Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

( WaF - 13. Kebimbangan Ketika Seseorang Menghadapi Pilihan )

Hampir selalu ada kebimbangan ketika seseorang menghadapi pilihan. Seva merasakannya sekarang. Ia benci ketika harus memilih, tapi setiap langkah yang harus ditempuh dalam kehidupan memang harus disortir dengan baik.

Seva tahu, Rey adalah pria yang baik. Bia sering menceritakannya. Namun, ia tak yakin bahwa pria itu mumpuni permintaan Henri. Sakit hati kejadian tahun lalu masih membekas dan Seva tak mau merasakannya lagi. Sudah cukup ia jatuh pada orang yang salah, ia tak mau masa-masanya ketika menjadi gadis menyedihkan kembali terulang.

Memori Seva menyimpan dengan baik bagaimana Rey memohon agar diterima. Akan tetapi, siang itu Seva tetap kukuh. Seperti tak kehabisan cara, Rey memintanya untuk memikirkan kembali. Seva terima dan melakukan itu. Selama tiga hari ini, ia selalu mempertimbangkannya. Mengira-ngira apa konsekuensi yang ia dapat jika mengiyakan Rey. Henri memintanya untuk segera bertunangan agar tidak merasakan sakit lagi. Namun, Rey menganggap itu agar terlepas dari ikatan kewajiban. Dalam hal ini saja, mereka sudah tak sepemikiran.

Jika Seva mengiyakan─hanya agar para orang tua bahagia─dan mereka mulai berhubungannya, maka apa yang akan terjadi di kemudian hari? Jelas-jelas maksud dari permintaan dan paksaan itu diberikan, karena ingin melihat keseriusan dan komitmen mereka. Apalagi di umur Rey yang hendak menginjak kepala tiga, ini sudah bukan waktunya main-main dengan suatu hubungan.

Sekitar dua puluh menit yang lalu, Rey meneleponnya. Pria itu ingin menemuinya di restoran kemarin. Masih dengan tujuan yang sama, ingin melamar Seva. Awalnya Seva ingin memberikan penolakan, tetapi urung karena sekarang Rey yang terdengar begitu menyedihkan. Seva pun berbaik hati menerima ajakannya. Namun, pria itu malah terlambat. Kalau Rey tak kunjung datang dalam kurun waktu sepuluh menit, ia akan pulang.

Pelayan kembali mendatanginya. Ia mengulurkan menu. "Jadi, Mbak mau pesan apa?"

Pelayan itu sudah menawarkannya dua kali dan ia tak enak jika harus menunda lagi. Akhirnya, Seva putuskan untuk memesan makanan yang sama seperti kemarin dulu.

"Maaf, tadi jalanan macet." Suara itu terdengar beberapa menit setelah pelayan pergi. Orang yang sedari tadi ditunggu Seva sudah duduk di hadapannya sekarang. "Kamu udah pesan makanan?"

"Udah, sama kayak kemarin."

Rey mengangguk. Sedikit senyumnya terlihat. "Makasih udah mau datang."

"Sama-sama," cicit Seva. Pandangannya teralih ke arah lain. Jari-jarinya mengusap tas yang ia pangku. Lalu, kembali menempatkan tatapan pada Rey. Seva menahan napas sebentar. "Jadi ...?"

Rey berdeham. Ia menjelaskan bawah waktu yang diberikan Tami sudah semakin menipis. Ia menagih jawaban Seva sekarang. Wajahnya terlihat sedikit cemas. Mungkin takut Seva memberikan penolakan lagi.

"Kenapa sih Om pilih Seva? Padahal masih banyak perempuan lain di luar sana. Umur kita beda jauh. Seva juga sering bikin Om kesel. Kenapa nggak cari perempuan yang lebih dewasa?" tanya Seva. Ia ingin meminta penjelasan. Lebih tepatnya, tak mau menerima alasan seperti siang itu.

Untuk sesaat Rey diam. Kemudian, berkata, "Saya juga nggak dekat sama perempuan lain. Saya nggak punya pacar dan belum pernah coba dekatin siapa pun untuk saat ini. Kamu tahu sendiri, saya baru pulang dari luar negeri. Masih sibuk beradaptasi sama pekerjaan."

Sekarang, Seva yang mengangguk. "Lalu?"

"Kita punya tujuan yang sama. Itu alasannya. Makanya, saya pilih kamu."

Seva kembali menatap ke arah lain. Ia berpikir sejenak. "Kalau ... Seva nggak mau dipilih, gimana?" tanyanya sambil menoleh ke arah Rey lagi.

"Kenapa kamu nggak mau dipilih?"

Seva kembali bermain dengan pikirannya hingga pelayan datang membawa makanan. Dibiarkannya makanan tersusun terlebih dahulu. Kemudian, kembali pada mereka berdua. "Seva nggak mau kalau Om pilih Seva hanya karena terdesak."

"Tapi, kan, saya udah bilang ini juga demi─"

"Iya, tapi Seva nggak mau kalau alasannya cuma itu," potongnya. Seva menghela napas. Ia menceritakan pada Rey apa yang diinginkannya dalam hubungan ini. Semua hal yang ia pikirkan selama tiga hari.

Diam lagi, Rey melakukannya setelah mendengar setiap kata yang Seva ucapkan. "Maksudnya, kamu nggak mau kalau hubungan ini cuma karena orang tua? Kamu mau benar-benar serius?"

Kepala Seva terangguk pelan. "Karena orang tua kita maunya yang kayak gitu."

Lagi, Rey diam. Ia bergeming. Hanya menatap Seva selama beberapa menit. "Oke, kalau itu mau kamu. Saya siap serius sama kamu."

Kalimat Rey seketika membuat jantung Seva berdegup kencang. Napasnya tiba-tiba tak beraturan. Tangannya juga mulai berkeringat.

"Saya akan ngelakuin ini hanya untuk kita, bukan orang tua atau yang lain. Saya bersedia berkomitmen sama kamu."

Mata Seva sedikit berkaca-kaca. "Om ... bilang kayak gitu bukan cuma karena mau Seva terima, kan?"

Rey menaikturunkan kepala. "Saya serius. Jadi, gimana?"

Seva tak menjawab. Obrolan ini membuat kerongkongannya kering. Gelas berisi jus melon kesukaannya Seva ambil. Ia menyesap minuman itu dengan sedotan. Lalu, bertanya, "Om ada kesibukan lain setelah ini?"

"Nggak ada. Kenapa?"

"Makan dulu. Habis itu ikut Seva ke suatu tempat," ujar Seva sebelum menyantap hidangan di depannya.

( ⚘ )

Pintu yang engselnya hampir lepas terbuka ketika Seva dorong. Langkahnya laju menapaki atap bangunan kosong itu. Rey mengikutinya di belakang. Banyak benda-benda bekas konstruksi di ujungnya. Namun, tak ada satu pun sampah. Lalu, ada satu sofa yang agak lusuh tapi terlihat terawat terletak di dekat pagar pembatas. Seva mendekat dan duduk di sana. Bibir Seva mengukir senyum lebar saat Rey mengikuti apa yang ia lakukan.

"Kamu sering ke sini?"

Seva mengangguk cepat. "Biasanya sama Deon."

"Ngapain?"

"Kalau lagi ada masalah atau apa pun itu yang buat kami resah, kami bakal datang ke sini. Ya, bisa dianggap kayak tempat penenang." Seva menyandarkan punggungnya di sofa. "Waktu itu Seva sama Deon masih kelas dua belas. Tugas sekolah sama ujian bener-bener bikin pusing. Jadi, kami butuh ketenangan. Lalu, nemuin tempat ini. Kami sepakat deh kalau lagi galau gitu, datang ke sini. Makanya, kami bersihin semua barang-barang di sini."

"Kenapa kamu bawa saya ke sini? Ini, kan, tempat kamu sama Deon."

Kepala Seva tertoleh ke arah Rey yang ternyata sejak tadi memandangnya. Ia jadi sedikit gugup. "Karena Seva pikir, Om perlu ketenangan."

Hening kemudian. Keduanya sama-sama diam, sibuk menatap ke bawah bangunan. Angin sepoi-sepoi yang dihasilkan semesta menerpa. Dengan lancang menerbangkan helaian rambut keduanya. Namun, mampu menjadi panasea, membuat ketentraman perasaan yang enigma di dada.

"Seva belum jawab ... dan Om boleh tarik kata-kata tadi kalau sekarang ngerasa nyesal," kata Seva, memecah keheningnya.

Lama tak ada jawaban dari Rey. Pria itu malah bertanya, "Kamu suka di sini?"

Jawaban Seva hanya bergumam.

"Di sini, kan, panas. Nggak takut hitam? Di sini juga sepi, nggak takut ada makhluk halus atau sesuatu yang berbahaya?"

"Seva udah bilang, ini kayak tempat penenang. Kalau udah banyak pikiran, kadang jadi jarang peduli sama penampilan." Mata Seva kembali jatuh pada Rey. "Terus soal makhluk halus, asalkan masih ada sinar matahari, Seva nggak takut. Kalau sesuatu yang berbahaya, misalnya orang jahat, nggak tahu juga sih tapi selama ini baik-baik aja. Jarang banget orang masuk ke bangunan ini."

Rey mengangguk-angguk. Ia menatap Seva lamat-lamat. "Saya bakal serius kalau emang kamu maunya kayak gitu."

Seva terkekeh. Ia menengadah, menatap langit yang cerah hari ini. Kedua kakinya pun dinaikkan ke atas dan tertekuk di depan dada. "Lucu, ya, Om. Sekitar dua minggu lalu kita ketemu. Terus seminggu yang lalu kita masih suka berantem dan sekarang ... malah pengin tunangan." Seva memeluk lipatan kakinya. "Tapi ... Seva takut." Lagi, Seva mengeluarkan tawa. "Om masih bisa pergi kok kalau nggak suka Seva cerewet."

Dari ekor matanya, Seva melihat Rey menggeleng. "Kamu takut apa?"

"Yang udah terjadi di masa lalu terulang," lirih gadis remaja itu.

"Saya bakal berusaha nggak bikin kamu ngerasainnya lagi."

Giliran Seva memberi tatapan yang lamat. Kepalanya dibiarkan tertempel di permukaan lututnya. "Dan ..., kalau itu terjadi?"

"Terserah kamu. Kamu boleh ngatain, mukul, dan apa pun yang kamu mau. Saya terima apa aja."

Senyum Seva terbit, secerah matahari yang menyinari mereka. "Terus gimana?"

"Apanya?"

Seva sedikit berdeham. Lengkungan di bibirnya hilang. "Ya, hubungan ... kita. Setelah ini, kita mau ngapain?" tanyanya.

Kening Rey berkerut. "Maksudnya ... kamu terima?"

Tak ada tanggapan tapi terlihat jelas bahwa Seva mengulum senyum.

Menyadarinya, membuat Rey tak mampu menahan kurvaan di bibir. Ia tampak sangat senang. "Besok kamu siap-siap untuk datang ke rumah saya. Biar saya kenalin ke keluarga."

"Kan, Seva udah kenal sama mereka."

"Dikenalin ke keluarga sebagai ... pasangan saya," jelas Rey.

Semburat merah mendadak menjadi penghuni pipi Seva. Ia membentuk huruf O dengan mulutnya. "Te-terus sama keluarga Seva?"

Rey mencoba menerka arti pertanyaan Seva, "Kapan saya datang ke rumah untuk ngelamar?"

"Iya."

"Secepatnya, saya janji," sahut Rey dengan mantap.

( WAF - 13. Kebimbangan Ketika Seseorang Menghadapi Pilihan )

Ngebayangin latar di scene akhir, rasanya adem betul.

The simple but weird,
MaaLjs.

5 September 2019 | 12:43

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro