18. Kurangku Apa?
Yang penasaran yang manggil Reyga 'honey' stay tune di bab ini. Siapkan hati dan jiwa 😅Jangan lupa tinggalkan jejak dan vote ya teman-teman.
Happy reading┌|o^▽^o|┘♪
🔥🔥🔥
Kiana bisa merasakan Raven menggigit bibir bawahnya. Pria itu terus menekan tengkuk Kiana, sementara bibirnya terus melakukan gerakan memprovokasi.
Alih-alih menjauhkan diri, Kiana malah memejamkan mata. Ini jelas tidak bisa dibenarkan dengan akal sehatnya. Namun wanita itu juga merasa kesulitan mengartikan reaksi tubuhnya sendiri. Bahkan tanpa sadar, dia sedikit membuka bibir seakan memberi akses Raven untuk menjelajah lebih dalam.
Alarm tanda bahaya di kepalanya terabaikan saat secara perlahan Kiana mulai menggerakkan bibirnya. Dia seperti terbuai hingga tanpa sadar bibirnya bergerak mencecap.
Namun baru satu kali cecapan, suara dering ponsel langsung membuatnya tersadar. Kiana kontan membuka mata dan refleks menjauh. Dia terkejut sendiri menyadari bahwa baru saja dia membalas ciuman Raven.
Ya Tuhan! Apa yang sebenarnya terjadi?! Dadanya seperti hendak meledak.
Dengan panik Kiana segera beranjak dari atas tubuh Raven. Dia memegang kepala seraya celingukan mencari ponsel yang ternyata tergeletak di atas meja. Buru-buru wanita itu meraih benda pipih tersebut. Layarnya yang bercahaya menampilkan nama Reyga.
"Halo, Rey..." sapanya dengan dada yang masih berdentum-dentum.
"Ki, kamu di mana?"
"Aku—"
"Kamu lupa makan malam kita?"
Mendengar itu Kiana auto memicingkan mata seraya memukul dahinya. Bagaimana dia bisa lupa?
"Rey, sori aku beneran lupa. Apa sekarang kamu masih di sana? Aku ke sana sekarang ya. Ak—"
"Nggak perlu, aku sudah pulang sekarang," sahut Reyga di seberang sana. Kiana bisa mendengar nada kecewa dari suara itu.
"Rey—"
"Kamu lagi sama Kak Raven kan?"
Perasaan bersalah serta-merta hinggap. Kepalanya bergerak menoleh ke sofa tempat Raven berada. Pria itu sudah dalam posisi duduk, dan sudah mengenakan kausnya kembali.
"Iya, aku sama Kak Raven. Ada beberapa pekerjaan yang harus kami diskusikan." Di ujung kalimat Kiana menggigit bibir. Dia tidak menyangka bisa membohongi Reyga seperti ini demi menutupi kesalahannya sendiri.
"Oke, aku mengerti."
"Rey, aku minta maaf. Besok aku janji kita—"
"Nggak masalah, Kiana. Kamu nggak perlu membuat janji apa pun. Aku nggak apa-apa."
Mendengar itu Kiana makin merasa bersalah. Ya Tuhan, kenapa dia bisa sebodoh ini?
"Oke kalau gitu lanjutkan pekerjaan kamu. Maaf, aku nggak bisa jemput kamu ke sana."
"Iya, nggak apa-apa."
Kiana menghela napas berat begitu panggilan telepon itu berakhir. Dia benar-benar menyesali kebodohannya.
"Kiana—"
"Aku harus pulang sekarang," tukas Kiana cepat. Dia bergegas mengambil tas dan blazer yang tergeletak di dekat dining room. Dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Semua yang terjadi malam ini benar-benar di luar ekspektasi.
"Aku antar kamu pulang. Sebentar, aku ambil jaket dulu," ujar Raven berdiri dan bergerak menuju kamarnya.
"Nggak usah, kamu istirahat saja." Kiana tidak memberi kesempatan Raven untuk mengantarnya. Dia sudah bergegas lebih dulu menuju pintu dan melesat keluar.
"Ki—" Raven urung memanggil ketika pintu unit kembali tertutup rapat. Dia tercenung sejenak dan berakhir membuang napas pelan.
Meski begitu, perlahan bibirnya menyunggingkan senyum mengingat Kiana sudah membalas ciumannya. Ya, walaupun hanya sedikit. Tapi Raven yakin jika saja ponsel sialan itu tidak berdering, dia dan Kiana mungkin—ah! Raven menggeleng dan mengusap wajahnya. Dia memutuskan kembali ke kamar dan berbaring di atas tempat tidurnya dengan perasaan yang luar biasa lega.
***
Di tempat lain, di salah satu restoran seafood favorit Kiana, Reyga menelan kecewa begitu mengakhiri panggilannya dengan sang kekasih. Tangannya meremas ponsel mengetahui tebakannya tentang keberadaan Kiana ternyata benar. Wanita itu sedang bersama Raven.
Sejak menjadi wakil CEO di perusahaan Danapati, Kiana seperti lupa bahwa dia memiliki kekasih yang juga butuh diperhatikan. Mungkin kesibukan hanya alasan tambahan. Karena Reyga yakin alasan sebenarnya pasti adalah Raven.
Kepergian Raven selama empat tahun ternyata tidak bisa mengubah apa pun. Reyga pikir dirinya bisa menggantikan posisi Raven di hati Kiana. Namun lagi-lagi dia gagal. Kembalinya Raven ke Indonesia dalam sekejap mampu membuat segala usaha Reyga mendapatkan hati Kiana berakhir sia-sia.
Reyga memutuskan meninggalkan restoran. Dia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi melintasi jalanan malam yang mulai mengurai kepadatannya. Pria itu sadar tengah mengundang bahaya di jalan raya. Namun dia tidak peduli. Dia hanya ingin meluapkan emosi yang hampir meledak.
Beruntung pria itu bisa selamat sampai ke tempat yang dia tuju. Meskipun banyak cacian dan umpatan yang pria itu dapatkan dari pengendara lain karena menyalip sana sini secara sembarangan.
Reyga memarkir kendaraan tepat di halaman gedung apartemen di bilangan Rasuna, lantas naik ke lantai 20 gedung. Menuju salah satu unit apartemen yang biasa dia sambangi ketika pikirannya sedang kacau.
Pintu unit terbuka setelah dua kali Reyga menekan bel. Seorang wanita cantik yang sudah mengenakan kimono tidur mengerutkan kening melihat kedatangan pria itu.
"Bukannya kamu makan malam sama Kiana?" tanya wanita itu seraya membiarkan Reyga memasuki unit.
"Dia nggak datang. Dia sedang bersama Raven," sahut Reyga lantas berjalan menuju dapur. "Ada minuman?"
Tanpa menunggu jawaban dari sang pemilik apartemen, dia membuka kulkas dan mengambil satu kaleng bir. Dengan perasaan yang masih kacau dia duduk di stool. Lantas meneguk isi kaleng yang baru dia buka.
"Urusan pekerjaan atau apa?" tanya wanita itu, berjalan mendekat. Namun hanya dijawab kedikan kecil Reyga. Melihat kondisi Reyga saat ini mengingatkannya pada situasi empat tahun lalu. Lagi-lagi pria itu berantakan gara-gara Kiana.
Reyga meletakkan kaleng bir dengan kasar ke meja bar. Matanya memicing dengan kesal. "Apa aku nggak lebih hebat dari Raven? Dia berubah, dia berubah sejak Raven kembali."
Wanita yang duduk di sebelahnya hanya menyimak. Reyga sedang butuh didengarkan. Dia sangat hapal kondisi temannya saat ini.
"Apa selama ini yang aku lakukan masih kurang? Kenapa dia masih saja belum mau menyerahkan hatinya buat aku? Bahkan setelah dua tahun kami pacaran, Kiana masih saja memendam perasaan pada pria lain."
Reyga menunduk. Rasa sesak di dada terasa menghimpit.
"Kenapa? Kenapa dia masih saja setega itu setelah semuanya?! Apa kurangnya aku sebagai laki-laki, Dil? Apa?"
Wanita di depannya menggeleng. Lantas turun dari stool dan beranjak mendekati Reyga untuk menawarkan pelukan yang langsung disambut lelaki itu dengan segera.
Di pelukan wanita itu, Reyga menumpahkan sedihnya. "Kurangku apa, Dil? Kenapa aku nggak bisa memiliki hati Kiana seutuhnya?"
"Nggak ada, Honey. Kamu pria terhebat yang pernah aku kenal. Kiana hanya belum sadar saja. Aku yakin suatu saat dia akan menyadari itu."
"Apa aku masih punya kesempatan setelah Raven kembali?" tanya Reyga sesaat setelah melepas pelukan wanita itu.
"Ya. Kenapa enggak? Kalian sudah bertunangan, dan nggak lama kamu akan menikahi Kiana. Saat itu dia akan jadi milik kamu seutuhnya. Jadi, nggak ada yang perlu kamu cemaskan, langkah kamu sudah jauh, Sayang."
Ada rasa lega di hati Reyga mendengar ucapan teman wanitanya itu. Teman yang dari dulu selalu ada untuknya.
"Kamu benar. Aku harus berhasil mendesak Kiana untuk menikah secepatnya."
Wanita itu menepuk pipi Reyga dan tersenyum. "Good Man." Jari lentiknya lantas beranjak menuju deretan kancing kemeja yang Reyga kenakan. Senyum manisnya tersungging saat berhasil melepas tiga kancing teratas kemeja itu.
Tangan halusnya lantas menyusup ke balik kemeja, mencari kehangatan di dalam sana.
"Dilla..."
"Aku bisa bikin kamu lebih tenang, Honey," bisik wanita yang Reyga sebut Dilla itu.
"Aku tahu." Reyga menarik simpul kimono yang Dilla kenakan. Hingga kimono berbahan satin itu jatuh ke lantai, menyisakan gaun tidur berkerah rendah dengan tali kecil.
Reyga lantas beranjak turun dari stool, dan menarik pinggang wanita berambut panjang itu. Bibirnya langsung menyasar bibir merah Dilla yang menyala. Sementara dua tangannya menarik turun tali kecil di bahu Dilla hingga gaun wanita itu terlepas.
Dua tangan Reyga langsung menangkup payudara tanpa bra milik Dilla dan meremasnya kasar. Sementara bibir keduanya makin bergerak liar.
"Aku ingin melakukannya di sini," bisik Reyga di sela jeda ciumannya.
"As you wish, Babe."
Tanpa pikir panjang Reyga mendorong tubuh semi telanjang Dilla ke tepian meja makan. Dia menarik turun celana dalam wanita itu tanpa kesulitan. Lalu mengangkat tubuh wanita bergincu merah itu ke atas meja.
Setelahnya Reyga melucuti pakaiannya sendiri, hingga keduanya sama-sama polos, tidak mengenakan apa pun. Pria itu menarik kedua kaki Dilla agar mendekat. Dia sempatkan memberi pelumas ke miliknya yang sudah menegang menggunakan cairan ludah, sebelum membenamkan diri ke dalam wanita itu.
Suara desahan dan erangan keduanya sontak memenuhi ruang apartemen dengan nyaring begitu keduanya menyatu. Reyga bergerak dengan ritme cepat, mengentak dengan tekanan penuh. Seperti tengah meluapkan emosi.
Bosan dengan posisi itu, dia membalik tubuh Dilla hingga wanita itu membungkuk di tepian meja. Lalu pria itu kembali menghujamkan dirinya dari belakang.
"Rey, pelan-pelan," ucap Dilla seraya meringis karena merasa tak nyaman. Perih dan nikmat seakan melebur jadi satu.
Namun seolah tak peduli, pria itu terus mengentak dengan begitu keras dan cepat. Bahkan tangannya menarik rambut Dilla hingga wajah perempuan itu mendongak. Reyga melampiaskan rasa sedih dan kecewanya dengan terus menyiksa Dilla. Menyiksa dengan kenikmatan bertubi-tubi.
"Aku mau sampai," erang Reyga makin mempercepat tempo gerakan pinggulnya.
"Se-sebentar—"
Reyga tak peduli. Dia menekan pinggul Dilla dan mengerang hebat seraya menghujamkan miliknya beberapa kali saat rasa puas itu datang menerjang.
Napas Reyga naik turun setelah berhasil menuntaskan hasratnya. Sementara Dilla tampak terkulai lemas dengan posisi menelungkup di atas meja. Reyga mendekat dan mencium lembut punggung wanita itu.
"Maaf, apa ada yang luka?"
"It's Ok, Rey," sahut Dilla mencoba tersenyum. Itu bagian dari konsekuensi menjalani FWB. Reyga sudah memberi apa pun yang dia mau selama ini, maka timbal baliknya dia pun harus memberikan apa yang lelaki itu mau.
Setelah mengecup bibir Dilla, Reyga melepaskan diri dan bergerak mundur, lalu menjatuhkan diri ke atas kursi untuk mengurai rasa lelah.
Sementara itu Dilla bergerak bangun dan beranjak memungut gaun tidurnya. Masih dengan kondisi tidak mengenakan apa pun dia kembali menghampiri Reyga.
"Malam ini menginap di sini?" tanya Dilla, mengusap lembut dada bidang pria itu.
"Hmm," gumam Reyga dengan punggung bersandar di kursi. Matanya terpejam erat.
Saat tangan Dilla menyusur ke bawah perut, dia segera mencekalnya. "Aku lapar, Dill. Aku belum makan malam."
Mendengar itu Dilla tersenyum. Lalu membungkuk untuk mendekat ke telinga Reyga. "Tenagamu tadi nggak seperti orang yang lagi kelaparan," bisik wanita itu lalu bergerak mundur. "Oke, akan aku buatkan makan malam," lanjutnya sebelum beranjak menjauh sambil mengenakan kembali gaun tidur di pelukannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro