50. Pulang
Happy Reading
🍀🍀🍀
Aku dan Haydan baru saja menyelesaikan makan siang kami yang ditemani oleh sepiring nasi goreng seafood. Sebenarnya, aku belum begitu lapar. Sebab, di kampus tadi, aku sempat mengemil beberapa bungkus makanan ringan yang kubeli di kantin. Sayangnya, kakek telah menyuruhku dan Haydan agar segera mengisi perut di ruang makan.
“Itu siapa?” gumamku ketika melihat seorang lelaki berpakaian serba hitam keluar dari kamar kakek sembari membawa sebuah map.
Karena rasa penasaran, aku memilih menanyakan perihal orang tersebut kepada kakek di kamar.
“Kek,” panggilku.
“Udah selesai makannya kalian?” tanya kakek.
Aku menganggukkan kepala. “Udah, Kek. Ehm, orang yang barusan keluar itu siapa, Kek? Trus, kok kayaknya cepat banget udah keluar? Padahal, Hafika dan Haydan makan gak sampai 15 menit. Emangnya, urusannya udah selesai?” tanyaku berpanjang lebar.
Kakek tersenyum kecil. Mungkin, karena mendengar kalimat panjang berisi pertanyaan dariku.
“Itu pak Ricky, Hafika. Pak Ricky itu notaris. Dia ke sini cuma minta tanda tangan Kakek. Terus, pulang ke kantornya lagi,” ujar kakek yang membuatku ber oh ria.
Tapi, yang jadi pertanyaanku sekarang, apa urusan yang mengharuskan kakek berurusan dengan notaris seperti itu?
“Tanda tangan untuk apa, Kek?”
“Ah, iya, Kakek lupa memberitahu kamu, Hafika. Kakek tengah mengurus balik nama rumah ini dan perusahaan menjadi nama kamu,” tutur kakek yang membuatku terkejut.
“Balik nama? Untuk apa, Kek? Hafika nggak butuh rumah dan perusahaan. Hafika cuma butuh keluarga Hafika sehat-sehat aja.”
“Sayang, Kakek tahu, kamu bukan tipikal orang yang menginginkan harta. Tapi, ini semua Kakek berikan ke kamu untuk menjamin masa depan kamu ke depannya. Kakek ingin, perusahaan Kakek yang satu ini dikelola oleh kamu nantinya.”
“Bukannya perusahaan Kakek udah diambil alih oleh om Bala?”
Kakek tersenyum kecil, lantas menggeleng. “Sebenarnya, yang mereka ambil alih itu anak perusahaan dari perusahaan ini. Seandainya Kakek menarik saham dari anak perusahaan itu, Bala dan keluarganya pasti hancur. Sayangnya, Kakek masih menganggap Bala sebagai anak Kakek.”
“Tapi, karena perusahaan ini nantinya Kakek berikan ke kamu, semuanya Kakek serahkan ke kamu, apakah kamu masih ingin menyuntikkan saham kepada anak perusahaan itu atau tidak,” lanjut kakek yang membuatku merasa terharu.
“Kek, kenapa Kakek kasih itu semua kepada Hafika? Padahal, Hafika—”
“Karena, Kakek ingin menebus semua kesalahan Kakek. Lagi pula, kamu cucu kesayangan Kakek. Tidak ada salahnya Kakek mewariskan perusahaan kepada kamu.”
Aku tidak bisa menahan rasa bahagiaku. Dengan cepat, aku memeluk kakek, menyalurkan semua perasaan cintaku kepada kakek. Ternyata, sebesar apa pun rasa benci yang pernah aku tanamkan di diri terhadap kakek, tidak akan pernah mengalahkan rasa cintaku kepada kakek. Kakek adalah cinta ketigaku, setelah Ayanda dan Buna. Cinta yang kupercaya hadirnya untuk melindungi, bukan menyakiti. Sebab, sekalipun kakek pernah menyakiti perasaanku, setidaknya aku paham bila itu semua hanya sebatas kesalahpahaman.
“Hafika ... pulang, ya, Sayang. Ajak Bunamu juga. Pulang ke sini. Ke rumah kalian,” ujar kakek dengan perlahan. Aku mengurai pelukanku, kemudian menatap kakek sejenak dan menggeleng.
“Maaf, Kek. Hafika nggak bisa kembali ke rumah ini,” ujarku.
“Kenapa? Kamu masih marah sama Kakek?” tanya kakek yang membuatku seketika merasa bersalah. Sebab, bukan itu alasanku untuk tidak kembali ke rumah ini.
“Nggak, Kek. Hafika bukannya marah. Hafika cuma nggak bisa ninggalin rumah yang kami tempati sekarang ini. Ada banyak kenangan bersama Ayanda dan Buna yang tercipta di rumah itu, Kek,” jelasku, berharap kakek bisa mengerti alasanku tersebut.
Raut kecewa di wajah kakek masih belum tersingkirkan, namun dengan cepat aku kembali berkata, “Tapi, Hafika bakal sering nginap di sini, kok. Ini kan juga rumah Hafika,” ucapku seraya tersenyum.
“Seminggu di sini, seminggu di rumah. Gak pa-pa, kan, Kek?”
Kakek tersenyum kemudian mengangguk. “Ide yang brilian,” puji kakek.
“Kalau gitu, Hafika bakal telepon Buna untuk siapin baju. Malam ini dan untuk seminggu ke depan, Hafika akan nginap di sini,” sorakku riang, lantas kembali memeluk kakek.
🍀🍀🍀
“Semuanya udah lengkap, Buna?” tanyaku kepada Buna yang sudah menyiapkan koper berisikan baju kami berdua untuk di bawa ke rumah kakek. Hanya satu koper saja. Sebab, kami hanya menginap seminggu di sana. Tidak perlu sampai membawa lemari beserta seluruh isinya.
“Udah, Sayang. Baju tidur kamu juga udah Buna siapin. Paling, ini aja. Kamu bawa buku mana aja yang diperlukan untuk kuliah,” ujar Buna.
Aku mengangguk kemudian segera beranjak ke kamar, mengambil beberapa buku catatan yang sekiranya perlu untuk dibawa ke kampus saat kuliah dan meninggalkan sisanya yang tidak begitu diperlukan. Aku menaruhnya ke dalam sebuah ransel berwarna biru muda dan berjalan keluar sembari mengunci pintu kamarku.
Ngomong-ngomong, setelah menyelesaikan administrasi uang kuliahku minggu lalu, itu artinya aku resmi menyandang status sebagai mahasiswa semester enam. Meski, masa-masa ujian akhir dan pergantian tahun harus kulewati dengan masalah yang silih berganti, tapi aku bangga karena mampu bertahan sampai di tahap ini.
“Loh, kopernya mana, Buna?” tanyaku yang tidak melihat keberadaan koper kami di ruang tamu, di tempat tadi.
“Udah dibawa sama nak Haydan keluar tadi, Sayang,” jawab Buna.
Aku merasa tidak enak kepada Haydan jadinya. Sepertinya, aku terlalu banyak merepotkan lelaki itu. Bahkan, untuk acara menginapku saja, Haydan yang mengantar kami nantinya.
“Buna ke dalam bentar, Sayang, mau ngecek gas dan air udah ditutup semua atau belum,” kata Buna yang langsung kuangguki. Sementara itu, aku berjalan keluar rumah. Lebih tepatnya, menghampiri Haydan yang saat ini tengah memasukkan koperku ke dalam bagasi mobilnya.
“Eh, ada lo di sini,” ucap Haydan yang hendak menutup pintu bagasinya. “Sejak kapan?”
“Baru aja,” jawabku.
“Dan ... makasih, ya,” ujarku.
“Makasih buat apa lagi, Nay? Kayaknya, terlalu banyak kata makasih yang lo ucapin. Sampai-sampai, gue bingung. Kebaikan apa yang baru gue perbuat sama lo,” ucapnya berkelakar.
“Ya, makasih. Makasih karena udah banyak bantu aku sama Buna. Kayaknya, aku terlalu sering ngerepotin kamu. Sampai-sampai, untuk urusan ini aja, aku minta kamu buat anterin aku dan Buna ke rumah kakek.”
Lelaki itu tersenyum kecil. “Nay, Nay. Ini sama sekali nggak ngerepotin. Malah, gue senang kok bisa ngebantuin lo sama nyokap lo. Apa pun bakal gue lakuin, Nay, supaya gue bisa lihat senyum lo.”
Tanpa kusadari, sebuah senyumku terbit di keremangan malam yang kali ini hanya ditemani sebuah bulan sabit di atas sana.
“Kamu baik banget, Dan, sama aku,” ucapku yang terbawa haru. “Tapi, maaf kalau aku berlaku jahat karena nggak bisa membalas perasaan kamu sekarang.”
Seketika, aku merasa bahwa aku adalah orang paling jahat sedunia. Haydan benar-benar tulus padaku. Lelaki itu juga baik. Tapi, sayangnya, masih ada setitik keraguan yang menghinggapi hatiku sehingga aku tidak bisa langsung memberikan jawaban atas perasaan Haydan.
Lagi pula, ini ialah kali pertama aku berurusan dengan lawan jenis hingga menyentuh tahap ini. Sebelum-sebelumnya, aku berusaha untuk membentengi diriku untuk tidak berurusan dengan kaum adam seperti Haydan.
“Lo nggak perlu minta maaf, Nay. Gue paham, kok. Tentunya, sulit bagi lo untuk langsung menerima perasaan gue. Terlebih, sebelumnya, gue pernah jadiin lo sebatas pacar pura-puraan gue. Tapi, lo nggak perlu khawatir. Gue nggak akan maksa lo. Gue bakal nunggu lo, sampai lo bisa menerima perasaan gue seutuhnya. Kapan pun itu, gue bakal tetap nunggu lo, Nay,” ujar Haydan sembari menyelipkan anak rambutku yang nyaris menutupi pandanganku ke belakang telinga.
“Makasih, Dan, karena udah mencintai aku. Aku janji, aku akan segera meyakinkan semua keraguan aku dan membalas perasaan kamu dengan hal serupa,” kataku tulus.
“Dan, kasih gue kesempatan untuk mengambil porsi dari proses keyakinan lo, Nay. Gue sayang lo. More than you know,” bisiknya kemudian mendekapku ke dalam pelukannya.
Untuk beberapa saat, aku benar-benar terhanyut dalam hangatnya pelukan itu. Sayangnya, itu tidak bertahan lama, karena ....
“HAFIKA ... KUNCI RUMAHNYA SAMA KAMU, SAYANG?”
Suara teriakan Buna membuat Haydan refleks melepaskan pelukannya. Di detik itu pula, aku baru tersadar dengan apa yang baru dilakukan Haydan beberapa saat lalu. Wajahku terasa memanas ketika mengingatnya.
“Untung, nggak ketahuan nyokap lo kalau gue habis meluk anaknya,” gumam Haydan yang masih terdengar jelas di telingaku. Membuatku dengan buru-buru meninggalkan lelaki itu.
Tujuan utamanya bukan untuk memberikan kunci rumah kepada Buna, melainkan untuk menghindari detak jantungku yang semakin tak terkontrol saat bersama lelaki itu.
🍀🍀🍀
1.297 words
©vallenciazhng_
February 11, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro