( WaF - 25. Seutas Tali Tak Kasatmata )
Persahabatan yang dijalin selama bertahun-tahun, tentu membuat manusia yang berada di lingkarnya terikat seutas tali tak kasatmata. Helaian tak terlihat itu bertugas sebagai perekatnya. Seperti hubungan antara Seva, Bia, dan Orlin. Kedekatakan mereka sejak sekolah menengah sudah seperti saudara. Bahkan orang-orang dapat menebak, jika salah satu di antara mereka pergi ke suatu tempat, maka dua lainnya juga akan berada di sana. Benar-benar tak bisa terpisahkan.
Kemarin malam, Orlin mengajak mereka mengadakan pesta piyama. Kebetulan sekarang sudah akhir pekan. Namun, di kesempatan kali ini Bia akan absen dengan alasan ada keperluan. Alhasil, Seva dan Orlin menyelenggarakan kegiatan itu di kediaman Seva. Sebab Seva sudah dapat menduga, bahwa Orlin juga tak akan mau jika pesta diadakan di rumahnya, kendati gadis itu yang mempunyai ide. Tanpa perlu ditanyakan, Seva sudah tahu jawabannya karena kondisi keluarga Orlin.
Sekarang kedua gadis itu sudah berada di ranjang. Dengan mengenakan piyama berbahan halus dengan motif-motif lucu. Posisi Seva sedang duduk manis, sedangkan Orlin berbaring dan fokus pada ponsel. Pesta piyama mereka memang tak punya agenda yang bermacam-macam. Kadang hanya memakan cemilan bersama, lalu mengobrol hingga tertidur.
Melihat Orlin masih belum ingin memulai pembicaraan, Seva ikut memainkan ponselnya. Di saat itu pula ia sadar ada satu notifikasi. Ternyata ada sebuah pesan dari Rey yang belum Seva baca. Waktu diterimanya sekitar lima belas menit yang lalu, di mana Seva harus bersusah payah menghentikan perdebatan antara Orlin dan Deon. Mereka berdua memang sering bertengkar karena hal sepele. Bagian paling menyebalkannya, menurut Seva, ialah ketika keduanya tak ada yang mau mengalah.
Gaufrey
Besok kamu ada acara keluarga?
Sevarina
Nggak ada sih.
Cuma Seva lagi ngadain pesta piyama sama Orlin. Kemungkinan dia bakal pulang besok sore.
Emangnya kenapa, Om?
Gaufrey
Tapi kamu nggak ke mana2? Cuma di rumah aja?
Sevarina
Kemungkinan sih gitu. Nggak tahu deh.
Emangnya kenapa sih?
Gaufrey
Gpp, cuma nanya.
Sevarina
Tumben banget nanya yang begituan.
Gaufrey
Emangnya nggak boleh?
Sevarina
Boleh sih. Maksudnya, aneh aja.
Biasanya cuma chat kalo penting doang.
Gaufrey
Nggak ada yang aneh kalau status saya masih pacar kamu.
Membaca kalimat itu membuat warna wajah Seva bertransformasi menjadi merah. Sudah berulang kali Rey berhasil membuatnya merona. Setiap harinya perlakuan pria itu kian manis. Seva jadi merasa sedang berada di dunia permen jika bersama Rey.
Mendadak Seva teringat kejadian seminggu yang lalu─hari di mana Rey malah mengambil tugas Bia untuk menjemputnya─saat pria itu mengunjunginya setelah pulang kerja. Rey membawa makanan, yang merupakan jatah makan malamnya dari B&J HR, dengan maksud ingin makan bersama keluarga Seva. Namun, Henri dan Yana sudah terlelap, sementara Deon kekenyangan. Hingga akhirnya membuat Seva dan Rey menyantap hidangan itu berdua. Sekaligus menjadi kenangan pertama mereka melakukan makan malam bersama. Suasananya tak romantis tapi sangat menyenangkan. Bahkan sampai sekarang Seva dapat mengingat setiap momennya dengan jelas.
Gaufrey
Jadinya nggak bakal ada yang marah kalau saya chat kamu.
Udah dulu, ya. Saya mau istirahat.
Sevarina
Oke.
Sleep tight. Good night.
Selanjutnya, Seva menaruh ponsel di atas nakas dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Senyumnya sudah terbit sejak memutar kilas balik makan malam pekan lalu. Sampai sekarang ukiran kebahagian itu masih tak sirna.
"Dari tadi senyam-senyum terus. Kesambet cinta?"
Mendengar ucapan itu, Seva kontan memiringkan kepalanya ke arah Orlin. Sahabatnya tersebut tersenyum menyebalkan. Dikarenakan gerak-gerik Seva sejak tadi tak luput dari perhatian Orlin.
Melihat Seva yang ingin mengelak, Orlin kembali berkata, "Enak banget, ya, yang punya pacar. Gue mah apa chatting-nya sama Sim Simi doang."
Kalimat terakhir Orlin membuat Seva melupakan godaan tadi. Gadis itu tertawa keras mendengarnya. "Jadi, setelah lo chatting sama Simi, apa udah terkonfirmasi gendernya?"
Dengan dramatis, Orlin memajukan bibirnya. "Belum. Jawaban dia masih beda-beda. Misalkan paginya nih, ya, gue tanya, dia bilang cowok. Eh, pas siangnya gue tanya lagi, dia bilang cewek. Gue rasa dia hermafrodit deh."
Gelak Seva semakin menjadi. "Dasar anak IPA!"
Orlin ikut tertawa dengan lawakannya sendiri. Kemudian, menyahut, "Lo juga anak IPA, ya! Mau nyamarin gender dari cowok kurbel di WA aja pake bawa-bawa kromosom!"
Tangan Seva langsung melingkar pada tubuh Orlin ketika mengingat kejadian masa SMA itu. Perutnya sampai sakit karena tertawa. "Masih inget aja sih lo!"
"Inget dong. Apalagi kalau muka cowok-cowok ganteng di sekolah dulu. Masih inget seratus persen gue mah."
Lantas Seva mencibir. "Ngomongin cowok terus tapi masih jomlo aja sampe sekarang."
Lagi, dengan dramatisnya, Orlin merengut. "Iya, iya, yang udah taken."
Seva tersenyum geli. "Gue ada kenalan cowok ganteng lagi jomlo, lho, Lin."
"Wah, siapa tuh?"
"Deon. Baru putus dari pacarnya tuh."
Mimik Orlin langsung datar. "Dari sekian banyak cowok ganteng yang jomlo, kenapa harus dia coba?"
Kekehan Seva yang sempat hilang sekarang kembali. "Siapa tahu dengan gitu kalian bisa akur. Kalo dilihat-lihat kalian tuh cocok."
"Cocok dari Hongkong." Orlin memutar matanya. "Kalo gue jadian sama dia, masalah kecil kayaknya bakal didebatin setahun."
Untuk beberapa detik Seva melegakan lehernya yang tak mampu menahan kikikan. Lalu gadis itu berujar, "Kadang apa yang kita bayangin tentang sebuah hubungan nggak senyebelin itu kok, Lin."
Kelopak mata Orlin mengerjap beberapa kali. "Maksudnya?"
"Mungkin sekarang lo sama Deon emang suka berantem, tapi bisa aja kalo kalian pacaran, hubungan kalian malah jadi harmonis banget."
Bibir Orlin lantas mengurva lebar. "Kayak udah pengalaman banget sih!"
Jemawa langsung menguasai Seva. Ia bangkit dari posisinya dan memasang wajah sombong yang dibuat-buat. "Oh, jelas!"
Orlin pun ikut mengubah posisinya menjadi tiarap. "Ceritain dong, Sev, gimana hubungan lo sama Mas Rey. Kayaknya menarik banget."
"Sejak sepakat buat pacaran, gue sama Om Rey udah jarang adu mulut sih." Seva ikut memosisikan dirinya seperti Orlin. "Cuma sekali doang aja waktu itu tapi nggak parah banget. Sekadar adu mulut gitu-gitu doanglah. Pokoknya kami mulai bisa toleran satu sama lain. Juga lagi coba jalin komunikasi yang baik, kayak kalau emang nggak suka sama sifat atau sikap satu sama lain, ya, langsung bilang nggak suka daripada dipendem jadinya dongkol sendiri, kan. Ya, gitu aja. Baru semingguan juga."
Orlin menganggut-anggut dengan senyum yang semakin lebar. Sepertinya tampak sangat antusias dengan pembahasan ini. "Kalo ngelakuin hal yang lovey-dovey gitu pernah, nggak, sih?"
"Pernah, tapi cuma pegangan tangan sama pelukan doang."
Kelopak mata Orlin membeliak. "Ih, udah pernah pelukan?!"
"Iya ..., cuma pelukan biasa aja. Om Rey nenangin gue yang lagi nangis."
"Nangis kenapa sih?" tanya Orlin dengan suara sarat akan penasaran.
Sebelum mulai bercerita tentang pikiran yang mengganggunya kemarin, Seva berdeham terlebih dahulu. Orlin mendengarkan dengan saksama. Tak menyela sama sekali. Hanya mengangguk-anggukan kepala tanda bahwa ia mendengar dan mengerti semua ucapan Seva.
Seusai mendengar orasi Seva, Orlin mencebikkan bibir. Bergeser mendekat ke arah Seva untuk memberi pelukan. "Ututu, My Precious Baby. Bener kali yang dibilang sama Tante Yana, selama Mas Rey nggak keberatan, lo santuy ajalah." Orlin mengeratkan pelukannya. "Jangan mikir gitu lagi, ya. Gue jadi ikutan sedih juga, tahu."
Bibir Seva yang ingin melengkung tidak bisa ditahan. Gadis itu juga mendekap Orlin tak kalah erat. "Iya, makasih, ya. I love you."
"I love you too." Orlin membalas senyuman Seva setelah mereka memisahkan diri. "Oh, ya, gimana dengan Jevin? Setelah datang ke fakultas lo kemarin, dia ada ngelakuin sesuatu lagi?"
"Nggak ada sih." Seva mengambil ponselnya yang berada di nakas. Lalu menunjukkan isi daftar pesannya pada Orlin. "Dia sering ngechat tapi nggak gue balas sejak terakhir ketemu di T'Sky waktu itu."
Orlin tak menanggapi pernyataam Seva, dara itu malah berbinar, kemudian berkata, "Ih, sweet banget sih Mas Rey!"
Impuls saja Seva mengernyit. Ia mengarahkan layar benda pintar itu ke hadapan wajahnya. Mendadak muka Seva kembali merona.
Gaufrey
Selamat malam juga.
Kamu jangan tidur malam2. Nanti cantiknya hilang.
"OMG, Seva! Gue mau satu yang kayak Mas Rey juga!" teriak Orlin yang ternyata mengintip. Mau tak mau Seva harus menutup telinga dibuatnya.
( ⚘ )
Subuh tadi, di rumah keluarga Henri, terdengar lengkingan gadis-gadis yang mampu memenuhi penjuru rumah. Suara nyaring itu berasal dari Seva dan Orlin, sementara alasan yang membuat dua gadis tersebut berteriak adalah Deon. Pemuda itu menjewer telinga mereka karena sulit dibangunkan untuk salat.
Di malam sebelumnya Seva dan Orlin memang terjaga sampai larut. Mereka begadang sembari menukar obrolan acak. Oleh karena hal tersebut, setelah melakukan kewajiban mereka, dua dara itu sepakat untuk kembali berhibernasi hingga matahari meninggi.
Waktu yang berlalu tak lantas menghilangkan bercak merah karya Deon di telinga keduanya. Mengakibatkan Orlin sedari tadi bermisuh-misuh seraya memegang telinga. "Gila, masih sakit banget nih telinga gue. Lihat aja entar si Deon, gue balas pake jurus flatshoes terbang."
Tawa Seva mengudara kala ia tetap sibuk mengarahkan mulut selang ke tanaman di depannya. Air yang keluar dari sana menyebabkan tumbuhan-tumbuhan itu tampak makin segar. "Sabar, sabar. Lagian dia kayak gitu buat kebaikan juga, kan."
Napas Orlin terembus cepat. Kakinya yang begelantung di ujung gazebo bergerak-gerak pelan. "Iya, sih."
Sudut bibir Seva kian tertarik. Membentuk segaris seringai kecil. "Jadi makin charming, nggak, sih?"
Orlin bangkit dari duduknya dengan alis tertaut. Tak mengerti maksud dari kalimat Seva. Membuat netra gadis itu mengerling ke berbagai sudut halaman belakang—bagian rumah yang mereka cokoli sekarang, sekaligus tempat favorit Seva setelah kamarnya—sebagai aksi untuk berpikir.
"Hah? Gimana-gimana?" tanya Orlin. Pasrah karena tak bisa menemukan maksud dari ucapan sahabatnya tersebut.
Punggung Seva berbalik. Menunjukkan cengiran lebarnya saat ia mulai menjawab, "Deon udah kayak gitu, masa lo masih nggak tertarik?"
"Ih, apa sih?" Orlin bergidik dengan mata melebar. Ia berjalan mendekati Seva dengan ekspresi tak percaya. "Najis banget deh. Kenapa sih kayaknya pengin banget gue sama dia?"
"Lucu tahu, Lin." Seva terkekeh-kekeh seraya memfokuskan pandangan ke tanaman lagi. "Biar kita jadi keluarga gitu. Lucu, kan?"
"Nggak, gue nggak mau sama tuh anak." Orlin menggeleng cepat. Sama sekali tak pernah terpikirkan oleh benaknya untuk menjalin hubungan dengan Deon. Bahkan bila di dunia sudah tidak ada stok laki-laki, ide tentang melajang seumur hidup akan menjadi opsi terbaik bagi dara itu. "Lo, kan, bakal sama Mas Rey. Berarti udah pasti bakal jadi keluarga sama Bia. Nah, nanti gue jodohin Joan sama Ervon, adek gue. Kita bertiga jadi keluarga besar deh."
Mulut Seva menganga sekejap mendengar ujaran Orlin. "Ngaco lo. Joan sama Ervon masih kecil kali. Paling cepet, ya, jodohin lo sama Deon."
Tangan Orlin meraih selang yang Seva pegang, mengambil alih aktivitas sejawatnya tersebut, juga bermaksud mengalihkan pikiran tentang ia dan Deon yang mulai menginvasi relung otaknya, sebab bayangan itu benar-benar memualkan. "Nggak."
Seva memiringkan posisi, menatap Orlin lekat tetap dengan senyum merekah. "Semoga lo sama Deon jodoh."
"Ih, Seva!"
"Aamiin!"
Delikan Orlin hadiahkan untuk gadis di sampingnya. "Heh!"
"Jodoh pokoknya."
Merasa sangat terusik, tanpa pikir panjang Orlin memalingkan pancuran air ke arah Seva. Mengakibatkan gadis tersebut kontan basah. Ia menjerit sekencang mungkin. Namun, kikikan Orlin, yang merasa puas karena berhasil melepaskan kesal, lebih nyaring.
"Orlin!" Seva berusaha berbicara di tengah guyuran air yang menimpa wajahnya. Tak lupa juga untuk menghindar. Akan tetapi, semburan itu terlalu kuat. Menyebabkan hampir seluruh bagian tubuhnya yang terbalut kaus oblong dan hotpants kuyup. "Gue udah mandi!"
Tak ada niatan untuk berhenti, Orlin hanya mengangkat bahunya. "Rasain!"
"Awas, ya, lo, Lin!" Percikan air yang menyulitkan Seva untuk membuka mata membuat ia meraba-raba tanah dengan kaki. Dara itu beranjak ke tempat selang lain yang tak jauh dari posisinya. Kemudian, membalas Orlin ketika sudah mendapatkan senjata.
"Seva!" pekik Orlin, terkejut dengan serangan tiba-tiba. Mengakibatkan tembakan airnya meleset sesaat. Pun menyebabkan keadaan spontan berbalik.
"Biar impas. Enak aja gue doang yang basah." Seva bergegas mematikan air dari selangnya. Lalu segera menghampiri Orlin dan melakukan yang sama. "Ganti baju, yuk, nanti masuk angin nih."
"Ayo, deh," turut Orlin seraya merapikan beberapa anak rambutnya yang lepas dari kuciran. Siraman Seva tadi membuat kepala hingga dada gadis tersebut basah.
Seva memulai perjalanan memasuki rumah dengan menggandeng lengan Orlin. Sembari terus melangkah lurus, ia membantu sahabatnya itu untuk merapikan rambut. "Lo laper, nggak?"
"Nggak usah ditanya, Sev." Orlin mulai cengegesan. "Lo tahu sendiri jawabannya apa."
Kata-kata dan gelagat Orlin berhasil mengundang tawa Seva. "Gue juga laper. Habis ganti baju kita sarapan, ya."
"Iya," sahut Orlin seraya menjengitkan kepala. Ia masih membiarkan Seva mengurus sisa rambut yang masih menutupi wajahnya. Mengakibatkan Orlin secara tak langsung menjadi mata dari langkah mereka, yang juga menyebabkan dara tersebut menjadi penyaksi pertama mengenai penghuni rumah lainnya dan sekelompok petandang yang terlihat serius di ruang tamu.
"Dek—"
"Mampus!" pekau Orlin refleks setelah mencerna apa yang dilakukan orang-orang itu dan mengapa asisten rumah tangga tersebut menegur mereka—sebelum dipotongnya—dengan ekspresi horor.
Sementara Seva, yang sibuk merapikan Orlin, terperanjat karena suara gadis itu. Dahinya mengerut mendapati mimik Orlin yang tampak nanap dengan pandangan lurus ke depan. Membuat rasa penasarannya terusik dan ikut menjatuhkan tatapan ke arah yang sama.
Sejurusnya, air muka Seva berubah persis seperti milik Orlin. Namun, jauh lebih dramatis karena napasnya tertahan dengan air mata yang menggenang. Hingga di detik berikutnya, dara tersebut memutuskan untuk melepaskan gandengan, meninggalkan Orlin yang terpaku dipandangi oleh Henri, Yana, Deon, dan para tamu sejak memekik tadi.
( WAF - 25. Seutas Tali Tak Kasat Mata )
Cerita ini pertama kali ditulis tahun 2017 (terlepas dari versi FF-nya yang M tulis pas SMP). Dan, malu banget ya anjir ngeliat AN dua tahun lalu! 😭 Apa banget itu M umur 16 tahun alay betul! 😭
/lalu beberapa tahun kemudian sadar kalau M yang sekarang juga alay pada zamannya! :">
Btw, chapter ini kayaknya bakal jadi chapter terpanjang. Pfft. 2,2k words aja sih.
The simple but weird,
MaaLjs.
9 Oktober 2019 | 23:24
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro