Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1: Mak Lampir



Beberapa hari sebelumnya....


"Mak Lampir!"

Di dunia ini, ada banyak sekali tipe manusia. Ada sekitar tujuh milyar orang di dunia ini. Tujuh milyar orang yang seharusnya takut pada sosok di bagian paling depan antrian. Hera Agustine adalah nama yang tertera di akte kelahiran, tetapi orang-orang menganggap sesungguhnya nama itu terdiri dari tiga kata, yakni Hera 'Galak' Agustine. Dengan adanya nama tidak resmi itu, seharusnya orang-orang lebih hormat dalam memperlakukannya, dan selama ini itulah yang terjadi.

Kecuali,

"Mak Lampir, oi! Denger nggak? Gue tahu lo pasti lagi pura-pura tuli."

... satu orang ini.

Panggilan 'Mak Lampir' ini belakangan jadi trademark Jun untuk membuat Hera menoleh di mana saja, termasuk di tengah lobi rumah sakit, bersama kira-kira tiga puluh orang lainnya yang menunggu antrian pendaftaran poliklinik. Hera, yang baru saja menekan layar sentuh untuk mencetak antrian ke salah satu poliklinik di lantai dua, langsung melemparkan tatapan bengis, berharap laki-laki satu ini berhenti bertingkah tengil. Apa-apaan, dengan jas putih berlengan panjang, tidak seharusnya Jun teriak-teriak soal Mak Lampir di tengah rumah sakit.

"Nah, gitu dong, noleh sedikit." Jun berhenti di sebelah Hera, memamerkan cengiran tanpa dosa. "Ngambil nomer antrian buat ke mana, sih? Poli Jiwa? Gue tebak, ya, obat lo habis kan? Makanya lo galak banget beberapa hari ke belakang. Makanya, kontrol yang rajin, jangan suka bolong-bolong kalau minum obat—"

Seandainya tidak sedang di ruang publik—atau seandainya saat ini mereka ada di dalam kartun Spongebob—Hera akan menjewer bibir ceriwis Jun, persis seperti meme andalannya untuk dimasukkan ke grup ketika duo Jun-Kevin sudah terlalu banyak mengoceh hingga ratusan chat di grup #NasiCampurSeblak. Kadang-kadang, yang mana sangat jarang sekali terjadi, timbul keinginan dari lubuk hati yang terdalam untuk menendang keduanya dari grup. Tetapi, Jun selalu punya intuisi canggih, mampu mendeteksi kapan saja Hera mulai jengkel akan grup yang berisik. Tepat ketika Hera mulai membaca chat (kebanyakan tidak penting, banjir stiker receh, atau emotikon), percakapan mereka berhenti begitu saja.

Hera memasukkan nomor antrian ke dalam saku jasnya, kedua tangan sengaja berdiam di dalam saku.

"Lo baru lepas jaga malam, ya? Gue temenin kontrol deh. Sekalian biar gue dengerin instruksi dokternya apa biar lo bisa kurang-kurangin galaknya. Eh, jangan-jangan dokternya lo marahin kalo nyaranin lo belajar sabar?" Sepanjang mereka berjalan melewati area pendaftaran khusus rawat jalan yang padat, Jun terus mengoceh. Beberapa orang melirik mereka berdua, terlihat bingung karena ada dua orang dokter berjalan dengan salah satunya bersuara cukup keras.

"Jun." Hera benar-benar tengah mempertimbangkan bagaimana cara membuat temannya mengecilkan suara. Kalau panggilan berakhiran tanda titik ini tidak berhasil, ia harus memutar otak mencari taktik lain.

"Iya?"

"Gue mau ke poli kandungan."

Kedua mata Jun melebar secara otomatis. "Lo...?" Tanpa perlu diucapkan, Hera langsung paham apa pertanyaan tak terlisan itu. Tebakan Jun pasti antara sesuatu yang benar-benar serius atau error seperti biasa. Pertanyaan itu ia biarkan menggantung. Biar Jun menebak-nebak sendiri apakah diamnya Hera berarti 'iya' atau 'tidak' mengenai sisa pertanyaan di ujung lidah Jun. Kalau tahu Jun akan diam mendengar soal poli kandungan, seharusnya sejak awal ia melambaikan kertas pendaftaran di hadapan batang hidung Jun. Memanfaatkan kesempatan untuk kabur, Hera buru-buru melangkahkan kaki meninggalkan temannya yang masih mematung.

Hera sudah beberapa meter jauhnya ketika seruan 'Mak Lampir' kembali terdengar; sepasang ibu-ibu yang melintas di dekatnya memberikan lirikan bingung. Begitu Hera membalas tatapan menuduh ibu-ibu tersebut, ekspresi keduanya berubah menjadi ketakutan. Ada apa, sih? Ia berbalik kembali melanjutkan perjalanannya, namun sebuah tangan menyambar lengannya tepat ketika ia baru saja hendak menapak anak tangga pertama.

"Lo nggak boleh naik tangga." Si pemilik tangan, Jun alias Arjuna, berkata serius. Kedua alisnya saling bertaut, wajahnya tidak main-main. Hera sudah lama tidak melihat wajah Jun setegang ini sebelumnya.

"Kenapa? Polinya cuma di lantai dua."

"Naik lift aja." Jun setengah memaksa. Tangannya menarik Hera menuju sisi yang berlawanan, menuju deretan tiga lift terdekat. Beberapa orang memberikan jalan agar mereka bisa berdiri di antara dua lift saat melihat Hera dan Jun berpakaian dokter.

"Apaan sih, Jun? Biasa juga gue naik tangga sampai lantai empat." Hera turut mengerutkan kening. Tidak mengerti apa rencana Jun sekarang, setelah tadi menuduh-nuduhnya kehabisan obat anti galak. Ada apa dengan naik tangga ke lantai dua?

"Mulai sekarang nggak boleh."

"Kenapa?"

Hening sejenak. Jun melipat bibirnya, bola matanya bergerak-gerak gelisah seolah sedang mencari alasan. "Pokoknya nggak boleh!" pada akhirnya, Jun sama sekali tidak menjawab. Hera memutar bola mata. Jari-jari panjang Jun melingkari pergelangan tangannya, lembut sekaligus kuat, menahannya menarik diri. Tidak ada jalan lain; Hera membiarkan dirinya hari ini menjadi bagian dari antrian di depan lift. Pintu lift buram, namun dari sana Hera dapat memperhatikan siluet Jun berdiam di tempat, bersebelahan dengannya. Bayangan Jun tampak lebih tinggi, selisih tinggi bahu mereka tidak begitu jauh.

"Jun." Hera memanggil Jun pelan. Pandangan Jun yang semula tertuju pada angka penunjuk lantai di atas lift kini teralih pada Hera.

"Ceritanya nanti aja, Mak Lampir. Ini kan privasi lo." Jun kembali lurus memandang ke depan, pada pintu lift buram yang terbelah dua. Beberapa orang keluar dari dalam lift, mau tidak mau Hera dan Jun sedikit bergeser memberikan akses agar pengunjung lebih leluasa menjangkau lobi. Keduanya masuk ke dalam lift setelah kosong, mengambil tempat di sudut belakang setelah Jun menekan tombol angka dua di panel.

Hera mengatupkan mulut. Sepertinya ia mulai paham ke mana arah tebakan Jun. Poli kandungan dan Hera adalah dua hal yang tidak pernah bersinggungan sebelumnya. Astaga. Menarik napas dalam-dalam, ia berniat mengoreksi Jun, tetapi matanya keburu menangkap pantulan dirinya pada dinding lift yang menyerupai cermin.

Hah?! Penampilannya benar-benar kacau. Definisi bencana alam dari segala kekacauan yang pernah terjadi dalam hidupnya. Rambutnya kusut dan keluar-keluar dari kunciran lemas di belakang kepala. Kulitnya kusam, di bawah matanya bergelayut sepasang lingkaran gelap dan agak bengkak. Poni tipis ala Korea-nya terbelah di tengah, menggumpal dan berminyak. Yang paling mengerikan, alisnya yang digambar tipis-tipis oleh pensil alis menyembul dari poni berantakan ... dan warnanya pudar akibat minyak serta keringat.

Pantas saja Jun memanggilnya Mak Lampir. Kilasan ibu-ibu yang memandangnya horor beberapa saat sebelum ini terasa masuk akal. Tatapannya memang galak, kombinasi dengan penampilan seperti baru keluar medan perang.

Genggaman tangan Jun di pergelangannya longgar, berhasil ia sentak hingga terlepas. Tanpa memedulikan protes Jun, Hera segera melepas ikatan rambutnya dan menguncir ulang. Sedikit merapikan poni menjijikkan dari keningnya, yang mana tidak banyak berubah karena seharusnya sebelum jaga semalam ia mencuci rambutnya terlebih dahulu. Hera menyesal kemarin memilih menonton Netflix selama berjam-jam. Penyesalan memang selalu datang belakangan.

Bertepatan dengan ia menurunkan tangan dari kepala, lift berhenti di lantai tujuan mereka. Tanpa melewatkan sedetik pun, Jun mengucap permisi agar mereka diberi jalan keluar. Salah satu tangan Jun mendorong bahu Hera dari belakang, sebelah lengannya yang lain menciptakan gestur untuk membuka jalan. Hera menahan tawa di balik raut wajahnya yang datar. Bertahan pada tebakannya, Jun benar-benar terlihat berusaha bersikap gentle dan melindungi. Bertolak belakang dengan Jun yang biasanya.

Poliklinik kandungan membentuk sebuah klaster khusus tidak jauh dari lift, sengaja dibuat mudah dijangkau ketika RSBA melakukan renovasi besar-besaran akhir tahun lalu, kira-kira beberapa minggu setelah Aria mengundurkan diri. Di minggu pertama poliklinik kandungan diresmikan berjalan, Hera sengaja melakukan video call pada Aria untuk pamer apa yang dilewatkan sahabatnya, walau yang didapatkannya hanyalah respons tidak tertarik dari Aria.

"Berapa minggu?"

Pertanyaan Jun kembali mampir di saat mereka tidak terlalu berdekatan dengan orang lain. Poliklinik pagi ini cukup ramai, hari Sabtu selalu menjadi hari dimana angka kunjungan tertinggi poli kandungan tercapai. Mereka sedikit menepi saat seorang ibu hamil berjalan ditemani suaminya ke arah ruangan untuk menimbang berat badan dan pengukuran tekanan darah. Hera memilih tidak menjawab pertanyaan Jun, melainkan lurus menuju ke pintu ruangan yang sama.

"Karena gue nggak tahu siapa bapaknya, gue temenin lo deh sebagai teman yang—"

"Dok, mau cek kandungan? Baru pertama kali, ya?" Perawat wanita yang sedang melilitkan manset tensimeter tersenyum lebar menyapa Hera di ambang pintu. "Saya nggak tahu Dokter—" kalimatnya berhenti di tengah, tatapan mata perawat itu tertuju pada Jun di belakang Hera, sementara yang ditatap merasa terpanggil sehingga maju sedikit dan berdiri di sebelah Hera, "—oh. Ada yang nganterin, toh. Selama ini saya kira Dokter Hera dan Dokter Jun cuma teman biasa, ternyata.... Duduk dulu di depan, Dok. Habis ini saya tensi."

Lewat sudut matanya, Hera dapat melihat rahang Jun terjatuh. Raut wajah terkejutnya kocak sekali. Idealnya, saat ini Hera buru-buru memberikan penjelasan agar semuanya tidak berlanjut lebih jauh. Masalahnya, ia keburu tertawa karena merasa geli.

Ada dua kesalahpahaman yang terjadi, dua-duanya saling tumpang tindih. Jun menduga Hera hamil adalah suatu kesalahpahaman. Perawat poli kandungan menduga Hera mengandung anak Jun adalah kesalahpahaman yang lain.

"Nggak, Kak." Sebelum Jun sempat membuka mulut, Hera keburu mengeluarkan secarik kertas yang sedari tadi diremas di dalam saku jas snelli. Kertas itu diletakkan di atas meja. "Saya mau nitip nomor pendaftaran atas nama pasien Tyas. Sepupu saya. Ke Dokter Harsinta, kayak biasa, mau kontrol pertama di trimester ketiga. Makasih ya, Kak." Tanpa menunggu lebih lama lagi, tangan Jun langsung ditariknya keluar dari poli kandungan. Kakinya melangkah lebar-lebar menuju tangga, turun ke lantai satu, masih setengah menyeret Jun di belakangnya.

Setibanya di lantai satu, Hera melepaskan tangan Jun. Gantinya, ia menepuk-nepuk bahu lebar Jun.

"Mikirnya jangan kejauhan," nasihat Hera sok bijak. "Kenapa lo mikir gue hamil hanya karena gue ke poli kandungan?"

Jun, yang merasa zonk akibat drama kecil-kecilan barusan—juga karena dituduh yang tidak-tidak—mengerucutkan bibirnya.

"Mana gue tahu lo mau ngapain. Nggak mungkin konsul pasien, kan? Konsul doang bisa lewat telepon, nggak ngambil nomer pendaftaran."

"Bisa, kan, nanya dulu."

"Lo pasti nggak mau kasih tahu." Jun bersedekap, membela diri.

"Kalau gitu, nggak usah kepo."

"Ckck, Mak Lampir, Mak Lampir. Pelit banget lo sama teman sendiri. Gue doain muka lo jadi hijau kayak Mak Lampir beneran."

Hera menjewer telinga Jun ketika laki-laki itu lengah. "Apa lo bilang barusan?!"

"Ampun, Her. Ampuuun!"

Beberapa orang melemparkan pandangan pada mereka berdua, sisanya berlalu dan acuh begitu saja. Pemandangan seperti ini begitu biasa di pagi hari, ketika Hera dan Jun disatukan di tempat yang sama. Mula-mula, petugas administrasi dan rekam medis di bagian pendaftaran menduga keduanya terlibat dalam sesuatu melebihi pertemanan. Namun, setelah bertahun-tahun lamanya, mereka berdua tetap seperti itu, bertengkar karena hal-hal sepele di tengah lobi rumah sakit tanpa mempedulikan wibawa dari jas putih di atas bahu mereka. Bisik-bisik berbunyi 'mereka pacaran, ya?' lama-kelamaan menguap ke tengah udara.

Selamanya, mereka akan menjadi Hera dan Jun, duo Tom dan Jerry ikonik dari RSBA.


*


Rumah Sakit Bagaskara Atmadja, seperti namanya, adalah rumah sakit swasta yang visioner. Dalam lima puluh tahun usianya, rumah sakit ini terus mengembangkan diri, berambisi menjadi penyedia pelayanan kesehatan terbaik di Kota Bandung. Dalam sepuluh tahun ke belakang, RSBA telah melakukan renovasi besar-besaran di segala sektor untuk mencapai posisi sebagai rumah sakit terbaik. Menjelang ulang tahun kelima puluh satu, direktur utama rumah sakit mengumumkan saat laporan pagi tadi bahwa rumah sakit berencana melaksanakan akreditasi untuk mencapai bintang lima. Pengumuman itu kontan membawa gelombang kecemasan di antara kalangan karyawan.

"Lo dengar? Paripurna."

Jun, Hera, dan Kevin keluar paling akhir dari ruangan, memisahkan diri dari kerumunan peserta laporan pagi. Hera memulai pertanyaan itu dengan suara rendah, takut kalau-kalau ada oknum tidak diharapkan mencuri dengar dan menimbulkan rumor tidak sedap dari salah satu dokter umum. Tentu saja, saat ini ia tidak bermaksud untuk mengagung-agungkan rencana dari jajaran direksi rumah sakit. Ketiganya berjalan menuju tangga darurat, berusaha menyelinap ke pantry bangsal bedah di lantai tiga. Jam segini seharusnya pantry kosong karena para dokter spesialis bedah belum mulai visite, sementara para perawat sudah mulai bekerja.

"Kalem, kalem." Kevin, tumben-tumbennya, sok bijak. Kedua tangannya terangkat, matanya memberikan isyarat agar pembicaraan ini ditunda sampai mereka aman berada di dalam pantry. Orang pertama yang masuk ke pantry adalah Jun. Sekejap saja, ia sudah bertengger di salah satu kursi. Di tangannya ada gelas plastik berisi air dingin.

"Rencana akreditasi tahun depan, lho." Jun memulai sesi gosip pagi ini. "Terkesan memaksakan banget, nggak? Renovasi bagian rehabilitasi medik aja belom selesai."

"Akreditasi kayaknya nggak ngurusin soal renovasi." Blup, blup, blup. Gelembung susul-menyusul dari dasar galon ketika Hera menekan tuas dispenser air minum. Gelas di tangannya dioperkan pada Kevin, yang mengucapkan terima kasih tanpa suara, barulah ia mengisi gelas plastik untuk dirinya sendiri.

"Terlalu mendadak," ungkap Kevin jujur. Jari-jarinya melingkari sekitar gelas. Tatapannya jatuh pada permukaan air. "Kalau betulan tahun depan udah mulai simulasi, agak serem juga. Banyak bener yang harus dibenahi."

"Paling-paling dokter umum yang dikorbanin buat ngurusin."

"Gue rasa Hera yang diincar sama Bu Asmirah, deh." Jun menyumbang pendapat. Kedua temannya melemparkan tatapan heran. Alis Hera berkerut, menyatu di tengah dahi.

"Maksudnya?"

"Oh!" Pada dasarnya, Kevin dan Jun adalah satu paket. Orang-orang selalu beranggapan ada telepati di antara keduanya. Hari ini, Hera menyaksikan bagaimana mereka dengan mudah berada di frekuensi yang sama, sementara ia tidak mengerti apa-apa.

"Ngomongin orang tuh di belakang, jangan di depannya," omel Hera pendek. Kedua laki-laki itu melirik Hera, kemudian saling bertukar pandang lagi. Tertawa terbahak-bahak.

"Secara teknis, kita ada di sebelah lo, dan kita nggak ngomongin lo," tukas Jun, bahunya sedikit terangkat. Perkataan itu ada benarnya juga. Hera mengerutkan kening, tidak berkata apa-apa lagi. Dalam hati, ia penasaran apa maksud Bu Asmirah mengincarnya. Sedari tadi tatapan sang direktur berulangkali tertuju padanya walau sekilas.

"Gue rasa Bu Dirut mau jadiin lo ketua tim akreditasi."

"Muka lo seram banget."

Hera menoyor sisi kepala Kevin, yang lebih terjangkau dari lokasi berdirinya saat ini. "Ngawur." Jangan-jangan, di antara duo rusuh ini, ia selalu dilabeli Mak Lampir kalau tidak sengaja terlibat dalam obrolan mereka. Sialnya, atau untungnya, tidak ada cermin atau benda yang permukaannya dapat memantulkan bayangan. Kini Hera hanya dapat menebak-nebak seperti apa seram dalam kalimat Kevin.

Dan, menanggapi Jun si error, "Mana mungkin, ah." Tangan Hera melambaikan gelas plastiknya yang setengah terisi. "Biasanya juga, dari tahun ke tahun, selalu kepala SMF yang jadi ketua pelaksanaan. Dr Dani paling senang urusan begini."

"Itu sebelom ada lo."

"Sekarang apa-apa dilimpahin ke lo, kan? Semisal masalah-masalah non medis...."

"Minggu lalu juga tiba-tiba Pak Dino minta lo ikut rapat sama rekanan rumah sakit."

"Waktu ada keluarga marah-marah soal infus bengkak juga perawat pada manggil lo."

"Sssssttttt!" Duo rusuh kalau sudah mengoceh bikin sakit kepala saja. Pasca jaga malam, Hera lebih suka berada di tempat yang sedikit lebih tenang, bukannya direcoki dengan tambahan ide-ide mengenai bahaya yang bakal mengancam. "Ngomongnya satu-satu. Kepala gue sakit."

Hera menunggu salah satunya berbicara. Kedua alisnya terangkat, tinggi.

"Kok diem?"

"..."

"Nggak ada yang mau cerita?"

"Tadi lo sssstttt-in kita, sih. Artinya kan disuruh diem."

Tangan Hera naik, menepuk dahinya sendiri. "Di belakangnya gue tambahin, ngomongnya satu-satu, Keviiin." Hera ingin menyamakan keduanya dengan Kevin si Timun Laut di film kartun Sponge Bob Square Pants, tetapi Kevin dan Jun lebih mirip Sponge Bob dan Patrick ketimbang Kevin si Timun Laut. "Kalian tuh, sekalinya ngomong, dua-duanya ngomong. Disuruh satu-satu, malah diem dua-duanya. Ck, Kevin, Kevin."

"Nama gue Arjuna," protes Jun.

Bibir Hera membentuk garis lurus, menipis. Alisnya saling bertaut, seolah menyadari sesuatu. "Enak juga manggil lo berdua Kevin. Mulai sekarang, nama lo Kevin Satu dan Kevin dua."

"Siapa Kevin Satu?"

"Gue, lah." Kevin menyela. "I'm the real Kevin."

"Tapi gue nggak suka angka dua. Angka dua sumber kesialan di hidup gue."

"Nama lo Jun, bukan Kevin. Jadi gue dong, Kevin Satu."

Keduanya nyaris bacok-bacokan menggunakan gelas plastik memperebutkan siapa yang menjadi Kevin Satu. Dari balik sebelah lengan bersedekap dan gelas menempel di bibirnya, Hera menonton Jun dan Kevin berebut julukan Kevin Satu. Pikirannya melayang pada kata-lata Kevin sebelum ini. Gue rasa Bu Dirut mau jadiin lo ketua tim akreditasi. Hera menggelengkan kepala perlahan. Napasnya terembus, menimbulkan selapis embun tipis di dinding gelas plastik.

Mana mungkin, kan...?


*


"Jun, kemaren lo atau Kevin yang bilang soal ketua tim akreditasi? Haha—hampir benar. Bu Asmirah tadi manggil gue sekitar jam sembilanan. Awalnya gue kira terkait soal anggota dewan yang semalam plus di ICU pas awal shift gue, gue udah siap-siap aja mau diaudit karena perburukannya cepat banget. Sampe dingin tangan gue. Eh, ternyata ... Jun, gue nggak pernah dengar apa-apa soal dr Dani naik jadi kabid pelayanan medis. Lo pernah dengar sesuatu? Kata Bu Asmirah, terhitung satu Mei, dr Dani udah nggak jadi ketua SMF Umum. Tebak siapa penggantinya? Gue."

—tut.


*


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro