Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

( WaF - 1. Hal yang Dapat Membuatmu Bolos )

Telepon yang mengabarkan bahwa ayahmu sekarang dirawat di rumah sakit karena terkena serangan jantung, itulah satu dari hal yang dapat membuatmu bolos untuk mata kuliah selanjutnya, seperti yang saat ini Seva lakukan. Air mata yang tak dapat ia tahan merusak riasan wajahnya. Maskaranya pun sudah luntur ke mana-mana hingga membuatnya persis seperti kuntilanak. Namun, gadis itu tak acuh. Ia terus menerobos orang-orang yang menghalang jalannya agar dapat bertemu dengan sepupunya yang juga berkuliah di sana.

"Seva, pelan-pelan aja," tegur Bia─sahabatnya.

"Gimana gue bisa pelan kalau bokap gue lagi kritis, Bi?" tanya Seva dengan suara yang bergetar dan sangat pelan.

Orlin, sahabatnya yang lain, menyahut, "Om Henri bakal baik-baik aja, Sev. Yakin, deh."

Seva tak menanggapi. Ia lebih memilih fokus pada langkahnya kendati mengamini ucapan sahabatnya.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup merepotkan, ketiga gadis itu akhirnya sampai di kantin FISIP. Perlu waktu beberapa menit untuk menemukan sang sepupu─Deon yang tengah bercengkerama dengan teman-temannya.

Didatangi oleh tiga gadis yang berjalan cepat lantas membuat Deon terkejut bukan main. Awalnya ia berpikir akan diserang oleh mereka meski tak tahu apa salahnya. Namun, setelah melihat adik sepupu yang berselisih umur empat bulan darinya itu menggenangkan air mata, Deon langsung bangkit dan menghampiri lebih dulu.

"Lo kenapa, Sev?" tanya Deon. Suara basnya sengaja dilembutkan ketika ia membungkuk dan memegang bahu Seva agar dapat menyejajarkan wajah mereka.

"Papa ...."

Deon menelan salivanya dengan susah payah. "Papa ... kenapa?"

"Tadi gue dapat kabar dari Bi Pipit kalau Papa kena serangan jantung, De," jawab Seva dengan satu tarikan napas. Setetes bulir air kembali terjun dari matanya.

Tak seperti yang diharapkan, Deon tertawa. Pemuda itu melepaskan pegangannya pada bahu Seva. Kemudian, berkacak pinggang dan memasang ekspresi yang begitu menyebalkan. Membuat Seva ingin sekali menaboknya dengan flatshoes. "Nggak lucu prank lo. Ini bukan April Mop kalau lo lupa."

"Prank apaan sih, Deon?!" Amarah Seva menguap. Tangisannya semakin menjadi. "Ayo, ke rumah sakit sekarang!"

"Nggak perca─"

"Seva serius, Deon," potong Bia.

Orlin yang berdiri di sebelah Bia terdengar mendengus. Gadis yang rambutnya dikucir itu melipat tangan di depan dada. "Deon kebanyakan nonton Atta Gledek. Makanya semua dibilang prank. Orang napas di depan dia mungkin juga dianggap prank."

Kedua alis Deon tertaut. Wajahnya memberengut tak suka dengan sarkasme yang dilesatkan Orlin. Sejurusnya, ia kembali beratensi pada Seva yang sudah memasang tatapan membunuh. "Serius?"

"Menurut lo?"

Deon mulai panik. Ia bergegas mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja kantin. Lalu menarik Seva dan berpamitan pada para gadis dan teman-temannya.

( ⚘ )

Suara ketukan langkah kaki Seva dan Deon yang sedang berlari menjadi koor. Meributkan koridor rumah sakit yang sunyi. Perasaan sedih, takut, dan panik bergabung di dalam diri mereka. Berperan menjadi pengundang mulas alami. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan ritual pembuangan itu. Lagi pula mereka lebih ingin tahu keadaan Henri─sang ayah─daripada berada di dalam toilet untuk mengeluarkan feses.

Ketika sudah memasuki lorong kamar tempat Henri ditangani, Seva dan Deon dapat melihat Yana, ibu Seva dan juga bibi Deon. Wanita setengah baya itu ditemani Pipit selaku asisten rumah tangga mereka. Khawatir yang kentara menusuk penglihatan Seva dan Deon. Membuat tungkai mereka mempercepat gerakan.

"Mama." Seva langsung menyambar sang ibu dan mendekapnya. Berbagai pertanyaan yang telah ia siapkan melebur begitu saja ketika tangis mengambil kuasa dirinya.

Deon yang bersuara berikutnya, "Kok bisa, Ma?"

"Mama juga nggak tahu, De. Pas Mama masuk ke kamar, Mama udah lihat Papa di lantai."

Hening menyelimuti. Deon tak bertanya lebih lanjut. Pemuda itu menempatkan diri di sebelah Pipit yang duduk di bangku tunggu. Suasananya sepi, hanya terdengar isakan Seva yang di setiap detiknya mulai memelan.

Deritan pintu terdengar ketika daunnya dibuka. Mereka menoleh ke asal suara untuk menemukan dokter yang menangani Henri. Pria berkepala plontos dengan jas putih itu mendekat ke arah Yana yang masih dipeluk oleh Seva.

"Gimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Yana mewakili tiga orang lainnya.

"Pak Henri sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat. Alhamdulillah, keadaannya membaik, tapi tetap harus dijaga kesehatannya supaya nggak ada kejadian kayak gini lagi."

Kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh dokter membuat sesuatu yang menyesakkan dada Seva hancur menjadi sepai. Ia lega mendengar bahwa Henri baik-baik saja.

( ⚘ )

Sejak setengah jam yang lalu, Seva tak henti-hentinya mengelus tangan Henri. Yana dan Deon sudah menyuruhnya untuk beristirahat di sofa. Akan tetapi, gadis yang hendak menginjak umur dua puluh tahun itu tak mau acuh. Ia ingin menjadi orang pertama yang melihat ayahnya sadar.

Napas berat Seva keluarkan dari hidungnya. Tatapan anak perempuan itu menyendu ketika menyorot bagian wajah Henri. Matanya menangkap beberapa kerutan dan rambut yang mulai memutih pada tubuh sang ayah. Padahal rasanya, baru kemarin Seva diajarkan mengendarai sepeda.

Lagi-lagi, Seva tak dapat menahan air mata. Ia tak terima karena jarum jam terasa bergerak begitu cepat, mengakibatkan tubuh panutannya termakan waktu. Otak Seva tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya ketika superhero andalannya sudah tiada.

Sebuah tepukan pelan Seva dapatkan untuk punggungnya. Gadis itu mengusap air mata dan mendongak untuk memandang Yana yang tampak empati.

"Kamu sama Deon pulang aja. Biar Mama sama Mbak Pipit yang jaga," ucap ibunya sambil terus menepuk punggung Seva seolah menyalurkan semangat.

Dengan cepat Seva menggelengkan kepala. "Nggak mau .... Seva mau di sini. Mau lihat Papa."

"Kalian pasti capek. Pulang dulu. Istirahat, ya, Nak."

"Nggak mau, Ma," rengek Seva. "Maunya di sini. Temenin Papa. Nggak mau ke mana-mana."

"Ya, udah deh. Agak sorean aja pulangnya, ya."

"Nggak mau, Mama."

Yana menghela napas. Ia menoleh ke arah keponakan yang juga merupakan putra sulung di keluarga mereka. "Deon ...."

"Aku juga mau di sini," tegas Deon sebelum Yana sempat memintanya.

"Oke, kita semua nginap di sini tapi nanti kalian antarin Mbak Pipit pulang, ya, sekalian ngambil barang-barang." Yana menoleh ke arah asisten rumah tangganya yang sedari tadi hanya diam. Mungkin syok juga karena majikannya terkena serangan jantung. "Mbak Pipit, nggak pa-pa di rumah sendirian atau mau tetap di sini juga?"

Pipit tersenyum sopan pada Yana. "Pipit pulang saja, Mbak. Soalnya kerjaan Pipit di rumah masih banyak."

"Ya, udah. Sekitar jam setengah lima nanti kita pulang," sahut Deon.

Selanjutnya, semua orang bergeming. Fokus pada pikiran masing-masing sampai pintu ruang inap terbuka; menunjukkan dua gadis yang sudah familer di mata mereka─Orlin dan Bia. Keduanya memasuki ruangan sembari mengucapkan salam yang langsung disahut setiap orang di sana, kecuali Henri.

"Tante, yang sabar, ya," tutur Bia seraya berjalan mendekat ke arah Yana, sedangkan Orlin mendekat ke arah Seva dan memeluknya.

Yana tersenyum hangat pada dua sahabat anaknya. "Makasih, Sayang."

"Dokter bilang apa tentang keadaan Om Henri, Tan?" tanya Orlin sambil melepaskan pelukan. Lalu menepuk pelan bahu Seva.

"Untuk saat ini udah baik-baik aja tapi tetap harus jaga kesehatan karena nggak menutup kemungkinan, kalau kejadian kayak gini bakal keulang ... atau bahkan lebih parah," jelas Yana dengan senyum getir.

"Om Henri pasti baik-baik aja." Orlin mencoba optimis.

Seva sedikit tersenyum mendengarnya. "Makasih, ya, Lin," cicit gadis itu yang dihadiahi pelukan lagi dari Orlin.

( WaF - 1. Hal yang Dapat Membuatmu Bolos )

One word to describe this chapter: f r e a k.

Awokwok.

Btw, cerita ini bakal so so very very nomu nomu slow update/?
.maybe ehe

The simple but weird,
MaaLjs.

19 Agustus 2019 | 22:46

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro