Chapter 1
"Jadi, Lesley anakku, apakah di sana kau sudah punya kekasi-"
Lesley menekan tombol merah di ponselnya, ia lempar ke lipatan selimut dengan rasa kesal. Sepagi ini, ibunya bertanya hal yang sudah berulang kali ditanyakan. Kekasih, pernikahan, dan segala hal tentang berumah tangga. Andai bukan orang tuanya yang bertanya, ia pasti sudah mencengkeram rahangnya dan menyuruhnya untuk diam.
Layar ponselnya menyala. Kali ini ada pesan grup WA yang masuk. Dari Selena.
"Hari ini kita WFC? Mau di cafe mana?"
"Urgh ... tidak bisakah mereka meninggalkanku bekerja sendirian?!"
Ia menaruh handuk yang awalnya melilit rambut ke gantungan khusus. Kini, terlihatlah helaian rambut violet panjangnya yang hampir melewati lutut. Ia menyalakan hairdryer setelah menyambungkan ke steker listrik. Ia raih ponselnya untuk mengetikkan balasan.
"Aku WFH."
Setelah membalas chat, ia kembali fokus pada hairdryer dan mengeringkan rambutnya. Duduk di depan cermin dengan raut wajah datar. Di saat seperti ini, dalam diam, terkadang ia merenungkan apa yang sudah terjadi dalam hidup. Mengenai pekerjaannya, mengenai pertanyaan orang tuanya, dan segala hal lain yang harusnya tidak perlu dipikirkan. Namun, tetap saja ia lakukan sampai sakit kepala akibat ulah sendiri.
Mengenai kapan ia menikah dan segala macamnya, orang tuanya-khususnya sang ibu, beralasan mereka sudah tua dan ingin melihatnya bergaun pengantin sebelum meninggal. Ia tahu sebenarnya bukan itu alasannya-tepatnya ia berspekulasi. Orang tuanya hanya takut ia tidak punya seorang yang bisa menjamin keamanan dirinya maupun finansial, setelah ia sering bercerita tentang bagaimana keadaan kantor yang busuk dan banyak penjilat. Bagi orang tuanya, saat ia menikah akan ada suami yang menafkahi dan ia tidak perlu bekerja. Ia tidak perlu menghadapi segala hal menyusahkan itu. Tetap saja, ia tidak terima. Dipikir-pikir, menjadi ibu rumah tangga pun sama bebannya dengan bekerja. Bagaimana misalnya keluarga suaminya ternyata tidak suka dengannya? Bagaimana bila ternyata suaminya punya wanita lain? Ia kira lebih baik dikecewakan rekan kerja daripada pasangan dan keluarga.
Rambutnya sudah mulai kering. Ketika melihat ke jendela, cahaya matahari sudah mulai naik ke atas kasurnya karena tirai sudah ia buka sejak bangun tidur. Ia mengetuk layar ponsel 2 kali, terlihat jamnya sudah di 8:40. Ia hendak menyalakan laptopnya terlebih dulu di meja kerja. Saat ini ia hanya mengenakan sweat pants hitam dan hoodie abu-abu. Ia sudah menyortir barang berkode yang keluar dan sudah dipasang di unit apartemen baru, juga bagian barang untuk pemeliharaan unit yang sedang disewa.
Ia membolak balik dokumen di samping laptopnya dengan tangan kanan, tangan kiri membuka laptop dan menyalakan tombolnya. Muncul layar dan kolom kecil untuk mengetikkan password. Hanya melihat dari ekor mata, ia mengetik password dengan satu tangan dan menekan tombol enter.
Maka, munculah worksheet yang memang sudah terbuka sejak kemarin. Ia menarik kursor ke bawah, masih ada kolom yang kosong. Ia melirik dokumen di samping, mengetikkan kode barang, mencocokkan di worksheet. Ia merasa bodoh karena harusnya ia kerja di kantor saja memakai scanner. Ponselnya tidak cukup canggih dalam scan dokumen untuk dijadikan file yang dapat diedit dengan rapi tanpa terpisah kesana-kemari. Akhirnya, ia hanya mengetik manual dan dicocokkan seperti ini. Lagipula, baginya ini tinggal sedikit lagi, mungkin hanya 1-2 jam ia bisa beristirahat.
Dalam bekerja, biasanya ia terlalu fokus, terkadang saja multitasking. Pekerjaannya di bidang ini memang memerlukan ketelitian dan kecepatan. Kadang ia lupa diri sampai di waktu istirahatnya hendak habis ataupun saat ia disadarkan dengan alarm pengingat jadwal virtual meeting.
Ia memulai dengan halaman limabelas yang tertera di berkas. Mengamati sebentar, kemudian memasangnya di jepitan yang digantung di pintu lemari atas meja. Sambil melihat tabel di berkas, ia mencocokkan dan mengganti yang keliru di worksheet pengolah angka. Terus berlanjut sampai ia tak melihat ponselnya yang sedari tadi menyala, menampakkan pesan dari rekan kerja.
Melakukan pekerjaan dengan pace yang sama membuatnya lebih sering mengantuk, bahkan di menit-menit pertama. Akhirnya, matanya mulai menyipit karena memberat. Ia menyerah pada pekerjaannya dan merebahkan kepala di meja. Saat matanya benar-benar tertutup, saat itu pula ia tertidur sepenuhnya.
Ponselnya yang sedari tadi berkedip, kini bergetar karena panggilan telepon. Berulang kali, sebab ia tak jua mengangkatnya. Ia sudah jatuh lelap dalam mimpi.
*
Bangun-bangun, ia mengedip-ngedipkan mata. Ia mengernyit saat ia lihat cahaya matahari yang lebih jingga dari terakhir ia ingat. Mengusap wajah, ia mengambil ponselnya. Kedua matanya membulat saat ia melihat ada ratusan pesan di chat WA dan panggilan telepon. Seperti terasa serangan jantung tiba-tiba. Ia melihat pesan apa saja yang ia dapatkan. Kebanyakan dari Layla dan Miya.
"Ley, ke kantor sekarang! Audit internal dadakan datang dengan Pak Bane!"
"Ley kau di mana?! Cepat ke kantor!"
"Ley kau dalam bahaya bila tidak datang!"
Saat ia melihat jam yang tertera di layar ponsel bagian atas, itu sudah menunjukkan jam 5 sore. Dan pesan itu datang dari jam 10 pagi.
"Astaga! Apa aku sudah gila?!"
Bagaimana bisa ia tertidur selama itu? Pantas saja ia rasa lehernya sangat nyeri, begitupun pinggangnya. Ia menelepon Miya, sambil beralih ke lemari dan mengambil beberapa pakaian. Ponsel ia jepitkan ke bahu, menunggu temannya mengangkat. Tidak dijawab. Ia beralih menelepon Layla sambil mengenakan celana panjang dan kemejanya, juga sama. Pikirannya mendadak kalut. Apa yang terjadi di sana sampai mereka tidak mengangkat telepon sama sekali?
Terlebih mengenai Pak Bane bersama Audit Internal, jantungnya berdetak semakin tidak karuan. Ini mimpi buruk. Pak Bane adalah supervisor kejam sekaligus kolot. Beliau tidak suka apabila ada yang bekerja di luar kantor semenjak pandemi sudah berlalu. Baginya, kerja di kantor dan rapat mingguan adalah keharusan. Padahal, dia bukan dari jajaran direksi, tetapi seperti dia yang berkuasa atas mereka. Bahkan, manajer pun dibuat tidak berkutik.
Lesley meletakkan ponsel di atas meja rias dan menggulung rambut sembarang. Ia tidak ingat akan berdandan ataupun bekas wajah habis tidurnya masih ada, ia tidak peduli. Beralih pada meja kerja, ia menutup laptop dengan kasar dan menentengnya. Terakhir, meraih tas di atas kursi dan menurunkan flat shoes hitam dari rak. Ia bergegas menutup pintu apartemennya dan pergi menuju kantor.
TBC
gatau deh entah bawaan pf apa gmna gw jd engga kebiasa nulis make A/N lagi di bawah chapter😭 soalnya kalo ada yg kata selain isi bakal disunat gajinya huhuu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro