BAB 22
Dari pertemuan terakhirnya bersama Arras di J.co PIM, Leana sudah menyimpulkan dengan penuh rasa percaya diri. Bahwa ia kelak akan benar-benar memenangkan hati Arras. Sampai pagi ini, pikiran tersebut masih bertengger di benaknya. Bahkan Leana sangat tidak sabar untuk melihat Arras di kelas fotografi pagi ini.
Akan Leana tunjukkan pada Kallan kalau ia juga bisa menang.
"Senyum lo nggak ilang-ilang, Ya," ujar Gigi sambil menyikut Leana yang duduk di sebelahnya. "Emangnya sampai berhari-hari gitu, ya, berbunga-bunganya? Kan jalan sama Babang Arras udah berapa hari yang lalu?"
Mendengar ujaran tersebut, Kila menoyor Gigi. "Ye, bukannya ikut seneng lo, malah ngomong gitu," ujarnya.
Di saat Gigi hendak merespons lagi ucapan Kila, Kallan yang sejak tadi memandangi Leana tiba-tiba beranjak dari kursinya di meja terdepan. Laki-laki itu mendekat ke tiga gadis yang duduk berjajar. "Cie," tutur Kallan. "Selamat ya, yang udah jadian."
Seketika ketiga gadis tersebut diam, kini menatap Kallan.
Kila dan Gigi membelalak girang. "Lah, lo ternyata jadian?!" seru Gigi pada Leana. Akan tetapi, yang diberi pertanyaan tidak merespons. Leana masih memandangi Kallan yang posisinya lebih tinggi sebab sedang berdiri di hadapannya.
"Hah? Maksud lo apaan?" tanya Leana dengan nada polos. "Maksudnya, lo memberi selamat ke diri lo sendiri karena lo udah jadian sama Thania?" lanjut Leana sambil menekankan tiga kata terakhir di kalimatnya.
Gigi lantas mengigit bibir bawahnya, merasa salah sudah merespons ucapan Kallan dengan antusias. Kini gadis itu menatap Kila yang duduk di sebelah kiri Leana. Kila hanya menggeleng pelan, mengartikan ia pun tidak mengerti harus bersikap bagaimana.
"Oh, belum jadian, ya?" Kallan mengangguk-angguk pelan. "Bagus deh. Rabu besok ketemu di Starbucks PIM jam tiga sore ya, Ya."
Bersamaan dengan kalimat itu terucap dari mulut Kallan, pintu ruangan terbuka, menampakkan Pak Hisyam yang datang bersama kamera di tangannya serta asisten di belakang punggungnya. Arras.
Kallan dan Leana serempak menoleh ke arah pintu, mendapati Arras kini tengah menatap balik ke arahnya. Ke arahnya dan Kallan, lebih tepatnya.
"Soalnya perjanjian kita belum selesai." Kallan melanjutkan ucapannya sebelum beranjak pergi dari posisi berdirinya. Leana membelalak. Kenapa Kallan bisa seenteng itu berkata demikian? Laki-laki itu pasti sengaja supaya Arras mendengarnya!
"Ya?" panggil Kila. "You guys really okay? Dia sakit jiwa nggak, sih, Ya?"
Leana tak berkutik. Otaknya lebih fokus memikirkan apakah Arras mendengar percakapan barusan, ketimbang memikirkan jawaban untuk Kila.
Detik-detik selanjutnya, suara Pak Hisyam mengambil alih perhatian seluruh mahasiswa. Beliau memberikan arahan tentang tugas terbarunya, yaitu fotografi makro. Semua tekun mendengarkan, tapi Leana jauh lebih sibuk curi-curi pandang kepada Arras yang duduk di sebelah Pak Hisyam.
Perasaan Leana sangat tidak enak.
"Oke, jadi paham, ya? Silakan buat kelompok. Ini ada empat kamera, silakan bergantian bagi yang tidak bawa kamera sendiri. Kalau ada kesulitan, saya dan Arras tetap di sini," tutup Pak Hisyam sambil meraih salah satu kamera yang tergeletak di atas meja. "Nanti hasilnya dikumpulkan ke ... siapa, Ras, biasanya?"
"Leana, Pak," jawab Arras cepat. Pandangan Arras lantas tertuju kepada Leana yang rupa-rupanya sedang memandang ke arahnya. Mata mereka bertemu. Leana geming saking terkejut namanya disebut, sementara Arras menyungging senyum tipis sebelum akhirnya buru-buru mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.
Pak Hisyam mengangguk-angguk, "Oke, berarti ke Leana, ya. Minggu depan terakhir dikumpulkan. Lebih cepat lebih baik, supaya kalian juga bisa mengejar tugas mata kuliah lain. Untuk tugas yang minggu lalu sudah semua?"
"Ada tiga orang yang belum mengumpulkan, Pak." Arras kembali menjawab pertanyaan Pak Hisyam dengan cepat. "Yang udah mengumpulkan ada di Leana, Pak."
"Oke. Ditunggu sampai malam ini. Besok kumpulkan ke saya atau Arras ya, Leana. Kalau sampai besok nggak mengumpulkan, ditinggal aja," ujar Pak Hisyam. Leana hanya mengangguk paham, kemudian satu per satu mahasiswa beranjak dari kursinya masing-masing, mulai mengerjakan tugas terbarunya.
Begitu pula dengan Leana yang akhirnya bergabung dengan satu grup bersama Kila dan Gigi. Leana pikir hanya bersama Kila dan Gigi serta mahasiswa normal lainnya. Namun ternyata tidak semudah itu. Entah kena angin dari mana, Kallan tahu-tahu bergabung tanpa permisi. Jadilah laki-laki itu berada di grup yang sama dengan Leana.
Sepanjang mata kuliah berlangsung, Leana sangat menahan dirinya untuk tidak marah kepada laki-laki ini. Sangat menahan dirinya pula untuk tidak berkomunikasi dengannya, setidaknya di depan mata Arras. Kabar baiknya adalah Leana berhasil menahan diri, tapi kabar buruknya adalah Kallan terus-menerus mengajaknya berbincang seolah-olah mereka tidak sedang memiliki masalah apapun.
Dalam hati Leana bertanya-tanya, apakah Kallan sengaja bersikap seperti ini di depan Arras?
"Oke, udah jam sebelas, nih. Berhubung Pak Hisyam juga udah cabut, jadi gue yang tutup mata kuliah fotografi hari ini. Selebihnya, kalau ada yang mau ngerjain pakai kamera fakultas, bisa bilang ke gue, nanti gue pantau," ujar Arras sambil melirik arloji di tangannya. "By the way, ada yang bisa bantu gue kembaliin kamera ke ruang dosen?"
"Gue," sahut Leana cepat.
Tidak kalah cepat pula, Kallan bersua, "Sama gue, Bang. Berdua aja cukup kan, ya?"
Baik Leana maupun Arras sama-sama memandang ke arah Kallan, geming. Arras mengangguk dan menyungging senyum. Sementara Leana ingin sekali mengutuk laki-laki yang sepertinya sedang menghambat kelancaran hubungannya dengan Arras.
Pasrah, Leana bagi tugas dengan Kallan. Keduanya berjalan mengekori Arras menuju ruang dosen, dan membantu Arras merapikan barang-barang yang dibawanya ke dalam etalase. Akan tetapi, di tengah kegiatan mereka, ponsel Kallan berdering, membuat kamera di tangannya lantas ia oper kepada Leana.
Samar-samar Leana bisa mendengar Kallan bicara "Halo, iya kenapa sayang?" sambil melangkah keluar dari ruang dosen. Lama-lama Kallan hilang, begitu pula dengan suaranya. Tersisa Arras dengan dirinya.
Hening. Tidak ada yang bicara apapun di dalam ruangan yang hampir kosong tersebut. Arras tetap sibuk menata kamera ke dalam etalase, sementara Leana sibuk menyaksikan. Hingga tiba-tiba...
"Lo masih suka sama Kallan, ya?" tembak Arras sambil menutup dan mengunci etalase kaca di hadapannya.
Leana meneguk ludah. Jantungnya berdebar-debar tak keruan. Pertanyaan macam apa ini? Kenapa Arras bisa-bisanya bertanya seperti ini tanpa berbasa-basi?
Senyum Arras mengembang tipis. "Ketebak. Jadi, gue bener-bener cuma pelampiasan, kan?" tukasnya. Leana semakin mematung. Hatinya mendorong Leana untuk mengatakan tidak, namun otaknya gagal memerintah mulut Leana untuk mengutarakannya. Justru gemingnya memberikan Arras kesempatan lagi untuk bicara. "Sori ya, kalau selama ini gue agak nggak profesional sebagai asdosnya Pak Hisyam. Malah memanfaatkan kesempatan."
Lalu Arras mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Leana. Namun beberapa detik setelahnya, setelah menimbang keputusan, akhirnya Leana memantapkan hatinya untuk bilang, "Gue seneng lo memanfaatkan kesempatan. Tapi mungkin gue juga bikin lo bingung. Sori. Gue ... sekarang ngerasa desperate banget."
Langkah Arras terhenti. Laki-laki itu berbalik badan. "Desperate untuk apa? Untuk Kallan yang akhirnya jadian sama maba, dan ninggalin lo? Selama ini gue pikir gue punya kesempatan besar melihat respons lo. Tapi ternyata gue salah. Lo masih berharap sama Kallan."
Kenapa, sih, Arras harus mengungkit soal Kallan?
"Lo pikir gampang ya, Bang, ninggalin Kallan begitu aja?" tanpa sadar, nada bicara Leana meninggi. "Gue putus dari Kallan belum seribu tahun lamanya, Bang. Gue bahkan masih terikat perjanj—ah, lo nggak bakal ngerti. Anak laki nggak bakal pernah ngerti gimana rasanya jadi cewek!"
Hampir Leana mengaku secara jujursaking emosinya tak terkendali. Kini gadis itu memilih untuk segerameninggalkan ruang dosen. Alangkah lebih baik jika ia pergi duluan sebelum adadosen yang datang dan bertanya sedang-ada-keributan-apa-di-sini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro