Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33. Anak yatim

Happy Reading

🍀🍀🍀

"Buat apa, Dan? Buat apa kita samperin Marinka? Kamu pikir, dengan kita samperin Marinka akan mengubah semuanya?" Napasku memburu.

"Iya, mungkin nggak bisa ngubah apa-apa. Tapi, setidaknya, gue mau ngasi Marinka peringatan terakhir. Gue rasa, dia udah cukup keterlaluan di masalah ini."

Itu kalimat terakhir Haydan sebelum lelaki itu memaksaku masuk ke dalam mobilnya. Aku hanya menurut, tidak memprotes lebih lanjut.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah Marinka, baik aku maupun Haydan tidak berniat saling membuka pembicaraan. Kami sama-sama fokus pada pikiran kami masing-masing.

Sesekali, dadaku naik turun karena terisak. Aku menatap amplop cokelat yang diberikan bu Ineke tadi. Kenapa semuanya jadi begini? Tujuanku bekerja ialah untuk melunasi utangku pada Haydan agar bisa secepat mungkin menjauhi lingkup keluarga lelaki itu. Akan tetapi, yang menghancurkan tujuan itu justru Marinka sendiri, orang yang mati-matian memintaku berjauhan dengan Haydan.

Mobil Haydan berhenti di depan rumah Marinka untuk beberapa saat sampai satpam-baru-yang bekerja di sana membukakan gerbang untuk kami. Aku menatap ke arah pintu utama yang kini tertutup dengan rapat-selalu begitu-sampai suara Haydan terdengar setelah hampir 15 menit terdiam.

"Kalau lo nggak mau ketemu Marinka, tunggu aja di mobil," ujar Haydan yang membuatku berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk ikut menemui Marinka. Walau bagaimanapun, yang bermasalah ialah aku dan Marinka.

"Lo yakin mau nemuin Marinka?" tanya Haydan sekali lagi untuk memastikan.

Dengan tanpa keraguan, aku menganggukkan kepalaku. "Yakin."

"Ya udah, terserah lo," putus Haydan sebelum lelaki itu membuka pintu mobilnya.

Aku memilih mengekori Haydan di belakang sembari menundukkan kepala, berharap tidak akan menemui anggota keluarga Marinka yang lainnya.

"Siapa yang datang? Eh, Haydan. Tumben kamu datang ke sini, Nak? Nyari Marinka, ya?"

"Iya, Tante."

Mendengar kata tante, aku mengangkat kepalaku untuk melihat siapa yang tengah berbicara dengan Haydan. Aku refleks memalingkan muka ketika mengetahui siapa orang tersebut.

"Kamu datang sama siapa, Haydan?" tanya wanita itu berbisik, namun masih jelas terdengar di telingaku.

"Ini pacar saya, Tante," aku Haydan. Bertepatan dengan kalimat itu, aku dapat merasakan permukaan sebuah benda yang bersentuhan langsung dengan kulitku.

Napasku tercekat saat aku menyadari jemari Haydan yang kini menyelinap masuk untuk menggenggam jemariku.

"Pacar? Eh, ya udah, tunggu sebentar. Biar Tante panggilin Marinkanya."

Setelah itu, tidak lagi terdengar suara dialog antara kedua pihak.

Aku masih sibuk mengatur ritme detak jantungku yang tak karuan akibat genggaman tangan Haydan.

"Eh, Haydan, kamu-loh, kamu datangnya sama dia?" Suara melengking Marinka menggema di telingaku, membuatku refleks menutup sebelah kupingku dengan tangan yang tidak digenggam Haydan.

Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku dan menatap ke arah Marinka, meski sejujurnya aku masih enggan melihat wajahnya. Rasa kesal, marah, dan benci berbaur menjadi satu menyelimuti perasaanku saat ini.

"Gue nggak mau basa-basi. Gue datang ke sini cuma mau bilang sama lo. Kelakuan lo yang kali ini udah keterlaluan dan gue nggak bakal bisa maafin lo," kata Haydan panjang lebar.

Aku dapat melihat perubahan raut wajah Marinka sekarang ini. Entah kenapa, tapi yang jelas melihat wajah ketakutan Marinka membuatku senang. Setidaknya, ada satu orang yang Marinka takuti sekarang ini; Haydan Acisclo.

"Kamu ngomong apa, sih, Dan? Aku nggak paham."

"Lo jangan mikir gue udah tua lalu pikun. I still remember what you've done today to Naya and Kia."

Bulu kudukku mendadak naik ketika mendengar Haydan berbicara dengan bahasa inggris. Bukan, bukan karena kalimat berbahasa inggrisnya yang membuatku merinding, melainkan karena nada bicara lelaki itu yang tak seperti biasanya.

Terkesan seperti ... tegas dan menusuk.

"Dan, aku udah jelasin ke kamu, kan? Semuanya nggak seperti yang kamu lihat."

Dalam hatiku menjerit, lalu bagaimana kejadian yang sebenarnya? Bahwa ia hanya berniat mengantarkan Kia pulang seperti apa yang ia jelaskan tadi? Bahwa Kia yang salah paham dan mengira kalau ia hendak menculik Kia? Atau, bahwa Kia yang masih anak-anak itu ternyata pandai mengarang cerita?

Semuanya tidak logis. Dan, satu-satunya cerita paling logis ialah bahwa ia hendak menghancurkanku lewat Kia.

"Gue nggak mau dengar penjelasan apa-apa lagi dari lo," tukas Haydan. "Yang jelas, kelakuan lo hari ini udah keterlaluan. Bukan sekadar buat anak orang shock dengan tindakan penculikan lo, tapi juga udah buat Naya kehilangan pekerjaannya."

"Dan satu lagi, gue bakal laporin kelakuan lo ke bokap gue ...." Haydan menggantung ucapannya. "Semakin cepat bokap gue tahu kebusukan lo, semakin cepat pula keputusan bokap gue untuk membatalkan perjodohan kita."

"Sayang, jangan gitu, aku minta maaf kalau salah. Tapi, jangan laporin ke papa kamu, aku nggak mau perjodohan kita batal," ujar Marinka memelas. Sayangnya, Haydan tidak merespons acara memohon itu. Lelaki itu mendongakkan kepalanya melihat ke atas seperti tengah memfokuskan titik pandangannya pada langit-langit rumah Marinka.

"Eh, ada apa ini? Sayang, kenapa kamu kayak mohon-mohon gitu sama Haydan. Ada apa?"

Aku mendengkus. Wanita yang tadi membuka pintu pertama kali untuk kami kembali datang, mungkin ia mendengar suara keributan yang tercipta.

"Ma, tolongin Marinka. Marinka nggak mau perjodohan dengan Haydan dibatalin," adu Marinka kepada orang yang dipanggil 'mama' itu.

"Siapa yang mau batalin perjodohan itu, Sayang?"

"Haydan, Ma."

"Loh, Haydan, kenapa kamu mendadak mau batalin kayak gitu?"

Haydan tertawa kecil, sebelum akhirnya lelaki itu menjawab, "Maaf, Tante. Bukannya mendadak. Tapi, dari awal saya memang menolak perjodohan ini. Sayangnya, papa saya bersikeras untuk tetap menjodohkan saya. Dan, kali ini, saya nggak akan menerima mentah-mentah lagi. Saya akan laporin kelakuan jahat Marinka kepada papa saya."

"Ke-kelakuan jahat gimana? Marinka, kamu buat masalah apa sama Haydan?"

"Marinka memang nggak buat masalah sama saya. Tapi, dia buat masalah sama pacar saya, Naya."

Aku menundukkan kepala ketika mendengar namaku disebut.

"Dia beneran pacar kamu?"

"Kenapa saya harus ngarang cerita, Tan? Naya pacar saya, dan kelak akan menjadi tunangan saya." Entah memang disengaja atau tidak, namun Haydan terkesan menekankan intonasinya pada kata dua kata terakhir.

"Haydan, kenapa kamu lebih memilih anak yatim ini daripada Marinka yang mempunyai keluarga utuh?"

Pertanyaan itu membuat aku mendongakkan kepala dan menatap penuh tanda tanya kepada mama Marinka.

"Maaf, Tante. Apa kaitannya anak yatim dengan pilihan saya?"

"Anak yatim biasanya kurang didikan. Lagi pula, Haydan, kamu ini dari keluarga terpandang. Seharusnya, kamu bisa lebih pandai memilih perempuan yang akan kamu jadikan sebagai pasangan. Kamu harus tahu dulu bibit, bobot, dan juga bebet dari keluarganya. Jangan sembarang main pilih."

"Saya rasa, Tante nggak ada hak untuk mengatur pilihan saya," tandas Haydan. Lelaki itu lantas menoleh ke arahku. "Satu lagi, Naya emang anak yatim, Tante. Tapi, setidaknya hasil didikan ibunya lebih baik dibanding anak yang dididik oleh orang tua yang lengkap."

"Nay, kita pulang," ucap Haydan sebelum lelaki itu berpamitan kepada Marinka dan mamanya.

"Setelah ibunya, sekarang anaknya yang datang merusak hubungan baik orang lain."

🍀🍀🍀

1.081 words
©vallenciazhng_
January 23, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro