9. Terbang
Hola, maaf baru nongol lagi. Aku kesulitan nyari momen buat nulis cerita ini wkwk. Ini baru jadi satu bab jadi langsung gas aja post.
Siapkan amunisi buat vote dan komen yak teman-teman.
Happy Reading!
🥰🥰🥰
"Apa kamu lelah? Kamu bisa tidur di sini," Raven menepuk pundaknya sendiri. "Perjalanan kita masih panjang."
Alih-alih menurut Kiana makin memasang jarak. Seandainya boleh memilih dia ingin duduk sejauh mungkin dari pria itu. Namun sekarang ini dirinya tidak punya pilihan lain, selain terpaksa duduk di sebelah Raven.
Kiana memejamkan mata, mencoba menulikan pendengarannya dengan memasang airbuds. Dia tidak ingin terlibat pembicaraan apa pun dengan si pemaksa itu. Perkiraan waktu sampai ke Bandara Internasional Lombok masih sekitar satu setengah jam lagi. Betapa tidak beruntungnya dia terjebak selama itu.
Namun satu jam setengah yang dia pikir lama, nyatanya tidak sampai satu kedipan mata. Dia tertidur pulas selama pesawat menerbangkan dirinya. Dan ketika terjaga, dia dikejutkan hal yang tidak terduga.
Matanya melirik keadaan sekitar. Dia sangat yakin ketika mencoba memejamkan mata, dia duduk dengan posisi benar. Tapi kenapa saat ini kepalanya malah jatuh ke pundak seseorang? Terlebih kepala orang itu juga ikut terjatuh di atas kepalanya.
Sadar bahwa di sebelahnya jelas itu Raven, dia buru-buru menjauh dan kembali menciptakan jarak.l
"Bagaimana bisa aku tidur di pundaknya?" gumamnya sedikit bingung campur cemas.
Pergerakan Kiana yang tiba-tiba membuat Raven juga ikut terjaga. Pria itu mengucek sebelah matanya yang masih terpicing.
"Apa kita sudah sampai?" tanya pria itu. Raven tidak sadar jika Kiana terlihat salah tingkah.
Kiana hanya menggumam sebagai jawaban. Dia masih bertanya-tanya dalam hati kenapa bisa tidur di pundak Raven ketika pria itu bersuara lagi.
"Nyenyak tidurmu, huh?" Raven memijat bahu sebelah kanannya. "Bahuku pegal. Kamu harus tanggung jawab."
Sontak saja Kiana terperanjat. Wanita itu pikir Raven tidak sadar dengan apa yang terjadi.
"Non sense," gumamnya tidak peduli. Beruntung kapten mengumumkan bahwa pesawat akan segera landing. Perhatian keduanya pun dengan cepat teralihkan.
Pukul lima sore waktu setempat saat mereka akhirnya mendarat di bandara. Sebenarnya Kiana masih bertanya-tanya tujuan Raven datang ke pulau ini. Setahu Kiana perusahaan tidak memiliki cabang di kota ini. Namun pria itu bersikeras kedatangannya kali ini masih ada sangkut pautnya dengan perusahaan.
Kiana bahkan tidak diberi kesempatan kembali ke rumah untuk sekedar membawa beberapa lembar pakaian ganti. Dia hanya membawa pakaian yang melekat di tubuhnya serta tas yang biasa dia bawa ke kantor.
Enam panggilan tak terjawab dan tiga pesan dari Reyga muncul saat dia mengaktifkan ponsel kembali. Tidak lama berselang ponselnya bergetar menampilkan nama Reyga. Kiana curiga pria itu terus memantau ponselnya di sana.
"Kiana, kamu tau kan malam ini kita harus diskusi soal pernikahan kita? Kenapa kamu malah pergi?"
Ujung mata Kiana melirik Raven yang tampak sibuk menunggu bagasi.
"Iya. Maaf, Rey. Ini mendadak. Aku juga nggak tau kalau bakal dapat tugas dadakan begini."
"Apa kamu sama Kak Raven sekarang?" tanya Reyga lagi di ujung sana.
"Iya."
Terdengar helaan napas lega di sana. "Syukurlah. Seenggaknya kamu ada yang jaga di sana. Nenek Gatri bilang Kak Raven akan melihat tanah milik Nenek yang sudah lama terbengkalai di sana."
Mendengar itu Kiana cuma bisa membuang napas. Seandainya Reyga tau Kiana saat ini terjebak bersama seekor serigala. Bukan hanya di mata Reyga, di mata semuanya sepertinya Raven sukses menunjukkan image yang baik.
"Kita harus bergegas sebelum malam."
Suara Raven dengan segera mengalihkan perhatian Kiana. Wanita itu menutup panggilan Reyga, lalu mengekori Raven. Seseorang ternyata sudah menunggu kedatangan mereka.
Pria matang dengan kulit kecoklatan menyambut kedatangan Raven dengan ceria. Dari postur tubuh, dan wajahnya Kiana yakin orang itu penduduk lokal.
"Selamat datang, Pak Raven. Saya Malio yang akan bertugas mengantar Anda ke mana pun tujuan Anda." Pria itu mengenalkan diri, bibirnya yang kehitaman menyunggingkan senyum lebar sampai gigi-giginya yang tidak beraturan nongol.
"Oke. Bawa ini." Raven menggeser travel bag-nya. Dan pria bernama Malio itu langsung menangkapnya. "Tolong, antar kami ke butik sebelum ke Sembalun."
"Di sini tidak ada butik, Pak. Kalau di Mataram banyak. Tapi saya bisa mengantar Pak Raven ke toko pakaian yang kualitasnya dijamin sama seperti butik."
"Kalau begitu antar kami ke sana."
Sepanjang jalan menuju toko yang dimaksud, pria bernama Malio itu tidak henti-hentinya bicara padahal yang diajak bicara hanya merespons seperlunya. Pun dengan Kiana, memilih tidak terlibat dalam obrolan yang membosankan itu.
Sekitar setengah jam perjalanan, Malio menghentikan laju mobil tepat di depan sebuah toko baju yang masih ada di kawasan Lombok Tengah.
"Ini, Pak tokonya. Isinya lumayan lengkap setahu saya."
Malio benar. Meski dari luar tampak kecil toko itu mempunyai banyak koleksi pakaian. Khususnya pakaian wanita.
"Ayo, turun," ucap Raven kepada Kiana.
Wanita itu membuang pandangannya dari layar ponsel, menatap toko baju itu selama beberapa saat sebelum mengikuti Raven turun.
Raven membawa Kiana ke bagian etalase khusus wanita. Hanya sekilas memandang saja, pria itu tahu bahwa baju-baju yang dijual toko ini adalah jenis baju untuk kalangan menengah ke bawah. Namun, tidak ada pilihan lain. Mau tak mau dia memilih beberapa lembar pakaian yang cocok untuk Kiana.
"Nggak perlu dicoba. Itu sudah pasti pas buat kamu. Aku sangat tau ukuran dada kamu."
Rahang Kiana hampir jatuh ketika Raven menyerahkan beberapa set underwear padanya. Serta-merta wajahnya memerah dan langsung menyembunyikan benda itu ke balik pakaian lain. Dia segera beranjak ke meja kasir tanpa menyahut apa pun. Menyebalkan sekali.
"Pak, sebaiknya kita mencari penginapan terlebih dulu. Di sebelah timur mendung. Kalau maksa jalan, bisa terjebak hujan. Kabutnya lumayan tebal kalau hujan," ujar Malio ketika mereka selesai dengan urusan toko baju.
Raven mengikuti arah telunjuk Malio dengan matanya. Di langit ujung timur, dia melihat awan berubah menjadi abu pekat. Raven sangat tahu medan yang akan mereka lalui untuk tiba ke tujuan. Meskipun insfratruktur sudah bagus, berkendara di daerah perbukitan dengan hujan deras dan kabut tebal itu sangat berbahaya.
Tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti saran Malio. Namun yang menjadi masalah, hanya ada penginapan kecil di daerah ini.
"Aku sudah cek kamarnya. Itu masih lebih baik daripada nggak ada tempat singgah," ucap Raven, sambil menyerahkan kunci kamar kepada Kiana.
Dengan ragu Kiana menerima kunci itu. Badannya sudah tidak nyaman. Dia ingin mandi dan membersihkan diri. Sehingga begitu mendapat kunci, wanita itu bergegas masuk kamar. Beruntung kamar mandi penginapan memiliki pemanas air yang masih berfungsi dengan baik. Ada handuk bersih yang tersedia juga.
Kiana keluar dari kamar mandi dengan badan yang terasa lebih segar. Kakinya dengan ringan melangkah sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil.
Namun baru beberapa langkah, dia dikejutkan dengan sosok Raven yang tengah duduk di tepian ranjang sambil memainkan ponsel. Refleks Kiana menjatuhkan handuk kecil yang dia bawa.
"Ke-kenapa kamu di sini?"
Pria itu menoleh dan tersenyum kecil. "Kenapa aku nggak boleh di sini? Udah selesai mandinya?"
Kiana melangkah mundur ketika melihat Raven beranjak berdiri. Pria itu bahkan bergerak mendekat padanya. Kiana memeluk erat handuk yang melilit tubuhnya. Dia menyesal karena tidak langsung mengenakan pakaian di kamar mandi tadi.
Punggung Kiana tersentak ke dinding ketika Raven makin merapat. Lengan pria itu terjulur, mengurung dirinya. Tatapan mata tajam Raven membuat tubuh Kiana seketika menggigil.
"Ka-kamu mau apa?" cicit wanita itu mulai gemetar.
Namun alih-alih menjawab, Raven malah tersenyum miring. Kepalanya menunduk dan matanya mencari mata Kiana yang terus menatap ke bawah.
"Kenapa kamu masih saja sungkan, Kiana?"
"Bukannya kamarmu di sebelah? Kenapa ke sini?" tanya Kiana lagi di tengah rasa takutnya. Dia terus menunduk, menghindari tatapan Raven.
"Aku mengantar baju-bajumu yang lupa kamu bawa."
Sekuat hati Kiana mencoba tidak gentar di situasi ini. Dia tidak boleh lemah atau pun lengah lagi. Namun, ternyata hatinya tidak sekuat pikirannya.
"Oke, terima kasih. Kamu boleh keluar sekarang."
"Hanya itu? Kamu nggak mau memberiku reward sebagai tanda terima kasih?"
Ya Tuhan! Tolong, pergi saja! Kaki Kiana sudah terasa lemas. Tangannya kian erat meremas ujung handuk.
Raven menarik paksa dagu wanita itu, hingga wajah mereka saling berhadapan satu sama lain. Bersamaan dengan itu jantung Kiana berdetak makin kencang.
Ketika pria itu menunduk untuk menjangkau bibirnya, Kiana dengan segera membuang muka. Perbuatan kurang ajar Raven sontak saja menemui kegagalan.
"Tolong, kamu keluar," ucap Kiana pelan. Matanya menutup rapat, sementara napasnya sudah seperti mau putus. Dan sebuah kecupan yang mendarat di bahunya dengan tiba-tiba, sontak membuat dirinya berjengit kaget. "Kamu—"
"Harusnya reward-ku lebih dari ini," ujar Raven seraya melangkah mundur. Dia tidak sadar kalau Kiana di depannya sudah ingin pingsan saja. "Istirahat yang cukup," pungkasnya sebelum keluar dari kamar Kiana.
Sementara di posisinya, Kiana terserang syok luar biasa begitu Raven menghilang dari pandangan. Kakinya tidak bisa sempurna menopang tubuhnya yang bergetar, hingga dia jatuh merosot ke lantai. Dia meraba bahunya yang terasa panas akibat sentuhan kurang ajar itu. Hanya kecupan ringan, tapi sanggup membuatnya menggigil dan ketakutan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro