( WaF - 28. Lengkung Spektrum Warna di Langit )
Lengkung spektrum warna di langit yang hadir setelah hujan karena pembiasan sinar matahari oleh titik-titik hujan atau embun dinamakan pelangi. Barisan warna-warni cantik itu ditangkap manik Rey di hari yang cerah ini. Bukan di langit, melainkan kaus yang Seva kenakan. Di bagian dadanya terdapat gambar lengkungan indah tersebut.
Menyingkir dari pintu, Rey mempersilakan Seva masuk ke dalam apartemennya. Mata Rey memperhatikan Seva ketika melangkah. Gadis itu tampak mempunyai aura cerah hari ini. Dandanannya juga membuat Seva tampak beberapa tahun lebih muda: kaus hitam yang dimasukkan ke dalam rok ketat berwarna merah, memiliki panjang beberapa senti di atas lutut; juga tata rambut yang menggemaskan: dikepang dua.
Seva berbalik untuk menoleh ke arah Rey yang menutup pintu apartemen. "Seva tadi sempat ke rumah Om. Kirain masih di sana. Rupanya udah di apartemen!" seru gadis itu. "Kok nggak ngabarin sih?
Tungkai kaki Rey melangkah ke arah dapur. Dengan disadarinya, Seva membuntuti di belakang. "Saya udah di sini sejak jam tujuh pagi. Saya kira kamu bakal datang siang."
"Seva, kan, udah bilang datangnya pagi." Kini gadis itu sudah berada di sebelahnya dengan bahu yang masih mencangklok tas berwarna senada dengan roknya.
"Oke, maaf. Tadi saya juga masih mau bersih-bersih dan susun barang-barang." Rey berjalan ke arah kulkas setelah mereka sampai di dapur. Mengambil sekotak jus melon yang sempat ia beli kemarin. Rey tak terlalu suka melon, tetapi ia tahu buah tersebut adalah favorit Seva. Selanjutnya, Rey menyajikan cairan hijau itu di sebuah gelas kosong. "Kamu suka melon, kan?"
"Makasih, tapi gimana Om tahu?" tanya Seva sambil mengambil gelas itu dari tangan Rey.
Rey tersenyum saat berjalan ke meja makan dan duduk di sana. Ia menyuruh Seva juga melakukan hal yang sama, lalu menjawab, "Dua kali kita makan di restoran, juga dua kali kita makan di rumah kamu, kamu selalu minum jus melon. Rambut sama parfum kamu bahkan bau melon."
Untuk beberapa saat, Seva yang duduk di sebelah Rey membeku. "Gimana Om tahu rambut sama parfum Seva bau melon?" tanyanya.
Rey memanjangkan tangan mengambil stoples berisi biskuit coklat dan membukanya. "Dengan jarak sedekat ini, parfum kamu jelas keciuman." Rey melebarkan senyum hingga lesung pipinya bereksistensi. "Waktu itu, saya juga pernah meluk kamu."
Di detik selanjutnya, Seva berdeham kemudian meneguk jusnya. Sekarang tatapan gadis itu sudah tak jatuh pada mata Rey. Lebih tepatnya, tampak menghindari. "Keluarga Om nggak ada yang bantu pindahan?" tanya Seva setelah menelan cairan di dalam mulutnya.
Stoples yang berhasil Rey buka, ia taruh di meja agar Seva juga dapat mengambil isinya. "Yang kemarin-kemarin ada. Hari ini nggak. Saya emang nyuruh mereka buat nggak bantu. Kalau cuma bawa baju, saya bisa sendiri."
"Nggak ada acara perpisahan supaya nggak kangen?"
Seketika Rey tertawa. "Kali ini saya nggak pindah ke Italia lagi. Kami bisa ketemu kapan aja kalau kangen."
"Bener juga." Seva ikut tertawa kecil karena pertanyaannya. "Om udah selesai beres-beresnya?"
Rey mengambil satu biskuit dari stoples. "Udah dari tadi."
"Berarti Seva datangnya telat," ucap Seva dengan bibir yang sedikit dikerucutkan.
"Nggak pa-pa." Rey memakan biskuit yang tadi ia ambil. "Kamu masih bisa bantu saya masak makan siang nanti, kalau mau."
"Mau," sahut Seva cepat. "Eh, tunggu dulu .... Om bisa masak?"
Lantas tawa Rey kembali. "Kamu lupa apa pekerjaan saya?"
Mendengar pertanyaan Rey, Seva memejamkan matanya sebentar. "Ya, ampun. Sampe lupa," ucap gadis itu setelah membuka kelopak mata. "Malu ...." Seva kembali mengerucutkan bibirnya. "Malu sekali lagi deh, karena Seva baru sadar sesuatu."
Senyum Rey terpampang lebar. "Sesuatu apa?"
Tangan Seva teralih pada rambut sebahunya yang dikepang. Mengelusnya sebentar seraya mengujar, "Udah pasti Om lebih jago masak dari Seva."
Rey terkekeh lagi. Namun, bukan bermaksud mengejek. "Santai aja. Itu nggak masalah."
Mimik Seva cemberut. "Tetap aja malu. Kesannya Seva bakal jadi pasangan yang nggak becus."
"Practice makes perfect. Kalau emang niat, masak aja terus. Saya siap buat jadi pencicipnya."
"Oke. Nanti Seva coba." Seva tersenyum dan mengangguk. "Om, Seva mau nanya deh. Kenapa Om mau jadi chef?"
"Setiap ngerayain HUT RI, di komplek rumah saya selalu ada lomba masak antaribu-anak. Waktu itu umur saya masih sepuluh tahun. Mbak Bey harusnya nemenin Mami tapi dua hari sebelumnya, dia malah kena cacar, sedangkan Bia masih kecil. Mau nggak mau, saya yang gantiin." Tanpa sadar senyum Rey mengembang mengingat ketidaksetujuannya untuk menggantikan Bey dulu. "Sampai pas lomba, Mami masak makanan favorit saya. Saya rasa hasilnya memuaskan tapi malah kalah. Saya nggak puas dengan keputusan juri tapi saya juga nggak bisa apa-apa. Makanya sejak kejadian itu, saya selalu jadi pendamping Mami setiap tahunnya. Terus masak jadi hobi saya. Bahkan saya lebih andal dari Mbak Bey."
Sedari Rey memulai cerita, kurvaan bibir Seva tak hilang. "Lucu, ih, ceritanya. Pengen lihat gimana Om ikut lomba gituan. Tahun ini, Om nggak mau nemenin Tante Tami lagi?"
"Kalau bisa, saya mau aja tapi nggak boleh karena para tetangga tahu pekerjaan saya."
"Sayang banget ...," kata Seva dengan nada kecewa. Namun, di detik selanjutnya gadis itu terkikik. "Tapi kalau Seva tetangga Om, Seva juga nggak bakal terima."
Tawa Rey kembali sebagai tanggapan, lalu pria itu bertanya, "Kamu lapar, nggak?"
"Lumayan. Tadi Seva cuma makan tiga biskuit sama satu pisang aja," jawab Seva jujur.
"Oke, kita makan sebentar lagi tapi sebelum itu, saya mau beli bahan masakan dulu. Kamu mau ikut atau tunggu di sini?"
"Mau ikut."
"Tunggu sebentar." Rey bangkit dari kursinya. "Saya mau ganti baju dulu."
( ⚘ )
Derap langkah kaki Rey dan Seva terdengar seirama. Keduanya berjalan berdampingan menuju parkiran. Mereka sepakat untuk pergi menggunakan satu mobil dan milik Reylah yang terpilih.
"Mau belanja di mana, Om?" tanya Seva sambil mengerling ke arah Rey sebentar.
"Di supermarket dekat sini aja."
Kepala Seva menganggut-anggut. "Om udah hafal daerah sini?"
"Belum," jawab Rey sesampainya mereka di parkiran, "tapi kemarin saya lihat ada supermarket nggak jauh dari sini."
Sejoli tersebut kembali senyap. Mereka fokus berjalan menuju mobil Rey yang sudah terparkir rapi. Akan tetapi, belum sempat memasuki mobil, seseorang memanggil Rey. Keduanya menyempatkan diri untuk menoleh ke arah orang itu.
"Eh, Jay, dari mana lo?" tanya Rey pada si pemanggil yang ternyata adalah sahabatnya, Jaya.
Jaya mengusap keringat menggunakan handuk di lehernya. "Baru kelar joging nih. Sekalian makan bubur di depan sana. Penjualnya cantik," jawabnya seraya tergelak.
Seperti terjangkit, Rey melakukan hal yang sama. "Gue kira lo habis narik bajaj," canda Rey.
Tawa Jaya hilang, wajahnya berubah datar. "Coba jelasin di mana letak tampang supir bajajnya di muka yang mirip Johnny Seo ini."
Mendengar penuturan Jaya, Rey bergidik geli; sedang Seva terkikik pelan sembari menutup mulutnya.
Menyadari kehadiran Seva, Jaya menjatuhkan pandangannya pada gadis itu. "Anak siapa nih yang lo bawa?" tanya pria tersebut yang ditujukan untuk Rey.
Rey ikut menatap Seva, lalu kembali menoleh ke arah Jaya. "Ini yang namanya Seva."
Kontan mata Jaya terbelalak secara berlebihan. Ia menyorot Seva dari atas sampai bawah berulang-ulang. Hal itu membuat Rey mendengus pelan. Merasa jengah karena mempunyai teman seperti Jaya.
"Lebay lo," kata Rey karena melihat Seva yang tak nyaman diperhatikan seperti itu.
Jaya mengabaikan Rey. "Ini beneran yang namanya Seva?"
Dengan gerakan yang pelan, Seva mengangguk.
Selang beberapa detik, terdengar embusan napas panjang nan dramatis dari Jaya. Netranya kembali memandang Rey dengan tatapan yang sarat tak percaya. "Ini sih daun mudanya termasuk dedek gemes banget, Rey!"
Decakan sebal keluar dari mulut Rey karena suara Jaya sangat nyaring. Sehingga beberapa penghuni apartemen yang ada di parkiran sempat menoleh ke arah mereka. "Kurang gede suara lo," sarkasnya.
Tak memedulikan Rey dan kembali bersikap layaknya dalam drama, Jaya menghela napas. "Dedek Seva umurnya berapa?"
Mendengar panggilan yang Jaya berikan padanya, impuls membuat Seva menyengir. "Sembilan belas tahun. Beberapa bulan lagi dua puluh."
"Wagelaseh!" Suara Jaya keluar senyaring tadi. "Masih dedek-dedek gemes. Kok mau sama Rey yang udah tua gitu?"
Tawa Seva tak dapat disembunyikan saat ia mendengar pertanyaan Jaya. Sementara Rey bersedekap dan memutar bola matanya. "Umur kita sama kalau lo lupa," ujar Rey.
Untuk ketiga kalinya, Jaya tidak mengacuhkan Rey. Fokusnya hanya pada Seva. "Dek, kalau Rey nakal, bilang ke Bang Jaya, ya. Nanti bakal Abang hajar Rey sampe jadi tahu gejrot."
Suara tawa Seva semakin nyaring. Rasa tidak nyaman yang tadi melingkupinya seketika hilang.
Sekarang giliran Rey yang menghela napas. "Sejak kapan lo jadi abangnya Seva?"
Jaya menoleh ke arah Rey. "Sejak lo tunangan sama dia─"Jaya terpingkal sendirian, "─udah, ah. Gue mau masuk dulu. BTW, kalian mau ke mana?"
"Supermarket," sahut Rey.
"Oh, ya, udah. Hati-hati." Jaya melihat ke arah Seva, kemudian melambaikan tangannya sebelum berlalu. "See you, Dedek Seva."
Seva tak menanggapi dengan lisan. Ia hanya menggerakkan tangannya ke kanan-kiri dengan senyuman.
Selanjutnya, Rey dan Seva kembali pada niat mereka. Keduanya masuk ke dalam mobil. Kemudian, menyusuri jalan dengan Rey sebagai penyetir.
"Om Rey sama Bang Jaya temenan dekat?" tanya Seva setelah mobil Rey berjalan satu meter─setelah keluar dari kawasan parkir.
"Iya, dia teman SMA saya. Dia juga yang kasih info tentang apartemen ini."
"Apartemen Bang Jaya nomor berapa?"
Rey melirik Seva sebentar. "Saya lupa nomornya tapi selantai dengan punya saya."
Beberapa menit kemudian, Rey dan Seva sampai di supermarket. Tak membuang waktu, mereka segera memasuki pasar swalayan yang cukup ramai itu. Langkah Rey yang lebar membuat Seva meraih lengan pria itu. Menggandengnya erat, membuat Rey tak dapat menahan senyum. Sentuhan kecil dari Seva mampu membuat dadanya menghangat.
"Kamu mau makan apa?" tanya Rey sambil menoleh ke arah Seva.
Gadis itu memanjangkan sebelah tangannya─yang tak menggandeng Rey─untuk mengambil keranjang belanjaan. "Seva makan apa aja sih, kecuali timun."
Jawaban Seva membuat Rey menautkan alis. "Kenapa?"
"Seva nggak suka timun."
"Kan, ti─"
"Rey, kan?"
Suara feminin yang keluar dari mulut seorang wanita dewasa menghentikan langkah Rey dan Seva. Keduanya sama-sama menatap bingung perempuan berambut merah gelap itu. Namun, terkhusus untuk Rey, ia merasa familier dengan paras sosok orang di depannya.
Dengan senyum lebar, wanita yang sudah terbilang cukup matang─tapi mempunyai dandanan trendi melebihi Bey─itu mengulurkan tangan ke arah Rey.
"Saya Siska. Ibu saya temannya Tante Tami."
( WAF - 28. Lengkung Spektrum Warna di Langit )
Alig beberapa malam lalu ide ngalir lancar buat outline MITAM: WITW. Mau lanjut cerita itu setelah cerita ini selesai tapi malah kehalang sama time setting. Huiks. 😭
The simple but weird,
MaaLjs.
13 Oktober 2019 | 00:40
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro