( WaF - 31. Tempat Menjual Makanan dan Minuman )
Kantin adalah tempat menjual makanan dan minuman di sekolah, kampus, kantor, dll. Di sanalah Seva sekarang berada. Dengan segelas jus melon yang ia pesan, gadis itu tampak berfokus pada laptop di depannya. Sejak kelas terakhir usai, Seva langsung bersantai sembari mengerjakan tugas, sekaligus mengisi perutnya yang kosong. Ia masih belum berniat untuk pulang. Ingin menongkrong dengan Orlin dan Bia pun tak bisa. Kedua sahabatnya itu masih sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Beberapa menit kemudian, Seva tersenyum lebar setelah menyimpan berkas tugasnya yang berhasil ia selesaikan hari ini. Perlahan Seva menutup laptopnya setelah benda pipih itu mati. Seva menaruh laptopnya ke dalam tas. Kemudian, mulai menyedot jus melon sambil mengotak-atik ponsel.
Mata Seva terbuka agak lebar ketika melihat sebuah pesan dari Rey. Cepat-cepat ia membuka dan membacanya.
Gaufrey
Kamu masih di kampus?
Sevarina
Iya, kenapa?
Gaufrey
Jangan ke mana2. Saya ke sana sebentar lagi.
Sedikit kernyitan menampakkan diri di kening Seva. Gadis itu tak membalas pesan Rey lagi. Ia lebih fokus memikirkan kalimat-kalimat yang tertera di ponselnya.
Kemarin, setelah pertemuan dengan Langit dan Teo, pria itu tiba-tiba bersikap dingin pada Seva. Awalnya Seva yakin, musababnya karena Rey cemburu. Namun, laki-laki tersebut mengelak dan Seva tentu saja malu. Oleh karena itu, Seva memutuskan untuk tak membahasnya. Ia juga sedikit gelisah karena memikirkan kalau ketakutannya seperti dua malam lalu ternyata memang fakta. Seva sadar, hubungan mereka tak dilandasi cinta. Akan tetapi, Seva akui, ia sudah mempunyai rasa untuk Rey. Terdengar menyakitkan kalau pria itu tak merasakan hal yang sama.
Seva sudah coba berpikiran positif, seperti mengira Rey telah mengubah sifatnya sehingga tak posesif lagi, tetapi kenegatifan selalu tak terima. Menggusur setiap duga-dugaan baiknya. Meraja dengan gagasan tanpa dasar kebenaran. Sehingga membuat Seva bimbang bukan kepalang, serta tak pelak menghancurkan suasana hatinya.
Seperti dilempari bom perusak atmosfer perasaan berkali-kali, sekarang takdir mempertemukan Seva dengan Jevin. Pemuda itu tampak berjalan mendekatinya dengan senyum lebar. Belum sempat kabur, Jevin sudah lebih dulu menempatkan diri dengan duduk di hadapan Seva.
"Hai," sapanya dengan senyum semakin lebar.
Seperti pertemuan mereka yang lalu, Seva menyahut enggan, "Hai."
"Lo masih ada kelas?"
Seva hanya menggeleng.
"Kalo gitu, gue mau ngomong sesuatu."
Kemauan Seva adalah menolak permintaan─atau mungkin juga dapat disebut pernyataan─Jevin dan pergi dari kantin segera. Namun, sialnya pemuda itu menampilkan wajah penuh permohonan. Membuat Seva tak tega dan terpaksa mengiakan, "Oke."
Senyum Jevin semakin mengembang. "Sorry ...."
"Lo udah bilang itu kemarin."
"Gue pengin minta maaf lagi." Tatapan Jevin menyendu, tetapi semakin lekat menyorot gadis di depannya. "Gue tahu, kata-kata gue bikin lo sakit hati. You know, gue sering hilang kontrol kalau─"
"I know ..., no problem. Gue udah maafin lo," sela Seva.
"Tapi kata-kata itu pasti ngebekas, iya, kan?"
Pelan sekali, Seva mengangguk. Kemudian, ponselnya berdering. Jevin menyuruhnya untuk mengecek terlebih dahulu, sebelum mereka melanjutkan obrolan.
Gaufrey
Saya udah sampai. Kamu di mana?
Seva menggigit bibirnya. Sekarang ia sedang bersama Jevin. Tidak mungkin ia mengatakannya pada Rey, karena bisa saja ....
Seva langsung menggeleng samar. Tersenyum satire untuk dirinya sendiri karena takut melukai perasaan pria itu. Padahal Rey tak pernah cemburu sama sekali. Maka dengan ringannya, Seva segera mengetikkan balasan yang jujur.
Sevarina
Kantin.
Jevin melanjutkan perkataannya setelah mendapat isyarat dari Seva, "Jadi, gue datang ke sini karena mau minta kesempatan. Gue bakal perbaiki semuanya. Gue janji, nggak bakal ngelakuin hal yang sama."
Impuls alis Seva tertaut. "Gue, kan, pernah bilang, gue udah punya pacar."
"Masih pacar, kan? Belum tunangan?" Jevin meraih tangan Seva yang berada di atas meja. "Gue bakal langsung lamar lo, kayak yang lo mau."
Seva menggeleng kuat. Cepat-cepat ia melepaskan tangannya dari genggaman Jevin. Akan tetapi, pemuda itu sudah lebih dulu meraihnya kembali.
"Gue janji, Sev. Gue bakal langsung lamar lo," ucap Jevin.
"Nggak!" sergah Seva terang-terangan. Ia terus mencoba melepaskan tangannya dari Jevin. "Pacar gue udah ngelamar gue kok."
Jevin terdiam untuk sesaat. Namun, genggamannya pada tangan Seva masih tak lepas. Lalu laki-laki itu semakin mengeratkan kungkungannya. Mencondongkan sedikit badan agar lebih dekat dengan Seva. "Gue nggak lihat ada cincin di jari lo."
"Emang ... karena belum resmi, tapi secepatnya."
Senyum Jevin kembali. "Kalo gitu, gue bakal langsung ngeresmiin semuanya. Kita bakal bikin bokap lo seneng."
"Nggak, nggak!" tolak Seva lagi. Tangannya masih belum bisa lepas. Jevin memegangnya terlalu kuat. Sakit. Seva ingin menangis. Bahkan pelupuknya sudah dipenuhi air.
"Sev, yakin sama gue." Jevin masih mencoba membujuk. "Gue janji, Seva. Gue janji bakal─"
"Seva ...."
Kontan Seva mendongak setelah mendengar suara bas yang sangat ia hafal. Dari ekor matanya, Seva dapat melihat Jevin juga melakukan hal yang sama. Namun, yang menjadi perhatian Seva sekarang adalah ekspresi Rey yang tak terbaca. Pria itu menatap persatuan tangannya dan Jevin seolah bengis. Wajah Rey pun merah padam dengan garis rahang yang terlihat keras. Seva cukup terintimidasi.
Seva kembali berusaha melepaskan tangannya dari belenggu Jevin. Namun, tetap tak berhasil. Sehingga setetes bulir air luruh dari kedua matanya.
Menyadari apa yang Seva lakukan, Rey langsung memegang tangan Jevin. Mencengkamnya cukup kuat, lalu berkata, "Lepasin tangannya."
"Lo siapa?" tanya Jevin tak suka. Sinyalnya mungkin mengira bahwa Rey adalah pengganggu.
"Saya tunangan Seva," jawab Rey mantap. "Saya bilang, lepasin tangannya."
"Cuma tunangan belum resmi─"
Belum sempat Jevin menyelesaikan kalimatnya, Rey lebih dulu menarik kerah pemuda itu. Genggaman Jevin pada tangan Seva langsung lepas karena Rey menyentaknya sangat kuat. Seva yang menyaksikan semuanya langsung histeris. Apalagi berpasang-pasang mata yang ada di sana mulai menjadikan mereka atensi.
Seva bangkit dari kursinya dan menyentuh lengan Rey dengan hati-hati. "Om, jangan, please, please ...."
Permohonan Seva berhasil mencegah pertikaian. Rey melepaskan kerah Jevin. Akan tetapi, masih melempar tatapan setajam belati. "Saya lepasin kamu karena nggak mau buat keributan, tapi kalau sekali lagi kamu nyentuh tunangan saya, saya nggak bakal nahan diri untuk kedua kalinya."
Setelah memuntahkan kalimatnya, Rey berlalu pergi. Seva tak mau ditahan Jevin lagi. Ia segera mengemaskan barang dan mengejar Rey yang berjalan dengan langkah lebar. Sangat sulit menyamainya. Bahkan pria itu sama sekali tak berhenti ketika Seva memanggil.
"Om Rey!" panggil Seva sekali lagi diikuti isakan kecil ketika mereka sampai di depan mobil Rey.
Akhirnya, Rey berbalik. Memandang Seva dengan tatapan yang tak dapat gadis itu tebak maksudnya. Tanpa lisan, Rey terus melakukan kegiatannya hingga beberapa menit. Kemudian, masuk ke dalam kendaraannya dan pergi begitu saja.
"Om Rey," lirih Seva yang ditinggali. Tangisnya semakin menjadi. Membuat beberapa mahasiswa yang sedang lalu-lalang memperhatikannya dengan aneh. Namun, Seva tak acuh sama sekali.
Gadis itu berjalan gontai ke arah parkiran khusus mahasiswa. Memasuki mobilnya dengan isakan yang semakin nyaring. Dengan keadaan seperti itu, Seva mulai menjalankan mobilnya menuju apartemen Rey. Harap-harap pria itu ada di sana.
Sesampainya di tempat tujuan, Seva segera turun dari kendaraannya. Berjalan cepat memasuki gedung apartemen seraya mencari-cari mobil Rey, tetapi nihil. Bahu Seva hampir saja merosot tak semangat ketika secercah pikiran positif menghampiri: mungkin Rey memarkirkan mobilnya di tempat lain agar Seva tak mengetahui keberadaannya.
Mengiakan dugaan itu, Seva mengangguk mantap untuk dirinya sendiri. Kakinya mempercepat gerakan menuju lift agar segera membawanya ke lantai tempat apartemen Rey berada.
Beberapa menit kemudian, Seva sudah berkonfrontasi dengan pintu apartemen Rey. Dengan tangan yang bergetar, dara itu menekan bel berulang-ulang.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga menit.
Empat menit.
Lima menit.
Tak ada tanggapan sama sekali dari dalam sana. Seva menempelkan telinganya ke daun pintu. Mencoba mendengar tanda-tanda kehidupan. Namun, tetap tidak ada apa pun. Entah memang tak ada orang di dalam atau apartemen itu kedap suara.
Tangis Seva yang tadi sempat hilang kembali menghampiri. Tak bisa ditahan seperti derasnya hujan di langit yang penuh awan kumulonimbus. Pekat, gelap, tak bercahaya, sangat redum seperti perasaan Seva sekarang.
Kali ini, gadis tersebut merosot. Bukan hanya bahunya tapi seluruh tubuh itu bertemu lantai dengan bokong sebagai tumpuan. Dengan bersandar pada dinding, Seva memperhatikan keadaan sekitar. Sepi. Tak ada suara sama sekali, selain isakannya yang menjadi. Seolah semesta memerintahkan setiap manusia yang ada di sana untuk bersembunyi. Membiarkan Seva bermesraan dengan muara nestapanya.
Seva tak mengerti ekspresi dan tatapan yang Rey tampilkan. Seva tak tahu kenapa Rey menjadi merah padam. Seva tak bisa menebak alasan Rey meninggalkannya begitu saja.
Semua itu terjadi terlalu cepat. Hingga tak ada keping memori yang dapat membantunya bertemu dengan jawaban. Yang dapat Seva sadari sekarang hanya sesak di dadanya. Bagaikan ada tangan di dalam sana yang meremas-remas hati Seva. Teramat sakit. Melebihi sakit yang Jevin hasilkan pada tangannya tadi.
Kaki Seva terlipat di depan dada. Keningnya terjatuh menempel pada lutut. Sampai sebuah telapak tangan besar menyentuhnya.
Sangat cepat Seva menengadah. "Dedek Seva, kenapa nangis di sini?"
( WAF - 31. Tempat Menjual Makanan dan Minuman )
Wow, isi dari chapter ini bener-bener beda banget dari versi sebelum revisi. Takut sih sebenarnya ngelakuin improvisasi sebesar ini tapi asik ih.
The simple but weird,
MaaLjs.
15 Oktober 2019 | 02:15
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro