Chapter 2
Setelah menempelkan id cardnya ke pemindai, pintu kaca di depannya pun terbuka. Ia melihat Layla, Miya, dan rekannya yang lain berdiri berbaris. Di hadapan mereka ada Pak Bane yang memegang gulungan kertas, mengetuk kepala mereka satu persatu.
"Oh ... shit!"
Cepat-cepat ia ikut berbaris di samping rekannya yang lain dan menunduk. Dan saat giliran Pak Bane di hadapannya, langkahnya terhenti.
"Lesley Vance, datang jam 5.30 sore hari. Apa kau kira kantor ini tempat penitipan?! Datang mengambil pekerjaan dan pergi begitu saja?!"
Ketukan gulungan kertas tiga kali mendarat di kepalanya. Ia mengaduh pelan. Meski terlihat ringan, gulungan kertas itu cukup tebal dan berat. Ia menggigit bibir bawahnya. Kalau sudah berjejer seperti ini, memang ada masalah yang terjadi.
"Kalian kembali bekerja di kantor mulai besok. Yang tidak ke kantor absensinya dianggap tidak valid."
"T-Tapi, Pak?" Miya, rekannya yang paling pinggir membuka suara. "Bukankah yang penting pekerjaan kami selesai di mana pun kami bekerja?"
"Tidak ada alasan untuk itu. Kalian sulit sekali dihubungi bila tidak di kantor. Seperti orang ini. Jam setengah enam sore baru datang!"
Wajah Bane terlihat memerah, begitu gusar. "Bekerja seperti hari biasa. Tidak ada virtual meeting. Kalian lihat bangunan di seberang sana? Itu Paxley dan cecunguknya akan menertawakan kita karena kantor terlihat kosong dan kalian malas bekerja!"
Mereka semua kembali menunduk, tidak terkecuali Miya.
"Hai, Pak Bane? Oh, Pak Bane sudah datang. Sedang menatar staf admin?" Ada seorang perempuan dengan rambut biru tua dengan ombre merah muda berikat, bersandar di dinding memasang wajah sensual pada bosnya.
"Mereka memang terlihat malas setiap hari kalau kerja di kantor." Ia tertawa kecil sambil menutup mulutnya, kemudian tersenyum licik.
"Selena selalu memperhatikan mereka. Selena mau mengadukan kerja mereka kemarin, tapi Selena lupa. Maafkan Selena, Pak Bane." Ia kembali tertawa kecil.
"Diamlah, Selena. Aku belum selesai." Bane fokus berjalan lagi dari ujung ke ujung, dan sampai pada Lesley yang masih menunduk.
"Jadi, semua ini demi gengsi?"
Gumaman Lesley terdengar oleh Bane. Kepalanya dipukul sekali lagi, dan ia mengaduh.
"Apa salah saya, Pak Bane?"
"Kau tadi bergumam apa? Demi gengsi? Kau tidak suka dengan peraturanku?"
"A-apa?"
"Semuanya, yang sudah selesai, kembali bekerja. Tidak ada yang tidak lembur hari ini. Dan kau, Lesley Vance. Kemasi barang-barangmu yang tersisa di sini dan pulang. Jangan pernah kembali."
"Maksudmu, Pak? Kau mengusirku?"
"Dan kau memakai kata "kau" padaku, sekarang?! Benar-benar pemberontak! Sudah datang sore dan kau berani melawanku?! Ambil sisa upahmu ke admin keuangan dan pergi! Tidak berlaku lagi SP buatmu!"
Lesley shock dengan apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka bahwa akan secepat ini dipecat. Ini memang salahnya yang tertidur, tetapi mengapa Pak Bane harus murka saat mereka tidak bekerja di kantor? Terlebih karena gengsi dilihat pesaing.
Bane pergi dari mereka, membuang gulungan kertas di bak sampah. Selena mengikutinya dengan lenggak-lenggok yang sangat menyebalkan. Lesley pergi ke kubikelnya, mengambil beberapa peralatan yang kurang rapi, dimasukkan dalam kotak penyimpanan. Hatinya pedih karena menghadapi kenyataan ini. Faktanya, ia masih ingin bertahan mengingat ia sudah 3 tahun bekerja dan sebentar lagi akan ada promosi jabatan. Temannya yang lain hanya melihatnya dengan wajah iba.
Miya mendekati, memegang bahunya dan bertanya, "Lesley, kau tidak pergi, kan?"
"Kau tidak dengar apa kata si iblis tadi, Miya? Aku diusir, tidak boleh ada di sini lagi." Sebisa mungkin, Lesley menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia sakit hati. Ia kecewa. Ia marah. Ia merasa usahanya selama ini, bekerja dengan sepenuh jiwa raga tidak ada artinya.
"Lesley, aku harus bagaimana untuk membantumu?" Layla datang menyusul Miya.
"Tidak apa-apa, Miya, Layla, baik-baiklah di sini."
Ia memang hendak pergi dari sini, suatu hari nanti setelah pangkatnya naik dan saat ia pindah, ia bisa melamar di jabatan yang lebih tinggi di perusahaan lain. Namun, ia tidak menyangka akan dipecat saat masih menjadi bawahan. Mengambil napas panjang, ia tetap fokus pada barang-barang yang akan ia bawa. Terakhir, ia melepaskan kartu tanda pengenal, membuka laci dan mengambil alat tulisnya, juga dimasukkan dalam kotak.
"Sampai jumpa lain waktu. Aku pergi." Ia membawa kotak dan keluar sendiri, tak ada siapapun yang mencegah. Ia berjalan gontai melewati lorong, dan ponselnya berbunyi. Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia menggeser tombol hijau ke atas dan menempelkannya ke telinga.
"Halo, Lesley? Ke ruanganku sekarang."
"Baik, Pak Tigreal. Aku akan ke sana." Dan ia mematikan telepon. Ia berbalik arah untuk ke lift.
Saat ia sudah mencapai lift, ia masuk ke dalam sendiri, menekan tombol 6. Di dalam, ia merenung. Ia masih tidak terima kenyataan. Digenggamnya ponselnya kuat-kuat. Berkali-kali ia mengembuskan napas berat, tak jua ringan hatinya.
Ia melihat pemandangannya sendiri di dinding lift. Berantakan, mata berkaca-kaca dan wajah muram.
Tak lama sampai pintu lift terbuka. Ia melangkah keluar, mengambil jalur kanan. Terus sampai beberapa meter, ia berhenti di depan pintu dengan tulisan "HRD" di atasnya. Ia mengetuk pintu dua kali, lalu memutar kenop pintu dan membukanya. Ada seorang pria sedang memeriksa dokumen dan menandatanganinya.
"Lesley, kau sudah di sini. Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Um, yah, begitulah, Pak. Aku diusir."
"Maafkan aku tidak bisa membantu banyak." Tigreal menatap Lesley yang matanya berkaca-kaca.
"Semua orang tahu kau adalah karyawan yang memiliki performa bagus. Aku sangat menyayangkan hal ini terjadi. Aku pun tidak bisa berkutik kalau Pak Bane yang bergerak."
Lesley tahu apa penyebabnya. Pak Bane sebenarnya adalah keturunan dari founder perusahaan. Ia simpulkan dia menjadi SPV hanya untuk leluasa berkeliling dan memarahi karyawan. Entah apa motivasinya, mungkin dia bisa stroke bila sehari saja tidak memarahi orang.
"Aku sudah merekomendasikanmu ke beberapa perusahaan lain. Dalam seminggu mungkin akan ada yang menghubungimu."
Tigreal menunggu kertas keluar dari printer dari samping kirinya. Ia mengambil selembar yang sudah selesai tercetak, kemudian mengambil stempel dan menempelkannya di atas tanda tangan Direktur.
"Ini surat pengalaman kerjamu." Dengan berat hati ia memberikan pada Lesley yang masih saja menunduk dalam diam. "Semoga kau beruntung di perusahaan lain."
"Terima kasih, Pak." Tigreal mengangguk dan menjabat tangannya erat.
"Aku menunggu kabar kesuksesanmu dari sini."
*
Kalau Lesley pikir-pikir, dalam hidupnya sudah banyak sekali kegagalan yang terjadi.
Gagal dalam urusan percintaan, gagal dapat beasiswa, dan sekarang gagal dalam meniti karir.
Bagaimana dulu kekasihnya, Gusion yang ia dengar desas desus dari orang berselingkuh saat ia tidak masuk sekolah karena sakit. Padahal, saat itu mereka sedang mendekati ujian akhir sekolah. Sebagai yang tertuduh, baginya tentu saja ia menyangkal. Namun, saat Gusion mengatakan "lakukan apa yang kau inginkan", ia mengerti bahwa pacarnya secara tidak langsung mengakui. Sejak saat itu, sakitnya kambuh lagi berhari-hari. Bahkan saat ujian, dengan ia tidak maksimal mendapatkan nilai.
Sejak saat itu, ia sangat membencinya. Ia tidak ingin bertemu dengan si mantan lagi. Lagipula, sejak ujian, bahkan sampai hari kelulusan, Gusion tidak terlihat lagi batang hidungnya. Hal ini mempercepatnya move on dan fokus untuk ujian masuk perguruan tinggi. Setiap hari adalah hari-hari belajar sampai ia masuk ke kampus impian. Sampai di kampus pun, ia juga gagal dalam mendapatkan beasiswa dikarenakan IPK nya masih belum bisa menandingi mahasiswa yang terpintar di program studinya.
Ia menghentikan lamunan saat ia sadari, hari sudah berganti malam pekat. Ia menatap pada lampu halte bis yang berkedip-kedip. Bahkan halte bis pun seperti sedang menolakku untuk duduk di sini, keluh Lesley dalam hati. Ia merasa sedih dan putus asa sekarang. Mengangkat kotaknya, ia berjalan gontai, merenungi nasib buruk.
Ke mana lagi ia akan bekerja? Ia akan sangat pusing ketika di rumah saja karena orang tuanya akan sibuk menjodohkan ia dengan anak dari teman-teman mereka.
Di kelam malam seperti ini dan sendirian, ia tidak ingin ke rumah. Lebih-lebih diantar pulang oleh adiknya, Harley. Mungkin dia sedang shift malam dan patroli di pos jaganya. Adiknya itu sedang semangat-semangatnya semenjak resmi menjadi polisi pangkat sersan sebulan lalu.
Dengan kejadian buruk hari ini, ia ingin melupakannya. Ia ingin menganggap hari ini tidak ada. Ia ingin menganggap bahwa hari ini WFH dan sekarang ia habis berpindah kerja ke cafe dan pulang. Andai saja ia tidak tertidur tadi.
Ia memutuskan berbelok ke jalan gang sebelah kiri. Ia memutuskan untuk melupakan hari ini, barang sehari saja. Dan saat ia sudah berada di depan "Next Club", ia mengambil napas berat dan masuk ke dalam.
Ia disambut musik yang memang sedari di luar tadi sudah terdengar keras. Sebenarnya ia tidak terbiasa dengan ini. Terkadang saja saat teman-temannya memiliki perayaan dan ia ikut untuk meminum tequilla sunrise yang ia request takaran alkoholnya sedikit. Itu pun setelahnya ia harus menginap di rumah temannya agar ia tidak pulang dan dimarahi karena mabuk. Toleransinya terhadap alkohol memang cukup rendah.
Disaat ia menaruh kotaknya di bawah lantai dan ia menarik kursi bar untuk duduk, seorang bartender berambut cokelat tua terkejut mendapati dirinya datang sendirian. Ia meletakkan gelas yang baru ia lap ke meja.
"Lesley? Di mana temanmu? Biasanya kalian datang berbarengan," tanyanya dengan suara yang dikeraskan karena melawan suara musik.
"Aku sendirian saja, Claude. Aku diusir. Aku resmi pengangguran sekarang. Berikan aku minuman yang bisa membuatku lupa kejadian ini."
Lesley merebahkan kepala ke meja. Ia merasa sangat lelah. Claude mengerti dan mulai meracik minuman. Menambahkan gin, anggur vermouth, dan koktail jeruk dalam shaker. Ia beralih pada wadah es, ia menyekop es balok kecil sampai 5 buah, ikut dimasukkan di dalamnya. Kemudian, menutup shaker dan mengguncangkannya.
Lesley menunggu Claude menyelesaikan minuman dengan sabar. Masih menyandarkan kepala ke meja, ia menutup mata. Ia bersyukur tidak banyak orang di meja ini karena rata-rata pengunjung sudah melantai dan duduk di sofa yang tersebar di ruangan.
"Sudah selesai." Saat ia melihat Claude menyodorkan minuman, ia langsung mengambilnya dan meneguk dalam tegukan yang banyak. Sampai ia rasa kerongkongan dan rongga mulutnya terbakar. Ia terbatuk-batuk karena masih belum terbiasa. Matanya memerah karena pengar tadi. Ia kembali merebahkan kepala ke meja.
"Kau tidak apa-apa?"
"Berikan aku petuah hidup, Pak Bartender."
Claude menepuk dahinya. Lesley pikir, ini adalah bar elit nan eksentrik yang bartendernya memiliki kata-kata bijak seperti dalam drama di TV? Bicara pun susah kedengaran, bagaimana ia mengatakan quotes tentang kehidupan?
"Tidak ada yang seperti itu di sini, Lesley! Kau minum saja!"
"Oke." Lesley bangkit dan meneguk minuman lagi, sangat cepat sampai gelasnya kosong dalam sekejap. Ia tercengang melihat Lesley yang menenggak habis minumannya dalam sekejap.
"Astaga." Setahunya, Lesley tidak kuat banyak minum. Biasanya minumannya pun tak habis. Dan sekarang, ia meminum segelas tanpa sisa?
Ia tidak sempat memperhatikan pelanggannya yang satu ini karena fokus pada pelanggan lain. Ia tidak tahu bahwa Lesley mengambil botol liquors dan menuangkannya ke dalam gelasnya sendiri.
Lesley sudah setengah tipsy. Ia mengembuskan napas berat, kemudian tertawa. Menertawakan kemalangan hidupnya. Wajahnya mulai memerah sampai ke pucuk hidungnya. Ia terkikik lagi, tersenyum sendiri. Pandangannya pun mulai samar-samar, sekaligus pusing ia rasakan.
"Gila! Mengapa kesialan selalu terjadi padaku?!" Lesley tertawa lagi, kali ini disertai isakan, dan ia menangis.
"Aku taku-t bila ti-dak bekerja. Ibu-ku, nanti menjodohkanku dengan ... om-om!" Air mata berjatuhan di pipinya. Claude memandangnya khawatir, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ia sedang berbicara dengan owner club lewat telepon. Terlebih saat melihat satu botol liquors yang sisa seperempat. Matanya membulat, ia menduga Lesley lah pelakunya menguras botol liquors itu. Ini bahaya.
"Kimmy! Jaga dia! Aku dipanggil bos ke lantai atas!" Claude setengah berlari hendak naik ke tangga.
"Lima menit lagi, Kak Claude!" Yang disebut Kimmy berseru karena ia masih sibuk melayani pelanggan. Ia melihat Lesley yang kepalanya turun terantuk meja beberapa kali. Ia pun turut khawatir dengan keadaannya. Ia tahu Lesley dan Claude adalah teman lama saat mereka masih sekolah karena Claude yang memberitahunya. Sebagai junior yang baik, ia pun sering membantu sampai-sampai keluar dari meja untuk mengantarkannya naik taksi bersama teman-temannya.
"Urghhh! Dasar kalian semua jahat! Pak Bane jahat! Selena jahat! Gusion juga jahat!" Sedikit lagi, kepalanya gagal mendarat di meja dan ia akan langsung jatuh ke lantai. Namun, seorang pria masih memakai jas dan dasi hitamnya yang kendur menopang kepalanya, menahannya di bahu. Kimmy yang tadinya shock menjadi lega saat ada yang menyelamatkannya. Ia membuang napas lega dan kembali meracik minuman.
"Sudah berapa banyak ia minum?" tanya lelaki itu, masih menahan tubuh Lesley di bahunya. Ia menyingkirkan helaian rambut cokelat tuanya ke belakang karena menghalangi pandangan pada Lesley.
"E-Eh? Baru satu gelas, mungkin?"
"Tidak mungkin akan semabuk ini apabila satu gelas saja." Di bahunya, Lesley masih menangis terisak, kemudian tertawa lagi.
"Siapa ka-kau? Wajahmu se-perti malaikat."
Pria yang di sampingnya ini menahan tawa. Logikanya saja, mana ada malaikat minum dalam klub?
"Mengapa aku harus menemukanmu di sini, Ley?" tanyanya dengan nada lirih. Lesley tidak menjawab. Ia tertunduk dengan mata tertutup dan dengkuran halus menyertai.
Pandangannya melembut. Di saat ia melihat pakaian dan rambut Lesley yang berantakan, juga ada kotak barang di bawahnya, ia pikir ada sesuatu yang terjadi. Ia merogoh kantong celana karena ia rasa ponselnya bergetar. Ternyata memang ada telepon masuk. Ia pun mengangkatnya dan menempelkan ponsel ke telinga.
"Halo! Gusion kau di mana?! Acara kita belum selesai!"
"Aku ada urusan, harus pulang lebih awal. Terima kasih jamuannya." Ia menutup telepon dengan cepat, meletakkan ponsel ke kantong celananya lagi. Beralih ke kantong yang lain, ia mengeluarkan dompet dan mengambil kartu kredit.
"Ini untuk membayar minuman perempuan ini." Ketika ia hendak memberikan kartu kredit pada Kimmy, Claude sudah datang dan kembali di posisinya. Saat melihat Gusion, mereka berdua terkejut.
"Mengapa kau ada di sini?" tanya Claude penuh selidik.
"Dan kau bekerja di bar ini?" Gusion mengalihkan kartu kredit dan berkata padanya, "Ini untuk pembayaran Lesley."
Claude mengambil kartu kreditnya dengan enggan dan menghitung di kasir. Tak lama setelah Gusion menekan pin dan struknya pun keluar.
"Aku akan membawanya. Simpankan kotak barang miliknya di sini. Ia akan aman bersamaku."
"Aku tidak mempercayaimu. Kau yang dulu membuatnya menangis." Claude melipat tangan di depan dada dengan pandangan sinis pada Gusion.
"Kau tidak tahu apa-apa tentang itu." Ia mengangkut Lesley langsung di pangkuannya. "Dan aku bukan aku yang dulu."
Ia pergi berlalu bersama Lesley dalam gendongannya menuju pintu keluar club, dengan Claude masih takjub dengan apa yang terjadi.
TBC
apakah pace ceritanya terlalu cepat? atau terlalu lambat yah? bingung jg dh yg pasti yg penting otor nulis dulu😭
betewe seneng banget kapal kita akhirnya resmi statusnya di mlbb gais😆😆
engga sia2 rasanya memperjuangkan mereka berdua kyaaa😆😆😆
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro