnya untuk tidak terlalu memikirkan masalah ini. Semua akan baik-baik saja tanpa Ibu yang menghadiri rapat, ataupun tanpa Ayah yang menjadi penyelamat. Selagi Rahayu berbagi kesedihannya padaku, aku pastikan semuanya akan teratasi dengan 'baik-baik saja'.
Aku tidak bisa melihat Rahayu menangis hanya karena masalah kehadiran orang tua. Walaupun ayahku tidak ada, aku akan coba menggantikan posisinya. Oleh karena itu, aku harus terus memastikan Rahayu dan Bayu baik-baik saja. Memang sulit, tapi inilah kenyataannya yang harus aku terima dengan lapang.
Dalam keluarga kecilku, aku memiliki dua wanita yang harus aku pastikan tetap baik-baik saja. Pertama ibuku, lalu Rahayu. Apa pun masalah mereka maka aku akan tetap mencoba menjadi penawarnya.
Aku tahu, bagi seorang istri tanpa suami adalah ketegaran yang harus dihadapi oleh ibuku. Seorang putri tanpa ayah adalah kesedihan yang harus Rahayu tanggung seumur hidup. Akan tetapi selagi aku masih ada untuk mereka, maka tak akan kubiarkan air mata jatuh percuma membasahi bumi hanya untuk seorang pecundang seperti ayahku. Sekalipun aku tetap berharap lebih, bahwa suatu hari nanti Ayah akan kembali ke kehidupan kami seperti sediakala.
[][][]
Hari yang ditunggu-tunggu oleh Rahayu akhirnya tiba, begitu pun aku. Pada jam istirahat pertama, aku harus segera menemui Rahayu di gerbang sekolahnya untuk menghadiri rapat tersebut. Begitu bel istirahat berbunyi, aku segera menuju meja piket untuk meminta izin terlebih dulu pada guru yang bertugas.
Kemudian aku berlari menuju sekolah Rahayu. Sekolahku dengan sekolahnya tidak memerlukan angkutan umum atau pun ojek. Cukup berjalan atau berlari aku bisa tiba di sekolah Rahayu dalam beberapa menit saja. Tidak begitu jauh, tapi tidak begitu dekat, hanya melewati beberapa simpang saja.
Tampak dari arah yang tak begitu jauh, aku melihat Rahayu sudah menunggu kehadiranku di depan pintu gerbang. Aku terbirit-birit lari menuju Rahayu.
"Huh," aku mendengkus dengan sedikit terengah-engah. "Yu, apa rapatnya sudah dimulai?" tanyaku.
"Baru saja mau dimulai, Kak."
"Ya sudah, ayo masuk."
"Tunggu, Kak. Semua yang hadir di rapat ini adalah orang tua. Hanya aku sendiri yang orang tuanya tidak hadir. Apa Kak Roy yakin mau masuk?" tanya Rahayu dengan memasang wajah cemasnya.
"Enggak apa-apa, Yu! Memang kenapa kalau Kakak masih anak-anak? Setidaknya ada yang datang untuk mewakilimu. Bukankah begitu kata wali kelasmu?"
"Tapi, Kak-"
"Tenanglah Rahayu, ada Kakak! Jangan terlalu khawatir seperti ini. Aku sudah ada di sini bersama kamu, ayo kita segera masuk."
Kutarik tangan Rahayu dan bergegas menuju ruang rapat. Aku meminta Rahayu menunjukkan jalan.
Di depan ruang rapat. Sebelum memberanikan diriku masuk ke dalam, Rahayu berbisik bahwa dia tidak bisa ikut masuk, karena hanya orang tua saja yang diperbolehkan. Maka dari itu, aku menyuruh Rahayu ke kelasnya saja dan menungguku di sana sampai rapat selesai.
Aku berjalan perlahan memasuki ruangan. Dengan sedikit rasa cemas, aku mencoba memberanikan diri meski puluhan orang tua lain menatapku heran. Aku duduk di bangku paling belakang, sebab tinggal bangku itu saja yang belum terisi.
Huft, untung saja.
Aku duduk di antara seorang bapak yang mengenakan batik dan wanita paruh baya. Mereka berdua terus saja menatapku, bahkan salah satu dari mereka mengajukan pertanyaan padaku.
"Nak, apa kamu orang tua dari salah satu siswi di sini?" tanya Bapak itu sedikit heran.
Spontan aku menjawab, "Tentu saja tidak, Pak! Apa Bapak tidak melihat saya memakai seragam sekolah?"
"Terus, kenapa kau di sini, Nak?'
"Aku ke sini hanya mewakili adikku, Rahayu."
"Memang ke mana orang tuamu?" tanya Bapak itu lagi setelah menerawang. "Ini kan Rapat penting, Nak. Harus mereka yang menghadiri, bukan anak-anak sepertimu."
Aku terdiam kemudian oleh karena bingung harus jawab apa. Aku berpikir sejenak apa yang harus aku katakan. Hal yang mustahil jika aku mengatakan bahwa ayahku sudah meninggalkanku. Sedangkan ibuku tidak tahu menahu tentang pertemuan ini. Aku rasa, sama halnya akan membuat malu Rahayu ke orang tua temannya jika mengatakan yang sebenarnya.
"Oh anu, Pak," elakku sambil tersenyum hambar. "Mereka berdua sedang lagi di luar kota, Pak. Jadi aku yang mewakili adikku." Terpaksa aku berbohong pada orang tua ini.
"Tapi mereka tahu, 'kan?" tanya Bapak itu lagi. Ada apa dengan bapak-bapak ini, antusiasnya tinggi sekali untuk mengajukan pertanyaan padaku.
"Iya, Pak. Mereka tahu."
Hal itu terpaksa aku lakukan untuk mencegah pertanyaan-pertanyaan aneh dari si bapak. Aku tidak suka ditanya-tanya dari orang yang belum kukenal sebelumnya. Apalagi bertanya soal ke mana orang tuaku pergi, kenapa bukan mereka yang hadir.
Jika kau di posisiku, maka kau akan melakukan hal yang sama. Mungkin.
Jelang beberapa menit, akhirnya rapat berada di puncak pembahasan. Dan orang tua siswi diharuskan hadir pada pertemuan ini untuk membahas mengenai adanya rencana pembangunan beberapa ruang praktik baru, dan itu membutuhkan partisipasi dari orang tua siswi dalam keikutsertaannya sebagai donatur.
Mendengar pemberitahuan itu, sepertinya aku harus berbicara dengan Ibu. Sebab hal ini memang benar-benar penting. Aku rasa jika soal biaya pembangunan sekolah, Ibu pasti tidak akan menolaknya.
[][][]
Setelah sejam berlalu dan rapat pun selesai. Aku menuju kelas Rahayu untuk memberitahukan hal ini, lalu kembali ke sekolahku setelahnya.
Di kelas, Rahayu sedang menungguku di depan pintu. Dia mengajukan berbagai pertanyaan mengenai rapat tadi dan aku pun mencoba menjawab semuanya. Akan tetapi, tidak mengatakan hal yang terjadi pada saat di dalam ruang rapat tadi. Aku tidak mau jika Rahayu sampai tahu dan kembali menyalahkan dirinya sendiri atas hal tersebut.
"Ya, sudah. Kak Roy balik ke sekolah dulu. Jam izinku sudah mau habis," pamitku sambil berjalan kecil dengannya menuju gerbang sekolah.
"Iya, Kak."
"Oh iya, nanti kalau pulang jangan lupa kamu jemput Bayu di sekolahnya. Kalian berdua duluan saja balik ke rumah. Soalnya aku masih ada rapat organisasi."
"Siap, Kak Roy. Terima kasih sebelumnya Kak, sudah mau datang untuk menghadiri rapat tadi." Dengan senyum aku membalas ucapan terima kasih Rahayu.
"Seandainya ada Ayah, aku pasti tidak akan ngerepotin Kak Roy," keluh Rahayu dengan menekuk wajahnya setelah kami berada tepat di depan gerbang.
"Rahayu! Jangan merasa tidak enakan seperti itu," ucapku, "aku ini kakakmu. Meski aku bukan ayahmu, tapi aku berusaha untuk menggantikan posisi Ayah."
"Iya, Kak." Rahayu menitikkan air mata kemudian. "Rahayu rindu Ayah, Kak!"
"Iya, Rahayu. Aku tahu itu. Dan kita semua pasti rindu dengan Ayah," kujawab dengan tidak terlalu menunjukkan kesedihanku pada Rahayu.
Aku berusaha tetap tegar di hadapannya meskipun hati ini sedang rapuh.
"Ayah kita sudah pergi sejak lama, tapi bukan berarti kenangan kita harus pergi juga bersama dengan Ayah, bukan? Aku tahu, kamu orang yang tegar. Kuat seperti Ibu," jelasku lagi.
Lalu ia tersenyum sembari menyeka air matanya itu. "Sekali lagi, terima kasih, Kak."
Aku hanya tersenyum menepuk pundaknya. "Ya sudah, Kak Roy balik dulu."
Aku meninggalkan Rahayu di gerbang sekolahnya seorang diri menuju sekolahku.
Di jalan, aku kembali memikirkan Rahayu. Akhirnya aku bisa sedikit lebih bertanggung jawab padanya sebagai seorang kakak, untuk menggantikan posisi ayahku. Aku tahu, ketika Rahayu melihat orang tua teman-temannya datang menghadiri rapat tadi, sementara dia hanya dihadiri oleh kakaknya saja. Pasti terbesit rasa piluh dan kesedihan menyelimuti hatinya saat ini. Kendati Rahayu merindukan sang ayah, tetap saja ia menaruh rasa kecewa.
[][][]
Sekarang aku berada di kelas. Seperti biasa, aku duduk di pelantaran seorang diri menunggu pelajaran berikutnya. Aku ambil salah satu buku dari dalam laci, buku itu memang khusus untuk kumpulan puisi karanganku sendiri.
Aku suka menulis, bahkan menulis sajak-sajak puisi. Bagiku, itu cara tersendiri untuk mengekspresikan sebagian kesedihanku, bahagia juga jika ada. Meluangkan waktu dengan bermain di nalarku sendiri, seperti beradu pendapat dengan mata melalui pikiran dan juga batin.
Aku ambil pena, dan kubuka lembaran yang masih kosong di dalam buku tersebut. Kemudian tangan kasarku mulai merangkai kata demi kata menjadi sebait sajak beruntun.
KAU LIHAT NANTI, AYAH
Ayah! Kini kepercayaan anakmu
sedikit demi sedikit akan mulai memudar
Entah esok atau lusa
Ketika suatu masa,
terjadi suatu masalah lagi,
maka kami akan tetap menyalahkanmu
untuk segala hal.
Kau lihat nanti, Ayah.
AYU, RAHAYU-KU.
Ayu, jangan sedih
Ada kak Roy
Rahayu, jangan nangis
Kan, ada kak Roy
Ayu, Rahayu-ku
Izinkan aku hapus air matamu
Rahayu....
Kau tak pantas menangis,
karena kau terlihat manis, ketika terseyum tipis.
BERSAMA SEPIKU, DI KELAS
Aku di kelas.
Sepi rasanya...
Rangga bilang, pecahkan saja gelasnya biar ramai.
Tapi di kelasku tidak ada gelas.
Aku bilang, mainkan saja papan tulis dengan spidol.
Lalu, biarkan gurumu memarahimu.
Aku rasa, setelah itu akan ramai.
[][][]
Thursday, January 10th, 2019
Wahyudi Pratama
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro