Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42. Pendapat Buna

Happy Reading

🍀🍀🍀

Ehm, udah malem, Nay. Kalau gitu, gue mau pulang dulu, ya. Nggak enak kalau dilihat tetangga lo nanti,” ucap Haydan. Aku menganggukkan kepala dan mengantar Haydan sampai ke depan rumah. Lelaki itu mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya kemudian memutar kunci tersebut dengan telunjuknya dan berjalan menuju mobilnya.

“Makasih, Dan,” kataku. Haydan memberhentikan langkahnya. Lelaki itu berbalik badan dan memiringkan sedikit kepalanya.

“Lo ngomong apa tadi? Sorry, gue nggak terlalu jelas.”

Aku menghela napas dan kembali mengulangi perkataanku tadi. “Makasih.”

“Makasih karena udah bayarin biaya rumah sakit Buna. Makasih juga karena udah anterin aku sama Buna sampai rumah,” lanjutku.

Lelaki itu tersenyum kecil sebelum menjawab, “Nggak perlu makasih, Nay. Gue ikhlas kok bantuin lo sama nyokap lo.”

Hatiku menghangat ketika mendengar kalimat penuh ketulusan itu.

“Gue ... pulang dulu, ya?” pamit Haydan.

“Iya, hati-hati.”

“Jangan kangen, loh,” ucapnya berubah menjengkelkan.

“Siapa juga yang kangen sama kamu? Geer banget, sih,” cibirku.

Lelaki itu tertawa kecil. Ia berjalan menghampiriku kemudian mengacak rambutku.

Aku berdecak. “Berantakan, Dan.”

“Nggak pa-pa. Cewek gue tetap cantik, kok,” ucapnya. Aku refleks memukul lengannya.

“Siapa yang cewek kamu? Kita belum pacaran, ya,” protesku.

“Belum?” Ia membeo. Seringai kecil tampak di wajahnya. “Secara nggak langsung, berarti lo berharap jadi pacar gue dong nantinya?” tanyanya meledek.

Aku refleks menggeleng. “Eh, nggak gitu.”

Lelaki itu hanya tertawa kecil. “Tunggu gue, ya, Nay. Gue bakal buktiin perasaan gue sama lo.”

Ucapan Haydan membuatku tertegun. Entah sudah terhitung berapa kali di hari ini, ia mengucapkan sederet kalimat bermakna sama kepadaku, yakni tentang perasaan dan juga ketulusannya.

“Udah, pulang sanaaa, ih,” ujarku mengusir Haydan sebagai pengalihan dari pembahasan tadi.

“Iya, Naya. Gue pulang sekarang,” jawab Haydan setelah tertawa kecil. “Lo langsung tidur, ya, habis ini. Jangan bergadang. Nanti kantong mata lo makin tebal kayak panda.”

“Gak pa-pa. Panda kan lucu,” ujarku.

“Panda emang lucu. Tapi, kayaknya gue lebih suka lo, deh.”

“HAYDAN!” pekikku. “Udah, pulang sana. Aku hitung sampai tiga. Satu!”

“Oke, Nay, oke. Gue pulang.” Ia mundur selangkah.

“Dua!”

“Lo langsung tidur, ya. Kalau kangen sama gue, langsung samperin aja ke mimpi.”

“Tiii ....”

Good night, Nay. Have a nice dream,” pesannya sebelum ia membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Tak lama setelah itu, bunyi mesin mobil yang dinyalakan terdengar. Lelaki itu menurunkan jendela mobilnya sejenak dan melambaikan tangannya kepadaku.

“Gue pulang dulu,” katanya. Setelah itu, ia kembali menaikkan jendela mobilnya dan melaju keluar dari pekarangan rumahku. Meninggalkanku yang tengah menahan semburat senyum.

“Kamu ajaib, Dan,” gumamku tanpa kusadari.

Lelaki itu memang benar-benar ajaib. Ia dapat menjadi Haydan yang angkuh seperti saat pertama kali kami bertemu, menjadi Haydan yang menyebalkan seperti di rumahnya, dan Haydan yang ... mampu membuat hatiku menghangat.

Seketika, terlintas satu pertanyaan di benakku. Apa Haydan yang kukenal memiliki tiga kepribadian? Atau mungkin parahnya, Haydan ternyata memiliki kembar tiga?

Aku menggelengkan kepalaku, berusaha melenyapkan semua pikiran aneh itu dan kembali masuk ke dalam rumah. Tak lupa, aku mengunci pintu serta memastikan semua jendela telah tertutup dengan rapat.

Sebelum beranjak ke kamarku, aku terlebih dahulu mengecek ke kamar Buna, apakah Buna sudah tidur atau belum. Rupanya, Buna masih dalam posisi duduk, sama seperti saat aku meninggalkannya untuk menemui Haydan di ruang tamu.

“Buna belum tidur?” tanyaku. Buna menggeleng kecil.

“Nak Haydan udah pulang?”

Aku mengangguk. “Udah, Buna. Barusan aja pulang.”

“Kalian berdua ngomongin apa aja? Kayaknya asyik.”

“Buna kepo, deh,” ledekku.

“Wajar dong kalau Buna kepo sama isi pembicaraan anak Buna dan calon mantu.”

“Ih, Buna apaan, sih. Buna mau Hafika nikah muda? Pakai bahas calon mantu segala.”

Buna tertawa kecil. “Kan, calon, Sayang. Belum jadi mantu beneran.”

“Ih, tau ah, Buna. Hafika mau tidur aja.” Aku hendak bangkit dari ranjang Buna, sayangnya panggilan Buna berikutnya membuatku kembali duduk.

“Sayang, duduk dulu. Ada yang pengin Buna tanyain.”

“Ada apa, Buna?”

“Gimana nak Haydan?” tanya Buna yang membuatku bingung.

“Gimana apanya, Buna?”

“Gimana pandangan kamu soal nak Haydan?”

“Ya, gitu, Buna. Haydan anaknya baik. Walaupun dia sedikit nyebelin, sih,” jawabku apa adanya.

“Ganteng, nggak?”

“Haydan kan cowok. Otomatis dia ganteng, dong, Bun. Kalau cantik mah bahaya,” ujarku dengan polos.

“Iya juga, sih. Anak Buna pinter,” ucap Buna lantas mengelus puncak kepalaku.

“Jelas, dong. Anak Buna gituloh,” kataku yang membuat Buna tersenyum.

“Kamu suka, nggak?”

Aku mengernyitkan kening. “Suka apanya, Buna?”

“Kamu suka sama nak Haydan, nggak?”

Pertanyaan Buna membuatku seketika terdiam.

“Gak perlu langsung dijawab kalau masih ragu. Buna cuma pengin tahu aja, kok,” ujar Buna berikutnya. Aku hanya manggut-manggut saja.

“Sayang,” panggil Buna lagi.

“Iya, Buna?”

“Nak Haydan tadi minta maaf sama Buna soal masalah kalian yang kemarin.”

“Terus?”

“Ya, Buna maafin.”

“Haydan ngomong apalagi sama Buna?” tanyaku berusaha mengorek informasi dari Buna. Walaupun Haydan telah menceritakan tentang apa yang ia perbincangkan bersama Buna tadi di rumah sakit, aku tetap ingin mendengar dari sisi Buna.

“Nak Haydan bilang sama Buna soal perasaannya.”

Ternyata, Haydan memang tidak mengarang cerita. Lelaki itu benar-benar mengakui perasaannya kepada Buna.

“Dia bilang dia suka sama putri cantik Buna.”

Kehangatan mendadak menjalari hatiku ketika mendengar kalimat itu. Walaupun aku sudah mendengarnya langsung dari Haydan, tapi tetap saja, kalimat itu masih mempunyai kekuatan untuk menggetarkan hatiku.

“Awalnya, Buna ragu. Setelah status hubungan pura-pura kalian, mendadak nak Haydan bilang dia suka sama kamu.”

Ternyata, Buna juga memikirkan hal yang sama denganku.

“Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, kayaknya nak Haydan memang serius dengan perasaannya.”

“Kenapa begitu, Buna?”

“Karena ada satu kalimat nak Haydan yang membuat Buna cukup tersentuh.”

“Apa, Buna?”

“Nak Haydan bilang kayak gini, Sayang .... Saya mungkin bukan lelaki pertama di kehidupan Naya yang berjanji untuk melindunginya, Tante. Karena, lelaki pertamanya ialah mendiang ayahnya Naya. Tapi, izinkan saya untuk melanjutkan tugas ayah Naya dalam menjaga putri cantiknya.

Napasku tercekat ketika mendengar Buna menirukan kalimat yang diucapkan Haydan saat itu.

“Haydan beneran bilang kayak gitu ke Buna?” tanyaku tidak percaya.

Anggukan kepala Buna membuatku mau tak mau harus percaya. Haydan memang setulus itu.

“Buna nggak maksa kamu, mau kamu percaya atau nggak, Sayang. Biarkan Haydan yang membuktikan ketulusannya,” kata Buna.

“Tapi, yang jelas menurut Buna, nak Haydan orang yang baik. Buna nggak minta kamu langsung terima dia. Cukup jadikan pendapat Buna ini sebagai pertimbangan bagi kamu. Buna yakin, kamu sudah bisa nentuin mana yang baik dan mana yang nggak untuk diri kamu sendiri,” lanjut Buna.

“Iya, Buna. Makasih, ya, karena udah ngasih Hafika kepercayaan untuk menentukan pilihan Hafika sendiri. Kalau gitu, Hafika mau istirahat dulu, Buna. Buna juga istirahat, ya. Hafika nggak mau Buna sampai sakit lagi,” ujarku kemudian mencium telapak tangan Buna.

“Selamat istirahat, Buna.”

“Selamat istirahat juga, Anak Buna.”

🍀🍀🍀

1.076 words
©vallenciazhng_
January 30, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro