BAB 20
Setelah pekan lalu terlambat jauh dari waktu semestinya, Rabu ini Kallan juga terlambat. Sudah hampir dua puluh menit Leana duduk di kursi favoritnya di Starbucks PIM. Kallan tak kunjung datang. Tak kunjung merespons pesan-pesannya pula. Dengan penuh sabar Leana menanti, hingga genap di menit kedua puluh, ia putuskan untuk beranjak dari Starbucks.
Leana : Gue keliling PIM dulu.
Sesingkat itu pesan terbaru Leana untuk Kallan sebelum gadis itu benar-benar beranjak bersama Caramel Coffee Jelly berukuran grande-nya yang masih hampir penuh. Satu per satu toko Leana lewati. Beberapa di antaranya ia singgahi, hingga tanpa sadar Leana sudah menghabiskan waktu satu jam sejak pertama kali angkat kaki dari Starbucks.
Tidak ada tanda-tanda kedatangan Kallan. Laki-laki itu pun tidak memberi kepastian akan datang atau tidak. Leana berdesah berat. Langkahnya berhenti di depan pintu masuk Fun World untuk sekali lagi mengetikkan pesan kepada Kallan.
Leana : Lo nggak bakal dateng, ya, Kal?
"That's right, he will not," gumam Leana pada dirinya sendiri. Gadis itu mengurungkan niatnya sesegera mungkin. Dihapusnya pesan yang belum dikirimnya tersebut. Leana menyerah saja. Mungkin minat Kallan memang telah hilang sebab kalah saing dengan euforia yang dirasakannya setelah jadian dengan Thania.
Ini adalah yang kesekian kalinya Leana membuang-buang waktunya untuk menunggu Kallan. "Percuma bego, Ya," tutur Leana sambil menyakukan ponselnya. Gadis itu memutuskan untuk segera beranjak. Pulang dengan berjuta kecewa yang bukannya semakin surut, justru kian hari kian menggunung.
Mungkin memang sudah waktunya Leana memutuskan untuk mengecap Kallan melanggar perjanjian yang mereka setujui. Dan Leana harus benar-benar berhenti mengharapkan Kallan. Baik mengharapkan laki-laki itu terus membantunya dekat dengan Arras, maupun mengharapkan laki-laki itu kembali ke tangannya.
Sekarang Leana bahkan bingung. Sebenarnya Leana benar-benar menyukai Arras, atau nama Arras hanya ia jadikan pelarian dari patah hatinya terhadap Kallan?
Entah siapa yang akan menjawab tanda tanya di dalam hatinya. Yang Leana tahu hanya satu: mulai detik ini ia menyerah mengejar Kallan.
-=-=-=-
"Hei." Sapaan singkat itu asalnya dari mulut Kallan, ketika Leana tengah menyibukkan diri dengan laptopnya sebelum kelas siang nanti dimulai. "Sori ya kemarin sore. Gue lagi sama Thania. Tadinya mau ngabarin lo, tapi nggak ada celah banget buat pegang HP di depan dia. Sore ini kosong, kan? Gue ganti yang kemarin, gimana? Tapi gue antar Thania pulang dulu, supaya nggak ketahuan."
Selepas menyimak dengan saksama kata demi kata yang keluar dari mulut Kallan, Leana menoleh dan memandangi laki-laki itu. Rasa kecewanya sejak kemarin sore belum surut. Ditambah lagi kecewa dari hari-hari yang sudah lalu.
Akan tetapi, di dalam hatinya Leana masih saja merasa ingin memaafkannya. Leana masih butuh Kallan. Bukan sekadar jadi teman bertegur sapa. Leana masih mau melihat senyum khasnya setiap kali mereka bersenda gurau.
Eh, kenapa harus tiba-tiba seperti ini, sih?
"Nggak usah deh, Kal," tolak Leana dengan suara begitu halus. "Fokus aja sama Thania, ya. Gue nggak apa-apa. Gue bisa dapatin Bang Arras kalau gue emang mau berusaha. Gue sanggup sendiri."
"Ya, come on. Masa lo ngambek, lagi, sih? Wajar kan, kalau gue emang mendahulukan Thania daripada lo?" Kallan merespons. "Kayak lo aja yang waktu itu nolak ketemu sama gue karena udah janji sama Bang Arras."
Tatapan tajam Leana menyorot lurus ke arah Kallan. "Ya berarti wajar dong, kalau gue juga mendahulukan yang lain daripada lo? Diri gue sendiri, misalnya," balas Leana. "Hidup gue udah bukan tentang lo lagi, Kal. Semua ini juga gara-gara lo kok awalnya."
"Kok jadi gara-gara gue? Kan lo yang minta putus, lo yang keukeuh putus, dengan alasan aneh lo itu. Kenapa setelah gue jadian sama yang lain ini jadi gara-gara gue?" bukannya memperbaiki suasana, justru Kallan memilih untuk memperkeruh.
Kabar buruknya lagi adalah Leana pun tidak mau kalah debat. Sekali lagi setelah yang sudah-sudah, keduanya jadi bahan tontonan teman-teman sekelasnya.
"Ya iya gara-gara lo. Lo pikir ada, Kal, cewek yang mau pacaran sama cowok yang suka sama cewek lain? Pacar lo sekarang aja nggak suka, kan, kalau lo jalan sama gue?" nada bicara Leana meninggi. Hampir semua orang mulai menaruh perhatian. Termasuk Kila yang akhirnya ikut campur untuk memisahkan keduanya.
Akan tetapi, keduanya abai. Keduanya menolak untuk menerima campur tangan orang lain. Debat terus berlanjut. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah. Kallan terus-menerus menyalahkan Leana sebab gadis itu yang lebih dulu menggugat putus, sementara Leana tetap bersikeras berkata bahwa alasannya meminta putus adalah kelakuan Kallan sendiri.
Semua teman sekelasnya tak berkutik. Satu per satu mencoba ikut campur guna memisahkan perdebatan, namun keduanya tetap menolak. Sampai salah satu teman sekelasnya membuka pintu dan berkata, "Dosennya nggak ada, sob. Doi lagi rapat di kampus B."
Pada detik itu Leana berkata, "Nggak usah ngejar-ngejar gue lagi. Gue yang memutuskan buat putus. Dan hari ini, gue yang memutuskan kalau perjanjian kita berhenti. Lo nggak perlu urusin gue dan hubungan gue lagi, sebagaimana gue nggak akan ngurusin lo dan Thania."
Kemudian Leana menutup laptopnya dengan kasar, dan meninggalkan kelas bersama seluruh barang-barangnya. Lagi-lagi Kallan mendapat tatapan keji dari orang-orang. Kini semua orang sudah mendengar kronologinya. Sudah mendengar konflik yang terjadi di antara Kallan dan Leana.
Sambil memeluk laptop di tangan kirinya, Leana terus berjalan menyusuri koridor gedung, menjauh dari ruang kelas yang baru saja ditinggalkannya. Berhubung Leana sudah tidak ada kelas, gadis itu memutuskan untuk segera beranjak dari kampus.
Namun....
"Lea!"
Leana tahu itu suara siapa. Leana juga tahu siapa satu-satunya orang yang memanggilnya Lea. Benar. Arrasya Guntara, laki-laki berambut gondrong yang kini tengah berlarian ke arahnya, membuat rambutnya yang panjang setengkuk itu bergerak naik turun mengikuti gerak tubuhnya.
"Eh, lo kenapa?" selanjutnya, pertanyaan itulah yang keluar dari mulutnya ketika melihat Leana dari dekat. Matanya berkaca-kaca. Lawan bicara Arras kemudian menggeleng. "Lagi bad mood, ya?"
Senyum Leana mengembang tipis. "Gue nggak apa-apa kok," balasnya. "Kenapa manggil gue?"
"Oh, iya. Sebenernya gue mau ngajak lo keluar, sih. Itu juga kalau lo mau, sebenernya."
"Ke mana?"
"Ya ... ke mana aja. Ada hal penting yang perlu gue sampaiin ke lo."
Sebelah alis Leana terangkat. "Mengenai apa, Bang?"
"Eng ... gue ada tawaran buat lo. Tapi nanti aja. Nanti setelah gue kelas, ketemuan di Katsu ya, Lea," balas Arras tergesa-gesa. Laki-laki itu kemudian berlari pergi, "Dah, gue kelas dulu."
Leana geming. dalam hatinya gadis itu bertanya-tanya, kenapa segala hal di dalam hidupnya terkadang terasa begitu mulus? Kallan baru saja membuatnya patah hati dan bersedih begitu dalam, lalu tiba-tiba Arras datang seolah-olah ialah yang telah diutus Tuhan untuk jadi pendampingnya.
Gadis itu menghela napas panjang. Dipeluknya semakin erat laptopnya. Perlahan tapi pasti, Leana melangkahkan kakinya, menuruni satu per satu anak tangga, berjalan menuju lobi gedung sebab tidak ada seorang pun di Lapangan Katsu.
Jelas tidak ada siapapun. Lagi pula, siapa yang mau duduk-duduk di lapangan super terik di tengah hari macam begini?
Tak lama Leana duduk, ponselnya berdering. Nama Kallan terpampang jelas sebagai penelepon. Apa lagi sekarang yang Kallan inginkan? Memohon-mohon maaf dengan berbagai tawaran imbalan?
Sudah tidak mempan. Leana kali ini ingin membulatkan keputusannya untuk menyudahi segala perjanjian yang dibuatnya bersama Kallan. Bahkan jika seandainya kelak Leana tetap tidak mendapatkan Arras tanpa bantuan Kallan, Leana juga akan merelakannya.
Satu-satunya hal yang sekarang Leana inginkan hanyalah ketenangan. Tenang, aman, dan berhenti terbayang-bayang akan sosok Kallan yang sudah tidak lagi dimilikinya.
"Eh, lo di sini ternyata, Ya!" ujaran itu tiba setelah berulang-ulang Leana menolak panggilan masuk dari Kallan. "Gue nyariin. Nongkrong yuk, Ya? Gue sama Gigi mau ke PIM. Ikut, nggak?"
Itu suara Kila.
Mungkin kalau Leana tidak bertemu dengan Arras lima menit lalu, sekarang gadis itu akan mengiakan ajakan Kila dengan penuh antusias. Namun sayangnya Leana harus mengurungkan keinginannya untuk bonding dengan Kila dan Gigi.
"Sori, udah janjian sama Bang Arras," kata Leana.
Kila dan Gigi saling tatap sesaat."Oh bagus deh. That's better daripadanongkrong sama kita. Kita duluan ya, Ya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro