Unfold
Selesai dengan entah terbang, terombang-ambing dalam ruang hampa, tahu-tahu aku terbanting keras hingga terduduk di meja kelasku sendiri.
Aku ingin menggerutu lagi akibat bokongku yang masih sakit, tapi terkesiap sewaktu melihat seragam yang kukenakan. Ini ... seragam sewaktu aku masih kelas VIII. Jadi, aku hanya bergerak dua tahun dari kejadian tenggelamnya mereka?
Benarkah Fer dan Lir yang tenggelam? Kalau mereka benar-benar sudah ... lalu, siapa yang selama ini bersama Nana dan menyambut kedatanganku?
"Juni, ayo ke kantin." Suara ini ... tidak mungkin Fer, kan? Kenapa juga si Pixie bersayap biru langit ini ada sini? Sejak kapan aku pernah satu sekolah dengannya? Pertemuan pertama kami di tempat Nana, itu pun setelah melewati pintu gudang di dekat dapur.
Argh ...! Apa yang terjadi? Mana yang benar? Portal, portal di rumah Nana benar-benar ada, kan? Ini semua bukan hasil imajinasiku, kan?
Seseorang menendang bangkuku hingga aku tersentak. "Jangan buang-buang waktu kita, pemalas. Titip saja, bila kau tidak ingin betismu semakin berotot!"
Argh! Suara dan kelakukan khas Lir! Aku menoleh dan mendapatkan Lir tengah menatapku dengan aneh. "Jangan menatapku seperti itu! Menjijikkan, tahu!"
Sudut bibir Lir yang terkutik singkat lebih dari cukup memberiku alasan untuk menjambak rambutnya. "Sini kau!"
Lir menjauhkan diri, tapi aku lebih cepat hingga beberapa helaian berada dalam belas kasihanku. Aku bersiap mengatupkan jari, tapi tertahan dan malah sibuk membelai rambut halusnya.
"Juni? Kau hampir membuatku serangan jantung!" Wajah terpelintir Fer sambil meremas kemeja di depan dadanya menandakan lelaki ini serius terkejut dengan tindakanku.
"Lepas!" Lir menepis tanganku dan membuang muka. Meski tipis, aku bisa melihat semburat kemerahan di wajah Lir. Dia malu?
Tunggu dulu. Kenapa aku bisa menyentuh Lir? Karena mengalami krisis kepercayaan, aku mengulurkan tangan dan lengan Fer. Tersentuh, meski harus kuakui suhu mereka sedingin es.
"Sudahlah, tinggalkan orang tidak waras ini. Ayo, Fer." Lir bangkit dan keluar dari mejanya.
Aku tersadar sewaktu mataku kabur akibat cairan yang berjejal di pelupuk mata dan tumpah begitu saja. "Lir, Fer! Syukurlah kalian baik-baik saja!" Aku berlari dan merangkul mereka dari belakang.
Fer balas merangkulku. "Hari ini kau aneh, Juni."
"Walau aneh, kalian masih menyukaiku, kan?"
"Bicara apa kau." Berbeda dengan Lir yang justru menepuk punggung tanganku supaya aku melepas rangkulan.
Ya, mau bagaimana lagi, dia memang pemalu.
Tinggal melewati gerbang kecil, maka kami akan berada di dalam kantin. Namun, hanya aku yang tertahan seolah ada penghalang tak kasatmata yang melarang aku melintas. "Hei, tunggu aku!"
Mereka berdua sama sekali tidak mendengar teriakanku dan terus berjalan. Aneh ... kantin di sekolah kami tiba-tiba berputar seperti spiral dan sebuah lingkaran dengan asap hitam di sekelilingnya muncul. Lir dan Fer terus berjalan ke arah lingkaran, tidak mengacuhkan teriakan melengking yang membuat leherku sakit.
Aku terduduk lemas sewaktu lingkaran hitam tersebut menelan kedua temanku lalu mengecil hingga tinggal setitik dan hilang begitu saja tanpa bekas. Apa yang terjadi? Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?
Kepalaku semakin berdenyut, tapi aku menolak menyerahkan kesadaranku diambil oleh rasa berputar ini. Aku ingin tahu apa yang menimpa hidupku!
Nana ... kumohon selamatkan kewarasanku. Aku—aku tidak tahu lagi mana yang sungguh-sungguh nyata. Mungkinkah semuanya hanya halusinasiku?
***
Tangan seseorang terjulur dan mengusap-usap lembut rambutku. Aku mendongak.
"Nana ...?" Wujud Nana tampak lebih muda, bahkan mungkin seusia denganku. Di dahinya terdapat simbol bulan sabit emas yang mengingatkanku pada salah satu tokoh dalam anime yang kutonton dulu. "Jangan senyum saja, Nana! Ceritakan. Ceritakan semuanya!"
Air mataku tumpah lagi. Bukan, ini bukan perbuatan tidak sopan dengan meneriaki seseorang yang lebih tua, tapi bentuk kefrustrasian yang harus kusalurkan. Aku butuh penjelasan sebelum mengirim dan memenjarakan diriku di dalam rumah sakit jiwa!
Nana duduk lalu menyentuhkan dahinya ke dahiku. Aku tidak tahu kenapa dia sama sekali tidak bersuara. Namun, akibat pertemuan dengan simbol tersebut, aku seperti ditarik ke dunia lain. Sensasinya sangat berbeda dari sebelumnya karena sekarang tubuhku seringan sehelai bulu yang dimainkan angin.
Tahu-tahu aku mendarat di atas permukaan yang lembut. Saat membuka mata, aku tersangkut di awan. Benar, ini terdengar konyol, tapi aku yakin dengan penglihatanku. Sosok yang entah muncul dari mana, menoleh dan tersenyum bahagia.
Siapa kurcaci ini? Kenapa wajahnya mirip denganku, bahkan bila kami berhadapan dan memeragakan pose yang sama aku akan mengira sedang berkaca. "Kau ... siapa?"
"Juniverre."
"Jangan bercanda, itu namaku, tahu!" gerutuku kesal.
Bukannya membalas, ia malah membekap mulutnya sendiri. "Berhasil? Mantra Saralei berhasil!"
"Kau bicara apa, sih?"
"Maaf. Saralei, atau mungkin yang kau sebut Nana di masa depan adalah penjaga memori dan waktu."
"Hah?"
"Juniverre, kau adalah fragmen diriku."
"Apa maksudmu?"
"Apa yang tertinggal di sini hanyalah memoriku. Tubuhku yang asli ... kau lihatlah di sana." Sosok yang bernama sama denganku menunjuk pada pertarungan di bawah kami. "Hari ini adalah hari kematian serta portal dimensi terbuka lebar. Kau tidak perlu melihat bagaimana tubuhku tercacah hingga sulit disatukan kembali."
Meski mendapat peringatan, penasaranku yang setinggi gunung justru membuka mata lebar-lebar dan melihat penganiayaan di dalam sebuah kawah gunung berapi yang sudah tidak aktif.
"Kau lihat empat patung di sana?" Aku mengikuti arah tunjukan jari Juniverre mini.
"Patung monyet itu!"
"Ya. Apa kau tidak aneh sewaktu dalam penyiksaan, tiba-tiba teringat pada Tiga Monyet Bijaksana?"
"Kenapa kau bisa tahu?"
"Sudah kukatakan kau adalah fragmen diriku."
"Fragmen apa?"
"Orang-orang di dunia manusia menyebut Soul."
"Sebentar, sebentar. Kau ingin bilang bila aku adalah reinkarnasi dirimu?
"Hmmm ... ya, bisa dikatakan begitu."
"Kenapa jawabanmu tidak yakin begitu?" Sulit bagiku untuk tidak menaruh curiga.
"Hah. Kau kritis juga ya ...."
"Jawab saja."
"Mungkin kau di satu titik hidupmu, kau pernah melihat kepompong sutra di sekitar Saralei—maksudku, Sara."
"Jangan bilang ...."
"Ya." Juniverre mini membuka rahasia lain mengenai kepompong besar yang tergantung di ruang perkakas.
Ternyata aku tidak berhalusinasi saat itu. Namun, di balik berita baik, yang mengonfirmasi kewarasanku, ada berita tak menyenangkan. Ini soal Nana.
Sebagai penjaga portal waktu, Nana harus bolak-balik antar dua dunia karena partikel astral di dunia manusia berefek buruk baginya. "Sebagai makhluk bukan manusia, Sara membutuhkan wadah untuk menetap."
Dahiku mengerut. "Apa yang ingin kau sampaikan sebenarnya?"
"Demi mendapatkan wadah, dia menjadi kaum terkutuk."
"Hah?"
"Saralei begitu takut aku tidak bisa bertahan memilih melakukan perjanjian dengan dia ... Shizaru. Dia adalah daemon yang mengambil wujud seekor monyet."
"Maksudmu patung batu berbentuk monyet yang tangannya tersilang di atas perutnya itu?"
"Ya. Dia melakukannya tiga kali. Salah satunya demi adikmu."
"Adikku baik-baik saja. Apanya yang perlu diselamatkan?"
"Tidak. Saralei menukar soul seseorang untuk James."
"Maksudmu ... tumbal?" Aku langsung lemas sewaktu Juniverre mini mengangguk pelan. "Nyonya Emma ...," bisikku. Apa yang sudah kau lakukan, Nana ...?
***
"Lir dan Fer ... apakah mereka nyata?"
"Ya. Mereka berdua adalah pengawalku yang ikut menderita bersamaku hingga tewas."
Menurut penuturan sosok mungil di sampingku, ada seorang Pixie yang menjual soul miliknya dan menjadi abdi kegelapan demi mendapatkan apa yang ia inginkan—kekuasaan dan obsesinya terhadap ratu wilayah utara, Ratu Juniverre.
Wow! Aku seorang ratu? Luar biasa. Cerita selanjutnya membuat seluruh tubuhku menggelenyar ngeri!
Sebagai penasihat kerajaan, lidah Fer dicabut dan dibakar. Ia disegel dalam patung perak berbentuk monyet yang menutup mulutnya. Benar, dia mewakili Iwazaru.
Teliga Lir ditusuk besi panas dan dikurung dalam patung perunggu berbentuk monyet yang menutup kedua telinganya. Inilah yang menjelaskan mengapa ia tidak merespon teriakan frustasiku kala itu. Dia dipaksa menjadi Kikazaru. Sebagai keturunan bangsawan dari wilayah selatan, Lir dicap sebagai pengkhianat.
"Mataku dijahit dan dimasukkan ke dalam patung emas berbentuk monyet yang menutup kedua matanya, untuk mewakili Mizaru."
Setelah penyiksaan sadis tersebut, Lir dan Fer dilempar ke dalam kawah gunung berapi tertinggi di wilayah utara untuk menebar teror bagi para penduduk lain. Juniverre dibiarkan terkurung dan terlupakan hingga ratusan tahun.
"Aku yang meminta Saralei untuk—kau tahu—memisahkan soul milikku."
"Kenapa kau lakukan itu?"
"Apa pun yang terjadi, dia tidak boleh menemukan kunci portal dunia lain, Juni. Kau pikir dunia ini hanya ada dunia manusia dan Pixie? Tidak, sama sekali tidak. Aku memang tidak akan bisa menang melawannya, tapi aku akan terus melawannya dalam bentuk apa pun."
"Sekarang jawab, apa yang terjadi pada Nana?"
"Saralei?" Dari kepala lawan bicaraku yang menunduk dalam, aku bisa membayangkan jawaban terburuk yang akan terlontar. Seketika jantungku serasa diremas kuat-kuat. "Dia sudah tidak ada di dunia manusia sejak kau keluar dari kepompong itu."
"Apa maksudmu?"
"Saralei menggunakan tiga permintaan, setiap permintaan akan meminta tumbal. Permintaan ketiga, ia menggunakan soul miliknya sendiri. Sekarang, ia menjadi tawanan di ... neraka." Kata terakhir nyaris terdengar seperti bisikan.
Aku mengangkat tangan yang terkepal erat hingga Juniverre mini buru-buru berkata, "Permintaan terakhirnya adalah menemanimu selama sembilan tahun. Setelah itu, sosok Nana yang kau tahu adalah partikel astral yang tanpa sadar kau kumpulkan untuk membentuk dirinya, Juni."
***
||1328 kata||
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro