Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

( WaF - 17. Kesadaran Masa Lampau yang Hidup Kembali )

Memori adalah kesadaran masa lampau yang hidup kembali. Dapat juga disebut dengan ingatan. Otak Seva sekarang tengah bekerja memutar ulang momen pembicaraannya dengan Bia tadi. Dengan napas teratur, ia memperhatikan jalan dengan pikiran yang berkelana.

"Ini beneran lo, kan, Sev? Seva yang gue kenal? Sahabat gue sama Orlin, kan? Sevarina Lallita Putri?"  Pertanyaan demi pertanyaan beruntun keluar dari mulut Bia. Setelah berhasil membawa Seva ke kamarnya, ia langsung menuntut penjelasan.

"Apa gue kelihatan kayak hantu?" Seva balas melontar pertanyaan. Tubuhnya berubah arah lalu berjalan ke ranjang Bia. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, Seva langsung melemparkan badannya. Helaan napas lega terdengar dari gadis itu. Pertemuan antara badannya dan kasur membuat Seva tenang. Detak jantungnya sudah tak berpacu secepat tadi. Canggung yang ia rasakan pun lenyap. Tempat tidur ini sangat mujarab.

Bia mengikuti yang Seva lakukan. Ia menempatkan diri di sebelah sahabatnya itu. Mereka memandang langit-langit ruangan bersama. "Kenapa lo nggak pernah cerita?"

Kulit-kulit wajah Seva mengerut. Bibirnya mengerucut. Bia tak dapat melihatnya dan ia tentu tahu jelas tentang itu. Namun, Seva tetap melakukan hal tersebut. "Semuanya terlalu rumit ...?"

"Gue bakal dengar sampai tuntas."

Seva bergeser. Ia mendekat ke arah Bia dan memeluk sahabat yang sudah dianggapnya sebagai saudara itu. "Telepon Orlin dulu. Gue juga mau Orlin tahu biar gue nggak cerita dua kali."

Memanjangkan tangannya, Bia merogoh ponsel di dalam kantong celana yang ia kenakan. Setelah menemukan benda canggih itu, ia segera menghubungi Orlin. Untunglah situasi berpihak pada mereka, Orlin langsung mengangkatnya. Bia segera mengaktifkan pengeras suara agar Seva dapat mendengar juga.

"Halo, Bi," sapa gadis dari seberang telepon.

"Halo, Lin!" sahut Seva dan Bia di detik yang hampir bersamaan. Kemudian, mereka saling tertawa.

"Ih, ada Seva?!" tanya Orlin dengan suara yang begitu nyaring. "Ih, mau ke sana!"

"Ya, udah ke sini dong sebelum gue pulang," jawab Seva.

Dari seberang telepon terdengar helaan napas berat yang dilakukan Orlin. "Ya, mau sih tapi nggak bisa. Gue lagi kerja. Ini aja istirahat sebentar."

Kompak Seva dan Bia menampilkan wajah sedih bercampur kasihan. Mereka mengerti keadaan keluarga Orlin yang membuat gadis itu harus bekerja paruh waktu.

"Ya, udah lain kali deh." Bia yang bersuara. "Tapi lo bisa, kan, stay dulu sebentar? Ada yang mau kita bicarain."

Beberapa detik tak ada jawaban dari Orlin, hingga ia menjawab, "Boleh. Bicarain apa?"

"Seva pacaran sama mas gue. Percaya nggak lo?"

"Tu-tunggu ... apa?!" Suara Orlin lebih kuat dari yang tadi. Bahkan Seva dan Bia terkejut dibuatnya. "Bercanda, ya, kalian?! Seva sama Mas Rey?! Woy, ah!"

"Nah, kan, lo juga nggak percaya. Gue juga mau gitu tapi gue ngelihat pake mata kepala gue sendiri."

"Gila, gila, Seva! Gila! Ceritain sekarang!"

Sebelum memulai, Seva melepaskan pelukannya pada tubuh Bia. Ia memasukkan udara ke paru-parunya terlebih dahulu. Kemudian, mulai mendongeng tentang asal-usul hubungannya dengan Rey. Bia dan Orlin menjadi penyimak yang baik. Mereka tak menyela sama sekali dan terus mendengarkan sampai Seva selesai.

"Itu kenapa lo ada di sana sekarang dan ... ajakan makan siang waktu itu?" tanya Orlin setelah Seva selesai bercerita.

"Iya," jawab Seva untuk keduanya.

"Jadi, itu alasan Mas Rey nanyain lo kemarin," celetuk Bia.

Kepala Seva tertoleh ke arahnya. "Nanyain gue?"

"Iya, Mas Rey nanyain lo tepat kemarin siang," jawab Bia lalu berorasi tentang kronologinya lebih detail. "Terus Mas Rey pergi dari kamar gue. Mungkin itu mau ketemu sama lo."

Selanjutnya, godaan terdengar dari telepon Bia. Orlin melakukannya dengan handal seakan profesional. Sebab itu muka Seva berubah warna dalam beberapa detik.

Seva tertolak dari lamunannya ketika mobil Rey berhenti di lampu merah. Sebentar ia menoleh ke arah pria itu. Masih terlihat tenang dan berkonsentrasi pada jalanan. Sejak kejadian tadi pagi, mereka hanya bicara jika perlu. Itu pun sangat canggung. Membuat rasa bersalah masih menghantui Seva hingga sekarang.

Dehaman kecil Seva keluarkan. "Om nggak kerja? Maksudnya ..., restoran B&J tutup kalau weekend?" tanyanya. Mencoba memulai perbincangan. Berusaha merekonstruksi suasana baik di antara mereka.

"Nggak tutup tapi bukanya malam."

Gerakan kepala Seva naik-turun. "Pantesan Om free kemarin siang sama sekarang."

"Kenapa?" tanya Rey. Ia menoleh ke arah Seva sebentar sebelum menjalankan mobil. Lampu sudah bertransformasi menjadi warna hijau. "Takut nggak bisa jalan sama saya kalau malam Minggu?"

Tawa kecil Seva mengisi mobil. "Kalau Seva bilang iya, Om mau ambil cuti?"

Sekarang Rey yang tergelak pelan. "Nggak."

Kesenangan dari wajah Seva sirna. Gadis itu memajukan kedua bibirnya ke depan. "Bahkan untuk sekali aja?"

"Sekali?" Rey kelihatan menimbang. "Nggak pa-pa."

Air wajah Seva kembali memancarkan rasa girang. "Nggak mau dua kali gitu?"

Rey kembali menoleh untuk menatap Seva sekejap. "Itu kalau kamu mau hidup susah."

Untuk beberapa saat Seva berpikir tentang jawaban Rey. Otaknya bekerja keras menemukan korelasi antara perbincangan mereka dengan kehidupan susah. Ketika menyadarinya, Seva langsung menggeleng. "Nggak mau," cicitnya. "Oke, sekali, ya? Nanti Seva bakal pakai baik-baik kesempatan itu."

Rey tak menjawab. Hanya senyuman yang ia tunjukkan.

Seva ikut melakukannya. Ia kembali menatap jalanan selama beberapa menit sebelum kembali bertanya, "Kalau Seva ke restoran B&J boleh?" Gadis itu memainkan tali tasnya sambil terkikik. "Siapa tahu ketemu sama Mas Langit."

Senyuman Rey berubah kecut. "Saya bahkan belum ketemu sama Pak Langit."

Bahu Seva merosot tak semangat. "Yah," gumamnya.

( ⚘ )

Sejak hampir dua puluh tahun hidupnya, Seva tak pernah suka atmosfer menegangkan di rumah. Ketika itu terjadi, maka ia akan merasa disudutkan. Seperti sekarang, tatapan semua orang tertuju padanya. Menuntut seperti milik Bia tadi. Kalau saja bisa, Seva akan langsung kabur ke kamarnya.

"Jadi?" Henri berperan sebagai pemecah kesunyian.

"Jadi ..., apa?" tanya Seva. Sepertinya pura-pura amnesia. Mungkin saja Henri, Yana, dan Deon akan memaklumi.

"Kamu sama Rey. Ada apa dengan kalian?"

Seva menelan ludahnya dengan susah payah. Sandiwaranya tak berguna sama sekali. "Pacaran ...."

"Sejak kapan?" tanya Yana.

"Kemarin."

Deon yang kali ini bertanya, "Kok lo nggak kasih tahu gue?"

"Takut," jawab Seva lugas yang langsung direspons Deon dengan kernyitan. Seva memilih tak memedulikannya. Ia memang jarang takut pada Deon, tetapi kali ini memang seperti itu.

Henri kembali mengambil kendali pembicaran. "Kamu yakin?"

"Yakin .... Yakin aja soalnya kami udah bicaraan semuanya kok."

Pertanyaan selanjutnya hampir sama dengan obrolan di rumah Rey tadi. Sayangnya sekarang Seva tak dibantu siapa pun untuk menjawab. Rey sudah pulang karena harus bersiap-siap untuk kerja.

"Oke, kalau emang itu pilihan kamu, Papa setuju." Henri tersenyum. "Papa tahu Rey itu laki-laki yang baik."

( WaF - 17. Kesadaran Masa Lampau yang Hidup Kembali )

Nggak sabar nunggu teaser Feel Special-nya Chaeyoung. Terus Mina-chan juga! Duh.

The simple but weird,
MaaLjs.

12 September 2019 | 01:12

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro