Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Takdir

Seperti yang aku janjikan, setelah view 1K aku bakal publish lagi. Nah, aku harap teman-teman meramaikan bab ini dan jangan lupa wajib vote. Dan bagi yang belum follow author-nya kuy follow dulu.

💝💝💝

Suara jeritan yang memekakkan telinga berhasil membuat tidur tenang Raven terusik. Kepala pria itu bergerak perlahan. Pangkal alisnya pun ikut berkerut diikuti matanya terbuka secara perlahan.

Raven melenguh dengan mata setengah terpicing. Pandangannya yang masih buram menangkap keberadaan Kiana yang terperenyak di pojokan dengan wajah syok.

"Kiana, kamu berisik sekali," ujarnya dengan suara serak. Perlahan pria itu bangkit. Wajahnya meringis ketika merasakan pegal di area bahu. "Merasa baikan setelah bikin bahuku pegal?" tanya pria itu sembari memutar bahu.

Kiana yang masih memasang wajah syok kembali mundur. Dia masih  terkejut saat menemukan dirinya terbangun dalam pelukan Raven. Kiana mulai memikirkan apa yang terjadi semalam karena dia sama sekali tak ingat apa-apa.

"Semalaman kamu tidur di sini. Nggak ingat?" tanya Raven menepuk bahunya sendiri.

"Itu nggak mungkin!" bantah Kiana cepat. Dia bahkan tidak ingin pria itu ada di sini. Mustahil dia tidur di sana.

Raven mendesah. Dengan malas tangannya menggapai sesuatu di atas nakas. Dia meraih sebuah ponsel, menekurinya sebentar, lantas menunjukkan layarnya kepada Kiana. "Masih belum percaya?"

Di posisinya mata Kiana sontak terbelalak melihat potret dirinya yang benar-benar tidur dalam dekapan Raven. Mustahil! Bagaimana mungkin dia tidur dalam pelukan orang yang sangat dia benci? Pasti lelaki itu sudah membuatnya tak sadar dan memanfaatkan dirinya lagi.

"Kamu sengaja melakukan itu?! Kamu benar-benar brengsek! Apa yang kamu lakukan kemarin belum cukup?!"  Kiana teriak emosi, bahkan sampai melempar bantal ke arah pria itu dan bergegas turun dari ranjang. "Pergi kamu dari sini. Pergi!"

Kembali Raven menarik napas. Lantas beringsut dari tempat tidur. "Oke, aku pergi. Nggak perlu teriak. Ini masih pagi."

"Pergi!"

Dengan santai Raven mengantongi ponselnya kembali lalu beranjak dari tempat tidur. Namun sebelum langkahnya bergerak menuju pintu, dengan cepat dia bergeser memepet Kiana. Dua tangannya dengan cekatan mendorong Kiana hingga wanita itu terdesak ke dinding.

Kiana yang tidak menyangka dengan gerakan kilat itu tersentak saat tahu-tahu Raven sudah mengurungnya. Nyaris saja dia berteriak kalau Raven tidak segera membungkamnya dengan ciuman.

Mata Kiana terbelalak tak siap. Secara refleks dia memberontak, berusaha mendorong Raven menjauh. Namun, pria brengsek itu malah mencekal dua tangannya, membawa ke atas kepala Kiana, dan menguncinya.

Dengan leluasa, Raven melumat bibir wanita itu. Memaksa dengan gigitan kecil agar bibir Kiana terbuka. Setelah itu, lidahnya yang kurang ajar itu menyelinap masuk.

Kiana jelas tidak tinggal diam. Dia masih berusaha melepaskan diri. Meski segalanya terasa sia-sia. Bagaimana mungkin ada pria sebrengsek ini dari keluarga Abimanyu yang terhormat? Jika bukan karena keluarganya banyak berhutang budi pada keluarga itu, sudah pasti Kiana akan membawa kasus pelecehan yang dia alami ini ke ranah hukum.

"Jaga dan sayangi keluarga mereka seperti kamu menyayangi keluargamu sendiri." Itu pesan Kakek sebelum beliau meninggal.

Raven baru mengurai ciuman saat Kiana nyaris kehabisan napas. Pria itu tersenyum miring. "Kelihatannya demam kamu udah sembuh. Lain kali nggak usah berontak kalau aku cium."

"Big rascal! I hate you."

"And I love you very well," balas Raven, lantas mencium pipi Kiana.

Bedebah ini! Kiana memejamkan mata dengan dada seperti mau meledak.

"Istirahat yang cukup. Aku pergi dulu," ucap Raven setelah melepas tangan Kiana dan menjauhkan diri. Dia mengerlingkan sebelah mata sebelum keluar dari kamar Kiana.

Kiana dengan cepat menyambar sebuah vas bunga di dekatnya dan melempar ke arah pintu. Namun bertepatan dengan itu pintu kamar sudah tertutup sehingga benda keramik itu hanya berhasil membentur permukaan pintu dan jatuh berkeping-keping ke lantai.

***

"Kamu serius udah mau kerja lagi?" tanya Reyga di ujung telepon ketika Kiana bergerak menaiki taksi online yang sudah dia pesan.

"Iya. Aku udah lama absen. Nggak enak ninggalin banyak kerjaan."

"Hm, mau aku jemput?"

"Nggak perlu. Aku udah naik taksi. Rey, aku tutup dulu ya."

"Oke. Hati-hati, Ki."

Kiana memposisikan diri duduk dengan nyaman di dalam taksi. Lalu mulai membuka laptop untuk mengecek beberapa email masuk. Selama beberapa hari cuti, dia menimpakan beberapa kerjaannya kepada Riyu, seorang sekretaris pengganti yang dia percaya sebagai karyawan paling kompeten di perusahaan.

Taksi berhenti di salah satu gedung jangkung yang berada di pusat kota. Di gedung itu Kiana bekerja di bawah naungan Danapati Grup. Perusahaan milik Nyonya Gatri. Nenek dari empat Abimanyu bersaudara.

Kedekatannya dengan Nenek Gatri membuat Kiana dipercaya menjabat sebagai sekretaris sang nenek, alias  presdir.

"Kiana, Nenek dengar kamu sakit setelah acara tunanganmu dengan Reyga. Apa kamu sudah baikan, Nak? Kalau belum sebaiknya kamu istirahat lebih lama lagi," ujar Nenek Gatri saat menyambut kedatangan Kiana di ruangan mewahnya.

"Saya nggak apa-apa, Nek. Udah sembuh." Dia bergerak mendekati nenek yang masih energik itu dan memeluknya selama beberapa saat.

"Sebenarnya ada yang ingin nenek sampaikan dari kemarin sama kamu. Tapi belum sempet-sempet."

Dengan seksama Kiana menyimak perempuan tua itu. "Apa itu, Nek?"

"Begini. Nenek merasa cocok dengan sekretaris pengganti yang kamu kirim. Dia bisa bekerja sebaik kamu, Nak. Dan nenek merasa kamu sudah waktunya berhenti menjadi sekretaris nenek."

Kiana terkesiap mendengar itu. Tatapnya mengerjap perlahan. Kepalanya lantas memikirkan kesalahan apa yang sudah dia lakukan. "Ne-Nenek memecat saya?"

Namun tanpa diduga Nenek Gatri terkekeh. "Bukan, Nak. Gimana mungkin nenek memecat kamu?" Gatri meraih tangan Kiana dan menepuknya dengan pelan. "Nenek ingin kamu bekerja sebagai wakil CEO menggantikan Wakil CEO Yoni yang sudah mengundurkan diri."

Serta-merta mata legam Kiana melebar. "Wa-wakil CEO? Gimana saya bisa, Nek? Pengalaman kerja saya belum layak buat menduduki posisi itu."

"Jangan merendah. Memang nenek nggak memperhatikan kinerja kamu?"

"Tapi—"

"Nenek merasa kamu pantas dan layak di sana. Nenek tidak pernah salah menilai kamu, Nak."

Alih-alih senang naik jabatan, Kiana malah terlihat bimbang. "Tapi pengalaman saya ini masih sebatas menjadi sekretaris, Nek. Saya belum bisa menerima posisi itu. Maaf, Nek. Tapi saya benar-benar merasa belum memiliki kapasitas itu," ucapnya lantas menunduk sambil menggigit bibir.

Nenek Gatri tampak menghela napas.  "Kamu bisa belajar pelan-pelan, Nak. Raven akan membantu kamu."

Mendengar nama pria itu disebut, Kiana kontan mengangkat wajah. "Ra-Raven?"

Perempuan tua dan bersahaja di depan Kiana mengangguk. "Raven akan kembali ke perusahaan ini. Rapat direksi sudah menunjuknya sebagai CEO baru. Jadi, kamu nanti bisa belajar banyak padanya. Dia pasti akan sangat senang membantu kamu."

Ini bukan kabar bagus. Kiana pikir Raven akan kembali lagi ke luar negeri setelah acara pertunangannya dengan Reyga. Sebelumnya dia tidak tahu tentang hal ini. Tidak ada yang memberi tahu, bahkan Reyga sekali pun.

Di kursinya, Kiana mendadak gelisah. Jika Raven kembali ke perusahaan ini, itu artinya dia akan sering berinteraksi dengan pria itu. Tidak! Itu—

Bersamaan dengan isi kepalanya yang berkecamuk, suara pintu terbuka dari luar terdengar. Tidak lama Sekretaris Riyu muncul. Yang mengejutkan, wanita itu tidak sendiri. Di belakangnya seorang pria tampan menyertai.

Pria tampan berhati iblis yang sudah merampas harga diri Kiana secara paksa. Raven.

"Selamat pagi, Nek. Nenek mencariku?" sapa pria itu tersenyum tipis.

Sungguh, jika bisa Kiana ingin kabur dari ruangan ini. Dia tidak ingin melihat Raven.

"Iya, Nak. Nenek mau memberitahu kamu bahwa mulai hari ini Kiana akan mendampingi kamu sebagai wakil CEO Danapati Grup."

Refleks Kiana meremas tangannya sendiri yang menggenggam erat di atas pangkuan. Takdir macam apa ini, Tuhan? rintihnya dalam hati.

"Jadi Nenek harap kamu bisa membimbingnya dengan baik," lanjut Nenek makin membuat Kiana merasa panas dingin.

"Dengan senang hati, Nek," sahut Raven. Dia yang berdiri di sisi kursi yang Kiana duduki bergerak menghadap wanita itu. Tangan kanannya lantas terulur. "Kiana, aku senang kita bisa bekerjasama."

Dengan jeri, Kiana menatap tangan Raven yang terulur. Jika bukan karena Nenek Gatri, dia pasti sudah menampik kasar uluran tangan itu. Dia tidak sudi menjabat tangan kurang ajar yang sudah menggerayangi tubuhnya itu.

Namun apa yang bisa dia lakukan?


Wohhooo! Gimana coba menghadapi orang yang paling ingin kita hindari dan jauhi?

Silakan corat-coret teman-teman di kolom komentar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro