Episode 03
"Semua terlihat sama saja meski suatu hal yang baru telah menyapa kita hari ini. Mengapa demikian? Karena hati, pikiran dan juga rasa yang kita miliki masih saja berada di bayang-bayang masa lalu yang sangat perih."
[][][][]
Waktu sepertinya sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, setibanya aku di sekolah yang tak cukup jauh jaraknya dari rumah. Ternyata aku lupa menanyakan kelas ke Tian. Entah kenapa, ini secara kebetulan atau memang sudah takdir aku kembali sekelas dengan si Tian itu.
Ahmad Septian Putra adalah sahabatku, dia akan menjadi teman sekelasku lagi di kelas dua. Itu kata dia pada saat aku mengobrol dengannya via telepon. Tiga hari yang lalu aku menanyakan soal adanya rolling kelas di sekolah.
"Eh, Roy! Sudah dapat kelasnya belum?" Tiba-tiba saja Tian muncul dari arah belakang seraya menepuk pundakku dengan sedikit keras.
"Eh, Tian. Ini aku lagi cari kamu," jawabku. "Bagaimana caranya aku tahu? Informasi kita sekelas saja kamu yang ngasih tahu," tambahku.
"Oh, iya yah, lupa! Ha ha," kekehnya. "Ya sudah. Ayo kita langsung ke kelas, katanya hanya ada aku, kamu dan Dian yang kembali sekelas, loh," lanjutnya sembari merangkul pundakku.
"Tunggu sebentar." Aku lalu melepaskan tangannya dari pundakku. "Dian? Kok bisa? Harusnya kan, dia ada di kelas yang lebih baik dari kita," lanjutku.
Bagaimana aku tidak terkejut, Dian adalah siswi yang sekelas denganku di kelas satu, yang sangat populer dengan kecerdasannya di atas rata-rata. Akan tetapi, aku tidak begitu akrab dengannya. Bahkan dalam seminggu, hanya dua atau tiga kali saja aku berbincang dengan Dian, itu pun cuma untuk menanyakan beberapa tugas sekolah saja.
Aku dan Dian di kelas boleh dikatakan musuh dalam pelajaran, mungkin hanya aku yang berpikir seperti itu. Sesekali aku ingin mengelabuinya, selalu saja aku tertinggal beberapa step di bawahnya. Dia sangat rakus dengan masalah pelajaran yang terkadang membuatku iri ingin merebut nilai plus dari guru-guru.
"Iya, Dian. Kenapa? Justru kamu bangga sekelas dengannya. Sudah cerdas, cantik lagi," khayal Tian.
"Iya, tapi...."
"Tapi apa?" Tian langsung saja memotong pembicaraanku sebelum aku menjelaskan semuanya.
"Oh aku tahu, pasti kamu takut tersaingi lagi darinya, kan?" tanya Tian seperti menghardikku. "Secara, dulu kamu berusaha menjadi rangking di kelas, tapi Dian selalu saja menghalangimu. Roy, sadarlah! Dia itu kecerdasannya di atas rata-rata anak pada umumnya. Jadi, nggak usah merasa tersaingi. Lagian, dia itu tidak ada apa-apanya ketimbang kamu yang sudah beberapa kali mewakili sekolah di berbagai event tingkat provinsi! Jadi-"
Bicaranya yang seakan ingin memuji-muji diriku, langsung saja aku potong. "Iya, iya! Sudah cukup. Ayo kita ke kelas," ajakku.
Itulah Septian, sahabatku. Selalu berbicara seakan tanpa jeda dan semakin melebih-lebihkan saja. Sebelum ia berbicara hingga berbusa dan membanjiri wajahku dengan percikan air yang keluar dari mulutnya, aku langsung saja menarik tangannya menuju kelas sambil menendang bokongnya itu.
Kami berdua tertawa.
[][][]
Setibanya di kelas bersama Tian, sebelum memasuki ruangan, aku menengok ke atas pintu dan menerawang papan nama kelas yang bertuliskan XI IPA D. Pantas saja aku sekelas dengan Dian, soalnya kelas ini termasuk yang sangat diperhitungkan dari guru. Lebih tepatnya kelas terbaik setelah XI IPA B.
Segera aku masuk dan mencari bangku kosong bersama Tian. Ternyata bangku kosong itu berada paling depan sebelah kanan ujung yang berhadapan langsung dengan meja guru.
Sekejap aku dan Tian saling menatap, lalu melihat sekeliling. Semua bangku sudah terisi penuh oleh anak-anak yang lain. Jadi tanpa berpikir panjang, akhirnya kami ke depan dan duduk di bangku kosong tersebut dengan keadaan terpaksa.
Kembali aku mengulang kebiasaanku di dalam kelas seperti dulu, sebelum guru mengabsen nama setiap muridnya satu persatu, aku selalu melihat dan menoleh sekeliling untuk melihat situasi. Kali ini aku menoleh untuk mengetahui lebih jelas wajah-wajah baru dari teman kelas baruku.
Ketika nomor absen sudah berada di deretan huruf D, namanya kemudian disebut.
"Dian Pertiwi Abdullah." Ibu guru menyebut nama itu dari arah depan.
Ternyata bangku di sebelah kiriku diisi olehnya, Dian si Abnormal. Seketika saja wajahku berubah heran, dia yang dari tadi duduk berdekatan di sampingku, tanpa sedikit pun ia mengajakku berbincang atau bertegur sapa. Seperti layaknya orang yang baru pertama kali bertemu dan tidak saling mengenal satu sama lain.
Terpikir sejenak di benakku, haruskah aku menegurnya? Atau menyapanya? Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi sebelum ia yang pertama kali menegur sapa. Untuk apa juga aku menegurnya jika tidak ada sesuatu hal yang penting. Aku harap kalian juga sependapat denganku.
"Ingat Roy! Dia akan menjadi sainganmu kembali di kelas ini. Jadi, dia adalah musuhmu dalam setiap mata pelajaran. Ayo Roy! Jangan biarkan rangking di semester ini jatuh padanya. Bagaimanapun caranya, kamu harus bisa!" batinku bak menyemangati diri sendiri.
Dian Pertiwi Abdullah. Anak dari Tuan Abdullah, yang biasa aku sapa Pak Abdul saat sesekali bertatap muka di jalan raya dengannya. Lebih tepatnya, pertama kali aku mengenal beliau saat aku masih SMP. Waktu itu aku sering pergi bermain sepeda di kompleks perumahan si Tian. Kalau tidak salah nama perumahannya adalah Beringin Permai. Dan saat itu, aku belum mengenal Dian.
Sebenarnya, ayah Dian adalah orang yang sangat tegas tetapi ramah ke siapa saja. Itu kata Tian setelah aku membuat perkara dengan menabrak kaca spion mobil milik Pak Abdul. Sebenarnya bukan kesalahan aku, malainkan salah sepedaku yang rem tangannya tiba-tiba tidak berfungsi.
Singkat cerita, awalnya aku tidak ingin mengaku dan meminta maaf tetapi karena dipaksa oleh Tian, akhirnya aku memberanikan diri.
Aku rasa itu harus. Bagaimanapun, aku sudah berbuat salah, dan aku harus mempertanggung jawabkan kesalahanku itu. Aku mendatangi rumah Pak Abdul dengan rasa was-was, karena takut akan kena marah oleh beliau.
"Assalamualaikum," ucapku sambil mengetuk pintu rumah Pak Abdul.
Belum beberapa menit, seorang laki-laki separuh baya keluar membuka pintu. Dan itu adalah Pak Abdul.
"Waalaikumsalam," dijawabnya tegas.
"Permisi, Pak," kataku sambil menyalim tangannya yang diikuti oleh Tian. "Bapak yang punya mobil itu yah?" tanyaku kembali sembari menunjuk mobil tersebut yang terparkir di depan rumahnya.
"Iya, kenapa?" jawabnya dengan lantang, lalu kemudian melihat Tian yang berdiri tepat di sampingku. "Ada apa, Tian? Tumben kau jalan-jalan ke rumah Om. Mana ayahmu?"
"He he, enggak apa-apa, Om. Ayah? Ada kok di rumah, lagi sama Mama. Kebetulan libur kantor jadi di rumah saja sih, Om," jawab Tian yang kulihat ada sedikit rasa grogi. Kutebak, ayah Tian dengan Pak Abdul mungkin cukup akrab. Meski satu kompleks, tapi tetap saja harus melewati satu belokan lagi untuk bisa aku bilang tetangga dekat.
"A-aku ke sini mau minta maaf, Om," sambarku dengan terbata-bata.
"Minta maaf? Oh, ini siapa yah? Baru liat," tanyanya kembali dengan lantang dan lumayan keras.
"Saya Roy, Om. Teman kelasnya Tian," jawabku dengan melirik Tian. Sekali lagi, saat itu kami masih SMP. Jadi belum begitu tahu bagaimana bersikap tenang menghadapi orang yang lebih dewasa.
"Terus, mau minta maaf apa?" Pak Abdul kembali bertanya dengan ekspresi heran. Kedua alisnya mengernyit.
Aku tidak bisa lagi berkutik pada saat itu. Keringat dingin tak bisa lagi terbendung, bercucuran mengeroyok sekitar wajahku. Seketika aku terpaku diam dan sulit mengeluarkan kata-kata. Dengan sergap, Tian langsung angkat bicara dan mengatakan apa yang harus dia katakan, intinya tentang rangkaian peristiwa saat aku menabrak kaca spion tersebut.
Setelah Tian selesai menjelaskan semuanya, yang bisa kulakukan hanya tertunduk untuk mewakili rasa bersalah. Pak Abdul kemudian berjalan menuju depan rumah, di mana dia memarkirkan mobilnya. Dilihat kaca spionnya sudah berserakan di tanah, hanya meyisakan penutupnya saja.
"Siapa tadi namamu, Nak?" tanya Pak Abdul dengan lantang kembali.
"Ro ... Roy, Om," jawabku seperti orang gagap.
"Kau tinggal di mana?"
"Di kompleks perumahan seberang, Om. Perumahan Anggrek."
"Mana ayah dan ibu kau?" tanya dia kembali seperti ingin menghardikku.
"Di rumah, Om," jawabku dengan sedikit rasa takut. Sepertinya dia akan mengadukan hal ini pada orang tuaku. Saat itu, ayahku masih bisa dikatakan belum pergi dari rumah. Masih bersama kami.
"Tahu nomor telepon rumah?" Lagi-lagi dia bertanya yang semakin membuat aku takut dan menerka, jika Pak Abdul akan mengadu pada orang tuaku. Aku jawab tidak tahu, karena saat itu aku memang tidak tahu sama sekali nomor telepon rumah.
"Om, tolong jangan adukan ini pada Ibu dan Ayah. Aku benar-benar minta maaf. Roy tidak sengaja, Om." Aku merengek, dan kau tahulah perilaku anak SMP yang masih bisa dikatakan belum cukup usia untuk menghadapi masalah kala itu.
"Baiklah! Kalau begitu biar kau sendiri katakan ini pada orang tuamu. Bilang, terima kasih dari Pak Abdul."
"Maksudnya, Om?" Aku berbalik tanya padanya dengan sedikit heran.
"Iya. Karena sudah membesarkan anak yang jujur seperti kau. Jarang anak seusiamu sekarang ini mau meminta maaf pada orang yang lebih tua. Mereka cenderung lari dari kesalahannya," jelas Pak Abdul seperti sedang menasihati aku. Kutengok Tian, dia juga ikut menyimak.
Saat itu aku menduga Pak Abdul akan memarahiku, lalu mengadu pada Ibu dan ayahku. Ternyata aku salah menduga. Justru dia memaafkanku sekaligus tidak harus menyuruhku mengganti rugi apa yang telah aku perbuat. Saat itu aku juga belum bisa apa-apa selain meminta maaf. Mau dapat uang dari mana coba, sedangkan statusku masih anak ingusan yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Betul kata Tian, dia sebenarnya ramah meski terlihat sangar. Namun, orang-orang termasuk aku terkadang gugup jika berhadapan dengan Pak Abdul. Hal itu dikarenakan suaranya yang sangat lantang ketika berbicara dengannya. Mungkin, saat itu beliau lahir dengan nuansa yang tegas masa penjajahan Belanda dulu.
Suatu kehormatan bisa mengenal Pak Abdul. Hingga suatu hari, saat aku sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Aku melihat beliau masuk ke kelasku saat penerimaan rapor semester satu. Di situlah awal aku mengetahui bahwa Pak Abdul adalah ayah dari Dian.
Aneh, aku mengenal Pak Abdul begitu baik. Sedangkan anaknya yang merupakan teman kelasku sejak masuk SMA, susah akrab. Dia hanya terfokus pada nilai mata pelajaran saja. Cerdas, tapi tak ingin berkawan itu percuma.
Dian termasuk tipikal yang sulit berbaur dengan teman sekelasnya sendiri. Dia lebih suka menyendiri di perpustakaan. Mungkin, nilai baginya adalah segalanya, hingga setiap mata pelajaran harus dia seriusi. Seperti kimia. Dia adalah anak OSN kimia dan sudah sering mengikuti seleksi tingkat provinsi. Beda halnya denganku, lomba yang sering aku ikuti selalu tidak berkaitan dengan OSN. Aku lebih kepada bakat dan hobi seperti lomba menulis puisi, cerpen, karya tulis ilmiah, debat dan juga cerdas-cermat.
Bagiku dia itu beda, sungguh beda dari yang lain. Dian menggunakan waktu seharian di sekolah untuk belajar, tetapi aku lebih cenderung biasa-biasa saja. Itulah kenapa aku sebut dia si Abnormal, karena dalam sehari bisa menerima semua mata pelajaran dengan tenang dan tanpa ada beban sama sekali dalam menjawab soal-soal.
[][][]
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Segera kukemas beberapa buku di atas meja dan memasukkannya ke tas, lalu kutinggalkan ruang kelas hingga hening kembali. Seperti biasanya, aku selalu pulang sekolah dengan berjalan kaki, karena jarak rumahku tidak begitu jauh. Sebelum pulang ke rumah, aku harus terlebih dulu menjemput Rahayu dan Bayu di Taman Alun-alun Kota. Mereka pasti sedang menungguku di sana saat ini.
Kini sekolah kedua adikku lebih dekat dari rumah. jaraknya hanya berbataskan dua deret rumah. Bayu telah duduk di bangku kelas enam SD. Sedangkan Rahayu, setelah tamat dari salah satu pondok pesantren putri yang ada di dalam kota, Ibu memasukkannya ke SMA swasta khusus putri.
Setiba di taman kota, kulihat keduanya sedang asyik senda gurau di bawah pepohonan yang rindang. Tawa mereka yang begitu mencolok seakan tertusuk di batinku. Mereka seperti merasakan kebahagiaan kecil di tengah masalah besar yang menimpa hidup mereka.
Menurutku, kepergian Ayah merupakan satu-satunya masalah terbesar dalam hidupku, tentu juga dalam hidup keluargaku. Mungkin Rahayu sudah mulai memahami semua ini, akan tetapi dia enggan memperlihatkan kesedihannya padaku dan Ibu. Apalagi pada Bayu. Jika dipikir-pikir, lebih baik masalah besar ini tetap dirahasiakan dari Bayu, agar kekecewaan dalam hatinya tidak berdampak buruk bagi masa depannya kelak.
"Bayu, Rahayu ... Cukup mainnya. Ayo pulang! Sebelum Ibu tiba lebih awal di rumah!" teriakku memanggil mereka berdua dari arah Halte Bus.
Aku seperti mengusik kebahagiaan kecil mereka, tapi jika kami tidak tiba di rumah lebih awal sebelum Ibu pulang, pasti beliau akan sangat khawatir.
Akhirnya, kami berjalan pulang beriringan. Bayu memegang tangan kiriku, sedangkan Rahayu berjalan tanpa memegang tangan Bayu seperti biasa.
Kami berjalan begitu pelan. Kurasa, ada yang berbeda dengan Rahayu hari ini. Sekilas tampak ada kemurungan di raut wajahnya. Begitu kusut, seperti ada sesuatu yang mengganjal dan dipendam di hatinya saat ini.
"Rahayu, ada apa?" kutanya dia dengan masih terus melangkah pelan.
Dia terkejut dari lamunan. Matanya yang tadi memandang kosong, sontak tersadar. "Ah, tidak ada apa-apa, Kak," dijawabnya.
Tidak ada apa-apa berarti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Apa yang Rahayu pikirkan kira-kira? Dan sebagai seorang kakak, aku harus menanyakan hal ini padanya selepas tiba di rumah.
[][][]
Setibanya di rumah, badan terasa letih. Aku menuju dapur untuk mengambil minum, segera kubasahi tenggorokanku yang kering akibat dehidrasi.
Seperti biasa, aku dan adik-adikku tiba di rumah lebih awal dari Ibu. Kesibukannya di kantor begitu padat, bahkan dia kadang lembur hingga tengah malam.
Rahayu dan Bayu sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Aku ingin ke kamar Rahayu untuk menanyakan soal yang tadi, tapi kuurungkan niatku tersebut. Rahayu butuh istirahat. Soal ini, biar nanti malam saja aku menanyakannya.
Aku langsung ke atas menuju kamar dengan perasaan yang penat. Kubuka pintu lalu kulempar tas ke arah meja belajar. Segera kurebahkan badan di atas tempat tidur. Dalam beberapa menit aku tertidur pulas dengan masih mengenakan seragam sekolah. Begitu terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
"Astaga! Sudah pukul tujuh malam? Baru juga rebahan," monologku kaget seraya melihat jam weeker yang ada di atas meja.
Setelah membersihkan badan yang berlumuran keringat dan mengganti pakaian, aku kembali mengingat semua kejadian yang terjadi di hari ini.
Ada beberapa yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Kelas baru, teman baru, suasana baru, dan bahkan guru yang sudah lama mengajar di sekolah seperti terasa asing bagiku. Entah kenapa perasaan dan suasana hatiku tidak ada yang berubah. Aku masih saja terbayang oleh ayahku. Begitu melekat sakitnya atas apa yang dia perbuat terhadap aku, Ibu dan adik-adikku di masa itu.
[][][]
Wednesday, January 9th, 2019
Wahyudi Pratama
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro