Happy Reading
🍀🍀🍀
“Dulu, gue pernah kok benci sama bokap nyokap gue karena kesalahpahaman itu. Waktu gue dengar cerita dari bokap nyokap gue kalau gue pernah tinggal sama bu Halimah, gue marah. Gue pikir, mereka udah tega banget buat ngebuang gue. Tapi, ternyata apa? Faktanya, gue salah besar. Karena, ceritanya nggak seperti yang gue bayangkan.”
“Gue harap, lo nggak kayak gue yang dulu, Nay. Yang sembarang menghakimi. Gue nggak maksa lo. Itu semua hak lo. Tapi, gue saranin lo buat ketemu sama kakek lo. Setelah itu, lo bisa tanyain ke kakek lo semua pertanyaan yang sekarang ada di benak lo, Nay. Lo ungkapin semuanya. Jangan ada yang berusaha lo tutupin lagi. Selesaikan semua masalah lo. Gue yakin, kok. Ini semua cuma masalah kesalahpahaman.”
Setelah kepulangan Haydan, aku kembali masuk dan mengurung diri di dalam kamar. Kali ini, bukan karena aku yang kecewa terhadap siapa pun, melainkan karena aku yang ingin mempunyai lebih banyak waktu untuk sendiri dan merenungkan semua masalah ini.
Mungkin, Haydan ada benarnya. Boleh jadi, ini semua hanya perihal salah paham. Barangkali, ada fakta yang tidak kuketahui. Harusnya, aku bisa lebih bijak untuk menanggapi masalah ini. Harusnya, aku paham bahwa sejauh apa pun aku berlari menjauhi masalah yang ada, aku akan tetap menghadapinya. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti.
Aku mengusap wajahku frustrasi. Masalah ini cukup menyita waktu dan perhatianku. Aku bahkan sampai menelantarkan tugas kuliahku yang harusnya kukerjakan kemarin demi memikirkan masalah ini.
“... gue saranin lo buat ketemu sama kakek lo.”
Sepertinya, Haydan memang benar. Aku harus menemui kakek dan menyelesaikan semua masalah yang ada. Setidaknya, itu jalan satu-satunya agar aku dapat berdamai dengan masa lalu.
🍀🍀🍀
Aku berjalan menghampiri Buna yang saat ini ada di kamarnya. Buna terlihat tengah melipat pakaian yang baru saja kering. Karena posisi Buna yang membelakangiku, maka tentunya Buna tidak menyadari keberadaanku. Hingga saat aku duduk di sebelahnya dan menciptakan guncangan kecil di ranjang, Buna segera menoleh dan baru menyadari keberadaanku.
“Sayang?” Buna membeo.
“Ada apa ke kamarnya Buna?” tanya Buna selanjutnya, namun aku tidak menjawab, melainkan langsung memeluk Buna dari samping.
“Buna, maafin Hafika, ya,” ujarku sembari mendongakkan kepala.
“Maaf untuk apa, Sayang?”
“Hafika minta maaf karena masalah yang kemarin. Hafika nggak seharusnya menaruh marah ataupun kesal ke Buna karena masalah kakek.”
Aku mengurai pelukanku setelah berujar demikian, melihat jauh ke dalam dua bola mata Buna.
Aku dapat merasakan tatapan Buna yang menghangat seiring dengan berjalannya waktu. Beberapa saat kemudian, senyuman kecil tercetak di wajah Buna.
“Hafika nggak perlu minta maaf, Sayang,” ujar Buna. Tangan kanan Buna terulur menyentuh puncak kepalaku. Tidak. Lebih tepatnya, untuk merapikan anak rambutku yang sedikit tidak rapi. “Buna paham, kok. Buna paham banget apa yang dirasain sama anak Buna.”
“Justru Buna yang salah. Buna yang harusnya minta maaf. Nggak seharusnya Buna menegur kamu seperti itu di depan pak Wahyu,” lanjut Buna.
Aku dengan cepat menggelengkan kepala. “Buna nggak salah. Niat Buna baik, kok. Buna cuma nggak mau Hafika menjadi seorang yang durhaka. Iya, kan, Buna?”
Buna tersenyum dan berkata, “Anak Buna sepertinya udah makin dewasa pikirannya, ya.”
“Nggak, Buna. Bukan pikiran Hafika yang dewasa. Tapi, ini semua karena Haydan yang udah mengubah pola pikir Hafika.”
“Berarti Buna nggak salah manggil nak Haydan ke sini, dong, untuk nenangin pikiran dan bicara sama kamu?”
Aku menggeleng. “Walaupun awalnya Hafika sedikit kaget karena Buna udah ceritain semuanya ke Haydan. Ditambah dengan Hafika yang harus makan hati karena kata-kata nyelekit dari Haydan. Hafika bersyukur, karena akhirnya Haydan memberikan satu pencerahan untuk Hafika yang hanya memandang dari satu sisi,” kataku kepada Buna.
“Pencerahan? Pencerahan kayak gimana, Sayang?”
“Pencerahan yang membuat Hafika udah nentuin keputusan Hafika, untuk bertemu kakek atau nggak, Buna.”
Bola mata Buna membesar, seolah terkejut dengan kalimat yang baru saja kusampaikan. Mungkin, lebih tepatnya, mengenai keputusan yang telah kupunya.
“Jadi? Gimana keputusan kamu, Sayang?” tanya Buna.
Aku memberi senyum kecil, sebelum akhirnya menjawab, “Hafika mau ketemu sama kakek, Buna. Hafika mau selesaikan semua rasa dendam di hati Hafika terhadap kakek. Hafika ... kangen kakek, Buna.”
🍀🍀🍀
Setelah menyampaikan keputusan yang teramat sulit kupilih sebelumnya itu, aku mengajak Buna untuk pergi ke rumah kakek besok, mengingat besok ialah weekend. Ada pepatah yang mengatakan, lebih cepat lebih baik, bukan? Maka dari itu, aku ingin segera menemui kakek dan menyelesaikan semua rasa amarah yang pernah membelenggu di dalam hatiku. Sekaligus, aku ingin mengetahui, apa alasan terkuat kakek tidak menghadiri prosesi pemakaman Ayanda.
“Buna hubungin pak Wahyu dulu untuk kasih tahu besok kita akan ke rumah kakek,” ujar Buna yang membuatku mengernyitkan kening.
“Kenapa harus hubungin pak Wahyu dulu, Buna? Kan, kita bisa langsung pergi sendiri,” kataku.
“Kemarin pak Wahyu pesan ke Buna, kalau kita mau pergi ke rumah kakek, hubungin dia terlebih dahulu biar beliau jemput.”
“Oh, gitu, Buna. Ya udah, Buna telepon pak Wahyu dulu aja. Hafika mau ke kamar bentar,” ujarku kemudian beranjak keluar dari kamar Buna.
Aku berhenti melangkah saat berada di depan pintu kamarku, kemudian menghela napas lega. Semoga keputusanku untuk menemui kakek adalah keputusan yang tepat.
🍀🍀🍀
Seperti apa yang dikatakan Buna kemarin, pak Wahyu memang datang untuk menjemput kami dengan mobil mewah berwarna putih mengkilapnya.
“Saya benar-benar terkejut ketika mendapatkan telepon dari Ibu yang mengatakan ingin bertemu dengan pak Basri. Saat saya memberitahu pak Basri, bapak juga sama terkejutnya. Wajah beliau begitu berseri. Sudah lama saya tidak melihat wajah berseri bapak,” kata pak Wahyu yang saat ini tengah menyetir di depan. Sementara itu, aku dan Buna duduk di belakang.
“Apalagi, akhir-akhir ini keadaan bapak yang tengah kurang sehat. Saya kadang prihatin melihatnya,” lanjut pak Wahyu yang membuat aku kebingungan.
“Kakek lagi sakit?” tanyaku.
“Iya, Hafika. Sejak beberapa bulan yang lalu, kondisi pak Basri tidak begitu baik.”
“Kata dokter, kakek kenapa, Pak?”
Dari belakang sini, dapat kulihat pak Wahyu menggelengkan kepalanya. “Bapak nggak pernah mau dibawa ke rumah sakit. Setiap ditanya kenapa, bapak selalu jawab, beliau nggak apa-apa.”
“Tapi, nggak bisa dibiarkan begitu aja. Pasti ada suster yang dipanggil ke rumah buat ngerawat kakek, kan?” serangku bertubi-tubi, mengeluarkan semua rasa khawatir yang ada di hatiku.
“Tidak ada, Hafika. Pak Basri juga tidak mau dirawat oleh suster. Sehari-hari, hanya saya dan bibi yang mengawasi pola makan dan tidur bapak.”
“Memangnya, Meilisa kemana? Kenapa dia tidak merawat bapak?” tanya Buna yang mewakili pertanyaanku.
Mobil yang kami tumpangi mendadak berhenti. Tanpa kami sadari, kami sudah tiba di rumah megah kediaman keluarga Abdinegara. Rumah yang terakhir kali kukunjungi dengan meninggalkan perdebatan kecil.
Sebelum aku bergerak untuk membuka pintu mobil, suara pak Wahyu kembali terdengar. Lebih tepatnya, untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Buna tadi.
“Semenjak Bu Putri keluar dari rumah, bu Meilisa tidak pernah lagi merawat bapak, Bu.”
🍀🍀🍀
1.086 words
©vallenciazhng_
February 7, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro