21. Lunch
Halo halo halo setelah cuti panjang, akhirnya aku bisa update Kiana lagi. Yuk, yuk, jangan lupa ramaikan yak.
Oh ya, udah pada mutusin belum mau masuk tim mana? 🤣
Kiana melihat Diyani melambaikan tangan saat dia memasuki restoran. Dia kontan tersenyum lebar dan bergegas jalan ke arah calon mertuanya itu. Di waktu bersamaan, terlihat Reyga juga berjalan dari arah berlawanan. Perhatian Kiana pun sontak terbagi antara melihat Reyga dan ibu lelaki itu.
Reyga memasang wajah datar tanpa ekspresi saat tatapan mereka bertemu. Dari sini saja Kiana sudah bisa menyimpulkan bahwa pria itu masih marah padanya. Lupakan. Setidaknya siang ini mereka sudah bertemu.
"Tante udah lama?" tanya Kiana begitu sampai di meja Diyani. Keduanya melakukan cipika-cipiki seperti biasanya.
"Nggak kok, baru sekitar sepuluh menit," sahut Diyani tersenyum hangat.
"Aku pikir kamu nggak dateng."
Itu suara Reyga yang membuat Kiana merasa bersalah karena teringat kemangkiran dia perkara makan malam.
"Rey—"
"Kita langsung pesan aja ya, Ma," sela Reyga seakan tidak memberi kesempatan Kiana untuk menjelaskan. Bahkan pria itu memilih duduk di kursi sebelah ibunya daripada di sisi Kiana.
Oke nggak apa-apa, Ki.
Kiana kembali memasang senyum saat Diyani menawarkan menu.
"Reyga lebih tau aku suka pesan apa di sini, Tan." Kiana masih berusaha mencairkan suasana panas antara dirinya dan Reyga.
"Siapa tahu saja seleramu sekarang udah berubah."
Jawaban Reyga membuat Kiana menelan ludah. Hatinya sedikit merasa tercubit mendengarnya. Merasa tersindir juga. Dan itu membuat wanita itu mendadak serba salah.
Meski begitu Kiana tetap memaksakan tersenyum lebar. "Seleraku masih sama kok."
"Really?" tanya Reyga memasang wajah tak peduli lalu menyebutkan beberapa menu untuk pelayan catat.
"Tante dan Reyga meminta waktu kamu, karena ada hal penting yang perlu kita bahas." Diyani memulai percakapan sembari menunggu pesanan mereka selesai disiapkan.
Melihat wajah serius wanita cantik di depannya, Kiana sudah bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini.
"Ini tentang pernikahan kalian."
Ternyata Reyga serius dengan ucapannya waktu itu. Padahal Kiana sudah mengatakan tidak ingin terburu-buru lantaran pekerjaan sedang padat-padatnya.
"Tante tahu kesibukan kamu. Jadi, biarkan pernikahan kalian yang urus Tante. Kamu hanya perlu siapkan mental saja buat menghadapi hidup baru." Diyani meraih tangan Kiana dan menggenggamnya. "Lebih cepat lebih baik, Sayang. Nggak bagus kalau niat baik ditunda-tunda."
Kiana melirik Reyga yang tidak bereaksi sama sekali. Pria itu malah sibuk dengan ponselnya.
"Rey, mana?" Diyani menyenggol lengan putranya.
Seolah baru sadar, Reyga segera mengangkat wajah dari layar ponsel. Dia lantas mendorong ponselnya ke dekat Kiana.
"Kamu bisa liat katalog itu sendiri," ujar pria itu.
Dengan bingung Kiana memperhatikan ponsel Reyga yang menyala. Itu katalog koleksi gaun pengantin dari sebuah bridal house ternama.
"Kamu pilih gaun mana yang kamu suka. Nanti kalau mereka sudah selesai membuatnya kamu tinggal pergi buat fitting sama Reyga," terang Diyani. Dari wajahnya terlihat sekali antusiasnya.
Kiana belum siap. Entah apa yang membuatnya jadi ragu. Jadi, dia hanya bolak-balik scrolling layar ponsel tanpa memutuskan gaun yang akan dia pilih.
"Bingung, Tan. Semuanya bagus," ucapnya memberi alasan.
"Kamu benar. Coba minta pendapat Reyga soal itu ya."
Kiana mencoba fokus untuk melihat lagi. Beberapa saat scrolling akhirnya tatapannya jatuh pada sebuah gaun pengantin yang memiliki desain minimalis. Tidak terlalu heboh dan sepertinya tidak merepotkan saat dipakai. Baru saja dia akan memberi tahu pilihannya, sebuah notifikasi pesan muncul. Pesan itu otomatis muncul di layar dengan sendirinya dan tanpa sengaja Kiana baca.
🌺D🌺
Kamu makan siang di mana, Honey?
Itu isi pesannya. Dari sebuah kontak bernama ... Kiana mengernyit. Hanya ada inisial D yang diapit dua bunga. Siapa itu D?
"Ada pesan dari...."
Reyga kontan menarik ponselnya kembali. Membuat ucapan Kiana menggantung.
Dari posisinya Kiana memperhatikan raut wajah Reyga. Ingin tahu reaksinya begitu lelaki itu membaca pesan dari inisial D. Tidak ada yang berubah ternyata. Reyga tetap memasang wajah datar.
"Udah ada yang kamu suka, Sayang?"
Perhatian Kiana teralihkan saat Diyani bertanya. Dia kembali memasang senyum.
"Aku pilih nomor 8, Tan."
"Bagus, kita tinggal bilang ke butiknya. Busana Reyga nanti menyesuaikan."
Pesanan mereka datang kemudian. Sampai makanan-makanan itu tersaji di meja, Reyga sama sekali tidak membahas atau sekedar mengklarifikasi pesan tadi. Kiana tidak terusik, hanya penasaran siapa orang yang memanggil Reyga dengan sebutan 'honey'. Manis sekali bukan?
"Ma!"
Suara itu!
Refleks Kiana menggeram pelan sambil memicingkan mata lelah. Kenapa manusia itu ada di sini?
Ekspresinya itu tidak luput dari perhatian Reyga. Pria itu mendengus pelan.
"Kok Mama nggak ngajakin aku makan bareng?" tanya si pemilik suara yang baru datang. Pria yang membuat Kiana dongkol setengah mati pagi ini. Siapa lagi kalau bukan Raven?!
Pria itu pasti sengaja menyusul untuk merusak makan siang Kiana.
"CEO kita mana punya waktu sih nemenin mama makan siang," balas Diyani berseloroh sambil memutar bola mata.
"Siang, Tante."
Suara mendayu itu. Ternyata Raven tidak datang sendiri. Ada seorang wanita cantik di sisi pria itu.
"Siang, Cantik. Jadi kalian mau makan bersama di sini?" tanya Diyani dengan mata berbinar. Tidak seperti Reyga yang sejak kedatangan Raven dengan perempuan ....
Kiana tak asing dengan perempuan itu. Dulu, sebelum Raven pergi ke Amerika, wanita itu kerap datang mengunjungi rumah keluarga Abimana. Wanita itu teman sekolah Raven, Dilla.
"Kak Can, cewek itu pacar Kak Raven?" tanya Kiana waktu itu. Saat dia sedang belajar dengan Candra, lalu tiba-tiba Raven pulang dari kuliah dan membawa seorang wanita cantik.
"Bukan, itu Dilla. Teman sekolahnya."
"Ooh." Tatapan Kiana saat itu tidak berhenti memandang perempuan bernama Dilla itu.
Itu kali pertama dia melihat Dilla, dan bukan hanya hari itu. Beberapa kali hingga Raven memutuskan pergi ke luar negeri, Kiana pun masih sering melihat wanita itu menyambangi rumah keluarga Abimana.
"Enggak. Tadi aku kebetulan ketemu Dilla di depan restoran." Raven menarik kursi di sisi Kiana, dan duduk. "Aku boleh duduk di sini kan, Mam? Sekalian mau makan siang. Laper."
"Boleh dong, Sayang. Ayo, Dilla juga duduk."
"Makasih, Tan." Dilla lantas menarik kursi di sisi yang dekat dengan Reyga.
"Sebenarnya ada apa sih mama makan siang ngajak Kiana dan juga Reyga, tapi yang lainnya nggak diajak?" tanya Raven memulai aksi saat dia dan Dilla selesai memesan makanan kepada pelayan.
"Kita lagi bahas soal pernikahan Kiana dan Reyga. Sebulan dari sekarang, siap-siap kamu bantu adik kamu buat urusin pernikahannya."
"Se-sebulan lagi, Tan?" Itu Dilla yang bertanya, dengan tatapan tak percaya. Lalu melirik Reyga yang sekarang memilih bungkam.
"Iya, Dilla. Makin cepat makin baik. Soalnya Reyga nggak mau kejadian di Lombok itu terulang lagi."
Dilla hanya mengangguk pasrah. Lalu menunduk dan diam-diam mengetik sesuatu di ponselnya dari bawah meja.
"Buat apa sih buru-buru banget? Memangnya Kiana setuju?" tanya Raven tersenyum setan sambil menatap Kiana. Tangannya dengan usil mengambil irisan mentimun di piring Kiana dan memakannya tanpa risih.
"Kenapa dia nggak setuju?" sahut Reyga dengan nada suara tak suka yang terdengar begitu kental. Matanya sudah terlihat ingin menerkam kakak keduanya itu karena bertingkah sok dekat dengan Kiana. "Dia tunanganku kalau kamu lupa."
"Reyga benar. Kenapa Kiana nggak setuju?" timpal Diyani. Lalu menatap calon menantunya sambil tersenyum. "Kamu setuju kan, Sayang. Kalau pernikahan kalian diadakan satu bulan lagi?"
Kiana tersenyum kecut. Namun dia juga tidak ingin mematahkan harapan Tante Diyani. Dengan terpaksa dia mengangguk.
"Tuh, Kiana setuju kok."
Raven berdecak mendengar seruan sang mama. "Dia tertekan tuh makanya setuju."
"Raven, mana mungkin Kiana tertekan menikah sama pacarnya. Kamu ini. Sudahlah, kamu nggak usah mikirin Kiana. Mending urus diri kamu sendiri. Mana yang katanya mau ngenalin calon ke mama? Sampe sekarang belum ada tuh."
"Lagi otw, Mam," sahut Raven asal, dan kembali mencomot irisan mentimun di piring Kiana.
"Otw otw otw terus. Bosen mama dengernya." Diyani menatap Dilla, dan kembali tersenyum lebar. "Kenapa kalian nggak coba pacaran saja? Dilla, Raven putra Tante nggak buruk kan?"
Dilla menyambut tawaran Diyani dengan senyum setenang samudera di belahan dunia sana. "Saya dan Raven cuma temenan, Tan."
"Aku bukan selera Dilla, Mam," imbuh Raven, melirik Reyga di depannya. "Selera Dilla itu pria seperti Reyga. Baik hati, pengertian, dan nggak bandel," lanjutnya dengan sudut bibir terangkat sebelah.
Di tempatnya wajah Reyga sudah merah padam menahan kesal. Dan Raven begitu menikmati ekspresi adiknya saat ini.
"Reyga dari kecil emang selalu jadi idola. Nggak heran kalau Dilla seleranya seperti Reyga. Sayangnya Reyga sudah punya Kiana," sambut Diyani lantas terkekeh. Dia tidak menyadari adanya ketegangan di antara kedua anaknya.
Kiana yang tidak mengerti apa pun hanya menyimak saja. Tidak banyak berkomentar lagi. Hanya saja, manusia reseh di sebelahnya tidak mau diam.
"Kalau makan jangan belepotan kayak anak kecil dong, Kiana."
Kiana tertegun dengan mata melebar ketika tiba-tiba saja Raven mengusap sudut bibirnya dengan ujung ibu jarinya, di depan semua yang ada di sana. Lalu dengan enteng pria itu menjilat ibu jari tersebut.
"Lumayan pedas rasanya."
Demi Tuhan! Rasanya Kiana sudah ingin mencabik-cabik muka pria tidak tahu malu itu sekarang juga.
Di saat yang bersamaan suara sendok dan garpu yang dilepas begitu saja terdengar. "Aku sudah selesai makan. Mama lanjutin obrolannya dengan Kiana saja. Aku ada urusan." Reyga yang sudah tidak bisa menahan kesal lagi memutuskan berdiri dengan segera.
"Tapi—"
Tidak mendengar protes sang ibu, Reyga pergi dengan langkah gegas. Dia benar-benar muak dengan tingkah Raven barusan.
"Tante, saya juga permisi. Lupa kalau ada janji. Raven, nanti minumanku buat kamu aja ya," ucap Dilla tampak terburu-buru. Lalu pergi menyusul Reyga keluar dari restoran.
Sekarang tinggal Diyani, Kiana, dan Raven di meja makan itu. Diyani sudah memelotot kesal pada putra keduanya yang malah terlihat santai saja, seolah tidak melakukan dosa apapun.
Sementara Kiana di tempat duduknya sudah menyiapkan hati menerima omelan Tante Diyani. Raven benar-benar suka cari masalah.
"Sejak kapan kamu nggak bisa jaga sikap begitu?" tanya Diyani dengan mode siaga ceramah tingkat satu.
"Memang apa yang aku lakuin?"
"Kiana itu tunangan adik kamu. Bisa-bisanya kamu memperlakukan dia seperti tadi. Wajar kalau Reyga marah."
"Maaf, Tan. Aku akan menjelaskan ini ke Reyga ntar," ucap Kiana seraya menunduk.
"Itu harus, Sayang. Tapi yang perlu Tante tatar memang anak Tante yang satu ini." Diyani mengayunkan jari telunjuknya ke depan Raven.
Keberuntungan ada di pihak Raven karena tepat saat itu, pelayan datang mengantarkan pesanannya.
"Aku makan dulu deh, sebelum mama mentatar aku." Raven meraih sendok tanpa peduli kegeraman sang ibu.
Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi itu hanya bisa mengelus dada. Tidak bisa berkata-kata lagi.
"Laper, Ma. Mama mending juga lanjut makan deh. Natar kan butuh energi."
Haduh, mendadak kepala Kiana berdenyut kencang. Sudah dia duga makan siangnya akan berakhir berantakan seperti ini. Raven memang pandai memantik emosi orang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro