Three Wise Monkeys: Mizaru, Kikazaru, Iwazaru
Fer tak kunjung menjawab rentetan pertanyaanku mengenai keberadaan Nana dan bagaimana kondisinya. Aku harus merantai kekesalanku sebelum berulah dan menambah beban Fer. Saat ini kami dihadapkan pada situasi yagn membutuhkan perhatian ekstra dan kewaspadaan tinggi.
Satu bayangan besar menaungi kami. "Fer, Lir! Apa itu?" Kepanikan menggantung dalam suaraku.
Naas. Kami tidak punya waktu untuk bereaksi sewaktu bayangan yang berkobar merah itu menghunjam dan menghancurkan kubah pelindung milik Fer.
Apa aku akan mati hari ini? Di tempat asing ini? Nana ....
***
"Juni, Juniverre ...."
Siapa?
"Kemarilah. Jangan biarkan aku sendiri lagi .... di sini sangat gelap dan sepi, Juni. Aku takut ... temani aku."
Siapa? Suara lembut siapa ini? Aku hanya tahu bila punggungku tersandar pada sesuatu yang keras. Tunggu dulu, ada yang aneh. Aku ... aku tidak tersandar, tapi terbebat sesuatu atau mungkin ... terbungkus?
Hah! Yang benar saja, terbungkus? Memangnya aku lontong? Ha—haha ...! Iya, benar. Aku tertawa, tapi jangan harap tertawa senang.
Aku panik, tahu!
Entah kenapa aku kesulitan memisahkan kedua kelopak mata yang mengatup rapat. Dipaksa untuk dibuka pun, nyerinya minta ampun. Belum lagi seperti ada cairan hangat yang mengalir pelan menyusuri pipi, padahal aku tidak menangis. Menangis secara harafiah tidak, hanya dalam hati. Bukan hanya menangis, tapi menjerit dan ingin segera keluar dari apa pun yang tengah kualami saat ini.
"Juni! Bila kau mendengar apa pun, jangan pernah menjawab—"
"Diam kau ...!"
Oh, Tuhan! Suaranya. Manusia mana yang memiliki suara mengerikan seperti itu! Apa dia benar manusia, atau jangan-jangan ... kerasukan?
"Fer! Kau di sini? Cepat bebaskan aku, aku merasa seperti lontong yang dibungkus daun pisang, tahu!"
"Menyusahkan. Jangan ganggu hari bahagiaku!"
"Hei, bisa normalkan suaramu? Suaramu itu seperti hantu penghuni neraka ke-17, tahu!"
"Juni ... akan kuciptakan neraka untukmu, bila memang ini yang kau inginkan. Kikikikik~"
Orang ini! Dia cekikikan centil atau sedang meniru suara monyet, sih?
"Hmmm ... apa yang harus kulakukan terhadap potongan lidah ini, Juni?"
"Hah? Pertanyaan itu buatku?" Aku diam sejenak, berusaha memikirkan sesuatu yang pantas untuk seseorang yang tidak bisa menjaga lidah bila berbicara. "Buang saja ke tong sampah, atau bakar sekalian!"
"Baiklah."
Tidak lama aku mencium bau hangus sesuatu yang terbakar dan geraman-geraman marah sampai ke titik frustrasi yang tak tersampaikan. Ada apa dengan orang itu? Kenapa dia tidak melepas saja sumpah serapah, daripada ditahan begitu.
Pikiranku masih dibebani oleh orang yang masih menggeram tersebut, hingga embusan angin panas khas milik Lir yang sedang marah menampar wajahku. "Argh ... Lir! Kenapa kau marah-marah, sih? Aku tidak melakukan apa-apa padamu, tahu!"
Bukannya memenuhi permintaanku, suara Lir makin mirip geraman seekor hewan yang marah dan mengancam akan menerkam siapa pun yang mengganggu mereka. "Stop, Lir! Kau bisa merusak pita suaramu sendiri!"
Entah kenapa aku malah dibalas oleh rintihan tangis melengking. Sungguh, hatiku trenyuh mendengarnya. Itu suara sesenggukan yang tertahan di kerongkongan. Melihat karakter Lir, dia memang akan memilih cara menangis seperti ini. Namun, kenapa dan untuk apa dia menangis? Tidak ada alasan logis baginya untuk menangis, apalagi dengan lenguhan seperti itu.
"Lir ... Lir! Apa yang terjadi?" Sekarang aku cemas. Apa yang sebenarnya menimpa dia? "Lir, kau tuli? Jawab aku, sialan!"
"Ah—Aarrrrrghhhh ...! Fer ... Ferrr ...!"
Lir ... menangis? Dia benar-benar menangis ...? Kenapa, ada apa? Kenapa dia meratapi Fer? Apa yang terjadi pada Fer?
"Lir! Apa yang terjadi? Ada apa dengan Fer? Kenapa kau menangis seperti duda yang ditinggal mati, hah?"
Sebanyak apa pun pertanyaan untuk Lir, lelaki itu tidak pernah menanggapi, seolah dia memang tidak mendengar apa pun yang terpental keluar dari mulutku. Perasaanku menjadi tidak karuan.
Dari sudut mataku telah mengalir deras cairan hangat dan lengket yang bersatu dengan cairan lain di sekitarnya. Bukankah air mata tidak memiliki bau? Akan tetapi, di udara sekarang tercium jelas aroma besi berkarat. Bau khas cairan merah yang terkadang menyesap keluar dari luka terbuka. Sekitar mataku memang masih berdenyut nyeri, tapi bukan karena tersayat sesuatu. Ini lebih seperti ... luka tertusuk duri atau jarum jahit.
Bagaimana aku bisa tahu? Tentu saja karena aku pernah tersayat sewaktu bermain-main dengan silet. Kala itu aku kesal pada Nana dan memilih balas dendam dengan menyilet-nyilet anakan terong di kebunnya. Benar, aku langsung mendapat karma karena telah menyiksa tanaman yang bahkan tidak tahu salah apa hingga harus dimutilasi seperti itu. Satu gerakan ceroboh dan berdarahlah jariku. Jangan tanya rasanya seperti apa, membayangkannya saja membuatku ngilu.
Kenakalan lain berhubungan dengan jarum jahit. Lebih tepatnya jarum yang terdapat pada mesin jahit. Aku sedang berpura-pura menjadi seorang penjahit dan tidak tahu bila salah satu jari berada di bawah jarum jahit yang berdiri tegak. Karena masih pendek, aku terpaksa berdiri dan menginjak pedal dinamonya. Benda hitam ini untuk menggantikan kerja mesin jahit manual yang harus digenjot dengan kaki. Terjadilah insiden 'menjahit' telunjuk. Kondisi jariku tidak seindah duri-duri seekor landak yang berdiri, apalagi selucu hidung seekor pemangsa yang tertancap durinya. Jari yang bersimbah darah ini hampir melepas nyawa Nana dari raganya.
Saat itu juga aku dilarikan ke klinik. Untung saja klinik ini memiliki fasilitas bedah minor untuk mengeluarkan patahan demi patahan jarum sepanjang setengah sentimeter. Dokter bahkan mengatakan bila tidak segera ditangani saat itu, mungkin salah satu patahan halus jarum sudah bersarang di jantungku. Bagaimana bisa? Karena bisa saja patahan tersebut masuk melalui pembuluh darah dan terhantar ke jantung. Seperti itu penjelasan singkat yang bisa ditangkap oleh otak awam orang tuaku.
***
Kilasan peristiwa dari masa lalu seolah mencoba memberiku petunjuk penting mengenai denyutan nyeri dan ngilu yang menjalar hingga ke dadaku. Sejujurnya sekarang tiga sosok monyet yang terkenal itu sedikit meminta perhatian untuk dianalisis.
Memang agak bodoh tiba-tiba punya pikiran ini, tapi entah kenapa hanya bayangan monyet yang terbersit di kepalaku. Mungkin karena suara si begundal yang terus terkikik, bahkan seperti mengolok ratapan Lir yang semakin menyempitkan dada siapa pun yang mendengarnya, termasuk aku.
Aku, yang entah kenapa tidak bisa membuka mata adalah perwujudan dari Mizaru, monyet yang menutup mata supaya tidak melihat kejahatan. Ketulian Lir cocok dengan Kikazaru, monyet yang menutup telinga supaya tidak mendengar kejahatan. Terakhir, Fer yang terbungkam ... adalah Iwazaru, monyet yang menutup mulut supaya tidak berbicara kejahatan.
Sisi positif diriku ingin memuji keabsurdan dari cocoklogi brilian yang tercipta. Namun, sisi negatif terus memaki untuk membuatku merasa bersalah karena melahirkan kebodohan yang mungkin sifatnya akan permanen bila tidak jua memecahkan misteri ini.
Aku sendiri tidak tahu harus memulai dari mana. Semua semakin aneh dan terus berkembang di luar nalar. Sebentar, portal ke dunia lain memang sudah aneh, tapi kenapa juga aku terlempar ke dunia lain dan harus melakukan roleplay menjadi monyet!
Hei, dua Pixie sialan! Jawab pertanyaanku ini. Apa yang sebenarnya terjadi sekarang? Di mana Nana? Kembalikan aku ke duniaku. Berhentilah, aku tidak sudi terus menjadi bagian dari parodi monyet kalian!
Kalian dengar? KELUARKAN AKU DARI SINI!
***
||1060 kata||
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro