Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 01



"Memimpikan masa lalu, seperti terjun di dalam kolam penuh kopi dan susu.
Ada pahit karena benci dan ada manis karena rindu. Namun, seringkali orang takut untuk memimpikan masa lalu oleh karena tak ingin lagi terpenjara dalam haru."

[][][][]

Setelah beberapa pekan lalu sekolah diliburkan karena kenaikan kelas, tibalah hari ini rutinitas kembali dimulai seperti biasa. Berbeda dari sebelumnya, kali ini Tama sudah duduk di bangku kelas sebelas IPA Sekolah Menengah Atas setelah meraih peringkat dua umum. Tak salah jika Tama menjadi salah satu yang terbaik di sekolah, sebab di setiap kesempatan waktunya banyak dihabiskan membaca segala jenis buku terkecuali deretan angka.

"Tama, sudah bangun, Nak? Segera turun ke bawah. Makanan sudah siap!" teriak Ibu dari ruang makan di lantai bawah.

Mendengar namanya dipanggil dari dalam kamar, Tama sadar dari lamunannya dan berdecak, "Iyaaa. Tunggu, Buuu," sahutnya dengan suara keras. Seperti biasa, sebelum ibunya berangkat kantor, pagi-pagi sekali sarapan pagi selalu sedia di meja makan.

Tama beranjak mengambil handuk dan juga alat mandi yang ada di dalam lemari mini persegi miliknya. Namun tanpa sengaja ia menyambar sebuah bingkai potret kesayangannya yang ada di atas meja belajar. Jika tangannya tak meraih bingkai tersebut lebih awal, mungkin saja bingkainya akan terjatuh ke atas lantai dan kaca pun pecah.

Setelah menangkapnya, Tama menatap potret yang ada pada bingkai tersebut. Satu-satunya potret kecil bersama sang ayah yang terlihat bahagia. Senyum Tama yang merekah dengan lesung pipit manisnya, wajah Ayah yang jauh lebih sumringah. Tama mengingat-ingat, saat itu ia masih duduk di kelas enam Sekolah Dasar.

Melihat wajah sang ayah melalui segenggam potret, entah kenapa pikiran Tama semakin melantur, ia kembali memikirkan ayahnya. Sekeras apa pun hati Tama ingin membenci, sangatlah sulit melupakan kenangan bersama sang ayah. Terlebih lagi hari ini Tama bertemu dengannya dalam mimpi.

Bagaimanapun juga, Tama adalah seorang anak yang tengah beranjak remaja dengan perasaan menggebu-gebu menahan rindu akan kehadiran sosok ayah, atau bisa jadi ia menahan sakit atas kepiluhan yang ditanggungnya selama ini. Tanpa ayahnya pun, Tama tidak akan tahu arti mandiri yang sesungguhnya. Sejak kepergian ayahnya, belakangan ia menghadapi masalah yang menimpa keluarganya satu per satu dengan hanya diam, membiarkan waktu yang menyelesaikan. Tanpanya, Tama tidak akan mungkin terlahir di muka bumi, tepatnya di sebuah rumah bertingkat dua, di simpang jalan yang menghubungkan antara taman komplek Perumahan Anggrek dan juga Toko Serba Ada pinggir kota.

Tama menghela napas panjang lalu bergumam, "Sudahlah, saatnya ke ruang makan. Ibu sudah menungguku".

Tama yang awalnya berniat menuju kamar mandi, ia mengurungkan niatnya dan memilih langsung ke ruang makan.

Menuju ruang makan, sepintas terbayang di benak Tama tentang sang ibu yang kini tengah menyandang gelar 'single parent'. Semenjak suaminya meninggalkannya, semua urusan rumah tangga dan biaya sekolah Tama dan adik-adiknya diurusnya seorang diri. Kadang hal itu yang selalu mengingatkan Tama pada ayahnya, perihal kondisi yang ditinggalkan dan yang meninggalkan, semua berkecamuk dalam pikirannya setiap saat.

"Bayu dan Rahayu mana, Bu?" Tama melempar pandangannya ke tiap sudut ruang makan. "Mereka sudah pada bangun?" lanjutnya sembari menggeser kursi untuk duduk.

"Mereka sudah bangun, mungkin lagi siap-siap. Nggak kayak kamu jam segini belum mandi," tegur Ibu. "Tidak memberi contoh yang baik untuk Bayu dan Rahayu."

Tama mendengkus. "Ayolah, Bu ... ini hari pertama Tama masuk sekolah. Jadi, apa salahnya telat? Lagian juga kelasnya mulai jam sembilan, kok," jawabnya sambil menuangkan sesendok nasi ke atas piring.

Terlihat Tama asal jawab. Ia selalu saja terlihat dingin di depan wanita separuh baya itu, mana ada sekolah negeri yang memulai pelajaran pada pukul sembilan pagi kecuali taman kanak-kanak.

"Justru kalau hari pertama, harus tiba lebih awal di sekolah, Tama,"sanggahnya lagi.

"Bu—"

"Iya, iya ... sudah, terserah kamu saja. Ini makan dulu," pinta Ibu sambil menuangkan lauk ke dalam piring Tama.

Di meja makan hanya ada mereka berdua, suasana begitu hening dan kedua adik Tama belum juga mengisi kursi kosong untuk sarapan bersama. Masih pagi, susana hatinya memburuk. Ia kembali terbayang dengan mimpi semalam.

Tama hanya kebingungan, sebab setiap ia memimpikan ayahnya tidak ada sepatah kata pun yang tersirat padanya. Selain diam, sosok dalam mimpinya itu hanya tersenyum pada Tama lalu pergi begitu saja, seperti orang yang tak punya tampang malu oleh karena sudah berbuat buruk pada keluarganya sendiri.

Kali ini pandangan Tama tertuju pada Ibu yang mengharuskannya mengatakan apa yang terjadi dalam mimpinya semalam. Namun ada sedikit keraguan untuk mengatakan hal tersebut, sebab ini kali pertamanya lagi Ibu harus mendengar nama Ayah langsung dari mulut Tama. Sebelumnya pernah, tapi Ibu merespons Tama dengan hanya satu kalimat yang cukup sarkas, "Kalau kamu ingin hidup bahagia, jangan pernah mengungkit masa lalu."

Ucapan ibunya kala itu sangat mengganggu pikiran Tama dan sejak itu ia tak lagi mempertanyakan kepergian dan keberadaan sang ayah, hingga semua berlalu begitu saja seperti satu anggota keluarga telah meninggal dunia.

Namun kali ini, suasana hati dan pikiran Tama berkecamuk sehingga pada akhirnya egonya kembali muncul setelah sekian lama. "Boleh aku mengatakan sesuatu, Bu?" tanya Tama pada Ibu setelah meneguk air minum.

Sambil menikmati sarapannya, Ibu menjawab, "Tentu saja."

Tama masih terdiam, dan setelah beberapa kali menimbang ia pun angkat bicara. "Semalam aku bertemu Ayah."

Kedua bola matanya mengarahkan ke bingkai foto Ayah yang terpajang di atas lemari meja berbentuk kecil pada sudut ruangan. Lemari meja tersebut tepat berada di kanan meja makan. Tama menatap wajah ayahnya dengan penuh pengharapan, ia mulai berkaca-kaca. Tidak berlangsung lama, bola mata Tama berpindah menatap Ibu.

Sontak Ibu menghentikan sarapannya lalu meminum seteguk air putih. "Tama!" pekiknya. "Apa yang kamu katakan barusan?!"

Dengan nada yang lumayan tinggi serta tatapan tajam menyorot ke Tama membuat keduanya saling diam, perasaan keduanya seperti ada dalam tekanan batin.

"Iya, Bu. Aku bertemu Ayah dalam mimpi."

Ibu mengumpat. "Lagi-lagi kamu berbicara omong kosong. Habiskan sarapanmu lalu segera bergegas ke sekolah!" pintanya tidak mengindahkan pernyataan Tama barusan.

Begitulah ibu tiga anak itu menyikapi Tama yang tiba-tiba merusak suasana hatinya, kapan pun Tama mempertanyakan atau menyebut nama yang paling melukai hati ibunya di depannya secara langsung, ia selalu saja menyebut Tama berbicara omong kosong. Ibu mencoba mengelak dan menutupi kebenaran dari kepergian sosok yang sudah melukai hati seluruh anggota keluarga, khususnya hati sang istri yang kini memperjuangkan kehidupan anak-anaknya seorang diri.

Bagaimanapun seorang istri akan merasa kecewa ketika ditinggal pergi suami. Bukan karena kematian, melainkan ia kehilangan tanpa tahu apa alasan di balik kepergiannya itu. Di sana Tama menggigit bibir bawahnya, matanya mulai berkaca-kaca.

"Ibu, aku serius! Mimpi ini bukan hanya sekali atau dua kali saja. Sudah sering terulang, Bu. Bahkan kali ini, Ayah hanya datang memandangku seorang diri. Lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa." Pandangan Tama terus tertuju pada Ibu dengan penuh antusias, seperti ingin menjelaskan semuanya namun sedikit rumit, berkesan tergesa-gesa karena luapan emosi yang tak lagi bisa tertahan.

Sesaat Ibu memejamkan mata berusaha menahan semuanya dalam dada. "Tama. Tolong jangan bahas ini sekarang, Nak. Jika adikmu mendengarnya dan ia bertanya kepada Ibu hal-hal yang aneh, maka Ibu tidak tahu harus menjawab apa. Yang perlu kamu ingat sekarang bahwa Ayah kamu sudah—"

Dengan panjang lebar si Ibu menjelaskan, tiba-tiba Tama berdiri tegap dan memotong pembicaraannya. "Kenapa Ayah begitu tega meninggalkan kita semua?" Tama menghela napas pendek dengan dada yang penuh sesak, terlihat ia berusaha menahan tangis. "Dan Ibu masih saja bersikap seperti tidak ada yang terjadi!" lanjutnya penuh amarah.

Sebuah gelas kaca yang masih berisi air langsung Tama raih dari atas meja lalu tanpa rasa ragu dilemparnya gelas tersebut ke arah lemari kecil tempat bingkai foto ayahnya terpajang sekuat tenaga dengan penuh kekesalan. Gelas tersebut tepat mengenai bingkai foto dan suara pecahan kaca berdengung keras, membuat Ibu terperanjat dan kedua adik Tama seketika berada di ruang makan menyaksikan ketegangan mereka.

"Ada apa, Bu?!" sela salah satu.

Tama dan Ibu menoleh ke sumber suara dengan keadaan mata yang berkaca-kaca, tubuh mereka bergetar, dan perasaan campur aduk oleh amarah. "Ba—Bayu!" pekik Tama, suaranya terdengar sedikit parau.

Kedua bola mata Tama memerah dan tak berkedip, ia terus saja bergantian menatap Bayu dan Rahayu, kedua adiknya yang sedang tertegun heran. "Sudah berapa lama kalian berdua di situ?!" lanjut Tama kembali mengejutkan keduanya dengan suara gertakan.

"Baru saja, Kak," sahut Rahayu.

"Apa yang sedang terjadi di sini?" timpal Bayu. Kedua alisnya mengerut, ia bertanya lagi seakan ingin tahu permasalahan yang membuat suasana terlihat tak bersahabat pagi itu. Orang yang disayangnya saling bersitegang di meja makan, tidak seperti biasanya meski keluarga tak lengkap tapi suasana harus terlihat baik-baik saja di depan Bayu.

Dengan cepat Ibu berjalan ke arah Bayu agar pikiran anak bungsunya itu tidak terganggu. "Hmm, wah anak Ibu sudah siap? Rapih sekali. Ayo sini, sarapan bareng Ibu." Ia menarik tangan Bayu untuk segera bergabung di meja makan.

"Kenapa gelas itu pecah?" tanya Rahayu sambil berjalan mendekati meja makan dengan tatapan yang masih tertuju pada pecahan gelas di atas lantai.

Ibu kembali ngeles. "Oh, i—itu, bi—biasalah, kakakmu nggak sengaja naruh gelas di atas sana, jadinya jatuh."

Wanita itu terpaksa harus berbohong di depan anaknya, Bayu dan Rahayu dan tanpa berpikir panjang mereka pun mempercayainya dan langsung duduk di meja makan. Sedangkan wajah Tama terlihat geram melihat ibunya yang lagi-lagi menutupi semuanya agar suasana tetap mencair seperti biasa. Tama kembali mengembus napas pasrah, memalingkan pandangannya dan berniat mengambil serpihan kaca yang pecah di atas lantai.

Sesaat ingin melangkah, Ibu langsung menghadang Tama. "Nggak apa-apa, Nak. Biar ibu saja yang bersihkan," tukas sang Ibu.

Pandangan Tama kembali tertuju pada Ibu. Saat ini mereka saling melempar tatapan. Wajah Ibu terlihat geram pada Tama, terbukti dengan bola matanya yang sedikit melotot. Kenapa tidak? Jika saja Bayu sampai tahu yang sebenarnya, maka dia tidak akan lagi percaya pada Ayah, bahkan pada seluruh anggota keluarga.

Ibu, Tama, maupun Rahayu terpaksa harus merahasiakan kebenaran yang sesungguhnya darinya, karena umur Bayu masih terbilang dini dan belum saatnya mengerti tentang masalah yang dihadapi oleh keluarga mereka.

Bayu yang pada saat itu masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar, belum begitu pandai mencerna bahasa. Saat situasi rumah sedang tidak baik, kedua orang tua mereka bertengkar dan sang ayah memelih untuk pergi, Tama hanya mengatakan pada Bayu jika ayahnya ada kerjaan di luar kota dalam kurun waktu yang cukup lama. Cara Tama hanyalah membuat Bayu agar tidak bertanya terus menerus setiap waktu. Walaupun pada akhirnya, di umurnya yang sekarang Bayu jadi lebih sering bertanya kapan ayahnya pulang pada ibunya dan juga Tama. Bayu yang awalnya pendiam, pelan-pelan tumbuh menjadi anak yang menyimpan banyak pertanyaan dalam benaknya lalu diluapkan satu per satu seiring waktu yang beranjak dewasa.

"Bayu, Rahayu, sepertinya kakak terlambat ke sekolah," ucap Tama setelah menimbang beberapa saat. "Kalian ikut sama Ibu saja nanti ke sekolah, biar Ibu yang antar. Kakak masuk jam sembilan, jadi agak siangan ke sekolahnya. Ingat! Jangan sekali-kali pulang sekolah tanpa Kakak, Oke?! Tunggu sampai kakak jemput," jelas Tama dengan nada serius seperti menghardik kedua adiknya.

"Siap, Kak Tama!" jawab keduanya serempak.

Lagi-lagi ibunya tidak mengindahkan Tama sama sekali. Dia hanya sekadar mendengar Tama mengoceh tanpa menoleh. Tama sadar bahwa ia sudah membuat suasana hati ibunya sedikit runyam, karena itu Tama memilih untuk beranjak dari ruang makan.

Tama tahu betul bahwa sebenarnya ibunya peduli pada anak-anaknya, dan jika Tama membahas tentang ayahnya sudah pasti itu akan mengingatkan tentang kejadian beberapa tahun silam yang telah melukai hati semua anggota keluarga, terlebih hati sang ibu. Sungguh menyakitkan, tetapi Tama hanyalah seorang anak yang tengah tumbuh menjadi bagian dari ketidakberuntungan; keluarga yang tak utuh lagi seperti dulu. Tama hanya ingin ibunya tahu betapa ia merindukan ayahnya.

[][][]
To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro