BAB 23
"Boleh ya, Ya, sekali lagi kita ke Starbucks?"
Langkah Leana menuruni anak tangga gedung fakultas terhenti seketika. Kallan muncul di depannya tepat ketika Leana hendak menginjakkan kakinya di lantai dasar. Gadis itu diam, melihat sekitar. Gedung fakultas sudah lumayan sepi. Di Lapangan Katsu pun tidak ada Arras dan teman-temannya.
Lama Leana diam, memandangi Kallan sambil menimbang keputusan. Leana tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Hingga akhirnya pun Kallan sendiri yang memutuskan jawaban sendiri, "Satu kali lagi, kita beresin yang nggak beres."
Leana memutuskan untuk mengalah. Gadis itu mengekori Kallan berjalan menuju ke parkiran motor dengan jarak yang cukup terjaga. Dalam hati Leana terus-menerus berucap, meyakinkan dirinya bahwa hari ini akan jadi yang benar-benar terakhir baginya dan Kallan untuk bertemu di Starbucks PIM.
Dan begitu pula yang Leana katakan ketika mereka baru saja duduk di Starbucks PIM. "Ini bakal jadi yang terakhir kalinya kita meet up di sini. Gue nggak peduli lagi apa lo bakal minta maaf atau nggak. Gue sekarang nyerah ke semuanya. Ke lo, ke Bang Arras. Literally everything," katanya sambil menanamkan sedotan ke dalam gelas Caramel Coffee Jelly miliknya.
Kallan tertegun. Namun dengan pelan, laki-laki itu mengangguk. "Gue minta maaf, Ya," tuturnya. Ia menghela napas, sebelum kemudian bertanya, "Tapi kenapa lo harus nyerah sama Bang Arras? Kalian baik-baik aja. And you guys fit each others."
Senyum Leana mengembang tipis, terasa dipaksakan. "Di mata lo, yes it is. Tapi, akhir-akhir ini, lo bener-bener ngerusak gue, Kal. Lo selalu ada di deket gue dan selalu cari pembicaraan sama gue bahkan di saat gue nggak mau. Lo memaksakan semua itu dan bad news is: lo ngelakuin itu di depan Bang Arras, Kal."
"Bang Arras sampai bilang kalau dia cuma pelampiasan gue dari lo. Dia udah telanjur berpikir kalau dia itu nggak berharga di mata gue, Kal. Cuma gara-gara lo dan gue masih sering ngobrol," lanjut Leana. Suaranya kian ke sini kian lirih. "Lagian, apa susahnya sih, Kal, ngedukung gue? Lo cuma tinggal jaga jarak sama gue, Kal. That's easy, lagi pula lo udah punya pacar. Apa susahnya kita sama-sama jaga perasaan? Lo jaga perasaan Thania, gue jaga perasaan Bang Arras, dan kita juga sama-sama jaga perasaan kita sendiri supaya nggak gagal move on, Kal."
Kallan diam. Betul-betul tidak ada respons apapun yang keluar dari mulutnya. Lama Kallan menundukkan pandangannya. Dua jari tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja secara bergantian. Ia berdesah berat sebelum akhirnya memalingkan pandangannya kembali ke Leana. "Kok kayaknya peran gue terlalu antagonis ya, buat lo," katanya. "Dari awal, semuanya udah salah gue. Di saat gue mau membenahi kesalahan gue pun, gue masih dianggap jahat sama lo, Ya."
Leana memilih untuk diam. Tak kuasa ia menjabarkan jawabannya kepada Kallan, sebab Leana tahu, ia hanya akan lebih memojokkan Kallan dengan sejuta kesalahan yang telah Kallan perbuat.
Hingga pada akhirnya, Leana hanya bisa merespons dengan lirih, "I'm sorry."
Senyum Kallan mengembang tipis. "Gue juga minta maaf, Ya. Makasih buat semuanya ya, Ya. Buat sebelas bulannya, buat kesempatan yang lo berikan ke gue dan Thania," katanya. "Kalau gue boleh jujur, sekarang sebenernya gue justru nggak nyaman sama Thania. Thania posesif dengan alasan-alasan yang nggak jelas, Ya."
Leana mengangguk-angguk pelan. "Dan lo bakal nyuruh gue merancang rencana untuk putus, setelah merancang rencana untuk jadian beberapa waktu lalu?" tanyanya. "Sori, Kal. Gue nggak bisa. Gue nggak mau berurusan sama relationship orang lain."
"Ya nggak gitu. Maksud gue, kalau emang lo nyerah sama Bang Arras ... please wait for me, okay?" Kallan membalas. Lancar sekali lidahnya meluncurkan kata-kata begitu ke telinga Leana.
Sesaat Leana terdiam. Seperti menimbang jawaban untuk Kallan. Detik selanjutnya gadis itu terkekeh. "Nggak, Kal. Sori. Gue rasa, sampai kapan pun gue nggak akan mau ngulang hubungan untuk yang kedua kalinya," katanya. "Setelah gue putus sama seseorang dengan alasan yang masuk akal, contohnya."
Kallan mengangguk pelan sambil menyungging senyum. "Then, it's the end," katanya. "Baik antara lo dan gue, juga lo dan Bang Arras. It's the end."
Gadis yang mendapat pertanyaan tersebut mengedikkan bahunya. "Yes."
Sekali lagi Kallan tersenyum. Laki-laki itu kemudian menarik ranselnya, menyampirkannya ke sebelah bahunya. "Okay, then. Dengan ini gue secara resmi mengakhiri perjanjian kita. Apapun yang terjadi di antara Thania dan gue udah bukan tanggung jawab dan urusan lo, dan begitu pula tentang apa yang terjadi di antara lo dan Bang Arras. Good luck."
Leana mengangguk, balik tersenyum.
Sementara Kallan segera beranjak dari kursinya. "Gue duluan, ya."
Sekali lagi Leana mengangguk, mempersilakan Kallan untuk meninggalkan Starbucks duluan tanpa perlu mengantar Leana pulang terlebih dahulu. Gadis itu memandangi kepergian Kallan dengan kedua bola matanya. Semuanya sudah berakhir.
Tidak ada lagi Kallan. Tidak ada pula Arras.
+ + +
Hari kesekian tanpa Kallan dan Arras. Sejak pagi tadi Leana sudah berulang-ulang membisikkan pada dirinya sendiri: semua akan baik-baik saja. Kallan dan Arras bukanlah oksigen yang Leana butuhkan sehari-hari.
Sampai....
"Kak Leana!"
Panggilan itu menyentaknya untuk berhenti melangkah di tengah koridor lantai dua gedung fakultas. Leana menoleh ke sumber suara, mendapati Thania sedang berdiri di belakangnya. Leana memilih untuk tidak memberikan respons apapun.
"Boleh ngomong, nggak, Kak? Ada sesuatu yang pengin gue obrolin sama lo," kata Thania dengan begitu tenang. Tanpa berpikir panjang, Leana mengangguk, kemudian keduanya memutuskan untuk duduk di kursi terdekat dari keduanya, yaitu di depan ruang dosen yang kebetulan juga tidak ada orang di sana.
"Kenapa?" tanya Leana.
"Gue mau tanya aja. Bang Kallan sama lo masih suka ketemuan, ya?" tanya Thania. To the point. Tanpa berbasa-basi.
Leana diam sejenak, memandangi perempuan di depan matanya. "Lo tau dari mana?" Leana bertanya balik. "Kallan yang bilang sendiri, atau lo cari tau dengan cara nyadap semua media sosial Kallan?"
"Ya ... gue rasa lo nggak perlu tau sih, gue tau dari mana. Gue cuma mau tau lo jujur atau nggak ketika gue tanya begini," jawab Thania.
Dalam hati Leana bertanya-tanya sendiri, kenapa bisa selancar ini bicaranya? Thania tidak sadar sedang bicara dengan seorang kakak tingkat?
Namun, tanpa menyinggung hal tersebut, Leana pun mengangguk-angguk, memahami maksud dan tujuan Thania bertanya begini. "Iya. Gue masih ketemuan sama Kallan beberapa kali. Tapi perlu digarisbawahi ya, semua itu karena Kallan yang maksa."
"Tapi harusnya Kak Leana punya hak buat nolak. Kenapa nggak ditolak aja kalau Bang Kallan ngajakin ketemu?" pertanyaan itu meluncur dari mulut Thania. Nada bicaranya sedikit meninggi. Leana masih tenang, masih memaksakan dirinya untuk paham kalau Thania sebenarnya tidak mengerti apa yang terjadi di antara Kallan dan Leana. "Lagian, emangnya perlu, ya, ketemuan sama mantan? Bukannya Bang Kallan dan Kak Leana harusnya fokus masing-masing?"
Mendengar kelanjutan kalimatnya, emosi Leana sukses terbakar. Rasa heran menyelimutinya. Kenapa Thania bisa bicara seperti ini padanya?
"Kok lo ngomongnya gitu sama gue? Lo tuh yang harusnya riset lebih banyak! Kallan yang selalu ajak gue ngobrol, Kallan yang selalu maksa gue ketemuan, Kallan yang selalu ngejar-ngejar gue. Jadi seharusnya lo tanya aja sendiri sama pacar lo, dia tuh sayangnya sama lo atau sama gue!"
Kekesalan Leana benar-benar memuncak. Gadis itu bahkan beranjak dari kursinya, hendak segera meninggalkan Thania. Namun lawan bicara Leana masih membuatnya berhenti melangkah dengan bilang, "Loh, semua itu kan seharusnya nggak akan terjadi kalau Kak Leana nggak ngerespons. Sekarang gue sama Bang Kallan yang jadi putus. Gara-gara siapa kalau bukan Kak Leana?!"
Thania ikut berdiri dari kursinya. Ikut meninggikan nada bicaranya.
Alis Leana bertaut. Kenapa tahu-tahu Leana terlibat atas kandasnya hubungan Kallan dan Thania?
"Kenapa harus gara-gara gue? Lagi pula, kalaupun emang gara-gara gue, terus kenapa? Lo mau marah ke gue? Gue aja nggak marah ke lo, ya, waktu lo jadi alasan gue dan Kallan putus!" Leana masih membalas. Kemudian gadis itu berbalik dan meninggalkan Thania setelah memberikan penutup. "Urusan lo dan Kallan ya punya lo berdua. Gue nggak terlibat. Gue aja nggak protes ke lo waktu lo bikin gue sama Kallan putus."
Dan betapaterkejutnya Leana ketika hendak berbelok ke tangga, ia melihat Pita yangberdiri merapat ke dinding, bersama tumpukan kertas di kedua tangannya. JantungLeana berdebar kencang. Pasti Pita sudah mendengar semua keributan barusan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro