Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Fikri

Ya ampun ternyata dua Minggu nggak up di sini. Maafkan aku Kiana. Juh ah, sat set sat set.


Tanah Rinjani Kiana pikir tidak akan seindah ini. Siapa yang mengira kalau Kiana akan menikmati sepanjang perjalanan pagi ini. Udara sejuk dari luar dibiarkan masuk melalui celah jendela mobil yang dibiarkan terbuka.  Berada di dataran tinggi Rinjani sedikit membuat Kiana menggigil. Wanita itu memeluk tubuhnya sendiri, sementara pandangannya dia lempar ke view perbukitan di sisi sebelah kiri.

Sebenarnya Kiana agak kesal melihat Raven di sebelahnya. Pria itu mengenakan jaket tebal tanpa peduli pada Kiana yang sedang kedinginan. Kalau Reyga, atau anak Abimanyu lainnya tidak akan mungkin membiarkan Kiana menggigil begini. Hanya Raven yang—

Suara batin Kiana yang mengeluhkan Raven kontan terhenti ketika dia merasakan sebuah kain tebal menyampir ke pundaknya. Refleks wanita itu menoleh, lalu melirik apa yang melekat di bahunya. Sebuah mantel tebal berwarna maruun ada di sana.

"Pakai, jangan sampai kamu mati kedinginan di sini," ucap Raven tanpa menatap Kiana. Pria itu sejak keluar dari penginapan sudah sibuk dengan tablet.

"Makasih."

Demi mendengar ucapan terima kasih singkat itu, Raven menoleh. "Hanya itu?" tanyanya sembari menaikkan sebelah alisnya.

Namun, Kiana mengabaikan. Apa yang dilakukan pria itu kemarin masih menyisakan kekesalan di hati. Kiana nggak mau—

Mata Kiana terbelalak seketika saat sebuah kecupan tiba-tiba mendarat di pipinya. Selama beberapa saat dia mematung. Di depan masih ada Malio yang tengah mengemudi. Bisa-bisanya pria itu—

"Aku cuma mengambil reward-ku," ujar Raven santai, tidak peduli pada wajah Kiana yang sudah merah padam. Lantas dia kembali menekuri tablet.

Kiana pun berusaha melupakan kekesalannya. Dia memutuskan menikmati perjalanan daripada memikirkan itu. Percuma marah karena tidak akan berimbas apa pun. Manusia di sebelahnya, akan tetap seperti itu. Memasang wajah innocent seolah tidak pernah melakukan kesalahan apa pun.

Kurang lebih satu setengah jam mereka sampai di tanah Sembilun. Tanah yang dikelilingi perbukitan. Dari sini, Kiana bisa melihat anggunnya Gunung Rinjani. Gunung itu paling menjulang di antara perbukitan lain yang mengelilinginya.

Melihat pemandangan megah itu, Kiana tidak tahan untuk tidak take gambar menggunakan kamera ponselnya.

"Indah kan? Seindah kamu."

Bisikan di telinganya membuat Kiana seketika berjengit kaget. Si brengsek Raven tau-tau sudah ada di belakangnya. Pria itu tersenyum lalu bergerak ke depan Kiana.

"Pake ini dulu."

Syal. Setelah mantel pria itu mengeluarkan syal. Kiana mundur ketika Raven hendak memasangkan benda itu ke lehernya.

"Aku bisa pakai sendiri," ujar Kiana memasang tampang waspada.

Namun keinginannya langsung Raven patahkan. Alih-alih membiarkan Kiana memakai syalnya sendiri, pria dominan itu  menarik tangan Kiana mendekat lalu bergerak cepat melingkarkan syal tersebut ke leher wanita itu.

Kiana kehabisan kata-kata saat lagi-lagi Raven mencuri ciumannya. Kali ini bukan di pipi tapi di dahi. Setelahnya pria itu menjauh, bahkan rasa hangat di dahinya seperti masih tertinggal.

Dua kali Raven melakukan hal tak terduga, dua kali pula Kiana tidak merasakan efek apa-apa. Biasanya dia akan langsung tremor jika Raven bertindak kurang ajar. Kiana mencoba abai. Mungkin karena sentuhan ringan jadi tidak berdampak apa pun.

"Ditempati penduduk? Bukankah itu bahaya? Apalagi di musim hujan begini."

"Mereka memang suka menantang maut, Pak. Setelah tanah di sebelah sana longsor setahun lalu, mereka  ngungsi ke sini dan malah bikin bangunan semi permanen."

Raven mengusap dagu sambil menyaksikan sekitar sepuluh bangunan semi permanen di bawah sana. Tepatnya bangunan itu menempati tanah milik neneknya. Lalu bukit di belakangnya. Bahkan ada beberapa yang sengaja membangun di area bukit tersebut.

"Jadi, apa rencana Anda akan tetap dijalankan?" tanya Malio yang memang sudah tahu maksud awal Raven datang ke tanah tinggi ini.

"Rencana apa?" Kiana menyela tiba-tiba. Dia yang tidak tahu-menahu menyipitkan mata dengan penasaran. 

"Rencana meratakan bukit, Bu."

"Apa?" Kiana menatap Raven kemudian. "Lalu orang-orang yang tinggal di sana gimana?"

"Mereka menempati tanah orang lain. Kenapa kita harus memikirkannya?" sahut Raven masih sambil memperhatikan tekstur tanah. 

Terdengar kejam, tapi benar. Namun ketika melihat anak-anak di sana bermain dengan ceria Kiana merasa kasihan. Kalau dengan tiba-tiba rumah mereka digusur, di mana mereka akan tinggal?

"Kakak!"

Kiana terkesiap ketika salah satu anak dari kejauhan melambaikan tangan ke arahnya. Sudut bibir Kiana naik secara perlahan, lantas dengan ragu tangannya membalas lambaian anak itu. Dan secara tak terduga, satu, dua, tiga—sepuluh anak! Berlarian ke arahnya.

Mata Kiana melebar takjub. Masing-masing anak membawa mainan di tangan. Satu anak perempuan lantas maju dan memberinya sebuket bunga liar padanya.

"Kakak cantik sekali. Kakak dari Jakarta ya?" tanya anak perempuan itu.

Demi menyejajarkan tinggi mereka, Kiana lalu berjongkok. "Iya, kakak dari Jakarta. Uhm, kalian tinggal di sini?"

Semua kompak mengangguk. Rata-rata dari mereka sepertinya seumuran. Tinggi semuanya hampir sama.

"Itu rumah kami!" Sekarang seorang anak lelaki berusia sekitar 8 tahun menunjuk rumah-rumah di bawah.

"Tapi kata ibu, kami harus pindah lagi. Katanya rumah kami akan digusur. Padahal kami suka main di sini," timpal anak lainnya.

"Mungkin itu keputusan tepat." Kiana tersenyum. "Di sini sering terjadi longsor, akan bahaya kalau kalian tetap tinggal."

"Longsor itu apa, Kak?" Anak yang lebih kecil bertanya. Namun sebelum Kiana merespons anak lain dengan cepat menjawab.

"Longsor itu bukitnya runtuh. Sama seperti rumah kita dulu."

"Oh, gempa bumi..."

"Bukan. Longsor, Fikri, longsor. Longsor sama gempa bumi itu beda."

Kiana tertawa kecil melihat interaksi polos mereka. Secara refleks dia mengusap kepala anak yang bernama Fikri itu. "Kalian anak-anak pintar. Boleh nggak kalau kakak main ke rumah kalian?"

Sepuluh anak itu kontan berebut menjawab. Hingga mengundang perhatian Raven. Mata pria itu menyipit demi melihat Kiana malah asyik bermain dengan anak-anak.

Malio yang sedang menjelaskan kontur dan tekstur tanah ikut memperhatikan apa yang Raven lihat.  "Bu Kiana sepertinya suka anak-anak. Anda beruntung punya istri seperti Bu Kiana. Cantik dan terlihat penyayang."

Ujung mata Raven melirik Malio karena kata-katanya. "Dia bukan istri saya," ucap Raven lalu kembali fokus menatap Kiana yang kini sedang tertawa bersama anak-anak. "Tapi kelak dia akan jadi istri saya."

"Wah, saya dukung 100 persen, Pak. Anda dan Bu Kiana sangat serasi."

Tanpa sadar sudut bibir Raven berkedut. Dan lama-lama bibirnya membentuk seulas senyum. Dia melihat rambut Kiana berkibar tertiup angin, pun dengan rok yang wanita itu pakai. 

"Sepertinya akan hujan lagi," ucap Malio menatap langit-langit yang mulai kelabu.

Dan baru saja Malio mengucapkan itu serentetan hujan benar-benar datang menyerbu.

"Berteduh, Pak!" ucap Malio sekonyong-konyong lari mencari tempat berteduh.

Namun tidak dengan Raven, pria itu malah berlari ke arah Kiana yang masih bersama anak-anak.

"Kiana! Hujan! Cepat cari tempat berteduh!"seru Raven sambil menutupi dahinya dengan tangan, berusaha menghalau air hujan dari pandangannya.

"Anak-anak ayo cepat pulang ke rumah kalian!" seru Kiana yang langsung membuat anak-anak berhamburan.

Salah satu anak menyentak lengan Kiana. "Ayo, Kak! Ke rumah kami dulu!"

Anak itu Fikri, anak enam tahun yang belum bisa membedakan longsor dan gempa bumi. Kiana mengangguk lantas berlari mengikuti anak itu ke rumah mereka.

"Tunggu!" Raven ikut berlari mengekori mereka.

Di sebuah rumah kecil semi permanen Kiana dan Raven berteduh. Rumah anak kecil bernama Fikri itu memiliki atap berbahan asbes. Setengah dinding rumah itu terbuat dari batu bata, dan setengahnya lagi dari papan kayu.

"Kenapa kita ke sini? Harusnya kita kembali ke mobil," ucap Raven sembari melepas jaketnya yang agak basah.

"Mobilnya kejauhan. Mana sempat kita ke sana. Sekarang saja baju kita sudah basah."

"Kakak ayo masuk rumah. Di luar basah dan dingin."

Kiana menoleh ke samping saat mantelnya ada yang menarik. Dia sedikit menunduk dan menemukan Fikri. Anak itu tidak sendiri ada anak laki-laki lain yang bersamanya. Di saat yang bersamaan seorang perempuan dewasa keluar dari rumah.

"Mari. Berteduh di dalam rumah saja," ucap perempuan itu ramah. "Baju kalian juga basah. Kalau nggak diganti nanti kalian bisa sakit."

Raven mengerjap di tempat. Dia menatap Kiana yang juga menatapnya dengan wajah bingung. Wanita itu lantas tersenyum menatap Fikri dan perempuan itu.

"Kami di sini saja. Nanti merepotkan kalian," ucap Kiana merasa tak enak hati.

"Sama sekali tidak repot." Dari dalam rumah muncul  seorang lagi. Pria setengah baya dengan kopiah di kepalanya. Pria yang terlihat bersahaja dari penampilannya yang sederhana. "Ayo, masuk saja. Di luar hujan makin deras."

Raven dan Kiana refleks menatap langit yang malah kian pekat. Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Yang ada malah kian menderas. Mempertimbangkan hal itu, mereka akhirnya menerima kebaikan hati keluarga Fikri.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro