Bab 2 | Superpower
Ruangan serba putih dengan alat-alat canggih di sekitar menjadi pemandangan yang mengagumkan bagi mereka bertiga. Dikarenakan Ibu Kilith yang khawatir akan psikokinetik yang dimiliki anaknya, beliau pun berkonsultasi ke laboratorium untuk mengecek segala sesuatunya. Sayangnya, beliau tidak bisa menemani Kilith, dan meminta kedua temannya—Bata dan Elise untuk menemaninya.
Pria paruh baya dengan sebagian rambut yang sudah memutih faktor usia itu mengerutkan dahinya, menambah jumlah keriput yang menghiasi wajahnya. Di tangannya, tergenggam sebuah lembar data pribadi milik Kilith tengah serius dibacanya.
"Psikokinetik, ya?"
Ketiga remaja di depannya mengangguk.
"Kasus ini sudah menjadi perdebatan sejak lama. Sudah jelas tidak ada yang namanya psikokinetik."
Kilith menyangkal, "Tapi, belum ada yang bisa membuktikan bahwa psikokinetik itu benar-benar tidak ada, Prof."
"Betul. Namun, sejauh yang saya ketahui, tidak ada yang bisa membuktikan secara sains bahwa kekuatan semacam ini ada."
"Kalau dia melakukannya langsung di depan Anda, bagaimana, Prof?" Bata ikut menimpali.
"Tergantung bagaimana dia melakukannya nanti," jawab beliau sambil meletakkan lembar itu di meja putih. "Siapa tahu, saya bisa melihat 'trik'nya."
Kilith mendengus. Ia merasa kesal karena ucapan profesor itu seolah meremehkannya. Tentu ia tersinggung.
"Mau melihat saya menggerakkan apa? Id card Anda?" tantang Kilith sambil melambaikan tangannya. Sebuah kartu identitas berwarna putih keluar dari saku jubah lab sang profesor.
Si profesor tampak terkejut. Diraihnya kartu identitas yang keluar tanpa izin lantas mengembalikannya dalam saku.
"Kursi?"
Elise tersentak mendekati Bata tanpa sengaja saat kursi di sebelahnya mendadak melayang rendah sesaat.
"Meja?"
Sang profesor melangkah kaget ketika meja di belakangnya berderak ke arahnya.
"Pulpen?"
"Woi, pulpen gue!" protes Bata saat pulpen dari kantungnya melayang akibat ulah Killith.
"Pa—"
"Cukup!"
Kilith menurut saja sambil bersiap menggerakkan benda lain jika pria itu tidak juga mempercayainya. Namun, melihat si profesor yang memijat kening dan menghela napas lelah, sepertinya Kilith berhasil mendapatkan kepercayaannya.
"Baiklah, saya percaya sekarang," ucap Profesor seperti yang Kilith harapkan. "Saya akan menelepon asosiasi dulu—"
"Jangan!" Bata berteriak spontan, membuat sang profesor sedikit terhenyak.
"Kenapa?"
Bata menoleh khawatir pada sahabatnya itu. "Memangnya lo mau jadi subjek penelitian, Kil? Lo mau dikelilingi orang-orang berjas putih, dikarantina di antah-berantah, tangan dan kaki lo diikat, terus tubuh lo diambil darahnya tiap hari?"
Kilith menggeleng dengan cepat, ia baru terpikirkan hal itu.
"Sebenarnya, itu asumsi yang agak berlebihan," sahut profesor. "Tapi, baiklah. Toh, di sini saya dibayar oleh keluarga Walter, bukan diminta oleh asosiasi."
Benar, ia adalah Steve, profesor yang dibayar oleh Ibu Kilith untuk mendampingi kegiatan mereka kali ini. Lengkap dengan ruang laboratorium privat di salah satu sudut Ibu Kota.
"Kalau sudah sepakat, bisa kita mulai penelitiannya sekarang?" Ketiga remaja itu mengangguk.
Steve berjalan ke arah sebuah papan tulis kaca transparan di tengah ruangan. Beliau pun mulai menjelaskan berbagai hal yang mungkin menjadi dasar kekuatan Kilith. Tentang gelombang otak, tentang kapasitas pikiran manusia, dan banyak hal yang belum pernah didengar oleh Bata dan Elise. Kilith sendiri sudah membekali dirinya dengan ilmu dari YouTube serta beberapa buku yang dibelikan oleh ibunya. Jadi, ia sedikit paham apa yang dijelaskan oleh profesor.
"Gue pikir, gue udah pintar. Tapi, kayaknya gue nggak sepintar itu."
Bata meringis. Ia rasa kepalanya akan mulai berasap jika terus menyimak penjelasan membingungkan ini.
"Karena kita akan memindai otakmu menggunakan mesin EEG, coba kamu isi kuisioner ini sebentar."
Kilith mengangguk, ia mengambil tablet layar sentuh yang disodorkan Steve.
Steve mengatakan bahwa tesnya baru bisa dilakukan besok. Jadi, Kilith dan Bata memutuskan untuk menginap di tempat. Sementara, Elise akan pulang.
Matahari kian turun di ufuk barat. Cahaya jingga menjadi warna utama di langit sore ini. Karena harus segera pulang, Elise pun berkemas.
"Mau diantar?" Kilith menawarkan.
"Mau gue antar?" sahut Bata cepat, "Pakai motornya Kilith."
Elise menggeleng. "Nggak perlu, gue udah pesan ojol."
Dua pemuda itu mengantarkan Elis sampai di depan pintu keluar, dan menemaninya hingga jemputan datang.
***
Keesokan harinya, Elise bangun lebih awal meskipun sekarang hari Sabtu.
Setelah sarapan, bersiap-siap, serta berpamitan pada kedua orang tuanya, gadis itu memesan ojek daring. Selang beberapa menit kemudian, sebuah motor matic dengan pengendara yang mengenakan jaket hijau muncul di depan rumah. Tanpa berlama-lama, Elise segera menuju laboratorium yang ia kunjungi bersama kedua teman cowoknya kemarin.
Usai menempuh perjalanan selama sekitar setengah jam, motor itu melewati pos satpam, lalu memasuki area bangunan-bangunan tinggi yang terlihat modern. Di sisi lain, terlihat Bata yang berjalan ke arah gedung sembari membawa beberapa bungkusan.
Ojek berhenti tepat di depan pintu masuk utama bangunan dua lantai itu. Bertepatan dengan itu, Bata melihat Elise yang baru saja datang. Wajahnya tersenyum cerah.
"Elise!" Lelaki itu menuju Elise dengan setengah berlari.
"Ini, Pak. Kembaliannya ambil aja." Elise menyerahkan sejumlah uang ke pengendara ojek paruh baya itu.
"Helmnya, mbak."
"Oh iya," sahut Elise. Gadis itu pun meraih kaitan helm biru yang ia kenakan.
"Eh?" Ia mengotak-atik kaitan itu beberapa saat. Namun, benda itu tidak terbuka sama sekali. "Ini gimana bukanya, pak?"
"Waduh, kayaknya itu stuck neng, coba saya lihat."
Belum sempat pria paruh baya itu menggerakkan tangannya, Bata muncul dan menginterupsi.
"Saya aja, Pak," ucapnya ramah, kemudian pandangannya beralih pada gadis di sampingnya.
Elise masih berusaha membuka benda di kepalanya. Ketika kedua tangan Bata bersentuhan dengan jarinya, barulah Elise menjauhkan tangannya.
"Udah belom?" Leher Elise mulai pegal karena mendongak terlalu lama. Ketika gadis itu merendahkan kepalanya, ia justru mendapati Bata memandangnya.
"Elise imut amat, sih—"
Elise menjentikkan jarinya kuat-kuat ke dahi pemuda di depannya.
"Sakit." Bata merengek, wajahnya cemberut. Namun kemudian, ia malah tertawa renyah.
"Ternyata selain imut, Elise juga kuat! Udah bisa dilepas, tuh."
Elise tak menggubris, lanjut melepas helmnya. "Maaf ya, Pak," katanya sambil mengembalikan benda itu ke pemiliknya.
Kedua remaja itu pun masuk. Awalnya, Elise menawarkan diri untuk membantu Bata membawa barang bawaan. Namun, pemuda itu menolak.
***
Kilith menghela napas panjang. Pemuda itu duduk dengan sedikit frustasi di sebuah kursi. Di sampingnya, ada beberapa layar monitor dan tabung-tabung berisi cairan warna-warni. Kilith bangkit dari duduknya, lantas mondar-mandir memandangi sekeliling. Ia sedikit gugup, sekaligus penasaran tentang apa yang sedang ia teliti hari ini.
"Jadi, baiknya mulai dari mana, Prof?"
"Sebentar, saya akan mencari berkas unduhan dari penyimpanan pribadi saya," jawab profesor dari arah meja dengan sebuah pc di atasnya. Tumpukkan kertas memenuhi sisi meja, menjelaskan betapa banyaknya pekerjaan yang ia lakukan.
"Eh? Apa ini?"
Mendengar itu, Kilith segera menghampiri Steve.
"Cara Menjadi Cowok Romantis." Kilith mengeja alamat web yang terpampang pada layar monitor di depan mereka. "Cara Meluluhkan Hati Cewek Cuek."
Kilith menggeleng ketika profesor melayangkan tatapan menuduh padanya, memberi kode bahwa bukan dia yang melakukan ini di komputer.
"Tesnya belum mulai?" Terdengar suara perempuan dari arah pintu yang baru saja terbuka. Terlihat Elise masuk, diikuti oleh Bata di belakangnya.
"Sebentar lagi," balas Kilith.
Persiapannya sudah siap, saatnya memulai tes.
***
Tiga jam berlalu, sesi tes dijeda selama jam makan siang.
"Kita istirahat dulu, Kilith." Profesor merubah alat pemindai ke mode standby setelah mentransfer data ke komputernya.
"Sejauh ini ada keluhan?" tanya profesor.
Kilith melepas semua alat transmisi yang melekat di tubuhnya. "Kalau yang aneh-aneh tidak ada, Prof. Tapi, rasanya aku sedikit capek."
"Baik." Pria itu menulis keterangan Kilith di papan tulis.
"Lunch time!"
Bata baru saja datang dengan membawa beberapa bungkus makan siang. Ia meletakkannya di meja, bermaksud agar mereka semua bisa makan bersama.
Kilith berjalan mendekati sahabatnya sembari meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku dan pegal.
"Thanks," ucap Kilith ketika Bata menyodorkan sebotol air mineral ke tangannya.
"No cafeine, right?" Profesor memastikan konsumsi siang ini tidak akan mengganggu proses pemindaian Kilith selanjutnya.
Bata mengangkat kedua jempol tangannya sebagai jawaban.
"Elise mana?" tanyanya kemudian.
"Tuh." Kilith menunjuk ke arah pojok ruangan, tempat Elise mengerjakan tugasnya. "Kayaknya ketiduran."
Bata pun beranjak dan berjalan riang ke arah Elise yang sedang tertidur. Setelah sampai, ia berniat untuk membangunkannya. Akan tetapi, melihat wajah pulas Elise, ia mengurungkan niatnya. Ia hanya menyibakkan sedikit rambut yang menutup wajah gadis itu.
Bata mendengus kecil, kemudian tersenyum. Ia bertanya-tanya tentang sejak kapan pandangannya terhadap Elise berubah. Sejak Elise menolongnya? Sejak mereka makan mangga bersama? Sejak Ia melihat gadis itu memanjat pohon mangga di belakang sekolah? Kenapa hatinya yang biasanya hanya suka bermain-main dan menggoda, jadi menginginkan seseorang?
Sementara itu, Kilith memandangi bata dengan perasaan kesal. "Lama amat." Ia pun menggunakan kemampuannya, melemparkan botol mineral ke punggung pemuda yang tengah melamun itu dengan keras. Profesor sudah membawa makanannya ke tempat makan. Ia ingin mereka makan bersama-sama.
Bata memekik spontan, membuat Elise langsung terbangun. Pemuda itu mengusap bagian punggung yang bisa diraihnya. Meskipun tidak apa-apa, tetap saja ia merasa sakit.
Elise mengerjapkan matanya. "Kenapa?"
"Nggak kok, ayo makan."
Selesai makan siang, Elise menawarkan diri untuk membuang sampah. Tanpa pikir panjang, Bata pun membukakan pintu untuk gadis itu, lantas mengikutinya.
"Elise."
Elise yang baru saja meletakkan bungkus makanan di tempat sampah, menoleh.
"Apa?"
"Mau ... jadi pacar Bata?" Pemuda itu tersenyum grogi.
Elise terdiam beberapa saat. Ia mencoba menelaah dan memilah kata-kata yang akan ia sampaikan ke pemuda berkaos hitam di depannya.
Ekspresi Bata tampak berbinar dan berbunga-bunga, membuat Elise sedikit ragu untuk mengatakannya.
"... Maaf." Akhirnya Elise menyampaikan jawabannya.
Senyum Bata perlahan memudar sedikit demi sedikit.
***
"Bata, nanti pulang boncengin gue, ya." Kilith memutar-mutar pundaknya. Ia sudah menyelesaikan tes terakhir, dan kini menunggu pernyataan dari profesor tentang kesimpulan penelitian mereka.
"Oke." Bata mengangguk.
Menit pun berlalu, dan Steve akhirnya sudah mendapat kesimpulan tes yang ia lakukan terhadap Kilith.
"Baiklah, saya akan menjelaskan apa yang kita dapat selama tes." Profesor membuka suara. Walau mungkin saja tak paham, tetapi Elise segera bergabung dengan dua sahabatnya.
"Jadi begini, ada beberapa hal yang dapat saya simpulkan," ucap sang Profesor. "Pertama, kemampuan yang saudara Kilith miliki adalah psikokonetik. Namun, ini masih harus diteliti lebih lanjut. Kedua, kekuatan Kilith ada batasnya dan ini berhubungan dengan energinya. Ketiga, psikokinetik ini bisa hilang kalau pemilik tidak sering latihan atau menggunakannya. Keempat, karena berhubungan erat dengan fluktuasi gelombang otak, berbagai macam emosi dapat menimbulkan kekuatan itu bereaksi dan menggerakkan benda-benda di sekitarnya tanpa disadari atau dikendalikan secara langsung."
Kilith mengangguk mengerti.
Setelah menjelaskan semua itu, profesor menyerahkan beberapa lembar berkas kepada Kilith, dan langsung pamit untuk menghadiri jadwal acara selanjutnya. Tiga remaja itu bebas ingin meninggalkan lab kapan pun.
Tak lama setelah Steve pulang, Elise juga pamit. Sama seperti sebelumnya, ia tidak bersedia diantar oleh Bata dan Kilith.
Dua pemuda itu memandangi langit sore dari jendela kaca ruangan itu. Keduanya terdiam, sibuk dengan isi kepalanya masing-masing sebelum akhirnya Kilith teringat akan sesuatu.
"Babat."
"Apa?"
"Lo ... ada rasa sama Elise?"
Hening. Karena tak kunjung dapat jawaban, Kilith menoleh kesamping dan mendapati wajah Bata yang terkejut setengah mati. Kedua matanya membelalak kaget dengan mulut sedikit terbuka. Ia tidak bisa berkata-kata. Rasa malu Bata menguar, roh dalam tubuhnya seolah sudah terbang entah ke mana.
Merasa raut wajahnya di luar kendali, buru-buru Bata menetralkan wajahnya. "Kok lo tau?"
"Lo juga yang searching cara jadi romantis pakai komputer lab, kan?"
Wajah Bata sedikit memerah, merasa malu karena tertangkap basah. Kepalanya mengangguk samar.
Kilith berkacak pinggang. "Lo pikir komputer di laboratorium isinya sama kayak hape lo yang penuh hasil penelusuran cara gombalin cewek? Semua yang ada di sana, tuh data-data penting. Kalo rusak pas lo pakai gimana?" omelnya kemudian.
"Ya maaf, soalnya kuota gue habis."
"Lah … kan ada wi-fi, tethering pakai hape gue juga bisa."
"Eh iya, ya?" Bata menepuk dahinya. Sepertinya, IQ pemuda itu mulai anjlok. "Ternyata bener. Cinta bisa membuat kita jadi manusia bodoh."
Mendengar kalimat sahabatnya yang sok puitis, Kilith kehilangan kata-kata. Ia pun memasang wajah datar sebagai reaksi.
"Jadi, kapan lo mau nembak dia?" tanya Kilith akhirnya.
"Udah, tadi siang."
"Widih. Selamat ya—"
"Tapi gue ditolak."
Tiba-tiba, terdengar suara engsel pintu dibuka. Kedua pemuda itu sontak menoleh ke arah suara.
Dari balik pintu, wajah Elise menyembul. Gadis itu masuk ke ruangan itu, dan berjalan menuju meja.
"B—belum pulang?" sapa Bata.
"Ada yang ketinggalan." Elise mengambil sebuah buku berwarna biru di meja, dan menunjukkannya ke dua sahabatnya sebelum kemudian memasukkannya ke dalam tas.
"Duluan, ya," pamitnya, kemudian keluar tanpa menunggu sahutan.
"Iya, hati-hati di jalan." Bata melambaikan tangan ke arah pintu yang kini tertutup.
Kilith menepuk punggung temannya. "Yang sabar ya, Bat. Nanti gue bantuin cari pacar lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro