Cocoon
Tidak banyak yang berubah dari rumah Nana yang terbilang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan pinus. Bagi yang tidak mengenal Nana, mungkin saja yang membayang dalam pikiran mereka adalah seorang penyihir, lebih tepatnya Nenek Sihir berhidung besar dan bengkok, serta berkulit hijau dengan mata menyala kuning. Benar, seperti tokoh penyihir jahat dalam dongeng-dongeng terkenal.
Tentu saja Nana tidak begitu. Selain helaian putih yang terus bertambah dan beberapa kerutan kecil di wajah dan permukaan kulitnya, dia masih secantik dua puluh tahun lalu. Berlebihan? Tidak, sama sekali tidak. Dia adalah nenek tercantik bercucu dua belas yang pernah kukenal dalam hidup.
Fer dan Lir, dua Pixie aneh yang selama ini menemani dan menjaga Nana bila aku harus kembali ke kota. Mereka sering menyeberangi jembatan yang memisahkan dunia mereka dan pintu di salah satu ruangan rumah kayu yang nyaris ambruk ini. Menurut Nana, ruangan tersebut dibangun oleh Pipo—ya, ini panggilanku untuk kakek—dan disamarkan sebagai gudang untuk penyimpanan perlengkapan berkebun Nana, juga perkakas rumah. Kenyataannya lain, jangankan sekop atau penyiram bunga, sarung tangan untuk berkebun saja tidak ada.
Ada satu kejadian samar yang terkadang sulit kucerna. Jadi, ada sekelumit adegan ketika Nana dan Pipo buru-buru mengeluarkanku dari sana, bahkan dengan setengah menyeretku keluar. Apa yang terjadi sebelum aku berada di dalam gudang, sama sekali sulit kuingat.
Kenapa mereka berdua begitu panik saat itu? Ada apa?
Ingatan yang paling membekas adalah pelototan marah Pipo. Garis-garis merah pada sklera matanya sungguh menghentikan napasku sepersekian detik. Praktis setelah kejadian ini, aku semakin ketakutan bila berdekatan dengan Pipo.
Pipo memang aneh dan menurut ibuku, sejak kecil aku selalu menangis bila didekati Pipo dan menolak digendong olehnya. Sungguh, sebesar ini aku baru mengerti bagaimana rasanya tertolak. Maafkan aku, Pipo, beristirahatlah dengan tenang di sana.
Lanjut ke hal yang lain yang masih tidak kumengerti. Seminggu sebelum Pipo berpulang, dia selalu berlinang air mata seraya menatapku. Saat kutanyakan ini pada Nana, dia enggan menanggapi dan selalu mengalihkan pembicaraan kami hingga aku benar-benar melupakannya.
Sudahkah kusebut bila di dalam gudang itu aku melihat bola kepompong yang tergantung di langit-langit? Ukurannya sendiri pasti sanggup menampung tubuhku dalam posisi meringkuk seperti bayi dalam kandungan. Perlu kuingatkan kala itu tinggiku sudah mencapai 150 cm. Jangan tanya berat, jawabannya tidak akan pernah meluncur dari bibir mungil ini sampai kapan pun. Bila kau memaksa ingin tahu, berarti kau memang tidak sayang dengan nyawamu sendiri.
***
Suara lembut Nana membuyarkan lamunanku. "Apa yang kau pikirkan, Juni?" tanyanya sembari meletakkan secangkir teh chamomile hasil racikannya sendiri di atas meja kayu dekat jendela berkaca kusam.
"Soal Pipo, Na. Entah kenapa jadi teringat padanya." Aku bertemu mata dengan Nana sesaat sebelum kembali memerhatikan dua Pixie yang sedang berlatih pedang kayu di luar sana.
"Oh, ya? Kali ini apa?"
"Kenapa Pipo seperti ... meratapi kelahiranku, Nana? Seolah-olah aku ini adalah aib yang—kau tahu—harus disingkirkan."
"Oh, Juni sayang ... buang jauh-jauh pikiran itu." Nana menepuk pelan lenganku, mulutnya mengerucut hingga memunculkan lebih banyak kerutan khas orang berumur banyak. "Pipo justru sangat bahagia sewaktu kau lahir."
Ah, sial! Aku tidak bermaksud memancing kesayuan di mata Nana. "Nana ...."
Nana membiarkanku bergelayut manja padanya. "Tenang saja, Juni. Tidak apa-apa. Mungkin inilah saat yang tepat—"
Ucapan Nana terpotong akibat dua lelaki yang tahu-tahu mendobrak pintu hingga terbanting keras, untung saja tidak lepas dari engselnya. "Bisakah kau lebih lembut sedikit, Lir! Makin hari kau makin menyebalkan!" Sungguh, aku tidak bisa menekan keberanganku.
"Nana! Sembunyikan dia!" teriak Lir dari ambang pintu. Pedang kayu yang dipakai untuk latihan bersama Fer telah berubah menjadi tombak yang bahkan lebih tinggi darinya.
Aku berdiri dan menggebrak meja. "Mau sampai kapan kau bertindak sesukamu, hah!"
Inilah yang paling kubenci dari Lir. Sungguh, aku tidak peduli warisan darah biru atau ungu sekali pun yang mengaliri tubuh tinggi nan tegap itu. Dia tidak bisa menggunakannya untuk memperlakukan Nana dengan buruk. Aku rela memakai sepatu berhak paling lancip yang bisa kutemukan untuk melubangi dahinya itu!
"Nana!" Suara Lir meninggi dan patut kusebut sebagai membentak.
Aku berdiri dan menggulung ujung baju sembari berjalan cepat ke arah Pixie kurang ajar di ujung sana. Tujuanku hanya satu, melepas beberapa bogem ke wajah sok tampannya itu. Hah ... baiklah, dia tidak sok tampan, tapi memang tampan. Lalu? Untuk apa punya ketampanan, tapi kelakukan minus?
"Juniverre! Menjauh dari sana!" Lagi, pelototan yang identik dengan milik Pipo kala itu ... ketika sulur hitam berujung tajam menjamah dan menarikku masuk ke dalam bola kepompong yang tahu-tahu membuka untuk ... menelanku.
"Apa, Lir? Kau bicara apa? Bicara yang keras ...." pintaku pada Lir, berusaha bertahan pada ujung kesabaran yang tersisa.
Lir! Kau tuli atau apa? sudah kubilang bicara yang keras!
Apa ini ...? Kenapa sekelilingku gelap gulita?
***
||735 kata||
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro