Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

( WaF - 32. Sifat Cemburu Dalam Arti Leksikal )

Posesif adalah kata yang bermakna bersifat menjadi pemilik; mempunyai sifat cemburu dalam arti leksikal. Tanda lahiriah itu secara menyeluruh dimiliki oleh setiap makhluk, tetapi dengan kadar berbeda pada setiap masing-masingnya. Rey merupakan salah satu manusia yang memiliki tingkat keposesifan tinggi. Sekali lagi, Rey mengakui.

Ketika melihat tautan tangan Seva dan Jevin tadi, Rey meradang. Ia tahu Seva tak bermaksud membuatnya cemburu. Namun, amarah Rey sudah menggebu. Syukur-syukur ia dapat menahan diri sehingga tak jadi melayangkan tinju ke wajah Jevin.

Saat menyadari Seva mengejarnya, Rey ingin berhenti dan merengkuh. Akan tetapi, gejolak di dadanya tak mengizinkan. Hingga sampai Rey berbalik untuk mendapati Seva yang menangis, rasa sesaknya semakin berkuasa. Menyebabkan Rey memilih untuk tak acuh sementara.

Kejadian tadi membuat kepala Rey penuh. Pikirannya berkelebat acak dan terus bergentayangan tanpa ampun. Mengarahkan Rey ke bangunan kosong yang Seva sebut tempat penenangnya. Pria itu tak turun dari kendaraan. Lebih tepatnya, menunggu kehadiran Seva.

Hampir setengah jam Rey di sana. Bahkan ia sudah menghubungi asistennya agar menggantikan tugasnya hari ini─dengan alasan ada urusan krusial yang harus segera diselesaikan. Sampai panggilan telepon dari Jaya menghantui. Rey mencoba untuk tak peduli hingga sebuah pesan diterima ponselnya.

Jaya

Lo di mana? Ada Seva di apartemen gue.

( ⚘ )

Rey bersandar di dinding dengan tangan bersedekap. Matanya dengan malas menatap Jaya. Bukannya membiarkan Rey masuk agar langsung bertemu Seva, sahabatnya itu malah memberi berbagai wejangan.

"Seva sampe duduk di depan apartemen lo karena nungguin lo!" seru Jaya dengan pandangan sengit.

Sorot Rey beralih ke daun pintu apartemen Jaya. "Gue juga nunggu Seva di tempat biasa kami ketemu."

Jaya mengembuskan napas sangat keras. "Gue nyuruh lo buat pikirin semua ini, bukan malah bikin dia nangis."

Rey kembali berfokus pada Jaya. "Lo bilang, lo ngerti perasaan gue. Gue udah pikirin semuanya. Gue mau minta maaf, tapi pas gue datang, Seva lagi sama cowok yang ngejar-ngejar dia."

Jaya terdiam di tempatnya. Tadi Seva sempat menjelaskan secara singkat. Namun, tak terlalu jelas karena dilengkapi sedu sedan. "Seva nanggapin cowok itu?"

Rey menggeleng. "Tapi gue tahu, cowok itu nggak bakal ngelepasin Seva gitu aja."

"Kalo gitu, harusnya lo nggak ninggalin Seva," ucap Jaya diikuti decakan sebal.

Rey menggaruk keningnya. Menghela napas kemudian. "Tadi gue perlu waktu sendiri."

Tatapan Jaya berubah prihatin. Pria itu mendekat ke arah Rey dan menepuk bahu sahabatnya tersebut. "Ya, udah, yang penting sekarang lo datang." Jaya menyingkir dari hadapan Rey. Menandakan bahwa sekarang ia mengizinkan Rey masuk. "Dia ada dalam."

Selanjutnya, Rey memasuki apartemen Jaya dengan si empu mengekor di belakangnya. Saat daun pintu di dorong, sosok Seva tampak duduk di sofa ruang tamu. Gadis itu menoleh ke arahnya. Kemudian, kembali menunduk.

Rey mendekat. Duduk di sebelah Seva. Lalu menarik tangan gadis itu lembut. "Kita ke apartemen saya, ya."

Seva mendongak. Responsnya hanya mengangguk.

Usai itu, Rey dan Seva pamit dari apartemen Jaya. Mereka berjalan dalam diam saat menuju kediaman si pria. Suasana canggung menjadi pemeran utama. Kendati tangan Rey dan Seva saling mengait.

Sesampainya di apartemen Rey, mereka langsung duduk di sofa yang berada di depan televisi. Keduanya masih sama-sama tak bersuara. Lebih memilih untuk menyelami hening yang merajalela. Mungkin bingung ingin memulai obrolan dari mana.

Beberapa menit telah berlalu, dan Rey sudah tak tahan berada di dalam kesenyapan. Pria itu meremas pelan tangan Seva agar mendapatkan atensi, kemudian berkata, "Saya minta maaf."

Perlahan Seva menoleh ke Rey. Kepalanya menggeleng cepat. "Om yang marah sama Seva. Artinya Seva salah. Harusnya Seva yang minta maaf," lirih Seva dengan suara yang bergetar.

Menyadari bahwa Seva ingin menangis lagi, Rey mengembuskan napas berat nan pelan. Dari jarak sedekat ini, gadis itu tampak menyedihkan: matanya sembap, dan hidung serta wajahnya memerah. Beberapa anak rambut juga menutupi beberapa bagian wajah Seva. Membuat tangan Rey tergerak menyingkirkan surai itu dengan hati-hati.

"Kamu nggak salah apa-apa─" tatapan intens Rey lotarkan untuk gadis di depannya, "─dan harusnya kemarin saya nggak bersikap dingin ke kamu .... Apalagi tiba-tiba ninggalin kamu kayak tadi." Setetes air berhasil lolos dari rongga mata Seva, yang segera Rey usap sebab tak ingin dara itu menangis karenanya. "Alasannya karena saya cemburu, Seva .... Saya nggak suka kamu ngagumi atau dekat sama laki-laki lain. Maaf, kemarin saya nggak jujur."

Tangis Seva pecah seketika. Isakannya nyaring, memenuhi ruangan. Kemudian, Seva menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Rey tak tega. Ia mengingsut mendekat. Membawa tubuh Seva ke dalam dekapan. Menyalurkan kehangatan agar gadisnya lebih tenang. Tangan besar Rey pun ikut andil mengelus-ngelus pelan punggung Seva. Seraya mulutnya terus berujar: "Tenang, Seva. Jangan nangis."

Butuh waktu lebih dari lima menit sampai akhirnya Seva berhenti menangis. Gadis itu merenggangkan pelukan untuk menatap wajah Rey yang sarat khawatir. Lalu, Seva tersenyum tipis.

"Seva seneng."

Dahi Rey mengerut. "Kenapa?"

"Karena Om cemburu."

Senyum Rey refleks keluar. Diikuti suara tawa kecil di detik berikutnya.

"Om nggak kerja?"

Rey menggerakkan kepalanya ke kanan-kiri. "Saya udah izin."

"Om─"

"Kita makan malam sama-sama dulu. Setelah itu, saya antar kamu pulang," potong Rey yang tahu Seva akan menceramahinya.

( ⚘ )

Acara makan malam telah usai. Alih-alih pulang, Seva masih berada di kediaman Rey. Mereka memutuskan untuk bersantai sebentar sembari berbincang kecil. Dengan posisi berbaring di sofa ruang televisi, Rey mengelus-ngelus kepala Seva. Sedangkan si gadis memeluk erat pinggang Rey.

Seva mengeratkan dekapannya. Kepalanya sengaja dibenamkan ke dada Rey. "Seva pulangnya sebentar lagi, ya, Om."

Rey mengangguk. "Iya," sahutnya. "Nanti kita pakai mobil kamu."

Seva menengadah. "Nanti Om pulangnya gimana?"

"Saya naik taksi aja."

Bibir Seva mencebikkan. "Beneran?"

"Iya, nggak pa-pa."

Yang Seva lakukanya hanya melengos. Kemudian, kembali menatap Rey. "Seva mau nanya deh."

"Tanya apa?"

"Kenapa Om nggak mau ngaku kalo Om cemburu?"

Untuk beberapa saat Rey terdiam. Lalu berkata, "Untuk kasus Jevin, saya emang nggak suka ngelihat dia masih ngejar kamu. Padahal kamu udah punya saya. Saya nggak pernah suka kalo sesuatu yang udah jadi milik saya diganggu. Terus untuk kejadian sama Pak Langit, saya juga nggak suka, tapi saya nggak yakin kalo itu cemburu karena Pak Langit nggak nunjukin tanda ketertarikan sama kamu."

Seva kembali melontarkan pertanyaan, "Dan apa yang bikin Om yakin kalo itu juga cemburu?"

"Jaya." Rey terkekeh saat bercerita bagaimana ia kegundahan hatinya pada Jaya. Walaupun ada beberapa bagian yang tak ia jelaskan, seperti tentang Atika. "Makanya dari sana saya sadar kalo saya cemburu. Karena setelah saya pikir-pikir ternyata saya ... udah ada rasa sama kamu." Kelamatan pandangan Rey kembali. Matanya menangkap semburat merah yang mulai tercipta di wajah Seva. "Tapi saya nggak tahu rasa saya udah di tahap mana. Menurut saya, tahap mencintai itu ada lima: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta. Yang jelas saya ada rasa sama kamu, dan yang pasti udah lebih dari taraf tertarik aja. Saya janji bakal cepat-cepat sadar di mana rasa saya ke kamu dan kalau itu belum di tahap puncak, saya janji sekali lagi, saya akan segera sampai di puncak."

Sedari tadi menyimak, Seva tanpa sadar menggigit bibirnya. Gadis itu menatap Rey dalam-dalam. Kemudian, kembali menenggelamkan kepalanya di dada Rey.

"Seva sayang Om Rey," ucap Seva. Sangat pelan.

( WAF - 32. Sifat Cemburu Dalam Arti Leksikal )

A meme for this chapter:

/sweep tears.

The simple but weird,
MaaLjs.

16 Oktober 2019 | 22:12

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro