23. Siapa?
Ampun deh, cerita sangat sepi nyenyet. Udah 23 bab belum tembus 1K vote. Hiks...sad. Nggak di WP, nggak di GN, semua sepi. Pada ke mana wahai pembaca yang budiman 😔
Please, ramaikan bab ini ya~~ biar aku semangat nulis. Juga jangan lupa tinggalkan vote dan komennya, Gaes. Makasih yang udah baca sampai di bab ini.
"Memang Pak Ravennya ke mana, Mur?"
"Pak Raven menghadiri pertemuan dengan Mr. Hao Tiyan, Bu."
Di mejanya Kiana memijat pelipis. Hari ini dirinya ada janji dengan Reyga buat fitting baju pengantin yang katanya sudah jadi. Tidak mungkin dibatalkan kalau tidak ingin Reyga kecewa. Bahkan pria itu sudah mengirim pesan agar dirinya segera siap-siap.
"Bukannya meeting dengan Mr. Hao lusa ya?"
"Menurut info, Mr. Hao memajukan jadwal ke Singapore karena ada urusan mendadak lusa nanti."
Kiana membuang napas. Pertemuan dengan pemerintah kota juga penting, dan seharusnya Raven yang melakukannya, bukan tiba-tiba melimpahkan tugasnya begini. Kepalanya berdenyut keras memikirkan solusi tepat untuk masalah ini. Kiana yakin meeting dengan pemerintah kota tidak akan makan waktu sedikit. Janjinya dengan Reyga bisa terancam gagal. Namun tidak ada salahnya dia mencoba negosiasi.
Dan kalau dia menolak tugas ini, pasti Raven bakal ngomel dan menyalahkan dirinya dengan kalimat andalan yang bikin Kiana keki seketika.
"Apa fungsi wakil CEO kalau begitu? Kerja profesional dikit dong!"
Brengsek, mulut pria itu kalau sedang kesal persis terong dicabein. Pedas.
Kiana memutuskan mengubungi Reyga, mencoba bernegosiasi. Dia meringis ketika panggilan teleponnya segera Reyga angkat.
"Kamu udah siap, Ki? Aku bentar lagi sampe kantor kamu," ucap Reyga di sana terdengar semangat.
Ya Tuhan, Kiana tidak tega mematahkan hati pria itu. Bagaimana ini?
"Rey.... Sori, kalau fitting ditunda besok kira-kira bisa enggak ya? Mendadak Raven harus ke Singapore dan aku harus gantiin dia meeting dengan pemerintah kota," jelasnya hati-hati. Kiana langsung menggigit bibir setelah dengan perasaan waswas mengatakan itu. Berharap Reyga mengerti.
Satu detik, dua detik, tiga detik, sampai 5 detik berlalu belum ada sahutan dari sana.
"Rey...." panggil Kiana pelan. "Kamu masih di sana kan?"
Kiana bisa mendengar helaan napas kencang dari speaker ponselnya. "Kerjaan lebih penting kan?" desah Reyga di sana, terdengar putus asa.
Ya Tuhan, perasaan bersalah kembali hadir. "Rey, maksudku bukan begitu. Pernikahan kita juga penting. Tapi meeting kali benar-benar—"
"Aku nggak tau kalau kita sudah menikah nanti apa kamu akan lebih mentingin kerjaan juga daripada aku."
"Rey, aku—"
"Aku makin nggak ngerti sama hubungan kita, Ki. Aku jadi bertanya-tanya sepenting apa sebenarnya aku buat kamu?"
Kiana refleks memejamkan mata. Ini yang paling dia khawatirkan. Melukai pria sebaik Reyga. Terlalu banyak kekecewaan yang akan pria itu terima seandainya mereka bersama. Kiana benar-benar tidak bermaksud menyakiti teman masa kecilnya itu.
Kiana menyugar rambut panjangnya yang terurai dan menghela napas panjang alih-alih merespons ucapan Reyga. Karena dia juga tidak tahu harus mengatakan apa.
"Oke. Kita bisa lakukan fitting nanti kalau kamu punya waktu luang. Kamu lanjutkan saja aktivitas kamu."
Tanpa mengucapkan salam, Reyga mengakhiri panggilan begitu saja. Bukan hanya Reyga, Kiana juga kecewa dirinya tidak bisa memenuhi janjinya.
"Maafin aku, Rey," ucap Kiana seraya menatap ponselnya yang menggelap dengan getir.
Namun sejurus kemudian dia tersentak ketika tiba-tiba benda tersebut bergetar. Nama Raven muncul di layarnya, membuat wanita itu refleks mengumpat. Ini dia biang keroknya.
"Kiana, apa kamu sudah berangkat ke kantor gubernur?" tanya Raven di sana begitu Kiana mengangkat panggilan.
"Sebentar lagi."
"Ok, do the best. Aku juga sudah di bandara. Kita ketemu lagi saat makan malam."
Kiana mengernyit mendengar ocehan pria itu.
"Mau aku bawakan apa saat pulang nanti?" tanya Raven di sana.
"Nggak usah repot. Tapi sebenernya aku berharap kamu yang ikut meeting dengan gubernur. Bukannya lebih baik pemimpin perusahaan langsung yang bertemu dengan mereka?"
"Aku atau kamu sama saja, Kiana. Kamu wakil CEO, semua tahu."
Tapi gara-gara tugas dadakan ini aku jadi gagal ke butik. Dan Reyga, marah. Kiana mengusap wajah frustrasi.
"Kenapa?"
"Sebenarnya siang ini aku dan Reyga ada jadwal fitting baju pengantin," sahut Kiana jujur. Siapa tahu saja Raven mau berbelas kasihan padanya.
"Bukan hal penting. Aku sama kamu yang akan melakukannya nanti."
"Ya?" Benar-benar sulit diduga. Salah kalau Kiana berharap Raven berbaik hati.
"Kurang jelas? Aku sama kamu yang akan melakukan fitting baju pengantin. Tapi nanti, setelah meeting dengan Mr. Hao dan tugas kamu selesai."
Kiana kontan menatap layar ponsel dengan pandangan tak percaya.
"Nggak usah ngaco!" sentak Kiana sebal.
"Kapan aku pernah ngaco? Bahkan aku sudah menjadwalkan pemotretan prewed kita."
Omongan Raven makin tidak jelas. Lebih baik Kiana segera menutup telepon.
"Stop ya. Aku mau berangkat sekarang."
***
Langkah lebar Kiana menapaki lantai lobi dengan cepat. Lagi-lagi dia harus pulang melebihi jam kerja pada umumnya. Bukan sesuatu yang baru, tapi lama-lama melelahkan. Tante Diyani benar, dia tidak akan punya waktu untuk mempersiapkan pernikahannya sendiri. Beruntung keluarga Abimana sangat membantunya dalam hal ini.
Kiana merogoh tas dan mengambil ponsel hendak memesan taksi online. Langkahnya sudah berhenti total di teras lobi. Dengan tekun kepalanya menunduk, memekuri layar ponsel.
Namun sebuah pelukan dan kecupan dari belakang membuat wanita itu sekonyong-konyong tersentak kaget. Hampir saja dia menjatuhkan ponsel. Manusia kurang ajar siapa yang berani bertindak seenaknya begini?
"Yuk, ikut aku!"
Kiana kontan melepaskan diri. Dan langsung berbalik menjauh. Dia panik seketika seraya mengawasi keadaan sekitar. Masih ada beberapa orang yang lewat, bahkan security di pintu lobi masih berdiri tegak di sana. Ya Tuhan...
"Kamu bisa bersuara nggak kalau datang?" tanya Kiana jengkel sambil mengusap dahi. Pusing mendera seketika, meningkahi kelakuan Raven.
Namun tanpa rasa bersalah pria itu tersenyum. Dia menggapai tangan Kiana. "Iya, sori. Tapi sekarang ikut aku dulu."
"Ke mana?"
Raven menarik tangannya, memaksa Kiana berjalan mengikuti pria itu.
"Ke acara temen."
"Temen siapa?!"
Raven membuka pintu mobil, menuntun Kiana masuk. "Temenku, Sayang," ujarnya menowel dagu Kiana saat wanita itu sudah duduk di kursi samping kemudi.
Kiana menepis tangan kurang ajar itu dan mendengus. "Aku mau pulang. Aku nggak mau ke mana-mana." Kiana hampir saja keluar lagi, tapi Raven dengan cepat menahannya. Pria itu menunduk dan dengan cepat membungkam bibir Kiana dengan ciuman.
Tentu saja hal tersebut membuat wanita itu syok bukan main. Dia segera mendorong Raven menjauh. Brengsek.
"Kamu gila ya?!" Kembali bola matanya bergerak panik.
"Aku bisa lebih gila lagi kalau kamu nggak nurut, Kiana."
Mendengar itu Kiana mengerang jengkel. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Sialan!
Raven membawanya ke lantai tiga sebuah kelab. Ada farewell party diadakan di ruang VVIP kelab tersebut. Raven bilang salah satu temannya akan pindah ke Jerman bersama istrinya.
Setahu Kiana, pria itu tidak suka hingar bingar pesta. Kiana ingat dulu tiap kali keluarga Abimana mengadakan pesta, Raven akan selalu menyingkir. Lebih pilih menyendiri daripada berbaur dengan saudara-saudaranya.
"Kita nggak akan lama di sini," bisik pria itu. Lalu menyapa semua yang hadir di sana.
"Siapa yang ada di sebelah kamu, Ven?" tanya salah seorang dari mereka
"Bilang kalau dia pacar kamu. Jangan bikin kami harus cari jodoh buat kamu," timpal yang lain.
Kiana melotot saat tangan Raven memeluk pinggangnya.
"Of course, she's my girl. She's Kiana, my future wife."
Tidak seperti teman-teman pria itu yang lantas bersorak riang gembira. Kiana malah makin melotot. Namun seperti biasa Raven hanya akan tersenyum kecil menanggapinya, seolah itu bukan masalah besar. Freak!
Hampir satu jam Kiana terjebak di tempat ini. Dia benar-benar lelah dan ingin segera istirahat. Punggungnya bersandar di sofa, dan melempar pandang pada Raven yang masih terlihat mengobrol dengan teman-temannya.
"Hai...."
Sebuah sapaan membuat Kiana menoleh. Seorang wanita cantik dengan gaun terusan maroon, yang juga teman Raven duduk di sisi Kiana seraya tersenyum. Bibir merahnya penuh dan seksi.
"Jadi kamu yang bernama Kiana? Orang yang bikin Raven menolak semua wanita cantik yang memujanya."
Kening Kiana mengernyit tak paham dengan apa yang wanita itu bicarakan.
"Oh iya. Aku Varelin. Kamu bisa panggil aku Relin." Wanita itu mengulurkan tangan, yang disambut dengan ragu oleh Kiana. "Aku sama Raven satu almamater, Josh juga."
Josh itu si pemilik acara yang saat ini tengah mengangkat gelas tinggi-tinggi, bersulang bersama lainnya.
"By the way selamat ya kalau kalian beneran mau nikah. Aku tunggu undangan kalian. Honestly, aku lebih setuju kalau Raven sama kamu daripada si bitchy Dilla."
"Dilla?" Pangkal alis Kiana berkerut. "Bukannya mereka temenan? Teman lama."
Relin mengangguk, membenarkan. "Mereka berteman dari SMA, dan Dilla sangat tergila-gila sama Raven. Tapi yang seperti kamu lihat, si tampan lebih suka kamu." Wanita berambut hitam keunguan di depan Kiana itu mengerling. "Katanya nggak dapat Raven, dia jalan sama adik Raven. Kamu pasti tau dong."
Tunggu! Kiana makin tak paham. Adik Raven? Adik Raven itu dua. Calon suami Kiana, Reyga tentu saja, dan juga Cade. Jika yang dimaksud Cade sepertinya tidak mungkin, dia masih kuliah. Tapi kalau Reyga lebih-lebih tidak mungkin.
Kiana baru akan bertanya ketika Relin lantas beranjak dan melambaikan tangannya pada seseorang yang baru saja datang. Wanita itu lantas bergegas menghampiri orang tersebut yang bisa Kiana pastikan pacarnya.
Demi apa pun, ucapan wanita itu memunculkan tanya yang begitu besar di kepala Kiana sekarang. Siapa adik Raven yang Relin maksud?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro