Chapter 3: Nasgor Gerobak
Air mengalir deras begitu keran dibuka. Dingin. Tangan Hera dingin, tetapi air ternyata jauh lebih dingin lagi. Kedua telapak tangannya menyatu, membentuk mangkuk di bawah keran. Kucuran air menggenang di atas kulitnya, dibiarkan mengalir dari celah-celah jemari. Lama-lama, air tidak lagi terasa dingin di kulitnya. Rambutnya turun ke sisi wajah, menggantung bagai tirai. Tanpa menyisihkan rambut ke belakang telinga, ia membasuh wajahnya.
Satu kali, dua kali, tiga kali.
Keran kembali diputar, gemericik air berhenti. Hera mencengkram pinggiran wastafel erat-erat. Buku-buku jarinya memutih. Cukup lama ia menunduk, merasakan tetes-tetes air menitik dari puncak hidungnya. Ketika wajahnya basah seperti ini, ia tidak perlu membedakan apakah yang terjatuh adalah air bekas mencuci muka atau air matanya sendiri. Dinginnya air menumpulkan amarahnya. Dinginnya air menyeret kembali kewarasannya. Keran dibuka lagi; air memercik dari tepi wastafel setiap kali ia mencipratkan air ke wajahnya. Hera baru berhenti ketika tangannya terasa membengkak dan keriput.
Baru, ia mengangkat dagu, memandang cermin yang sedari tadi mengawasinya.
Di cermin, ia menemukan sosok asing. Berwajah sembap, dengan bagian bawah mata menggelap, serta mata memerah.
"Ini wajah asli lo, Her." Hera tersenyum miris pada refleksinya di cermin. Cukup lama ia terdiam, memandangi dirinya sendiri di depan cermin, sementara pikirannya melayang pada isi pesan teks yang diterimanya sejak tadi pagi. Pada panggilan-panggilan tak terjawab yang membuat perutnya bergolak hingga asam lambungnya membakar kerongkongan. Pada amarah yang menekan-nekan seisi rongga kepala hingga berdenyut nyeri.
Ia memejamkan mata, menikmati titik-titik air jatuh dari bulu matanya ke pipi, mengalir turun hingga bermuara di dagu sebelum jatuh ke bawah. Mempertajam telinga untuk mendengar hening menyapa gendang telinga.
Tepat saat itu, ketukan di pintu disusul panggilan, ("Her, masih lama?") menutup paksa laci pikirannya. Hera mengerjap, memandang sekali lagi sosok di dalam cermin dari balik bulu matanya yang basah. Ini Hera yang biasanya, bukan lagi seorang perempuan putus asa seperti barusan. Matanya masih merah, masih terlihat sakit. Paling tidak, raut wajahnya terlihat lebih manusia dan ia tidak lagi nampak seperti perempuan menyedihkan yang tadi memandangnya balik dari dalam cermin.
Pintu dibukanya sedikit; Hera mengintip dari celah. Jun. Kedua mata Jun melebar sedikit dan Hera tidak mau repot-repot mengartikan pertanyaan tersirat di sana.
"Kamar mandi masih ada satu lagi." Hera benar-benar bersyukur karena suaranya bisa mencapai nada ketus yang biasanya. "Lo bisa nggak, nggak usah ganggu me time gue di toilet?"
"Tommy lama banget, udah setengah jam di dalam." Jun mengerucutkan mulutnya. "Anyway, lo lapar nggak? Temenin gue makan nasi goreng di depan, yuk."
"Tumben lo beli makanan di luar," ujar Hera ketus. Sengaja, ia menyedot ingus di hidungnya yang mampet di depan Jun. Kernyitan terganggu Jun dihiraukannya.
"Lagi males masak."
"Kevin ke mana?" Biasanya, mereka selalu makan bersama-sama. Aneh melihat Kevin tidak berkeliaran di sekitar Jun.
"Jaga dua shift sekaligus." Dua jari Jun teracung, membentuk angka yang dimaksud. Ketika Hera berpikir Jun akan langsung menyerah, ternyata laki-laki itu masih punya jurus lain. "Gue traktir, deh."
Hera hampir saja menolak, nyaris mengusir Jun jauh-jauh dan minta lima menit tambahan di dalam kamar mandi, tetapi perutnya yang kosong bergemuruh. Seolah-olah memberitahu dunia bahwa ia baru saja memuntahkan isi perutnya di kamar mandi karena asam lambungnya memuncak.
Kedua alis Jun terangkat tinggi, meledek.
Hera mendengus, merasa kalah dikhianati perutnya sendiri. Ia tidak lapar, tetapi segelas teh panas barangkali dapat melunturkan rasa dingin di sekujur tubuhnya.
*
Bunyi dasar gelas kaca membentur permukaan meja menghentikan Hera dari apa pun yang dipikirkannya. Tatapannya beralih dari taplak plastik berwarna menguning pada sosok di hadapannya. Jun menurunkan teh yang sedang diteguknya, tidak berkata apa-apa selama beberapa detik, lalu kembali minum. Dalam diam, Hera meraih gelasnya. Melingkarkan jari-jarinya di sekeliling dinding gelas, mendesah pelan saat merasakan hangat berpindah ke tangannya yang dingin.
"Lo pesan apa? Nasi goreng kambing?" Hera memulai percakapan. Aneh rasanya lama diam-diaman dengan Jun; selama ini mereka selalu bisa membahas apa saja.
"Nasi goreng kambing spesial pete," jawab Jun, cengirannya melebar ketika Hera mengerutkan kening tidak suka. "Sigobing-nya buat gue, petenya buat lo."
"Gue minta kerupuknya aja."
Jun memutar bola matanya. "Tadi pagi lo nggak makan sarapan dari rumah sakit. Siang belom makan apa-apa. Sekarang lo cuma mau makan kerupuk?"
Hera meringis. "Lagi nggak lapar."
"Yang gue dengar barusan geledek apa bunyi perut lo?"
"Gue diet."
Hera mengira Jun akan berhenti mengomentarinya soal makanan, tetapi Jun adalah Jun, dan seorang Jun tidak bisa ditebak semudah itu. Tahu-tahu, Jun menarik tangan Hera, mengangkatnya. Lengan Hera terlihat kuning di bawah pijar lampu tenda.
"Lihat lengan lo, kurus kayak tongkat. Mau diet sampai sekecil apa lagi?"
"Diet bukan berarti nggak makan, Jun. Diet secara harfiah berarti mengatur pola makan." Hera melirik tangannya yang masih diangkat, kemudian menarik diri. "Kalau tadi pagi dan siang, gue memang terlalu capek. Maunya tidur. Ngerti kan? Kalau jadwal lagi terlalu padat, bawaannya males makan."
"Oh?" Kedua alis Jun terangkat tinggi. Menimbang-nimbang perkataan Hera, terlihat sangsi. "Beda sama prinsip gue."
Tangan Hera kembali menangkup gelasnya. Menikmati sisa-sisa panas dari dinding gelas yang mulai mendingin. "Prinsip? Sejak kapan lo punya prinsip?"
"Prinsip gue," Jun tidak memedulikan ledekan Hera, "sesibuk apa pun, gue harus makan. Menghimpun tenaga buat kerja keras bagai kuda. Sekarang, sebagai teman baik lo, gue mau lo juga menerapkan prinsip itu."
"Nggak sempat beli makan."
"Bawa bekal."
Hera manyun, tahu Jun tidak bisa dibantah kalau sudah mulai keras kepala. "Oke." Padahal sudah bawa tumbler air saja terkadang tidak sempat diminum, apalagi makan bekal. "Gue coba."
Di depannya, Jun tersenyum lebar. "Gitu dong."
Obrolan mereka tersela oleh dua piring nasi goreng kambing yang dibawa oleh Kang Iwan, penjual nasi goreng langganan mereka. Wadah plastik merah terang berisi sendok dan garpu ditarik Jun mendekat, dan ia mulai mengelap sendok dan garpu menggunakan tisu. Sepasang sendok dan garpu yang sudah bersih mampir ke piring Hera.
"Gue nggak pakai garpu," tolak Hera halus. "Enakan langsung pakai kerupuk kalau makan nasi goreng."
"I know." Jun mengangkat bahu, melanjutkan mengelap sendok satu lagi. "Nitip doang, itu buat gue."
"Lo punya piring sendiri, kenapa harus nitip-nitip di piring gue?"
"Galak banget, Mak Lampir."
Alis Hera bertaut, kedua matanya mengerjap cepat. Seandainya matanya bisa mengeluarkan laser, saat ini Jun sudah menjadi puing-puing debu yang siap menghilang diembus angin. Sejak kapan namanya menjadi Mak Lampir?
"Nama gue Hera, Kevin."
"Dan nama gue Arjuna, Mak Lampir."
Kerutan di antara kedua alis Hera semakin mendalam, membentuk ceruk simetris yang curiga akan permanen dalam waktu singkat.
"Malas panggil lo Arjuna. Kepanjangan."
"Kalau gue panggil lo Mak Lampir, itu panggilan sayang, bukan karena nama lo kepanjangan."
Sendok Hera terbenam dalam gundukan nasi goreng. Perkataan Jun sebenarnya biasa saja, tetapi entah mengapa jantungnya mencelos mendengar itu. Uh, kenapa ia harus terkejut karena Jun menyatakan alasannya? Jun kan memang seiseng itu. Jadi, kenapa cengkraman pada sendoknya mengerat? Hera menarik napas sedetik, lalu mencoba bercanda, "Nggak butuh panggilan sayang."
Jun mengangkat bahu. "Semacam petname. Antar teman."
Oh. "Oke deh, Kevin Dua."
"Gue bukan Kevin Dua," tukas Jun, masih tidak terima disamakan dengan Kevin si Timun Laut.
Hera memutar kedua bola matanya. "Selama lo panggil gue Mak Lampir, panggilan lo Kevin Dua. Atur aja, antara lo sama Kevin, siapa mau jadi Kevin Satu dan Kevin Dua."
Hangatnya nasi goreng kambing bercampur rempah-rempah dan cabai serta percakapan random bersama Jun berhasil mengusir semua badai berkecamuk dalam kepalanya. Hera menyuap nasi gorengnya, pelan-pelan mengunyah. Lekat tatapannya pada sosok Jun yang menumpuk tinggi nasi di atas sendok logamnya. Ia tidak lupa hari ini Jun seharusnya menjalankan shift malam, dan bukan kebiasaan Jun untuk makan malam dalam porsi besar sebelum bekerja.
Namun, kilatan di mata Jun menusuk begitu dalam ke dalam kepalanya, dan ia mengerti bahwa Jun selalu membuat pengecualian-pengecualian tersendiri. Hera tidak perlu bertanya lagi.
*
"Haloooo, Ratu Es. Coba bilang sama teman lo, jangan cemberut terus."
"Sekali lagi lo panggil gue Ratu Es, video call-nya gue matiin."
"Dih, galak." Bibir bawah Jun mencebik. Lewat sudut mata, ia melirik Hera yang menopang dagu di atas lipatan lengan. Kedua mata Hera memandang malas pada layar ponsel Jun yang diganjal botol sambal. Keduanya masih ada di tenda nasi goreng Kang Iwan. Saat suapan terakhir nasi goreng Hera masuk ke mulutnya, tahu-tahu Jun mendapat ilham untuk melakukan panggilan video dengan Aria jauh di Surabaya sana.
"Her, kasih tahu teman lo, berhenti temanan sama lo. Galaknya lo nular." Perkataan Jun mengundang injakan pelan di bawah meja. "Hei, sandal jepit gue baru dicuci!"
"Bodo amat," gerutu Hera, menggoyangkan kakinya di atas kaki Jun, injakannya menguat. "Gimana gue nggak bete, Ri, dari tadi Jun ngegangguin gue terus."
Aria, di seberang sana, tidak menjawab. Baik Hera maupun Jun tidak dapat melihat wajah teman mereka yang tengah menempuh pendidikan spesialis di salah satu universitas negeri di bagian timur Pulau Jawa. Kamera Aria mengarah ke langit-langit, pada benderang cahaya lampu dan dinding berwarna hijau muda. Di mana sebenarnya dia?
Seolah membaca pikiran Hera, Aria menjawab, "Gue lagi ngisi status. Barusan ada pasien baru anak. Muntah-muntah dan dehidrasi."
"Oooo." Kompak, Hera dan Jun mengangguk-angguk. Padahal Aria sedang tidak menaruh perhatian pada mereka. "Lo lagi jatah jaga malem, nih?"
"Iya."
"Jadi kita ngeganggu lo?"
Aria menjawab tanpa tedeng aling-aling. "Iya."
Ya ampun. Rahang Hera terjatuh ke balik lipatan lengannya, nyari menyentuh permukaan meja terlapis taplak plastik. "Sama teman lo nggak ada prihatin-prihatinnya."
"Temannya juga nggak mau bantuin gue isi status pediatrik."
Jun menyela sebelum Hera menjawab, "Sini gue ketikin isi statusnya lewat WhatsApp, nanti lo tinggal salin aja ke status lo."
"Kevin Dua, otak lo beneran otak udang, ya?" Sekali lagi, Hera menginjak kaki Jun di bawah meja.
"Kevin?" Suara Aria terdengar setelah sedari tadi diam saja menanggapi ke-error-an Jun. Refleksi langit-langit ruangan di layar ponsel Jun bergeser—sepertinya Aria berhenti menulis dan mengambil ponselnya—sedetik kemudian wajah Aria muncul. Polos, seperti biasa, tanpa riasan apa pun. Rambutnya dikuncir ke belakang, terlihat lebih panjang dari beberapa bulan lalu.
"Kevin lagi bareng kalian?" tanya Aria.
"Nggak, tuh. Kita cuma berdua," jawab Hera, menebak-nebak apakah Aria berharap ada Kevin bersama mereka di sana saat ini. "Kenapa? Kangen ya? Biasa juga tiap malam teleponan, kan.... Dasar pasangan bucin-bucin dua arah."
Wajah Aria kembali menghilang di layar. Apa gunanya mereka video call kalau Aria tidak mau melihat Hera dan Jun, sementara mereka berdua terus disuguhi pemandangan langit-langit bangsal?
Lama, baru Aria menyahut lagi, "Siapa yang tiap malam teleponan," dan itu sama sekali bukan pertanyaan.
Alis Hera mengerut. Ia merasakan sodokan siku Jun di bahunya. Wah, wah. Aria kembali menjadi mode Ratu Es super ambisius seperti saat sebelum ujian masuk program pendidikan spesialis. Ada apakah gerangan? Ingatan jangka pendeknya memang buruk, tetapi Hera ingat benar Aria kelihatan berbunga-bunga begitu meresmikan statusnya dengan Kevin.
Sekali lagi, Jun menyodok bahunya, memperingatkan lewat bahasa nonverbal. Apaan sih, Jun? Sakit tahu, main sikut-sikut terus. "Jadi...," Hera terdiam sejenak, berhati-hati sekali memilih kata-katanya. Aria tidak terlalu suka kehidupan pribadinya dikorek-korek; selama ini, sebagai sahabat terdekat sekalipun, Hera tidak akan bertanya-tanya bila Aria tidak memutuskan bercerita. Mumpung Aria tidak memperhatikan panggilan video mereka, Hera melemparkan lirikan bertanya pada Jun, yang dijawab Jun dengan gerakan mulut, ke-po-in.
Sesungguhnya, Hera juga kepo.
"... Ri, sori ya, gue nanya, tapi—" Hera memperhatikan bagaimana video berubah menjadi wajah Aria lagi, "... berapa lama lo nggak kontakan sama Kevin?"
Aria terlihat berpikir-pikir. "Hmmm." Ia terlihat menatap kamera, tetapi Hera tahu Aria pasti membuka aplikasi WhatsApp-nya, menggulirkan daftar percakapan yang telah lama ditumpuk karena seperti itulah kebiasaan Aria sejak dulu kala: tidak sering merespons chat masuk. "Semalam chat."
Berani taruhan, itu inisiatif Kevin mengirimkan ucapan selamat malam. Aria memang jauh dari definisi manis. Membayangkan Aria duluan menanyakan kabar Kevin saja Hera harus mencari tempat sepi dan merenung dan tanpa disadari bulu kuduknya meremang.
"Telepon?"
"Minggu lalu."
Hah! Hera ingin bertukar pandangan dengan Jun, tetapi ia malah menemukan Jun membulatkan mata. Ponsel yang semula bersandar di botol plastik berisi sambal kini berada di tangannya. "Ri, astaga. Lo tahu nggak, karena lo ngacangin Kevin, sekarang nama Kevin berubah jadi Kevin Dua!"
Aria diam saja, tidak merespons Jun. Walau jelas-jelas Hera dapat melihat tanda tanya berkeliaran di sekitar kepala Aria, Hera tahu Aria begitu tahan harga untuk menanyakan soal Kevin lebih dari ini. Sebagai gantinya, Hera menyalak pada Jun, "Gue nggak bilang lo Kevin Satu!"
"Suka-suka gue, dong. Kalau nama gue sama kayak orang lain, gue maunya jadi yang nomer satu, biar orang lain yang dianggap ikut-ikutan gue."
"Lo Kevin Dua."
"Berisik, Mak Lampir. Ri, gue jadi nggak paham sebenarnya siapa yang galak duluan, lo si Ratu Es atau si Mak Lampir ini. Aw! Her, kenapa gue dicubit!"
"Berisik." Hera mendesis, menyuruh Jun diam dengan tatapan setajam silet. "Ri, kalo lo sibuk, udahan dulu aja, ya? Kapan-kapan gue telepon lo." Dan tanpa menunggu jawaban Aria, ia mematikan panggilan video tersebut. Sebelum Jun melayangkan protes karena gagal menggali informasi mengenai hubungan jarak jauh Kevin dan Aria, Hera cepat-cepat berdiri dari kursi kayu panjang tempatnya duduk selama setengah jam ke belakang. "Kang, punya saya dibayarin si Kevin, ya!"
"Kevin siapa, Neng? Ini mah si A' Juna," jawab Kang Iwan polos.
Telinga Hera gatal mendengarnya. Apa barusan kata Kang Iwan? A' Juna? "Mulai hari ini, namanya bukan A' Juna. Panggil aja Kevin."
"A' Kepin mah yang satu lagi, Neng. Neng Hera ada-ada aja." Kang Iwan menggeleng-gelengkan kepala, kemudian melanjutkan memecahkan telur ke dalam periuk yang mendesis nyaring. Hera nyaris memelototi Kang Iwan, namun sudut matanya menangkap Jun tertawa tanpa suara—menertawakannya. Menyebalkan sekali.
"Empat puluh ribu ya, Kang?" Jun menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Sekali-kali diskon, kek. Kami kan langganan di sini."
"Tumben minta diskon, A'. Biasa juga woles-woles aja," timpal Kang Iwan, memasukkan uang dari Jun ke dalam laci. Pada Jun, diserahkannya selembar uang sepuluh ribu rupiah sebagai kembalian. "Kapan-kapan deh, dikasih diskon. Tapi A' Juna dapetnya nasi-kecap-telor aja, ya? Nggak sama daging kambingnya."
"Yeu, ngapain gue pesen nasi goreng kambing kalo dikasihnya nasi-kecap-telor doang," sungut Jun, setengah bercanda. "Mending masak di rumah aja. Bikin resep nasi goreng kambing buat ngalahin Kang Iwan, hahaha."
"Engke penjualan saya turun, A'. Ulah kitu, ah."
"Haha, kidding-kidding. Jangan terlalu serius, Kang. Nanti jadi cepet tua kayak Hera."
"Kenapa gue dibawa-bawa!" Hera berseru dari luar tenda.
"Aih, galak pisan si Neng. Untung weh, si Aa mau sama Neng. Ati-ati, Neng. Orang galak seret jodoh." Ucapan Kang Iwan membuat Jun tertawa kencang.
"Biasa lah, Kang. Perempuan ada jadwalnya jadi setan sebulan sekali." Kepala Hera menyembul dari balik tenda, kedua alisnya bertaut penuh amarah. Jun pura-pura menutup mulutnya dengan uang sepuluh ribu yang belum dimasukkan ke saku. "Ups, lupa. Hera jadwal jadi setan galaknya tiap hari," dan, Jun segera menambahkan sebelum Hera sempat berkata apa-apa lagi, "Oh iya, Kang. Hera bukan pacar gue. Kang Iwan mau ngegebet Hera? Mumpung single...."
Kang Iwan bergidik. "Mbung ah. Sieun. Galak pisan kayak Mak Lampir."
Mata Hera membulat terkejut, sementara tawa Jun semakin kencang mendengar jawaban Kang Iwan.
*
"Lho, tutup?"
Jun menyentuh handel pintu kaca, memperhatikan lampu dalam Indomaret masih menyala terang. Seorang laki-laki berseragam biru sedang menghitung uang di balik mesin kasir. Diketuknya kaca, meminta perhatian dari penjaga Indomaret. "Mas, buka?" Pertanyaan itu tentunya tidak akan terdengar dari balik kaca, tetapi gerak bibirnya dapat dibaca. Begitu penjaga kasir menganggukkan kepala dan menjawab 'iya' tanpa suara, Jun mengedikkan kepala tanpa benar-benar memandang Hera.
"Ini ditarik atau didorong, sih?" Tidak ada tulisan push maupun pull yang biasanya tertempel di bagian atas pegangan pintu.
"Dorong ajalah, biasanya juga didorong," jawab Hera dari belakangnya. Kedua lengannya terlipat, mengusir dingin yang menghinggapi malam hari.
Pintu itu didorong ke dalam, dan tepian kacanya membentur sesuatu dari besi. Bunyinya nyaring. Jun nyaris terlompat dari tempatnya. "Eh, sori Mas!" Ia meminta maaf pada penjaga Indomaret yang sama-sama terkejut karena insiden itu.
"Ditarik aja, Mas!" Si penjaga Indomaret berseru dari dalam.
"Ahh, gimana sih. Kata lo didorong, makanya gue dorong. Taunya ditarik. Untung pintunya nggak pecah."
Hera mengangkat bahunya sedikit. "Biasanya didorong nggak ada masalah. Emang pintunya bisa pecah? Kayaknya kacanya cukup tebal...."
Indomaret malam itu memutarkan lagu Sheila On 7, J.A.P, dan percakapan keduanya mengenai pintu kaca berhenti. Sekali lagi, Jun meminta maaf pada penjaga Indomaret atas kecerobohannya menuruti saran Hera. Hera, berwajah tanpa dosa, berjalan lurus pada freezer berisi es krim di dekat rak roti. Dalam tiga langkah, Jun menyusulnya, bersenandung pelan mengikuti lagu yang diputar.
"Belai indah matamu...." Kedua mata Jun lekat pada isi freezer, pada es krim-es krim yang ditata dan dibatasi oleh pembatas mirip jaring-jaring. "Teman mimpi tanpa jemu, biar terkadang semu!"
"Sssshh." Hera mendesis.
Penutup freezer digeser, hawa dingin yang semula terperangkap berhamburan keluar. Bulan Maret adalah penghujung musim hujan, walau hujan sudah tidak sederas awal tahun, matahari terbit hanya sesekali di antara selimut awan. Kelabu lebih sering menghiasi langit ketimbang biru cerah. Siapa pun yang memutuskan makan es krim di malam hari, orang itu pasti terbiasa akan cuaca dingin atau otaknya pasti sedang kurang beres.
Hera, hari ini, sedang berada di kategori kedua. Sebuah es krim berwarna-warni ditariknya keluar dari dalam pendingin. Es krim klasik kesukaannya semasa SD. Sheila On 7 featuring Jun dan es krim pelangi adalah kombinasi nostalgia yang tidak diharapkannya terjadi hari ini. Tetapi, inilah yang terjadi, dan Hera hanya dapat menyalahkan semesta dalam sudut kepalanya.
"Ambil apa lo?" Freezer baru saja ditutup Jun. Ia sudah berhenti menyanyi—lagu berada dalam bagian instrumen. Tangannya menggenggam sebuah es krim bentuk cup. "Kini tiba waktuku—"
"Ini Indomaret, bukan tempat karaoke." Telunjuk Hera menempel di bibirnya, memberi kode agar Jun berhenti. Sudah cukup di mess ia menghabiskan pagi hari menunggu Jun menjalani sesi 'karaoke' sambil mandi pagi. Belakangan, mereka hampir selalu menjalani shift yang sama, terutama pagi hari. Hera baru menyadari hal itu hari ini. Sebagai jawaban dari pertanyaan Jun, ia mengangkat bungkusan es krim warna-warni, memperoleh alis terangkat dari Jun.
"Tumben lo nggak beli es krim cone?" Jun menyebutkan varian es krim kesukaan Hera.
Ia memberikan gelengan singkat. "Lagi pengen ini aja. Lo traktir?"
"Nasi goreng barusan gue juga yang traktir. Minggu depan jatah lo, ya." Jun mengomel, tetapi tetap mengeluarkan dompetnya dari saku celana. "Mas, satuin sama punya Mak Lampir ini, ya. Mau nambah apa lagi lo? Minum?"
"Ini aja. Gue tunggu di luar, ya."
Di luar, Hera mengambil meja tidak jauh dari pintu. Meja itu kotor, dengan asbak berisi abu rokok dan sisa korek api. Ada pula bekas botol soda di sana, kosong dan kehilangan tutupnya. Jorok sekali. Namun, hari ini ia terlalu lelah untuk menyingkirkan semua sampah itu. Dalam diam, Hera duduk di atas bangku besi yang dingin, menyobek plastik es krimnya. Mulai makan, sembari mengangguk-angguk mengikuti irama lagu yang ternyata terdengar dari pengeras suara di luar Indomaret.
"Jadikanlah aku pa—tuh kan, lo juga demen lagunya." Jun tiba-tiba sudah menarik kursi di depannya. "Nyanyi bareng aja sama gue. Suara lo emang jelek banget, tapi nggak masalah. Yang dengar cuma gue ini."
Hera mengalihkan tatapannya dari es krim.
"Mau teriak juga boleh. Yang dengar cuma gue ini." Lagi-lagi, Jun seolah mengerti apa yang terjadi di dalam kepalanya. Seolah mampu menyaksikan bahwa gemuruh badai telah membentur-bentur karang kesadarannya. Seperti mengerti bahwa Hera telah mencapai batasnya untuk menjaga ketenangan yang berulangkali diperintahkan satu petak rasional agar tidak bergeser dan kalah.
"Mau nangis juga boleh. Gue nggak lihat. Gue lagi sibuk nyanyi." Usai berkata demikian, Jun memutar kursinya membelakangi Hera. Kepalanya sibuk bergoyang mengikuti lagu, dari konsumsi lokal generasi 90-an Sheila On 7 menjadi Bibia Be Ye Ye-nya Ed Sheeran. "Sori ya, gue nggak bawa jaket. Nggak bisa pinjemin ke lo kayak sobat yang baik di film-film. Pake jaket lo sendiri aja, anggep ada yang pinjemin. Oh—gue masih nggak denger apa-apa selain lagu." Dan Jun menyelesaikan celotehannya, kembali mengejar lagu berbahasa Inggris yang mengudara.
Melodi yang ceria dan suara Jun yang ngawur karena tidak hapal lirik lagu kontras dengan abu-abu merembes dari setiap napas dari paru-parunya. Dunia penuh warna lama-lama mengabur dari pandangannya yang memburam.
Hera menyembunyikan kepalanya di balik tangan, terisak tanpa suara.
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro