Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Panti asuhan

Happy Reading

🍀🍀🍀

Hari ini hari Minggu. Hari dimana segala urusan perkuliahan ditiadakan. Rasa lelah begitu menguasai diriku setelah semalaman bergadang untuk mengerjakan tugas kuliah. Hari ini, aku berniat untuk beristirahat sedikit lebih lama dibanding biasanya.

Namun, sayangnya, niatanku untuk kembali terpejam setelah bangun beberapa saat lalu terganggu. Ponselku bergetar dan menampilkan notifikasi panggilan suara dari Haydan. Dengan bermalas-malasan, aku mengangkat telepon dari lelaki itu.

“Halo, Haydan. Ada apa? Masih pagi ini, udah ganggu aja,” racauku yang masih dalam keadaan setengah sadar. Lagi pula, siapa suruh lelaki itu meneleponku pagi-pagi begini.

“Lo baru bangun?” tanyanya di seberang sana.

Aku menguap sejenak, sebelum kembali bertanya. “Iya. Kenapa?”

“Buruan siap-siap. Satu jam lagi gue jemput,” perintah Haydan yang membuat mataku seketika terbuka lebar.

“Eh, mau ngapain? Halo ... Haydan?” Aku menjauhkan ponselku dari telinga lantas berdecak. Lelaki itu sembarang mematikan sambungan panggilan sebelum aku mengiyakan perintahnya.

Ah, lagi pula, untuk apa lelaki itu mengajakku keluar hari Minggu begini? Tidakkah ia tahu bila ini weekend? Hari dimana setiap manusia produktif memanfaatkan sepanjang harinya untuk beristirahat di dalam kamar. Ditambah lagi, ini masih cukup pagi untuk melakukan aktivitas apa-apa.

Dengan langkah gontai, aku menuruni ranjang kecilku, berjalan mengambil handuk yang tergantung di gantungan khusus pakaian dan melangkah keluar kamar menuju kamar mandi.

“Loh, Sayang, katanya mau istirahat? Kok udah bangun aja?” tanya Buna yang sepertinya heran. Tadi pagi, saat Buna masuk ke kamarku, aku mengatakan bila aku ingin tidur sedikit lebih siang untuk mengisi kembali energi tubuhku yang terkuras pasca bergadang. Tetapi, sekarang, aku malah sudah bersiap untuk mandi dengan handuk yang ada di bahuku.

“Haydan ngajak keluar, Bun,” jawabku apa adanya.

“Oh, cie, kayaknya ada yang mau kencan, nih,” ejek Buna yang membuatku seketika dilanda kegeeran.

Apa jangan-jangan Haydan ingin mengajakku pergi berkencan? Ah, tapi, mana ada kencan yang dilangsungkan pada pagi-pagi begini. Lagi pula, mana mungkin lelaki itu mengajakku kencan. Hubungan kami kan sebatas hubungan settingan.

“Buna ada-ada aja, deh,” ujarku geleng-geleng kepala. “Udah, ah, Hafika mau mandi dulu.”

“Mandi yang lama, Sayang. Biar pas kencan, Haydan makin jatuh hati karena kamunya wangi,” ucap Buna yang semakin tidak masuk akal. Aku tidak meresponsnya, melainkan langsung melangkah masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya.

🍀🍀🍀

“Pagi, Tante.”

“Pagi juga, Nak Haydan. Wah, udah rapi aja, nih. Pasti bangunnya pagi, ya?”

Aku yang tengah mengeringkan rambutku dengan handuk mendengus kesal melihat interaksi antara Buna dan Haydan.

“Sayang, kamu masih lama? Ini kasihan Nak Haydanya nungguin kamu,” ujar Buna yang mengambil alih handuk dari tanganku untuk membantu mengeringkan rambut.

“Ya, habisnya, siapa suruh datengnya cepat,” ujarku menggerutu.

“Maaf, ya, Nak. Anak Buna yang satu ini siap-siapnya emang lama,” ujar Buna kepada Haydan.

“Udah, Buna. Ini Hafika udah selesaiiii,” kataku lantas merebut handuk dari tangan Buna dan berlari masuk ke kamar untuk mengambil tas. Setelahnya, aku kembali ke ruang tamu dan segera menyalami tangan Buna. “Bun, Hafika berangkat dulu, ya. Sayang Buna. Dadahh.”

Aku lalu menarik lengan Haydan untuk berlalu dari sana, sebelum Buna berbincang lebih banyak dengannya.

“Tante, Haydan pergi duluuu.”

“Hati-hati, Nak!”

🍀🍀🍀

“Mau sampai kapan lo megang-megang tangan gue?” tanya Haydan yang membuatku refleks melepaskan tangannya.

Sorry.”

“Buruan masuk mobil. Atau, gue tinggal juga lonya,” ancam Haydan yang membuatku berdecih.

“Tinggalin aja, aku tinggal masuk ke rumah,” ancamku balik. Lelaki itu berhenti membuka pintu mobil dan menatapku.

“Masuk,” ujarnya dengan tatapan mengintimidasi. Tak mau berbasa-basi lebih banyak lagi, aku langsung membuka pintu mobil Haydan dan masuk ke dalamnya. Aku masih tak bersuara, bahkan saat Haydan telah menyalakan mesin mobil lalu menjalankannya.

Cukup lama keheningan menguasai kami, hingga aku tak tahan untuk tidak bertanya.

“Sebenarnya, kita mau kemana? Kayaknya udah satu jam kita di dalam mobil tapi gak sampai-sampai juga,” cerocosku panjang lebar yang hanya dijawab Haydan dengan dua kata.

“Banyak tanya.”

“Lo gak berniat mau nyulik gue, kan? Kalau sekarang, lo punya niatan gitu, mending lo turunin gue sekarang juga,” perintahku.

“Pede banget,ya, lo jadi orang. Siapa juga yang mau nyulik cewek modelan kayak lo? Banyak omong nya dari tadi. Bisa-bisa, nih, orang yang mau nyulik lo keburu pusing duluan karena lo ngebacot aja dari tadi kerjaannya,” serang Haydan yang membangkitkan emosi di kepalaku. Namun, sebelum aku menyerangnya kembali, ia sudah terlebih dahulu membuatku bungkam dengan kalimatnya.

Ssstt, udah, ya. Gak usah banyak omong. Ini bentar lagi kita nyampe. Dan, satu hal yang mau gue tekankan, gue gak berniat buat nyulik lo atau apa pun itu.”

🍀🍀🍀

Mobil Haydan berhenti tepat di depan sebuah rumah yang tak terlalu besar. Sedari aku masih di dalam mobil, sampai aku sudah berjalan keluar, aku masih tidak bisa berpaling dari papan nama tempat yang dituju oleh Haydan.

“Kita beneran ke sini?” tanyaku yang masih tidak percaya. Aku menepuk-nepuk pipiku secara perlahan, berusaha menyadarkanku bahwa aku hanya mengunjungi tempat ini dalam mimpi.

“Iya. Kenapa?”

“Nggak. Aku cuma kaget aja kamu bawa aku ke sini,” ujarku. “Panti Asuhan Kasih Bunda ... kamu sering ke sini?”

“Udah, gak usah banyak tanya. Mending, lo bantuin gue bawa barang-barang ini,” perintah Haydan yang sekarang tengah kelimpungan membawa dua kantong plastik besar dari bagasi mobilnya.

“Ini apa, Dan?” tanyaku sembari menunjuk satu kantong plastik putih yang tersisa.

“Itu isinya mainan. Bantu bawain ke dalem,” ucapnya. Aku manggut-manggut lalu—dengan susah payah—berusaha mengeluarkan kantong itu dari bagasi. Setelahnya, aku menutup bagasi mobil dan menyusul Haydan yang terlebih dahulu masuk ke dalam.

Pandangan pertamaku terhadap panti asuhan ini ialah sedikit sederhana. Dinding yang masih terbuat dari triplek tebal, lantai papan yang dilapisi bekas spanduk kampanye, juga beberapa warna cat yang mulai mengelupas karena dimakan usia. Apa panti ini masih layak menampung anak-anak?

Seorang wanita yang kuperkirakan berusia 50 tahun keluar dari dalam dengan senyum yang berseri ketika melihat Haydan. Haydan meletakkan kantong plastik yang dibawanya ke lantai lantas menyapa dan menyalami tangan wanita itu.

“Wah, anak-anak, lihat siapa yang datang,” seru wanita yang menurutku ialah pemilik panti ini. Tak lama kemudian, gerombolan anak-anak kecil berusia di bawah 10 tahun keluar dan segera menghambur ke arah Haydan.

“Bang Haydan, kita kangen sama Abang. Kenapa udah lama gak dateng, sih?” tanya seorang anak laki-laki yang berasal dari gerombolan tadi.

“Iya, Ridho, maafin Bang Haydan baru sempat ke sini, ya. Soalnya, beberapa waktu ini, Abang sedikit sibuk,” jawab Haydan yang mengelus puncak kepala anak laki-laki itu. “Nah, sebagai gantinya, Abang bawain banyak makanan dan mainan buat kalian. Kalian suka, kan?”

“Suka, Bang!”

“Oke, kalau gitu ... buruan duduk yang manis, Anak-anak. Biar Bang Haydan bagiin makanan dan mainannya.”

Dalam sekejap, gerombolan anak-anak yang terdiri dari dua puluhan orang itu menurut dan duduk dengan rapi di bawah.

“Nay, bantuin gue bagiin mainan ke anak-anak, ya.”

Aku yang masih terhanyut dengan suasana tadi sedikit terkejut ketika mendengar suara Haydan.

"Eh, iya, Dan.”

Aku membuka ikatan kantong dan mulai membagikan beraneka ragam mainan itu kepada anak-anak sesuai perintah Haydan. Sementara itu, Haydan membagikan nasi kotak yang ia bawa kepada mereka. Suasana menjadi sedikit riuh ketika anak-anak itu mendapati ayam bakar dan nasi uduk menjadi hidangan sarapan mereka pagi ini.

"Bang Haydan, ini siapa?” tanya seorang anak perempuan dengan kepang dua di samping kiri dan kanan kepalanya sembari menunjuk ke arahku.

“Oh, iya, Abang belum kenalin Kakak ini sama kalian. Kenalin, ini Kak Naya. Kak Naya ini temannya Abang. Ayo, kalian sapa kakaknya dulu,” ujar Haydan memperkenalkan aku kepada anak-anak itu.

Aku tersenyum hangat lantas kembali memperkenalkan diri dan menyapa semuanya.

“Kak Naya ini pacarnya Bang Haydan, ya?” tanya anak perempuan yang lainnya.

“Loh, Lily tahu darimana soal pacaran? Hayoo,” goda Haydan yang membuat anak perempuan itu tersenyum malu. Aku yang melihat Lily tersipu ikut terciprat senyumannya.

“Bentar, deh. Kayaknya ada yang kurang dari kalian. Rosi kemana? Kok Abang gak nampak dari tadi?”

“Rosi lagi sedih, Bang. Dari semalam, dia ngurung diri terus di kamar,” adu seorang anak laki-laki berbadan sedikit gembul. Mendengar pengaduan dari anak tersebut, entah mengapa aku melihat ada sedikit perubahan di raut wajah Haydan. Lelaki itu sepertinya memikirkan perihal Rosi yang sedang bersedih.

“Oh, gitu. Kalau gitu, Abang pergi samperin Lily dulu, ya. Kalian makannya pelan-pelan, ya. Jangan sampai kesedak.”

“Nay,” panggil Haydan. “Masuk.”

Aku menganggukkan kepalaku, kemudian mengekori Haydan dari belakang. Sepertinya, lelaki itu hendak menghampiri Rosi ke kamarnya.

Yang menjadi pertanyaanku, siapa itu Rosi? Mengapa Haydan terlihat begitu mengkhawatirkan Rosi?

🍀🍀🍀

1.377 words
©vallenciazhng_
January 6, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro