( WaF - 30. Jangka Waktu Satu Minggu )
Senin adalah hari kedua dalam jangka waktu satu minggu. Kebanyakan orang tidak menyukai Senin. Bahkan membenci hari tak berdosa itu. Dikarenakan Senin pertanda akhir pekan usai, di mana setiap orang kembali berkutat dengan profesi mereka.
Untuk Rey pribadi, Senin bukanlah malapetaka. Menurutnya, semua hari sama saja. Tak ada libur baginya mengingat restoran selalu buka setiap hari─walaupun pada Sabtu dan Minggu hanya dari pukul enam sampai sembilan malam. Namun, itu tak masalah. Rey menyukai pekerjaannya. Bayaran yang ia dapat juga lumayan besar dan setimpal dengan kerjanya.
Sekarang Rey baru pulang dan sampai di apartemennya. Pria itu langsung melenggang ke arah dapur. Mengambil sekotak jus melon─yang tadi siang ia sajikan untuk Seva─lalu menuangkannya ke sebuah gelas. Dalam satu tegukan, cairan itu tandas.
Selanjutnya, Rey duduk di bangku makan. Menatap meja dengan nanar. Tanpa diperintahkan, otak Rey memutar kembali kejadian-kejadian tadi siang bersama Seva. Hidungnya lantas menghela panjang.
"Om cemburu?"
Satu pertanyaan itu mampu membuat pertahan Rey─untuk mengabaikan Seva─runtuh. Kontan ia menoleh ke arah gadis yang menggandeng tangannya itu. Lalu, menampilkan senyum jenaka yang dibuat-buat.
"Kenapa kamu mikir kayak gitu?"
Seva mengangkat kedua bahunya. Tatapan gadis itu penuh selidik. "Terus kalau Om nggak cemburu, kenapa tiba-tiba cuek?"
Rey mengalihkan atensinya ke arah barang-barang di etalase, sebelum kembali memandang Seva yang menunggu jawabannya. "Saya merasa biasa aja."
Rey berbohong. Ia tak merasa biasa saja. Ia sedang tidak baik-baik saja. Dadanya panas. Seakan sebuah ladang minyak terbakar hebat di dalam sana. Otak Rey masih mengingat jelas bagaimana Seva berbinar dan gugup memperhatikan Langit, juga ketika gadis itu menatap kepergian si pemuda seperti enggan ditinggalkan.
Rey hanya tidak suka melihat semua itu ... dan ia tak tahu apa alasannya. Banyak yang bilang bahwa Rey adalah tipikal pasangan posesif. Rey sendiri akui itu. Ia tak suka jika perempuannya memberi atau diberi atensi oleh laki-laki lain.
Rey tak suka miliknya diganggu.
Mungkin jika dalam kasus Jevin, Rey akan terang-terangan mengatakan bahwa ia cemburu. Namun, kali ini tentu berbeda. Langit tak menampilkan tanda-tanda tertarik pada Seva. Bahkan tadi, mereka hanya berkenalan sebagai formalitas. Jelas itu bukan ancaman. Akan tetapi, Rey tetap tak menyukainya.
Apakah itu juga cemburu?
Rey tak tahu.
Jawaban Rey tadi tak lantas membuat Seva puas. Gadis itu malah melepaskan gandengannya. "Ya, udah terserah," ucap Seva lalu melangkah lebih dulu.
Sejak obrolan kecil di supermarket itu, atmosfer di antara Rey dan Seva sangat dingin dan kaku. Mereka hanya berbicara seadanya sampai Seva memutuskan untuk langsung pulang setelah makan siang. Gadis itu bahkan tak mengatakan apa-apa selain pamit sebelum pergi.
Embusan napas Rey keluar dengan berat. Tangannya mengusap wajah secara kasar. Mendadak pusing menerjang. Seolah ada sebuah batu seukuran gajah di kepalanya sehingga Rey tertunduk dalam.
Seharusnya, jika Rey tak yakin dan mengklaim bahwa perasaan tadi bukanlah cemburu, ia tidak bersikap dingin kepada Seva. Seharusnya, acara masak dan makan siang mereka akan berjalan seru. Seharusnya, masih ada bincang kecil yang dapat mereka lakukan setelah mengenyangkan perut.
Ya, seharusnya memang seperti itu.
Bunyi bel yang berulang menjengut Rey dari lamunannya. Pria itu menangadah. Sedikit mengernyit karena bertanya-tanya siapa gerangan yang datang pada malam hari seperti ini. Tak mau penasaran lebih lama, Rey segera mengomando kakinya agar menghampiri pintu. Kemudian, langsung membukanya setelah memutar kunci.
Senyum lebar Jaya langsung menyapa. Tak perlu izin, laki-laki itu langsung menerobos masuk. Menggolerkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu Rey. Lalu dengan dramatis mengeluarkan napas lega.
Jaya menatap Rey masih dengan senyumnya. "Harusnya lo pindah lebih cepat supaya gue bisa ngungsi ke sini kalo kesepian."
Rey melengos. Ikut mendudukkan diri di salah satu sofa. "Biasanya lo pergi ke rumah temen-temen cewek lo atau ngedugem."
Tubuh Jaya sengaja dimiringkan agar dapat dengan jelas menatap Rey yang duduk di sofa seberangnya. "Sejak adek gue dimainin cowok, gue nggak pernah lagi nempel ke cewek sana-sini─"
"Karma."
Jaya memandang Rey sengit untuk beberapa saat, kemudian memilih abai. "Dan besok gue ada meeting sama klien penting. Mending gue ke sini, siapa tahu dimasakin makanan enak sama Chef Gaufrey," lanjut Jaya yang diakhiri tawa.
"Lo berani bayar gue berapa?" tanya Rey dengan tampang jemawa. Ia menyandarkan punggungnya di sofa.
"Sialan, sama sohib sendiri perhitungan!" pisuh Jaya sambil melemparkan satu bantal sofa ke arah Rey. Hampir saja tepat sasaran jika Rey tak mengelak di detik-detik terakhir. "Lo kok rapi? Mau pergi?"
"Gue baru aja pulang."
"Pantas gue nyium bau asem!" seru Jaya lalu tergelak.
Kali ini Rey yang mengumpat. Lalu mengeluarkan ponselnya. Tidak ada pesan atau panggilan dari Seva. Mereka memang jarang saling berhubungan melalui media. Namun, melihat tak ada kabar dari gadis itu, berhasil membuat Rey gundah.
Dan, sekali lagi, seharusnya Reylah yang memperbaiki keadaan. Ia yang memicu perang dingin tak kasatmata ini.
"Melas amat muka lo," tegur Jaya setelah lama diam. "Chat lo nggak dibalas Dedek Seva?" tanya Jaya, bercanda karena pria itu langsung terkikik.
Rey kembali menghela napas. Melempar ponselnya hingga mendarat di ujung sofa. Ia menatap Jaya lamat-lamat.
"Wah, lagi galau berat kayaknya." Ucapan Jaya masih penuh kelakar. "Perasaan tadi siang masih kayak pengantin baru."
"Gue mau nanya sesuatu sama lo," ujar Rey tanpa memedulikan perkataan Jaya sebelumnya.
"Nanya, ya, nanya aja. Pake minta izin segala lo."
Lagi, Rey menghela napasnya. Menceritakan semua pikiran yang sejak tadi melingkupi setiap inci otaknya. Orasi itu kemudian ditutup dengan pertanyaan tentang perasaan apakah yang ia alami sekarang.
"Ya, cemburulah." Jaya bangkit dan duduk di sofa. Berdecak-decak dengan berlebihan sebelum mengucapkan, "Heran, kayak abege aja lo nggak tahu itu perasaan apa."
"Gue cuma nggak─"
"Sama aja, Bego!" Jaya menggeram. "Kalo lo nggak suka lihat Seva kayak gitu ke cowok lain, ya, artinya lo cemburu. Kayak nggak pernah pacaran aja lo."
Sekarang Rey memutuskan untuk diam. Menerawang ke arah lantai dengan sekelumit pikiran yang masih menari-nari di kepalanya.
"Santai ajalah, Rey. Seva cuma kagum, nggak lebih, gue yakin. Nggak usah kayak anak kecil, ingat lo udah tua."
Rey memutar matanya. "Tapi bagi gue, tahap─"
"Mencintai ada lima: kagum, tertarik, suka, sayang, dan cinta," potong Jaya dengan intonasi yang menggebu-gebu. "Saking seringnya lo ngomongin itu, gue udah hafal di luar kepala." Badan Jaya condong ke arah Rey. "Lo sendiri yang bilang, bos lo itu nggak nunjukin ketertarikan sama sekali ke Seva. Terus kenapa lo uring-uringan?"
Rey kembali diam. Tak tahu bagaimana cara menyahut Jaya. Setiap kata dari sahabatnya itu memang telak.
"Sekarang gue tanya sama lo, apa lo udah bisa lupain Tika sepenuhnya?"
Mendengar nama itu, Rey langsung menekuk wajahnya. "Kenapa lo jadi bawa-bawa Tika?"
"Jawab aja pertanyaan gue."
Embusan napas Rey terdengar nyaring saat ia menjawab, "Belum."
Seulas senyum Jaya keluar. Jenis senyum penuh cemooh yang menyebalkan. "Lo nggak terima Seva kagum sama bos lo, tapi lo sendiri bahkan belum bisa ngelupain Tika." Giliran Jaya yang menatap Rey dengan lekat. "Lo nggak pantas nggak terima Seva kayak gitu kalo lo bahkan masih mikirin Tika."
Kalimat-kalimat itu menampar Rey begitu kuat. Menghantam dadanya dengan beribu penyesalan yang mengendap hingga dasar. Menyadarkan dirinya bahwa ia jauh lebih tak adil. Harusnya Seva yang marah, jika gadis itu tahu apa yang masih Rey sembunyikan.
"Coba lo pikir, apa Seva juga bakal terima kalo dia tahu lo masih mikirin mantan lo yang ...." Jaya berdiri. Pria itu berjalan menuju pintu. "Gue yakin, lo ngerti apa yang gue maksud. Gue mau biarin lo sendiri supaya lo bisa fokus mikirin ini." Sebelum benar-benar keluar, Jaya tersenyum kembali. Namun, yang kali ini penuh dengan aura menyemangati. "Kita udah kenal dan temenan selama dua belas tahun. Gue paham apa yang lo rasain. Gue cuma nggak mau lo kehilangan lagi. Jadi, pikirin bener-bener."
( WAF - 30. Jangka Waktu Satu Minggu )
Orang posesif tuh gemes-gemes nyebelin, ya~
The simple but weird,
MaaLjs.
15 Oktober 2019 | 00:00
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro