Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Stand By My Side

Di sebuah pengungsian sederhana Raven ditangani oleh relawan medis. Bajunya yang basah sudah diganti. Beberapa lukanya sudah diobati. Hanya saja sampai saat ini pria itu belum sadarkan diri.

Sementara Kiana di sisi pria itu terus berbisik dan melakukan upaya untuk menyadarkan pria itu. Sama seperti Raven, wanita itu juga sudah mengganti pakaian dengan pemberian relawan yang dengan sigap membantu begitu longsor terjadi. Bahkan Kiana sudah mengonsumsi obat pereda demam dan nyeri demi menjaga agar dirinya tetap baik-baik saja supaya bisa terus stand by di sisi Raven.

"Kak, bangun. Udah lima jam kamu nggak sadar-sadar."

Jarak rumah sakit yang jauh serta akses jalan yang tertimpa longsor membuat keadaan makin sulit. Pendistribusian bantuan pun belum maksimal. Hanya mengandalkan kebaikan penduduk setempat dan volunteer siap siaga yang jumlahnya tidak banyak.

Tanpa sadar, air mata Kiana kembali merembes. Tidak peduli pada wajahnya yang sangat berantakan dan sembab. Perasaan takut masih mengepungnya. Apalagi tidak ada seseorang yang bisa dia hubungi. Ponselnya tertinggal di rumah Fikri yang sekarang sudah hancur.

"Pak Raven! Apa ada korban bernama Raven dan Kiana!"

Teriakan seseorang membuat Kiana secara refleks menoleh. Dari kejauhan dia melihat sosok Malio yang tampak sedang mencari-cari seseorang di tengah para pengungsi.

"Malio! Malio!" Kiana berteriak seraya melambaikan tangan tinggi-tinggi. Reaksinya bisa ditangkap jelas oleh pria lokal itu.

Sempit di dadanya sedikit melonggar saat melihat pria itu ada di sini.

"Bu Kiana, Anda baik-baik saja? Ya ampun, Bu. Saya benar-benar mengkhawatirkan kalian dari kemarin," ujar Malio dengan nada cemas dan khawatir. "Pak Raven kenapa? Apa dia terluka?"

"Malio, apa kita bisa meninggalkan tempat ini? Kita harus bawa Raven ke rumah sakit."

"Akses jalan menuju rumah sakit terdekat masih tertutup. Saya juga belum bisa ke mana-mana. Bahkan di sini tidak ada sinyal. Saya belum bisa menghubungi orang di Jakarta sana."

Kiana meluruhkan bahu. Dengan sedih matanya melirik wajah Raven yang makin terlihat pucat. Kalau tidak segera mendapatkan penanganan intensif dia takut terjadi sesuatu pada pria itu. Apalagi suhu tubuh pria itu masih tinggi.

"Saya akan mencoba pergi ke daerah yang ada sinyal dan meminta bantuan. Apa tidak apa-apa kalau saya tinggal dulu, Bu?"

Kiana mengangguk cepat. Tidak ada jalan lain. Dia juga tidak bisa membiarkan Raven sendirian. "Tolong, segera kabari secepatnya. Hubungi perusahaan bila perlu."

Kiana menarik napas panjang beberapa kali mencoba menenangkan hati meskipun tidak berpengaruh sama sekali. Hatinya tetap dirundung gelisah dan cemas. Tangannya kembali mengusap lengan Raven. Lalu mendekatkan botol minyak kayu putih yang tutupnya terbuka ke dekat hidung bangir pria itu. Berharap pria itu bisa segera sadar.

"Kak, tolong bangun. Jangan bikin aku takut," ucap Kiana lirih, nyaris putus asa. Dia sampai menjatuhkan kepala di sisi pria itu seraya meredam tangis. Rasa lelah, sakit, dan gelisah bergelayut jadi satu.

"Kiana..."

Sampai saat seseorang berbisik lirih menyembut namanya pun tidak dia hiraukan.

"Kiana..."

Masih dengan wajah terbenam di sisi Raven berbaring, dahi Kiana mengernyit.

"Kiana, sakit...."

Sontak Kiana mengangkat kepala saat sadar itu suara Raven. Pria itu bangun!

"Kak?!"

"Kiana, kamu nggak apa-apa?" tanya Raven dengan suara lemah. Wajahnya meringis kesakitan.

Rasa lega luar bisa langsung menghampiri Kiana saat akhirnya pria itu membuka mata. Namun lagi-lagi dia tidak bisa mengendalikan tangis. Apalagi mendengar pria itu malah bertanya tentang keadaannya, padahal dirinya sendiri dalam kondisi memprihatinkan.

"Aku nggak apa-apa, Kak." Kiana mendekat. "Kamu butuh sesuatu?"

Mata Raven menyipit melihat wajah kacau Kiana. Wanita itu bahkan terus menyusut air matanya. "Kamu kenapa nangis?" tanya Raven bingung.

"Aku-" Dadanya kembali sesak, dan suaranya tersekat seketika. Alih-alih ucapan, yang keluar malah tangisan. Sialan memang! Kiana merutuk dalam hati, bagaimana dia bisa jadi secengeng ini?

"Kiana, apa ada yang sakit?"

Kiana menggeleng dengan wajah menunduk. Dia mencoba menarik napas panjang, dan mengusapkan pipinya yang basah ke lengan baju pendeknya.

"Jadi, kenapa kamu menangis? Kita selamat kan?"

"Aku takut sekali," ucap Kiana dengan napas sedikit tersengal efek menangis. "Aku pikir kamu nggak akan bangun lagi. Suhu badan kamu sangat tinggi. Dan muka kamu sudah seperti orang mati."

"Apa aku separah itu?" tanya Raven lirih. Dia sadar tubuhnya sulit digerakkan. Kondisinya memang benar-benar parah. Punggungnya terasa sakit dan ngilu. Seperti ada yang patah di sana.

Meski begitu hatinya bahagia luar biasa karena melihat Kiana selamat, dan wanita itu mengkhawatirkannya.

"Jadi, kamu khawatir padaku?" tanya Raven.

Gimana tidak? Pria itu hampir mati! Gimana Kiana tidak gemetaran? Terlebih lagi Raven celaka karena menolong dirinya. Namun, Kiana tidak akan menjawab seperti itu.

"Bisa bantu aku duduk? Aku haus, tapi susah bergerak," pinta Raven sambil meringis saat merasakan nyeri lagi di bagian punggung.

Kiana langsung mendekat dan dengan hati-hati membantu pria itu agar bisa duduk. Wanita itu mengangkat sedikit salah satu tangan Raven, lalu lengannya menyelinap ke belakang bahu pria itu.

"Argh!" pekik Raven tertahan.

"Kamu nggak apa-apa, Kak?" tanya Kiana segera dengan wajah panik.

Raven memang merasakan sakit luar biasa di bagian tulang bahu, tapi melihat wajah Kiana yang terlihat begitu khawatir padanya secercah perasaaan bahagia menyusup. She care about me!

"Kiana, sekali lagi aku tanya. Kenapa kamu menangis? Apa ada yang luka?"

"Sebaiknya kamu pikirkan dirimu sendiri. Aku baik-baik saja."

"Jadi... Kamu menangis karena khawatir padaku?"

Kiana tidak tahu tujuan pria itu apa menanyakan hal itu. Haruskah dia menjawab? Atau Raven cuma pura-pura tak tahu.

"Kiana, thanks."

Kiana tidak sempat memikirkan apa pun atau mengatakan sesuatu ketika ciuman Raven mendarat di bibirnya. Ini terlalu tiba-tiba. Bahkan Kiana tidak menyadari pergerakan pria itu. Ya Tuhan, pria itu sedang kesakitan, bisa-bisanya bertindak mesum begini! Kalau tidak dalam kondisi sedang terluka parah, mungkin Kiana akan segera mendorong atau setidaknya membanting tubuh lemah pria itu.

Tapi tunggu! Ada sesuatu yang aneh. Tubuhnya tidak bereaksi berlebihan seperti biasa ketika seseorang menyentuhnya. Selain dadanya yang mendadak berdebar kencang, tidak ada rasa takut hebat yang membuatnya panas dingin hanya karena sentuhan.

Saat ini bibir mereka masih saling bertemu. Bahkan Kiana merasakan lumatan lembut di bibinya, tapi perempuan itu hanya mematung di tempat tanpa perlawanan apa pun. Mungkinkah traumanya sembuh?

Ada teori yang mengatakan bahwa gangguan kecemasan dan trauma bisa sembuh dengan bantuan seseorang atau sesuatu yang menyebabkan trauma itu sendiri. Dalam hal ini Raven-lah penyebab Kiana mengalami trauma. Meski tidak yakin, mungkinkah hal itu benar?

"Bantuan datang!"

Seruan itu membuat ciuman Raven terlepas. Meski begitu, degup jantung Kiana masih menggila. Dia segera memalingkan wajahnya yang terasa panas. Ya Tuhan, itu tadi apa?

"Korban yang terluka akan segera di evakuasi untuk dibawa ke rumah sakit! Tolong bersiap-siap."

Akhirnya ada kendaraan yang akan membawa mereka ke rumah sakit. Kiana sangat bersyukur mendengar kabar itu dan segera melupakan sikap malu-malunya akibat ciuman tadi.

"Kak, kamu harus segera mendapat penanganan medis yang benar. Aku takut kamu mengalami patah tulang atau luka lainnya," ujar Kiana sambil meraih botol minum air mineral.

Raven memicingkan mata saat rasa nyeri kembali datang. "Entah ini apa, tapi memang lumayan sakit." Dia lantas menerima botol minum yang tutupnya sudah Kiana buka, dan segera meneguk isinya. "Terima kasih, Kiana," ucapnya tersenyum kecil.

Sial! Hanya gara-gara itu wajah Kiana kembali terasa panas. Wanita itu mencoba menghalau perasaan aneh yang muncul tiba-tiba. Ini tidak benar!

"Aku bantu kamu rebahan lagi," ucap Kiana mengalihkan perhatian. Dia merutuk dalam hati tentang kondisi jantungnya yang makin tidak tahu diri dan tak tahu tempat. "Istirahat sebelum mereka membawa kamu," sambung Kiana setelah berhasil membantu Raven rebah kembali. "Aku ke sana dulu, mau bertanya soal-"

Kata-kata Kiana terhenti kala Raven menyentuh tangannya dan menggenggam erat. Wanita itu tertegun seketika.

"Don't go anywhere. Stay by my side," ucap pria itu lirih seraya memejamkan mata.

Melalui genggaman tangan, Kiana bisa merasakan bahwa suhu badan Raven masih sangat tinggi. Dia menatap wajah Raven yang terlihat makin pucat. Dua alisnya bertemu ketika melihat bibir Raven membiru dan sedikit bergetar. Saat sadar Raven dalam kondisi kritis, dia langsung berteriak meminta pertolongan.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro