Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. I just want her


Ya ampun nih cerita ini udah kek kuburan aja. Makin ke sini yang vote makin seuprit. Hiks hiks hiks. Tapi karena udah memulai, harus aku lanjutin sampe tamat. Siapa tahu kan suatu saat Kiana bawa hoki dan rejeki.

🔥🔥🔥




"Bagaimana bisa kalian—"

Tubuh Nenek Gatri terhuyung. Jika asistennya tidak langsung meraih tubuhnya dari belakang, mungkin dia sudah tumbang.

Dengan ragu Kiana beranjak membantu nenek duduk. Namun ketika dia hendak menyentuh lengan sang nenek, wanita tua itu menepisnya.

"Tidak usah, aku bisa sendiri," ucap Nek Gatri dengan nada dingin. Membuat Kiana serta-merta mundur dengan wajah penuh rasa sesal dan kecewa.

Kiana menunduk dengan wajah pucat. Tubuhnya sedikit gemetar. Entah apa yang ada di pikiran nenek tentang dirinya sekarang. Rasanya dia tidak sanggup berhadapan lagi dengan perempuan yang selama ini menyayanginya seperti orang tua sendiri itu.

"Nenek jangan salahkan, Kiana. Aku yang—"

"Ya, kamu! Apa jadi korban bencana alam membuat otakmu geser?" potong Nek Gatri dengan mata melotot ke arah Raven. "Kamu tahu siapa Kiana?"

"Dia wakil CEO. Masa nenek lupa?" sahut Raven dengan nada bercanda. Dia bahkan tertawa kecil.

"Jangan tertawa!" gertak perempuan tua itu dengan tangan mengacung.

Kiana yang berdiri tidak jauh darinya sampai berjengit kaget. Dia yang tengah menahan rasa takut sedikit melangkah mundur, berusaha mencari pegangan.

"Kiana itu tunangan adikmu! Bisa-bisanya kamu berbuat seperti itu padanya?! Kamu waras tidak?!"

Alih-alih takut Raven malah mencebikkan bibir seperti anak kecil. "Ayolah, Nek. Aku baru saja jadi korban bencana alam, tapi nenek datang-datang mengomeliku. Bahkan lukaku belum sembuh."

"Kenapa bencana itu tidak menelanmu saja sekalian!"

Raven pura-pura terperanjat, lantas memegangi dadanya. "Nenek tega sekali. Aku kan cucu kesayangan nenek. Apa nenek nggak sedih kalau aku mati?"

Nenek Gatri mendengus. Seandainya cucunya itu tidak sedang mendapat musibah, dia sudah ingin menggetok kepalanya. Dia menarik napas panjang-panjang berusaha menahan emosinya yang sudah ingin meledak.

Asisten Nenek Gatri segera menyodorkan botol air mineral yang tutupnya sudah dibuka. Setelah beberapa teguk, wanita tua itu terlihat lebih tenang. Mata tuanya yang masih sangat awas melirik Raven dan Kiana secara berganti.

"Aku datang karena khawatir pada kalian. Tapi apa yang aku lihat benar-benar di luar dugaan. Apa di antara kalian ada yang bisa menjelaskan padaku apa yang sudah terjadi?"

"Apa yang perlu dijelaskan lagi sih, Nek? Bukannya udah jelas? Aku dan Kiana—"

"Semua yang Nenek lihat nggak seperti yang Nenek pikir," gunting Kiana cepat. Dia tidak mau penjelasan Raven malah memperkeruh masalah. "Tadi Kak Raven hanya sedang butuh bantuanku untuk duduk. Yang nenek lihat tadi bukan kesengajaan. Aku yang ceroboh karena tidak hati-hati."

Dua alis Nek Gatri terangkat. "Jadi kamu mau bilang yang tadi itu kecelakaan?"

"Bisa dibilang begitu, Nek. Kakiku nggak sengaja tersandung kursi itu." Dengan ragu Kiana menunjuk kursi yang ada di dekat Raven.

Di tempatnya Raven berdecak seraya memutar bola mata mendengarkan penjelasan Kiana. Dia menangkap lirikan wanita itu yang seolah mengisyaratkan untuk mengiyakan penjelasannya.

"Benar begitu, Raven?"

Sebenarnya Raven enggan menjawab, tapi melihat wajah penuh permohonan Kiana dia pun berdecak kecil. "Ya, anggap saja begitu, Nek," sahutnya malas-malasan.

"Aku harap Nenek tidak salah paham," imbuh Kiana lagi.

Nenek Gatri tampak mengangguk. Tanda dirinya merasa lega. "Syukurlah kalau memang benar begitu. Nenek tidak bisa membayangkan kalau kalian—" ucapannya menggantung, dan tatapnya lantas kembali melirik Raven dan Kiana. "Ah sudahlah. Nenek tidak mau memikirkan hal yang bikin kepala pusing. Tapi perlu nenek ingatkan pada kalian berdua. Tetap berjalan pada line masing-masing."

"I-iya, Nek," sahut Kiana, menelan ludah. Dia melirik Raven yang tampak acuh tak acuh. Seolah tidak peduli pada nasihat sang nenek.

Diam-diam Kiana mendesah panjang sambil menyentuh dadanya lantaran nenek percaya saja dengan penjelasannya.

***

Nenek Gatri menatap tajam Raven dengan mata yang seolah-olah ingin mencabik-cabik pria itu.

Namun di tempatnya, Raven sama sekali tidak terpengaruh. Saat ini mereka hanya berdua di kamar rawat inap itu setelah Nenek Gatri meminta Kiana keluar untuk membeli sesuatu. Raven tahu itu hanya alasan sang nenek karena ingin mengecam dirinya saat Kiana tidak ada.

"Katakan, apa kamu memiliki hubungan dengan Kiana?" tanya Nenek dengan wajah serius. Sejujurnya, dia tidak percaya begitu saja dengan penjelasan Kiana. Meski sudah tua, matanya tidak buta.

Pria yang masih terlihat tenang di atas ranjang tersenyum kecil. "Belum. Tapi sebentar lagi. Kedatangan Nenek mengacaukan semuanya."

Wanita tua itu melotot, tangannya dengan enteng menempeleng kepala Raven. Membuat pria itu terpekik.

"Nenek, ini sakit!" seru Raven meringis sambil memegangi kepalanya.

"Kepalamu memang sudah sakit, otakmu sudah berpindah ke dengkul. Banyak wanita cantik di luaran sana yang ingin menjadi istrimu, tapi kenapa kamu malah mengincar tunangan adikmu?"

"Lantas kenapa? Toh Kiana tidak pernah mencintai Reyga."

Mata Nenek makin melebar. Kembali dia hendak mendaratkan pukulan ke kepala sang cucu, tapi urung kala Raven segera menutup kepala dengan bantal. Nenek menghela napas pendek beberapa kali.

"Bodoh! Kalau Kiana tidak mencintai adikmu, mana mungkin mereka bertunangan!" Kembali wanita tua itu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Sepertinya Reyhan harus lebih serius mencarikanmu calon istri."

Dua alis tebal Raven kontan saling tertaut. Dia jelas tidak suka mendengar itu. "Nek, aku nggak akan menikahi wanita lain selain Kiana," tukas Raven dengan wajah mengeras. "Percuma saja ayah mencarikanku jodoh. Aku akan tetap menolaknya."

"Raven! Kamu tau apa yang kamu katakan?!"

"Lebih dari tau."

"Yang kamu lakukan hanya akan memecah keluarga Abimanyu. Nenek tahu kamu keras kepala. Tapi untuk hal satu ini kamu harus bisa berkompromi. Kiana milik adikmu. Dia—"

"Kiana milikku, Nek," sela Raven. Nada suaranya terdengar tegas dan dalam. "Kiana tidak akan pernah jadi milik Reyga atau siapa pun, kecuali aku."

Nenek memejamkan mata. Dia sangat tahu cucunya itu. Alasan Nek Gatri mengistimewakan Raven di antara anak Diyani lainnya karena sifat lelaki itu yang sangat mirip dengan mendiang suaminya. Dominan, ambisius, dan arogan. Namun di waktu yang bersamaan Raven memiliki sisi istimewa yang tidak semua orang tahu.

Nek Gatri selalu mendukung apa pun yang Raven lakukan. Bahkan 4 tahun terakhir dia mempercayakan Raven untuk mengurus cabang perusahaan milik mendiang suaminya di Amerika sana. Dan dia bahkan sudah memastikan Raven yang akan menjadi ahli waris pertamanya kelak, selain Cade. Namun kelakuan cucunya kali ini di luar batas jika benar-benar menginginkan Kiana.

"Nak...," panggil Nek Gatri dengan suara melembut, meskipun dalam hati dia masih ingin berteriak. "Jika pilihan Reyhan tidak ada yang menarik hatimu, Nenek janji akan mencarikanmu wanita yang lebih baik. Bahkan cantik dan lebih pintar dari Kiana. Itu perkara mudah. Nenek punya banyak relasi yang memiliki putri cantik-cantik. Kamu bisa pilih yang kamu sukai."

Raven menggeleng pelan. Sepertinya Nenek tidak tahu apa yang dia inginkan.

"Selama bukan Kiana, kamu bebas memilih wanita yang ingin kamu nikahi, Nak."

Decapan kecil keluar dari bibir Raven. Dia pun melengos. Sebanyak apa pun yang akan dia jelaskan Nenek Gatri tidak akan pernah mengerti.

"I've loved her for a long time. I just want her. You know what that means, right?"

Mendengar itu, Nek Gatri menyentuh dada. Jika Raven sudah memutuskan maka tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Itu yang dia tahu.

"Kamu tidak menyayangi adikmu dan keluargamu?" tanya Nek Gatri lembut, mencoba meluluhkan kekerasan hati seorang Raven.

"Ya, aku menyayangi mereka. Aku rela berbagi apa pun, tapi tidak dengan Kiana. Asal nenek tau, aku dan Kiana sudah—"

Sebuah deheman di pintu menghentikan kata-katanya. Ujung mata Raven segera melirik ke arah pintu. Dan umpatannya meluncur lirih kala dia melihat Kiana dan Candra muncul dari sana. Bukan hanya Candra, Reyga pun menyusul muncul.

Raven mendesah seketika sembari memejamkan mata dan bergumam, "untuk apa mereka semua datang?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro