13. Bayangan
Happy Reading
🍀🍀🍀
Setelah Haydan pulang, aku langsung bergegas untuk membersihkan diri dan membantu Buna menyiapkan makan malam. Malam ini, aku dan Buna memilih menu ikan goreng sambal matah dan sawi keriting untuk melengkapi sepiring nasi. Kebetulan, pagi tadi, Buna membeli ikan segar dari nelayan yang baru selesai memancing.
Aku membantu Buna mengeluarkan ikan dari lemari es, kemudian memberikannya kepada Buna untuk ia cuci. Sejujurnya, aku mempunyai pengalaman buruk dengan seekor ikan yang belum dimasak. Saat itu, aku hendak membantu Buna mencuci ikan yang masih benar-benar segar. Karena baru dibeli, ikan tersebut masih bergerak dengan gerakan kecilnya. Sayangnya, saat aku hendak mencucinya dengan air mengalir, ikan itu justru melompat—hampir mengenai wajahku—dan terjatuh ke lantai.
Sejak saat itu, Buna tidak memberikanku izin untuk mencuci ikan lagi. Selain karena ikan tersebut yang jatuh ke lantai, Buna juga sepertinya menangkap sinyal takut dari diriku.
Selagi Buna mencuci ikan, aku menyiapkan sambal matahnya. Aku mengambil beberapa buah bawang merah, cabai rawit dan daun jeruk yang kupotong tipis. Aku juga menambahkan garam pada bahan sambal matahku untuk memberi rasa.
“Kenapa kamu gak pernah cerita sama Buna kalau udah punya pacar?”
Pertanyaan itu dilontarkan Buna saat ia selesai mencuci ikan. Aku tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Memilih untuk melihat pergerakan tangan Buna. Buna meletakkan ikan yang sudah ia cuci di atas sebuah piring cekung dan melumuri ikan dengan jeruk nipis.
“Kamu takut Buna marah?” tanya Buna kembali, saat aku tak kunjung menjawab.
“Nggak, Buna. Hafika emang belum nemuin waktu yang tepat untuk cerita aja,” ujarku berbohong. Sebenarnya, aku ingin sekali mengatakan yang sejujurnya kepada Buna perihal status pacaran pura-puraku. Sayangnya, Haydan terlebih dahulu mewanti-wanti dan memintaku untuk menyembunyikan semua itu dari Buna. Katanya, untuk berjaga-jaga bila ternyata kedua orang tua mereka saling mengenal dan menyebabkan adanya kesalahpahaman dalam menyampaikan cerita.
“Lalu, kapan waktu yang tepatnya, Sayang? Tunggu Buna udah meninggal?”
“Ih, Buna. Kok ngomongnya gitu, sih? Buna mau ninggalin Hafika?” Mendadak, mood-ku menjadi buruk. Aku paling tidak suka bila sudah membahas berkaitan dengan hal yang menjurus pada kematian. Entahlah, semenjak kepergian Ayanda, Buna adalah satu-satunya keluarga yang aku miliki. Satu-satunya tempatku bersandar ketika lelah menghampiri.
“Ya, habisnya, kamu gak mau cerita sama Buna,” ujar Buna yang masih fokus pada aktivitasnya melumuri ikan.
“Bun, jangan bilang kayak gitu lagi, ah. Hafika gak suka,” ucapku. Buna berhenti melumuri ikan. Ia menoleh kepadaku lantas tersenyum.
“Bukannya setiap manusia itu akan mengalami yang namanya kematian?” Buna membuatku hilang kata untuk berbicara.
“Sayang, cepat atau lambat, suka atau tidak suka, kita memang akan menemui kematian. Maka dari itu, Buna benar-benar berharap kamu nemuin seseorang yang sayang sama kamu, seperti Buna menyayangi kamu. Dia yang bisa Buna percaya untuk menjaga kamu.”
Air mataku nyaris jatuh ketika mendengar kalimat dari Buna.
“Udah, jangan mellow lagi, ya. Nanti masaknya gak selesai, nih. Bisa-bisa ikannya marah karena kelamaan nunggu,” ucap Buna tertawa kecil. Entah bagaimana caranya, namun aura tawa itu seolah ditransfer oleh Buna kepadaku.
Aku tersenyum, kemudian menatap permukaan wajah wanita yang telah mengandungku selama 9 bulan itu dengan saksama.
“Bun, Hafika sayang banget sama Buna,” ungkapku dengan penuh ketulusan.
“Buna juga sayang ... sama ikannya karena gak keburu digoreng.”
Aku yang tengah serius berbicara seketika merasa kesal kepada Buna.
“Ih, Buna! Hafika lagi serius tahu,” kesalku yang ditanggapi dengan tawa oleh Buna.
“Iya, Sayang. Buna bercanda, kok. Buna juga sayang sama anak Buna. Sayang bangettt.”
🍀🍀🍀
Aku baru saja meletakkan dua piring nasi di atas meja makan saat suara ketukan pintu terdengar menggema ke seisi rumah.
“Siapa yang datang itu?” Buna bertanya.
Aku mengedikkan kedua bahuku, lantas menggelengkan kepala. “Nggak tahu, Bun. Sebentar, biar Hafika bukain pintu dulu,” ucapku kemudian bergegas untuk membuka pintu.
Senyumanku sontak mengembang ketika mendapati siapa yang bertamu ke rumah malam ini. Mereka ialah kak Sari dan bang Bhanu.
“Kak Sari, Bang Bhanu! Ya ampun, Hafika kangen banget sama kalian.” Aku lantas berhamburan ke pelukan kak Sari yang sedari tadi telah merentangkan kedua tangannya. Kak Sari mengelus punggung belakangku dan menyuarakan hal yang sama bahwa ia juga merindukanku.
“Kakak juga kangen banget sama kamu, Hafika. Maaf, ya, Kakak dan Bang Bhanu baru sempat ke sini hari ini,” ucap kak Sari.
Aku melepaskan pelukan pada kak Sari dan menatapnya bergantian dengan bang Bhanu. “Gak pa-pa, Kak. Dengan kalian datang ke sini aja, Hafika udah senang banget. Ayo, masuk, Kak, Bang. Kalian belum makan, kan? Kebetulan banget, Hafika sama Buna baru aja selesai masak. Kita makan bareng, ya?” cerocosku tiada henti.
Maklum saja, selama ini aku sudah menganggap kak Sari dan bang Bhanu selayaknya saudara kandungku sendiri. Lahir sebagai anak tunggal dan minimnya pergaulan membuatku kerap kali merasa kesepian. Minimarket adalah tempat pertama ketika aku bertemu dengan mereka. Dua pribadi dengan karakter berbeda yang senantiasa mengajariku akan banyak hal.
“Hafika, siapa yang datang?” teriak Buna dari arah dapur. Aku dengan segera mengunci pintu dan berjalan menghampiri Buna.
“Coba tebak. Siapa yang datang?”
Buna yang berdiri membelakangiku, kak Sari, dan bang Bhanu membalikkan badannya. Ekspresi bahagia yang sama denganku ditunjukkan oleh Buna.
“Eh, ya ampun. Buna kirain siapa yang datang. Ternyata kalian.”
Sama seperti halnya denganku yang menganggap kak Sari dan bang Bhanu sebagai saudara, Buna juga begitu. Ia bahkan sudah menganggap keduanya sebagai anak kandungnya. Selain karena kedekatan ketiganya yang menjadikan Buna begitu menyayangi kak Sari dan bang Bhanu. Fakta bahwa keduanya tumbuh bersama sedari kecil di panti asuhan tanpa merasakan kasih sayang orang tua juga membuat Buna begitu mengasihi mereka.
Secara bergantian, Buna memeluk kak Sari dan bang Bhanu. Aku berdeham sejenak untuk menyadarkan bahwa acara peluk ala Teletubbies itu harus segera berakhir, sebab cacing-cacing di perutku sudah mulai melakukan aksi demonstrasi.
“Ehem, pelukannya udah dulu kali, ya. Cacing di perut Hafika udah pada protes, nih,” ucapku yang membuat Buna melepaskan pelukannya pada kak Sari.
“Eh, iya. Ayo kita makan, anak Buna udah kelaperan tuh,” kelakar Buna yang membuat kami bertiga tertawa.
🍀🍀🍀
Acara makan malam kali ini tidaklah sesepi malam-malam sebelumnya. Kehadiran kak Sari dan bang Bhanu menciptakan suasana yang ceria.
Di meja makan, kami saling berbincang. Dimulai dari membahas perihal keadaan minimarket, bang Bhanu yang menanyakan perihal status kerjaku, kak Sari yang memberikan semangat, juga terkadang Buna yang turut memberikan wejangan-wejangan kecil bagi kami. Sesekali, kami juga bersenda gurau untuk menghilangkan kesan serius di meja.
Malam semakin larut, kak Sari dan bang Bhanu lantas berpamitan kepadaku dengan Buna.
“Sering-sering main ke sini, ya. Buna senang banget kalau rumah jadi rame,” ujar Buna yang sekarang tengah memeluk kak Sari.
“Diusahakan, Buna. Kalau kami sempat, kami pasti dateng ke sini buat ngobrol sama Buna dan Hafika,” ucap bang Bhanu.
“Kalau gitu, kami permisi dulu, ya, Buna, Hafika.”
Aku melambaikan tanganku kepada kak Sari dan bang Bhanu. Semakin lama, postur tubuh keduanya semakin menghilang dimakan jalanan. Buna sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah. Sedangkan aku, masih setia memandangi kegelapan malam di luar.
Langit hari ini begitu indah. Bintang-bintang yang biasanya jarang terlihat, hari ini justru menampakkan diri secara bergerombol. Bulan berbentuk sabit yang ada di tengah seolah menjadi pusat bintang berpendar.
Aku hendak berjalan masuk ke dalam rumah, namun sebuah bayangan di seberang rumahku membuatku terdiam di tempat.
Tidak. Itu bukan bayangan makhluk tak kasat mata, melainkan bayangan dari tubuh seseorang yang sepertinya tengah mengintai sesuatu.
Atau, mungkin, lebih tepatnya tengah mengintai ke rumah ini?
🍀🍀🍀
1.206 words
©vallenciazhng_
January 2, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro